Home / Romansa / Menjadi Istri Keponakan sang Mantan / Bab 7 : Masa Lalu yang Tak Pernah Hilang

Share

Bab 7 : Masa Lalu yang Tak Pernah Hilang

Author: Vanilla_Nilla
last update Huling Na-update: 2025-02-11 13:04:33

Suara dentingan gelas dan alunan musik pelan memenuhi sudut bar yang remang-remang. Cahaya lampu temaram memantulkan kilau keemasan di permukaan minuman dalam gelas-gelas kristal yang berjajar rapi di meja bartender. Di salah satu sudut ruangan, dua wanita duduk berhadapan, dengan ekspresi yang kontras.

Jane menatap Sophia lekat-lekat, matanya menyipit seakan mencoba memahami sesuatu yang sulit dicerna. Ia baru saja mendengar pengakuan mengejutkan dari sahabatnya, dan itu membuatnya nyaris tidak percaya.

“Kau serius? Kau benar-benar menerima perjodohan ini?”

Jane menatap sahabatnya dengan tajam, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah tenangnya. Ketika Sophia pertama kali memberitahunya tentang perjodohan itu, ia hampir tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Rasa keterkejutan itu masih melekat, berputar dalam pikirannya seperti badai yang tak kunjung reda.

Bagaimana mungkin Sophia setuju untuk menikah dengan pria lain?

Selama ini, Jane tahu betul bahwa hati sahabatnya hanya terpaut pada satu nama—Daniel. Sejak pertama kali mereka bertemu, Sophia seolah hanya memiliki satu pusat gravitasi, dan itu adalah lelaki dengan tatapan tajam dan aura dingin yang selalu berhasil membuatnya kehilangan arah.

Jane ingat bagaimana Sophia dulu bercerita tentang perasaannya. Tentang bagaimana jantungnya berdegup lebih kencang setiap kali Daniel ada di dekatnya. Tentang bagaimana pria itu selalu terlihat begitu jauh, tetapi di saat yang sama, terasa begitu dekat hingga membuatnya sulit bernapas.

Namun, Sophia bukan hanya jatuh cinta—dia benar-benar terikat pada Daniel. Seperti ombak yang selalu kembali ke pantai, tidak peduli seberapa jauh mereka terbawa ke tengah lautan.

Sayangnya, cinta saja tidak pernah cukup.

Jane melihat sendiri bagaimana Daniel memperlakukan Sophia selama ini. Bukan dengan kelembutan atau perhatian yang pantas diterima seseorang yang mencintai, tetapi dengan dinginnya sikap yang sulit diterjemahkan. Kadang, seolah pria itu juga memiliki perasaan yang sama, tetapi di lain waktu, ia justru mendorong Sophia menjauh tanpa alasan yang jelas.

Jane tidak pernah mengerti alasan di balik semua itu, tetapi ia tahu satu hal—Daniel telah menyakiti Sophia lebih dari yang bisa ia bayangkan.

Dan sekarang, setelah semua yang terjadi, setelah semua luka yang pernah ada, Sophia justru memilih menerima perjodohan ini.

Bukan dengan Daniel.

Bukan dengan pria yang selama ini mengisi hatinya.

Tetapi dengan orang lain.

Jane tidak bisa memahami apakah ini keputusan yang lahir dari keinginan Sophia sendiri, ataukah ini hanya caranya untuk melarikan diri dari perasaan yang selama ini tidak pernah mendapatkan tempat yang semestinya.

Di hadapannya, Sophia tetap diam, hanya menatap gelas di tangannya dengan tatapan kosong. Tidak ada ekspresi bahagia, tidak ada kegelisahan yang kentara—hanya kehampaan yang membuat Jane semakin yakin bahwa sahabatnya sedang berbohong.

Bukan pada orang lain.

Tetapi pada dirinya sendiri.

Sophia tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap gelas di tangannya, mengamati cairan bening yang berputar pelan saat ia menggoyangkannya. Napasnya terasa berat, tetapi ekspresinya tetap tenang, seolah keputusan ini bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan.

“Ya, aku menerimanya.”

Jane mengerutkan kening, tidak puas dengan jawaban singkat itu. Ia bersandar di kursinya, menyilangkan tangan di dada. “Lalu bagaimana dengan Daniel? Apa kau sudah benar-benar melupakannya?”

Nama itu—Daniel.

Untuk sesaat, Sophia merasakan sesuatu mencengkram dadanya. Ada perasaan tak terlukiskan yang berusaha ia tekan dalam-dalam, namun tetap menghantui pikirannya. Ia menggigit bibirnya pelan, mencoba menahan gejolak yang muncul di hatinya.

“Tidak ada lagi yang perlu dibahas tentang Daniel.”

“Aku tahu kau mencoba terlihat kuat, tapi … aku juga tahu kau masih mencintainya.”

Sophia tersenyum kecil, tetapi ada kepedihan di balik senyum itu. Ia mengangkat gelasnya, meneguk isinya dalam sekali minum, lalu meletakkannya kembali di meja dengan bunyi pelan.

“Mungkin aku memang masih mencintainya, Jane,” katanya lirih, akhirnya mengakui sesuatu yang selama ini ia coba sembunyikan. “Tapi cinta saja tidak cukup. Aku sudah belajar dari kesalahanku.”

Jane menggeleng pelan, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia bisa melihat bagaimana mata Sophia berbinar saat menyebut nama Daniel, tetapi di saat yang sama, ada luka yang belum sembuh sepenuhnya.

Dan itu membuatnya bertanya-tanya …

Apakah benar semua ini sudah berakhir?

Sudah beberapa botol minuman yang Sophia habiskan, hingga kini tubuhnya terkulai lemas di meja bar. Kepalanya tertunduk, bersandar pada lengannya yang tergeletak di atas meja. Matanya setengah terbuka, tetapi tatapannya kosong, seolah dunia di sekitarnya sudah tak lagi berarti.

Jane menghela napas panjang, merasa kasihan melihat sahabatnya dalam keadaan seperti ini. Sejak awal, ia sudah mencoba mencegah Sophia agar tidak terlalu banyak minum, tetapi wanita itu tidak mendengarkannya. Jane tahu betul bahwa Sophia bukan peminum berat—bahkan sedikit alkohol saja sudah cukup membuatnya kehilangan kendali.

Dan sekarang, lihatlah dia.

“Sophia, kita pulang, ya?” Jane mencoba membujuknya sekali lagi, menyentuh bahu sahabatnya dengan lembut.

Namun, sebelum Sophia sempat memberikan reaksi, seseorang tiba-tiba mendekat. Jane merasakan kehadiran sosok itu sebelum ia sempat melihatnya. Ada aura yang begitu kuat, begitu dominan, hingga membuat udara di sekitarnya terasa lebih berat.

Saat ia menoleh, jantungnya hampir berhenti.

Daniel.

Lelaki itu berdiri di sana, mengenakan setelan hitam yang rapi, dengan mata gelapnya yang berkilat tajam saat menatap Sophia yang tengah terkulai di meja. Rahangnya mengeras, ekspresinya sulit ditebak, tetapi ada sesuatu dalam tatapan itu—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kemarahan.

Tanpa membuang waktu, Daniel berjalan mendekat dan berkata dengan suara rendah yang tegas. “Kamu pulanglah.”

Jane mengerutkan kening, masih terkejut dengan kemunculan mendadaknya. “Tapi bagaimana dengan Sophia?” tanyanya, ragu untuk meninggalkan sahabatnya dalam keadaan seperti ini.

“Aku yang akan mengurusnya,” jawab Daniel tanpa ragu.

Jane menatapnya lekat, mencoba menilai apakah ia bisa mempercayakan Sophia kepada pria ini. Di satu sisi, ia tahu betapa rumit hubungan mereka. Di sisi lain, ia juga tahu bahwa, seburuk apa pun yang terjadi di antara mereka, Daniel tidak akan pernah membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada Sophia.

Setelah beberapa detik mempertimbangkan, Jane akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah, aku pergi dulu. Tapi pastikan dia baik-baik saja.”

Tanpa menjawab, Daniel hanya mengalihkan pandangannya kembali pada Sophia.

Jane melirik sahabatnya sekali lagi sebelum akhirnya melangkah pergi, meninggalkan Sophia dalam tangan pria yang mungkin adalah satu-satunya orang yang bisa membuatnya hancur—dan juga satu-satunya yang bisa menyelamatkannya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 8 : Keinginan Terlarang Sophia

    Selepas kepergian Jane, Daniel tetap berdiri di tempatnya, menatap Sophia tanpa berkedip. Pandangannya begitu tajam, seolah mencoba menembus setiap lapisan pertahanan yang mungkin masih tersisa dalam diri wanita itu. Sophia yang biasanya selalu anggun dan berkelas, kini tampak begitu rapuh. Rambutnya tergerai berantakan, sebagian jatuh menutupi wajahnya yang pucat. Napasnya terdengar pelan, nyaris tak beraturan, sementara tangannya yang lemah masih mencengkeram gelas kosong di depannya. Aroma alkohol bercampur dengan parfumnya yang khas menyeruak ke udara, membuat Daniel mengerutkan kening. Baru kali ini ia melihat Sophia sepuruk ini. Lima tahun mereka bersama, dan tak sekalipun ia melihatnya kehilangan kendali seperti ini. Sophia selalu menjadi wanita yang kuat, yang selalu tersenyum meskipun hatinya terluka, yang selalu bangkit meskipun ia jatuh berkali-kali. Tapi malam ini, wanita itu tampak seperti seseorang yang telah kehilangan segalanya. Daniel menghela napas panjang, l

    Huling Na-update : 2025-02-12
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 9 : Badai Baru Saja Dimulai

    Udara malam ini terasa begitu dingin, menusuk hingga ke tulang. Namun, anehnya, butiran keringat seukuran biji jagung terus bermunculan di dahi Daniel, mengalir perlahan di sepanjang pelipisnya. Sejak tadi, ia menahan tubuhnya di atas wanita yang terbaring di bawahnya, matanya dipenuhi kilatan hasrat yang sulit dijelaskan. Jemarinya menjelajah dengan lembut, seolah ingin menghafal setiap lekuk yang telah begitu familiar baginya. Sophia selalu memiliki cara untuk membuatnya tenggelam, terperangkap dalam cinta yang tak berujung. Daniel telah bertemu banyak wanita—wajah-wajah cantik yang datang dan pergi dalam hidupnya—namun tidak ada satu pun yang mampu mengikatnya seperti Sophia. Ada sesuatu dalam diri wanita itu, sesuatu yang tak bisa ia temukan pada siapa pun. Bukan sekadar kecantikan atau kelembutan, tapi sebuah daya tarik yang membuatnya tak bisa berpaling, tak peduli seberapa jauh ia mencoba melangkah. Napasnya memburu, terengah-engah seiring dengan bahunya yang naik turun, m

    Huling Na-update : 2025-02-12
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 10 : Kepingan Ingatan

    “Auh ….” Sophia mengerjapkan matanya yang terasa berat. Kepalanya berdenyut hebat, seolah-olah ribuan palu godam sedang menghantam tengkoraknya tanpa ampun. Ia mengerang pelan, tangannya terangkat untuk memijat pelipisnya yang berdenyut, berharap rasa sakit itu segera mereda. Pandangan matanya masih buram saat ia mencoba menyapu ruangan di sekitarnya. Tempat ini asing—bukan kamarnya, bukan juga rumahnya. Langit-langit yang berbeda, aroma ruangan yang tidak familiar, serta kesunyian yang begitu menusuk membuat jantungnya mulai berdegup lebih cepat. “Aku di mana?” Pertanyaan itu bergema di kepalanya, memicu ketegangan yang merayap perlahan ke seluruh tubuh. Ia mengedarkan pandangan, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Namun, sebelum pikirannya sempat bekerja, sesuatu yang lebih mengejutkan membuat tubuhnya membeku. Selimut putih yang melingkupinya melorot sedikit, dan saat ia melihat ke bawah—astaga! Darahnya seolah berhenti mengalir. Napasnya tercekat. Ia ti

    Huling Na-update : 2025-02-13
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 11 : Bekas Kepemilikan

    Sophia keluar dari taksi yang membawanya pulang. Di dalam rumah, ia sudah memikirkan apa yang harus ia katakan pada orang tuanya. Alasan apa yang akan ia berikan, terutama pada ayahnya? Ia tidak mungkin mengungkapkan bahwa semalam ia bersama Daniel. Jika ayahnya tahu, Robert pasti akan marah besar. Namun, jelas Sophia tidak akan mengungkapkan kebenaran itu. Semalam, ia pamit pada ayahnya untuk pergi bersama Jane, dan mungkin alasan yang akan ia berikan sekarang adalah bahwa ia menginap di rumah Jane. Semoga saja ayahnya percaya dan tidak merasa curiga. Sesampainya di dalam rumah, Sophia melihat ayahnya, Robert, yang tengah duduk di kursi dekat jendela besar di ruang tamu. Tangannya memegang sebuah benda yang tampak sudah usang—sebuah jam antik yang diwariskan turun-temurun dalam keluarga mereka. Robert sedang dengan telaten mengelap permukaan kaca jam tersebut, tampak sangat fokus, seolah waktu di sekelilingnya tidak ada artinya. Jam itu adalah benda kesayangan Robert, hadiah da

    Huling Na-update : 2025-02-13
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 12 : Gaun Pengantin

    Sophia mengenakan gaun sederhana berwarna krem dan memulas wajahnya dengan riasan tipis. Ia mencoba menutupi bekas merah yang ditinggalkan Daniel dengan concealer, meski hatinya tetap gelisah, takut bila ada yang melihat bekas merah tersebut. Dengan satu tarikan napas panjang, ia melangkah keluar dan masuk ke dalam mobil yang akan membawanya ke butik tempat fitting gaun pengantin. Begitu sampai di butik, aroma lavender bercampur dengan wangi kain baru menyambutnya. Ruangan itu luas dengan dinding putih elegan, rak-rak berisi deretan gaun mewah tergantung rapi, sementara para penjahit sibuk menyesuaikan detail jahitan. Seorang pelayan butik, wanita muda dengan seragam putih anggun, segera mendekatinya dengan senyum ramah. “Selamat datang di butik La Belle, apakah Anda Nona Sophia?” tanyanya sopan. Sophia mengangguk, menatap sekeliling dengan perasaan sedikit gugup. “Ya, aku datang untuk fitting gaun pengantin.” Pelayan itu tersenyum lebih lebar, lalu mengangguk hormat. “Oh,

    Huling Na-update : 2025-02-14
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 13 : Jarak yang Tak Terlihat

    David berdiri di ambang pintu ruang ganti, matanya menyipit saat melihat pemandangan di depannya. Daniel—pamannya sendiri—berdiri begitu dekat dengan Sophia, tangannya menyentuh pinggang wanita itu. Jantung David berdetak lebih cepat. Ada sesuatu yang terasa janggal di sini. Sophia tampak terkejut, sementara Daniel tetap tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. “Paman, apa yang kamu lakukan di sini?” Suara David terdengar lebih tegang. Daniel menoleh perlahan. Wajahnya tetap santai, tapi ada kilatan kejutan singkat di matanya—seolah ia tidak menyangka akan bertemu keponakannya dalam situasi seperti ini. “Pelayan bilang kau ada di ruang ganti,” jawab Daniel datar. “Jadi ... aku langsung kemari.” Lalu, tanpa terburu-buru, Daniel menurunkan tangannya dari pinggang Sophia. Jemarinya mencabut sesuatu dari lipatan gaun itu—sebuah jarum pentul kecil. “Aku hanya ingin melepaskan ini.” Sophia menahan napas. Ia bahkan tidak sadar kalau ada jarum pentul di gaunnya. Tapi lebih dari itu

    Huling Na-update : 2025-02-14
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 14 : Sang Pengantin di Pelaminan

    Sophia melangkah masuk ke dalam ballroom dengan anggun, tangannya menggenggam lengan ayahnya, Robert, yang berjalan di sisinya. Ballroom itu sudah dipenuhi tamu-tamu dari berbagai kalangan. Pria-pria berjas rapi berdiri dengan wibawa, sementara para wanita mengenakan gaun-gaun mahal. Namun, tidak ada yang lebih memukau di ruangan itu selain Sophia. Gaun putih gadingnya dirancang sempurna, membalut lekuk tubuhnya dengan anggun. Kainnya jatuh menjuntai dengan elegan, dihiasi payet-payet kristal yang berkilauan setiap kali ia bergerak. Di sudut ruangan, Daniel berdiri tegak dengan segelas whiskey di tangannya. Saat pertama kali melihat Sophia, ia terdiam. Jantungnya berdebar cepat. Pandangannya tak bisa lepas dari sosok wanita yang selama ini memenuhi pikirannya. Cantik. Bahkan kata itu saja terasa terlalu sederhana untuk menggambarkan betapa mempesonanya Sophia saat ini. Namun, seiring langkah Sophia yang semakin mendekat ke altar, sesuatu di dalam dirinya terasa han

    Huling Na-update : 2025-02-15
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 15 : Malam Pertama Tanpa Pengantin

    Aroma itu. Begitu familiar. Sophia mengerutkan keningnya, jantungnya berdetak lebih cepat saat indera penciumannya menangkap wangi yang sudah terpatri dalam ingatannya—aroma khas perpaduan woody musk yang selalu melekat pada seseorang di masa lalunya. Minyak wangi dengan sentuhan cedarwood dan amber yang maskulin, yang dulu sering menyelimuti dirinya dalam pelukan seseorang. Bukan, itu bukan aroma David. Itu aroma Daniel. Kesadaran itu membuat tubuhnya menegang. Ia tidak mungkin salah. Meski sebelumnya ia tidak mengenal wangi khas David, ia tahu pasti siapa pemilik aroma ini. Dengan suara yang bergetar, ia berbisik, “Daniel .…” Lelaki itu tak langsung menjawab. Namun, dari balik kegelapan, suara rendah dan beratnya terdengar begitu dekat di telinga Sophia. “Kenapa kau memanggilku, hm?” Mata Sophia membelalak. Seketika, ia mendorong tubuh lelaki itu agar segera menjauh darinya. Dadanya naik turun, napasnya juga sudah memburu hebat. Kenapa Daniel bisa masuk ke kamarny

    Huling Na-update : 2025-02-15

Pinakabagong kabanata

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 85 : Kesepakatan Berbahaya

    Laura menatap layar ponselnya dengan kesal. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Daniel, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Jemarinya mengetuk meja dengan tidak sabar, matanya menatap layar yang kembali menampilkan panggilan tak terjawab. "Kenapa sih, Daniel?!" gerutunya, lalu melempar ponselnya ke sofa dengan kasar. Saat itu juga, Anne melangkah masuk dan langsung menangkap ekspresi kesal di wajah Laura. Ia mendekati wanita itu dengan alis sedikit berkerut. "Kau kenapa?" tanyanya ingin tahu. Laura mendesah frustrasi, lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Aku sudah menelepon Daniel berkali-kali, tapi dia sama sekali tidak mengangkat panggilanku. Aku tidak tahu dia sedang di mana dan apa yang sedang dia lakukan." Anne menatapnya dengan sorot mata penuh pertimbangan, lalu duduk di samping Laura. Ia menghela napas pelan sebelum akhirnya berkata, "Aku sendiri tidak tahu mengapa Daniel begitu khawatir terhadap Sophia. Apalagi sejak dulu, aku selalu merasa ada sesuatu di ant

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 84 : Hati yang Hancur

    Daniel menghapus air mata yang jatuh di pelupuk mata Sophia dengan pelan. Ibu jarinya menyapu pipi wanita itu dengan hati-hatian, ia takut menyakiti Sophia lebih jauh. Manik mata mereka beradu. Namun, Sophia segera mengalihkan pandangannya, ia tidak sanggup menatap Daniel lama-lama. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, hm?" suara Daniel terdengar rendah. Sophia mencoba tersenyum, tetapi yang terbentuk di bibirnya hanya lengkungan samar yang menyakitkan. Hatinya terasa begitu sesak, dipenuhi oleh pertanyaan yang sejak dulu selalu ia pendam. Apakah semua ini hanya perasaannya sendiri? Apakah selama lima tahun terakhir, hanya ia yang jatuh cinta tanpa pernah benar-benar dicintai? Kenangan itu menyeruak, membawanya kembali ke masa lalu. Ia mengingat bagaimana ia selalu menunggu Daniel mengatakan cinta padanya. Lima tahun mereka bersama, melewati begitu banyak kebersamaan—dari momen sederhana hingga kebahagiaan yang seharusnya sempurna. Tapi selama itu juga, tidak sekalipun Daniel meng

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 83 : Kekhawatiran yang Tak Terucap

    Daniel menggulung lengan kemejanya hingga ke siku, membiarkan kulitnya terbuka pada udara dingin ruangan. Pandangannya jatuh pada mangkuk bubur yang masih mengepulkan uap tipis di atas nakas. Ia meraih mangkuk itu, jemarinya melingkari sisi keramik yang masih hangat. Ia beralih ke sisi tempat tidur, menarik kursi mendekat sebelum duduk. Matanya mengamati sosok di depannya—wajah pucat itu, bibir kering yang sedikit terbuka, serta napas yang terdengar lemah. Bahkan tanpa menyentuhnya, ia bisa merasakan betapa rapuhnya perempuan ini sekarang. "Sophia," panggilnya lembut. Ia menyendok bubur ke dalam sendok dan meniupnya perlahan. "Makanlah. Kamu butuh tenaga agar cepat sembuh." Perempuan itu menggeleng pelan, matanya tak sekalipun bertemu dengan milik Daniel. "Aku tidak berselera." Suaranya nyaris tak terdengar, begitu pelan hingga hampir menyatu dengan keheningan di antara mereka. Daniel menatapnya, rahangnya mengencang. Ia meletakkan sendok ke dalam mangkuk, lalu menghela napas ber

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 82 : Kejujuran Sophia

    Kelopak mata Sophia perlahan bergerak, perlahan ia lalu membuka mata. Cahaya dari jendela membuatnya harus berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan pandangannya. Napasnya masih terasa berat, dan tubuhnya lemas. Namun, hal pertama yang membuatnya terkejut bukanlah rasa sakit di kepalanya—melainkan sosok pria yang duduk di sampingnya. "Daniel …" gumamnya parau. Tenggorokannya terasa kering, suaranya nyaris tak keluar. Daniel menoleh dengan cepat begitu mendengar suara Sophia. "Kamu sudah sadar," katanya, nada suaranya terdengar lega. Sophia masih berusaha memahami situasinya. Matanya mengedarkan pandangan ke sekitar, mencoba mengenali tempat ini. Bau khas antiseptik langsung menyadarkannya—ia berada di rumah sakit. "Aku di rumah sakit?" bisiknya. Pikirannya mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Terakhir yang ia ingat, ia sedang menuruni tangga … lalu semuanya menjadi buram. "Di mana David?" tanya Sophia, sembari menyapu ke setiap penjuru ruangan mencari sosok suaminya, tap

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 81 : Membawa Sophia

    "Sophia, bangun." Daniel menepuk pipi Sophia dengan pelan. Namun, wanita itu tetap terkulai lemas, sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Semua mata tertuju pada Daniel. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara napas tertahan yang terdengar. Tak ada yang menyangka bahwa Daniel, yang selama ini tampak tenang dan tak banyak bicara soal Sophia, akan bereaksi seperti ini. Bahkan William, yang mengenal anaknya lebih dari siapa pun, tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Namun, ada satu hal yang lebih aneh. David. Pria yang seharusnya menjadi orang pertama yang panik saat melihat istrinya pingsan justru tetap duduk di kursinya. Wajahnya memang terlihat terkejut, tapi tidak ada kegelisahan nyata di matanya. Tidak seperti Daniel, yang kini dengan cemas memeluk tubuh Sophia dalam dekapannya. Daniel mengeratkan rahangnya. Tanpa pikir panjang, ia menyelipkan satu tangan ke bawah lutut Sophia dan satu lagi di punggungnya, lalu mengangkat tubuh Sophia dengan mudah. "Aku

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 80 : Keadaan Sophia

    Saat langkah Sophia menaiki anak tangga, ia bisa merasakan detak jantungnya masih belum kembali normal. Perasaan tidak nyaman itu terus menghantuinya, udara di dalam rumah ini terasa lebih berat sejak Daniel datang. Tangannya mencengkeram pegangan tangga lebih kuat, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menghantam dadanya. Ia harus pergi dari sini, menjauh dari tatapan Daniel, menjauh dari segala kegelisahan yang baru saja ia rasakan. Namun, saat baru saja mencapai lantai atas, ia tak bisa menahan diri untuk berhenti sejenak. Dari tempatnya berdiri, ia masih bisa mendengar samar suara William menyambut Daniel dan Laura di ruang kerja. "Nah, kalian akhirnya datang," suara William terdengar hangat. "Duduklah." "Maaf, Paman, kami sedikit terlambat," ujar Laura dengan nada lembutnya yang dibuat-buat. Sophia mengepalkan jemarinya tanpa sadar. Bahkan tanpa melihatnya pun, ia tahu Laura sedang bertingkah seolah menjadi tunangan sempurna bagi Daniel. Lalu, suara Daniel terdengar,

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 79 : Belum Siap

    Pagi ini, aroma teh melati menguar dari dapur. Sophia menuangkan air panas ke dalam cangkir porselen dengan hati-hati, memastikan suhu dan takarannya pas. Ia tak pernah menambahkan gula dalam teh William. Bukan karena lelaki itu tidak menyukainya, tetapi karena kebiasaan yang sudah tertanam bertahun-tahun—William selalu menikmati tehnya pahit, hanya dengan sedikit perasan lemon untuk memberikan rasa segar. Ia mengangkat cangkir itu perlahan, untuk segera membawanya ke ruang kerja William. "Nona, mengapa Anda tidak meminta maid saja untuk membuat teh?" suara Lewis, kepala pelayan keluarga, terdengar tegas. Sophia berhenti sejenak, menoleh ke arah pria paruh baya itu dengan senyum tipis. "Aku ingin membuatnya sendiri." "Tapi—" "Tidak apa-apa, Lewis," potong Sophia sebelum pria itu bisa menyelesaikan kalimatnya. "Aku hanya ingin memastikan bahwa teh ini dibuat dengan tanganku sendiri." Lewis menatapnya beberapa saat, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi akhirnya ia hanya men

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 78 : Harus Disingkirkan

    Daniel membatu. Napasnya tercekat, udara di sekelilingnya menghilang begitu saja. Kata-kata Jane bergema di dalam kepalanya, berulang-ulang, memenuhi pikirannya dengan kemungkinan yang bahkan tak berani ia bayangkan sebelumnya. Anak itu ... anak yang dikandung Sophia ... adalah anaknya? Mata Daniel melebar, rahangnya menegang. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa Jane hanya mengada-ada. Tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam dirinya yang berbisik bahwa ini mungkin benar. Bahwa selama ini, ia hanya melihat apa yang ingin ia lihat—memilih percaya pada apa yang lebih mudah diterima daripada menghadapi kebenaran yang sebenarnya. "Kau bercanda, kan?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya. Jane tersenyum miring, tetapi ada kepedihan di matanya. "Apa aku terlihat sedang bercanda?" Daniel mengepalkan tangannya di atas meja, jemarinya bergetar. "Sophia tidak pernah mengatakan apa pun padaku ..." "Tentu saja dia tidak mengatakan apa-apa," potong Jane cepat. "Karena dia tahu k

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 77 : Kebenaran

    Jane duduk di salah satu meja kafe dekat jendela, jemarinya mengetuk-ngetuk gelas kopi yang mulai mendingin. Matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk, berharap melihat sosok pria yang ditunggunya. Sudah hampir setengah jam berlalu, tapi Daniel belum juga datang. Mencoba menahan rasa kesal dan gugup yang semakin menjadi, Jane hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Sejak kemarin, ia sudah bertekad untuk memberitahu Daniel tentang kehamilan Sophia. Tapi jika pria itu tidak muncul, bagaimana ia bisa melakukannya? Ponselnya kembali menyala di meja. Dengan cepat, ia meraihnya, berharap itu pesan dari Daniel, tapi bukan. Hanya pemberitahuan dari media sosial. Jane menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Apa dia tidak akan datang? Matanya melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Jika Daniel tidak muncul dalam lima belas menit lagi, mungkin ia harus pergi. Tapi tepat saat ia hendak menyerah, suara bel pintu kafe berbunyi. Seorang pria berpostur te

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status