Jingga sering kali mengalami sakit hati. Kesakitan demi kesakitan yang dialami mengajarkan untuk tak lagi mudah membuka hati bagi lelaki. Ia lebih memilih hidup sendiri meskipun dengan konsekwensi harus menahan perih setiap kali pertanyaan kapan menikah datang menghampiri. Ketika sosok Angkasa datang menawarkan sebuah hubungan, akankah Jingga mampu move on dari lukanya dan memulai kembali?
View More"Cukup!"
Satu tangannya terangkat sebagai tanda ia tak ingin lagi mendengar alasan apa pun. Diambilnya tas cangklong yang tadi diletakkan sembarangan di atas meja, kemudian beranjak pergi tanpa memandang kepada lawan bicaranya. Langkahnya cepat menuju ke area parkir pengunjung cafe tempat di mana motor matic kesayangannya menunggu dengan setia.
Ya, hanya motor matic biru bergaris putih dengan stiker bugs bunny kesayangan yang selalu menantinya dengan setia tanpa pernah ada keinginan selingkuh atau pun mendua. Hanya dia yang menemani kemana pun tanpa tuntutan harus berdandan anggun atau bergaun cantik dengan sepatu hak tinggi atau sejenisnya.
"Ngga!" seru pria yang tadi ditinggalkannya di dalam cafe.
"Jingga, tungguuuu!" Karena Jingga tak berniat menoleh, pria itu kembali memanggil-manggil namanya sambil bergegas menyusul gadis itu.
Sekuat hati Jingga menahan air matanya agar tak tumpah. Tidak sekarang, batinnya. Ia tak boleh sampai terlihat lemah di depan pria br*ngs*k itu. Dia harus tampak tegar dan tak terlukai meski itu sungguh berlawanan dengan kenyataan. Sambil berjalan cepat, hampir berlari ke arah parkiran, disekanya bulir-bulir bening yang ternyata lolos juga dari pertahanan pelupuknya.
Area parkir lumayan sepi. Sore itu belum begitu banyak pengunjung cafe. Tampak ada sekitar tujuh motor dan dua mobil di sisi yang berlainan. Sampai di sebelah motornya, pria itu, Miko, akhirnya berhasil menyusul Jingga dan meraih tangan si gadis. Menahannya untuk berbicara sebentar.
"Dengerin dulu, dong," ujar Miko mencoba membuat Jingga mau mendengarkan penjelasannya barang sebentar. Nyatanya Jingga tak menggubrisnya. Ia malah membuang muka dan berusaha mencari-cari kunci atau entah apa dari dalam tas cangklong yang dikenakan.
"Aku bukannya mau putus, Jingga. Kita bisa tetep jalan, kok," ujarnya lagi. Kali ini usahanya berhasil menarik perhatian Jingga sepenuhnya.
Spontan Jingga menoleh dan melempar tatapan menusuk ke arah Miko. Bila tatapan dapat membunuh, rasa-rasanya Miko bisa saja tewas seketika. Pria berperawakan tinggi kurus itu sampai mengernyit dan hendak mengalihkan pandangan, tetapi terhalang oleh rasa gengsinya sebagai pria. Masa' dia takut sama wanita, sih. Begitu benaknya berkata.
"Jadi, kamu pikir aku marah karena gak bisa lagi jalan sama kamu, gitu?" tanya Jingga dengan nada membentak. Ia sungguh telah habis sabar menghadapi Miko. Suaranya melengking naik beberapa oktaf saking menahan emosi. Sakit hatinya tadi seketika berubah menjadi amarah tingkat tinggi. Bisa-bisanya Miko mikir dia sereceh itu.
"Lah, terus?" Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, Miko kelimpungan mencari pembelaan diri yang lain.
Jingga menggeleng-geleng frustrasi akan ke-GR-an pria yang sayangnya beberapa waktu ini ia rasa telah dicintai sepenuh hati.
"Denger, ya! Mana ada, sih, cewek yang nggak sakit hati kalau cowoknya cerita habis jalan sama mantan pacar? Gila apa, ya?!"
"Tapi dia cinta pertamaku, Jingga. Kamu, kan, tahu, namanya cinta pertama itu susah buat dilupain gitu aja. Lagipula aku udah jujur sama kamu. Apa itu bukan sisi baikku? Kalau aku nggak bilang, kamu juga nggak akan tahu, kan? Dan nggak perlu kita sampai bertengkar kayak gini." Dengan entengnya, Miko mengutarakan pendapat. Ia seolah ingin berkata bahwa Jingga saja yang keterlaluan kalau masih marah, padahal dia sudah jujur mengakui.
Jingga memutar bola matanya jengah. Rasa kesalnya sudah naik ke ubun-ubun. Kalau terus meladeni Miko, bisa darah tinggi mendadak dia.
"Aku nggak peduli, ya! Dia cinta pertama kamu, kek. Cinta monyet kamu, kek. Yang jelas kamu udah selingkuh. Dan aku mau kita putus. Titik!"
Dihempaskannya tangan Miko yang menahan lengannya. Ia segera menaiki motor dan mengenakan helm, kemudian menstarter dan langsung tancap gas tanpa mempedulikan lagi Miko yang masih berusaha menahannya.
"Dasar cowok edan! Minta dimaklumin, katanya? Dikira aku cewek bego, apa? Udah jelas-jelas selingkuh, juga. Dan apa tadi dia bilang? Harus menghargai kejujuran? Bener-bener gak ada otak." Jingga ngedumel sendiri sambil mengendarai motor. Ia suka menumpahkan kekesalan di atas motor. Berkendara dengan kecepatan sedang, bersama deru angin yang lumayan kencang, membuatnya dapat mengomel sepanjang perjalanan tanpa takut ada telinga lain yang mendengar.
Beberapa kali ia melihat ke arah kaca spion untuk memeriksa apakah Miko mengejarnya atau tidak. Ia dibuat kecewa dengan kenyataan tak melihat siapa pun di belakangnya. Ah, ternyata setidak berharga itu dia di mata Miko.
Padahal selama enam bulan belakangan, ia merasa begitu cocok dengan pria itu. Berada di dekatnya selalu membuat dirinya merasa bangga dan menjadi cewek paling beruntung sedunia. Rupanya cinta memang sering kali membuat yang mengalaminya menjadi buta. Segala keburukan si pasangan seolah tertutupi oleh agungnya rasa.
Dengan terus terisak, Jingga akhirnya sampai juga di rumahnya. Rumah kecil nan asri berpagar besi hitam dengan angka 76 nangkring di pilar tembok pagarnya. Satu rumah yang tampak berbeda daripada rumah-rumah di sekitarnya, karena ada toko kecil yang menempel di samping rumah inti. Pagar hitamnya juga senantiasa terbuka separuh karena menjadi akses masuk bagi pembeli yang datang.
Toko milik ibunya ini menjual aneka sembako dan keperluan rumah tangga lainnya. Karena itu, biasanya banyak tetangga berkumpul, menyempatkan diri bercakap-cakap sebentar atau pun lama sesuka mereka sambil berbelanja. Ibu-ibu rumah tangga memang biasanya betah mengobrol berlama-lama. Ada saja yang mereka bicarakan. Dari harga-harga bahan dapur, sampai kadang urusan keluarga masing-masing juga ikut dibahas.
Jingga bersyukur sedang tidak ada pembeli ketika ia berbelok masuk ke halaman rumahnya. Setidaknya, ia tak harus menyapa atau berbasa-basi dengan mereka. Ia sedang sama sekali tidak mood untuk itu. Setelah memarkir motornya di teras depan, diusapnya air mata yang tersisa dan membetulkan riasan di wajah. Bukan riasan, sih. Ia tipe gadis yang cukup berbedak tipis dengan sapuan lipgloss saja sudah bisa sampai ke mana saja. Hanya memastikan pantulan di kaca spion wajahnya sudah tidak tampak sembab.
Ia tentu saja tak ingin orang rumah menyadari ia habis menangis. Ibunya bisa mendadak histeris. Apalagi sang adik, kekepoannya yang sering tidak pada tempatnya akan lebih membuat Jingga makin nyesek tingkat dewa. Dan sudah barang tentu perihal itu akan dibahas terus dan terus saja sampai ada titik terang apa sebab yang membuatnya sampai menangis. Jingga benar-benar tidak ingin membahasnya dengan siapa pun sekarang atau bahkan selamanya.
Biar ia simpan sendiri luka hati. Karena hanya yang mengalami, yang dapat mengerti betapa sakit saat setianya ternodai, juga hancurnya rasa ketika mencoba tulus mencintai, tetapi malah dikhianati.
Tepat saat hendak membuka pintu ruang tamu, ia dikejutkan oleh sang adik--Nila--yang memang kebiasaan suka usilnya tak tertolong lagi.
“Dor!" teriaknya dari balik pintu, membuat Jingga yang sedang bad mood seketika meradang.
“Nila!" Apa-apaan, sih! Ngagetin aja, deh!"
Nila hanya tertawa-tawa melihat kakaknya marah. Gadis ayu yang usianya terpaut empat tahun di bawah Jingga itu memang pembawaannya selalu ceria, humoris dan seperti tak pernah punya beban hidup.
Jingga melempar tatapan kesal ke arah adiknya. Yang ditatap bukannya minta maaf malah terus menggodanya.
"Ish, gitu aja ngamuk, sih, Mbak. Ntar cepet tua, lho!" ujar Nila dengan bibir sengaja dimonyong-monyongkan.
"Tuh, lihat, banyak kerutan di dahi, ckckck ... Mbak Jingga udah tua, ya ampun!" Nila terus menggoda kakaknya sambil pura-pura memperhatikan wajahnya dengan seksama.
"Eh, Mbak Jingga habis nangis, ya?" Seketika wajah Nila berubah sedikit cemas setelah tampak olehnya wajah sang kakak yang sembab dengan mata sedikit memerah.
“Jingga!" Terdengar seruan ibunya memanggil. Jingga berjengit kaget.
"Duh, gawat!" gumam Jingga dengan bibir terkatup rapat.
* * *
"Jangan lari-larian, Sayang. Nanti jatuh."Jingga berusaha mengejar Senja yang asyik berlarian di tengah halaman, meski sedikit kesulitan karena perutnya yang kini tengah membuncit, tetapi Jingga tetap berusaha mengejar sang Putri. Angkasa yang melihat hal tersebut dari dalam rumah segera berjalan dan menghampiri keduanya dengan tergesa."Sayang, jangan buat Mama repot, dong," kata Angkasa sambil menangkap dan menggendong Senja dalam pelukannya."Papa, kok yang lainnya belum datang, sih? Lama banget," ucap Senja dengan lucunya.Di umur yang baru menginjak lima tahun ini, Senja memang sudah sangat pandai. Sungguh baik Jingga ataupun Angkasa tak menyangka bahwa putri pertama mereka akan cerewet seperti sang Ibu, tetapi lumayan bijak seperti sang Ayah."Nanti, sebentar lagi pasti yang lainnya akan segera datang. Makanya Senja harus jadi anak baik, ya. Jangan nakal, dan jangan lari-lari, kasihan Mama," lanjut Angkasa sambil menunjuk ke arah Jingga.Jingga balas ter
Jingga mulai merasa bosan hanya berdiam diri di rumah saja. Semua karena dia sedang berada dalam masa pemulihan pasca operasi. Sungguh meskipun Jingga bersyukur dia bisa melewati semua ini hingga dapat bertemu dengan bayi cantiknya ini. Namun, terkadang jika sedang sendiri, Jingga kembali merutuki nasibnya.Dia merasa sangat tidak berguna sebagai seorang wanita. Selama ini dia hanya bisa menyusahkan Angkasa saja. Sesekali Jingga terkenang akan masa lalunya. Bagaimana keegoisannya mengalahkan apa pun. Terutama jika sedang ada masalah bersama dengan Angkasa. Jingga tak pernah mau mendengar alasan apa pun. Dia merasa semua perbuatan yang dia lakukan adalah benar.Jingga juga teringat bagaimana dulu dia kabur ke Banyuwangi, ke rumah sang Nenek hanya untuk menghindari Angkasa. Namun, tak dinyana lelaki tersebut justru mengejar dan mencarinya sampai ke sana. Sesampainya di sana pun, Angkasa harus menerima kenyataan pahit. Jingga mengusirnya pulang, dengan kekecewaan yang
Angkasa menggendong dan menciumi bayi perempuan yang cantik serta lucu itu. Setelah mengazaninya, dia kemudian menimang-niman buah cintanya bersama Jingga tersebut. Jingga yang masih belum sadar betul dari proses pembiusan, hanya bisa menggerakkan kepalanya dan tersenyum lega."Anak kita cantik, sama kaya ibunya," kata Angkasa sambil tersenyum hangat."Iya," jawab Jingga singkat."Kalau gitu, karena anaknya perempuan, kita sudah sepakat, kan, memberi nama siapa?" tanya Angkasa kemudian."Senja," sahut Jingga lirih."Ya, Senja, karena dia memang lahir di sore hari. Senja Nurinda, bagaimana, Sayang? Kamu setuju kalau namanya Senja Nurinda?" Angkasa bertanya lagi."Nama yang bagus, Sayang," jawab Jingga sambil berusaha tersenyum."Hey, kamu nggak apa-apa, kan, Sayang?" Angkasa bertanya dengan nada suara panik."Maaf, Pak, nggak apa-apa, ini adalah hal yang wajar terjadi pasca operasi sesar. Bapak tenang dulu, ya. Kami akan segera pindahkan Ibu dan a
Akhirnya setelah melalui beberapa kali diskusi, bukan hanya antara Jingga dan juga Angkasa. Sepasang suami istri tersebut akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran dari dokter kandungan yang selama ini memeriksa kandungan Jingga. Opsi operasi dipilih demi kebaikan sang ibu dan juga bayinya.Sebelum hari dan tanggal operasi ditentukan, sang dokter juga berbicara beberapa hal pribadi khususnya kepada Angkasa. Bu Dokter itu menjelaskan banyak hal kepada suami Jingga tersebut. Hal yang paling penting ketika seorang istri menjalani operasi sesar adalah dukungan dari orang-orang terdekatnya, terutama dari suami."Melahirkan secara sesar jangan dikira mudah, Pak. Akan ada begitu banyak tekanan dan juga perawatan pasca operasi, hal tersebut yang harus Bapak Angkasa perhatikan," ucap Bu Dokter sambil menatap Angkasa lekat."Maksudnya bagaimana, Bu? Bukankah jika melahirkan secara operasi, banyak yang bilang akan lebih mudah karena tidak memerlukan banyak tenag
Menatap Jingga yang sedang tertidur dengan pulasnya, membuat hati Angkasa terenyuh. Bagaimana tidak? Kali ini penyesalan datang kepada Angkasa berkali-kali lipat dari sebelumnya. Dia merasa apa yang terjadi kepada sang istri sekarang karena larangannya terhadap Jingga untuk keluar rumah dan membantu persiapan acara pernikahan Nindy dan juga Nila.Jingga kemungkinan merasa stress dan tertekan karena tidak bisa membantu melakukan apa pun bagi kedua orang tercinta dan terdekatnya tersebut. Jika saja waktu bisa diputar kembali, Angkasa pasti tidak akan membiarkan sang istri sampai mengalami hal buruk seperti ini.Angkasa benar-benar menyesal, dia sungguh tak menyangka kekerasan hati dan keegoisannya kepada Jingga justru berakhir menyedihkan. Untunglah keselamatan sang istri masih dalam perlindungan Tuhan, sehingga baik Jingga maupun calon bayi yang ada dalam kandungannya masih bisa bertahan sampai kini.Saat sedang merenung, Angkasa tiba-tiba mendengar sedikit
Beberapa hari ini Angkasa terlihat sangat lelah. Dia memang menggantikan sang istri untuk mondar mandir ke acara persiapan pernikahan Nindy dan Nila. Angkasa menggantikan posisi sang istri untuk membantu persiapan acara akad di rumah sang mertua. Setelahnya dia berpindah tempat menuju rumah sang sepupu, Nindy, untuk membantunya menyiapkan segala urusan katering dan lain-lain.Bukan tanpa alasan Angkasa berbuat seperti itu. Dia tentu saja tidak ingin membuat Jingga khawatir karena tidak bisa membantu persiapan kedua orang terdekatnya itu. Angkasa bukan juga tidak tahu bagaimana perasaan Jingga. Namun, semua harus tegas dia lakukan demi menjaga kondisi kehamilan istrinya tersebut. Angkasa tentu tidak mau kejadian buruk yang hampir merenggut nyawa sang istri dan bayinya terulang kembali. Akan tetapi, hasilnya tubuh Angkasa terasa sangat lelah. Tak dimungkiri oleh Angkasa jika dia memang terlalu menguras tenaganya selama beberapa hari ini. Namun, dia tak ingin membuat
Hanya setetes air mata yang terjatuh dari sudut mata Jingga, tetapi dapat meluluh lantakkan semua perasaan yang ada pada diri Angkasa. Sebabnya tentu saja, dia tak sanggup jika melihat Jingga menangis. Angkasa kemudian segera menghampiri Jingga, mengusap air mata yang menetes di pipinya, kemudian mengecup kening sang istri mesra."Kita berangkat sekarang," kata Angkasa tanpa pikir panjang.Biarlah dia yang mengalah lagi demi kebahagiaan sang istri. Memeriksa keadaan mobil, bisa sambil berjalan nanti. Untuk urusan kedai dan izin kepada keluarga, bukankah bisa didapat dalam perjalanan dan diurus melalui sambungan telepon?Angkasa lagi-lagi harus kuat, tabah, dan juga mengalah. Dia tak mampu jika melihat air mata Jingga menetes karena dirinya. Dalam hal yang terjadi barusan, Angkasa mengira dialah yang telah membuat Jingga menangis. Padahal yang sesungguhnya, Jingga menangis karena pemikirannya sendiri. Namun, Jingga juga tak menolak ajakan suaminya. Wanita y
Setelah sampai di rumah, Jingga langsung disuruh beristirahat oleh suaminya. Jingga tentu saja tidak bisa menolak. Terlebih Angkasa juga selalu mengingatkan akan kejadian yang barusan dia alami. Dan Jingga tidak mau hal tersebut sampai terulang kembali. Jingga sedang berusaha memejamkan mata ketika Angkasa berpamitan dengannya. Suaminya tersebut akan segera mencarikan ayam bakar madu yang Jingga inginkan. Jingga merasa sangat beruntung, ternyata dalam diamnya Angkasa, dia terus saja memperhatikan kondisi dan kemauan Jingga."Hati-hati, ya, Sayang. Aku juga pesan teh hangatnya dari sana, ya. Kalau bisa jangan terlalu manis tehnya," kata Jingga sambil tersenyum."Beres, Sayang. Aku pergi sekarang. Kamu jangan terlalu banyak bergerak, ya. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu lagi," sahut Angkasa.Jingga hanya mengangguk tanda dia sudah memahami apa yang disampaikan oleh suaminya. Angkasa segera mengecup kening Jingga dan beranjak pergi.
"Kita pulang sekarang, ya, Sayang," bujuk Angkasa ketika melihat Jingga yang kelelahan.Wajah Jingga terlihat pucat pasi, dan keringat dingin juga mengalir di pelipisnya. Angkasa begitu mengkhawatirkan keadaan sang istri. Maklum saja, dokter sudah memperingatkan kepada Jingga agar tidak terlalu lelah dalam usia kandungannya sekarang. Namun, apa boleh buat, Jingga memang keras kepala.Saat dia mendengar tentang rencana pertunangan sang Adik, dia bersikeras ingin membantu Nila untuk mempersiapkan semuanya. Meskipun baik Nila maupun keluarganya yang lain telah memberikan peringatan kepada Jingga, tetapi bukan Jingga namanya jika tidak keras kepala."Nanti dulu, Sayang. Masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan," tolak Jingga lembut."Sayang, kondisi kamu tidak memungkinkan. Coba lihat wajahmu sudah pucat bagaikan mayat," balas Angkasa sedikit kesal.Terkadang Angkasa benar-benar merasa Jingga terlalu keras kepala. Dia bahkan mengingat m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments