Tampak olehnya sang ibu berjalan ke arah pintu tepat di mana ia tengah ditahan oleh Nila.
"Udah pulang, kamu? Tumbenan sore amat? Lembur, ya?" Ibunya memberondong pertanyaan karena cemas Jingga pulang terlambat gara-gara tadi diajak ketemuan oleh Miko sepulang kerja.
"Anu ... iya, Bu. Lembur sebentar tadi, kejar target," jawabnya berbohong.
"Mbak Jingga habis nangis juga, tuh, Bu, kayaknya," celetuk Nila masih dengan memperhatikan kakaknya.
Jingga menggeleng keras dan menjawab cepat, "Nggak kok, Bu. Ini tadi kaca helmnya aku buka jadi mata kelilipan debu dikit, nih." Dikuceknya mata dengan jemari untuk lebih menguatkan alasan yang diutarakan.
Nila dan ibunya saling berpandangan tanpa rasa curiga. Jingga memang terlalu introvert untuk bisa terbuka menceritakan permasalahan pribadinya, bahkan kepada ibunya sekali pun. Segera ditinggalkannya sang adik yang super jahil bersama ibunya yang tengah mengangguk-angguk maklum. Terbersit sedikit rasa bersalah dalam batinnya karena telah berbohong. Namun, apa mau dikata, ia tak ingin sang ibu tahu kejadian yang sebenarnya.
Ia bergegas pergi ke kamar. Di sana adalah spot terbaik yang aman untuk menumpahkan segala sesak di dadanya saat ini. Dihempaskannya tubuh ke atas ranjang berbedcover bugs bunny. Ya, ia memang penyuka karakter kartun kelinci si bugs bunny. Seluruh kamarnya dari mulai hiasan gantung pintu, boneka, stiker di kaca rias sampai lemari, juga printilan aksesori dinding, semuanya all about bugs bunny.
Tidak ada alasan khusus sebenarnya. Jingga hanya suka warna abu-abu yang mendominasi karakter kartun itu. Meskipun namanya Jingga, menurutnya abu-abu lebih cocok dengan kepribadiannya yang kalem, pemalu dan tidak suka jadi pusat perhatian.
Sembari berbaring tertelungkup, kembali ia menangis sesenggukan. Bukan, bukan menangisi kehilangan sosok Miko. Ia lebih menangisi kemalangan nasibnya yang entah telah melakukan dosa besar apa sehingga telah berkali-kali jatuh cinta dan kesemuanya berakhir dengan mengenaskan.
Saat memutuskan menerima pernyataan cinta Miko, ia merasa Miko bisa menjadi pengganti mantannya. Ia merasa, Miko tampak baik dan setia. Ternyata, dia sama saja dengan yang lain. Hanya baik di depan, sementara di belakang ia mendua. Jingga masih terus tergugu dalam senyap, menutup wajahnya dengan bantal agar isaknya tak terdengar sampai ke luar kamar.
Kilasan-kilasan memori awal pertemuan dan perjalanan kisah cintanya bersama Miko seolah muncul ke permukaan ingatan. Membuat luka patah hatinya semakin terasa perih bagai tengah ditaburi garam. Terasa nyeri di ulu hati, layaknya seonggok daging yang ditusuk dengan sebilah belati.
Saat itu ia tengah menghadiri kondangan di acara pernikahan salah seorang teman kerjanya. Ia datang bersama beberapa kawan sepulang kerja. Hanya dengan mengenakan jaket untuk menyamarkan seragam karyawan, mereka ikut berdesakan dengan para tamu undangan lain.
Sebuah tenda besar berhiaskan kain rumbai warna gading dengan pinggiran keemasan yang tampak elegan terpasang di pelataran dan separuh jalanan depan rumah mempelai. Berset-set meja kursi yang ditata membundar saling berderet dengan tudung berwarna senada.
Suara alunan musik senandung islami yang khas diputar saat acara pernikahan terdengar riuh di telinga bercampur dengan kebisingan para tamu undangan yang tampaknya memang sedang ramai-ramainya saat selepas Maghrib begitu.
Jingga memandang ke arah pelaminan dan mendapati sang kawan tengah duduk berdua di sana. Sungguh cantik dan tampan, perpaduan yang cocok dengan gaun indah serta jas pengantin yang keren.
"Aduduhhh!" Tiba-tiba terdengar dari balik punggungnya suara seorang pria mengaduh.
Rupanya, Jingga tanpa sengaja telah menginjak kaki seseorang di belakangnya saat tiba-tiba ia mundur karena di depan terhalang orang yang hendak berdiri dari kursinya. Spontan ia berbalik dan mengucap maaf berkali-kali tanpa memandang wajah pria malang pemilik suara yang mengaduh tersebut.
Karena tak didengarnya sahutan si pria yang mengaduh, ia terpaksa mendongak dan tampak pria di hadapan yang rupanya lumayan tampan, dengan alis tebal dan rambut sedikit ikal sedang menahan tawa dengan cara menangkupkan tangan ke mulutnya.
Seketika Jingga berubah kesal karena merasa ditertawakan, entah apa yang menurut pria itu lucu, ia membatin bertanya-tanya.
"Nggak sakit, ya? Ya udah gak jadi minta maaf!" ketusnya sambil kembali berbalik mengikuti kawan-kawannya yang tampak telah duduk di deretan kursi undangan dekat pelaminan. Ia mengabaikan pria berkemeja marun lengan pendek dan celana jeans abu-abu yang ternyata jadi terus memandanginya setelah insiden kecil itu.
Selesai sesi makan-makan dan berfoto bersama mempelai, rombongan Jingga pun berpamitan. Mereka berenam kembali ke tempat parkir motor kemudian saling berpamitan pulang ke rumah masing-masing.
Dua hari setelah itu, ada pesan di aplikasi hijau ponsel Jingga dari nomor tak dikenal.
[Hei, tukang nginjek kaki orang]
Spontan kening Jingga berkerut membaca pesan aneh itu.
"Siapa, nih?" Ia menggumam penuh tanya sambil mengetikkannya di papan ketik layar.
[Yah, dia sudah lupa habis nginjek kaki orang sampe bengkak pas kemaren di nikahan Imel]
Jingga segera ingat sosok si pria tampan dengan raut wajahnya yang menyebalkan saat menertawainya waktu itu. Segera diketiknya pesan balasan,
[Ooh, kamu! Kok bisa punya nomorku?]
[Udah inget? Tanggung jawab! Bengkak nih kaki]
[Ah, masa' sih bengkak? Kakiku kecil ini, pake sepatu kets juga, gak ada hak sepatunya, mana bisa bikin bengkak, coba!]
[Ya ampun, yang diinjek aku, yang marah-marah kok situ?]
[Yo dah maaf, sorryyyy. Kamu siapa? Imel yang kasih nomorku ke kamu?]
Itulah awal komunikasi Jingga dan Miko. Ternyata Miko adalah tetangga Imel yang saat itu sedang bantu-bantu di rumah Imel sebagai bentuk solidaritas tetangga. Dia bilang sudah memaksa Imel memberikan nomor Jingga dengan menunjukkan foto di ponselnya. Beruntung Jingga sempat berfoto dengan mempelai di atas pelaminan sehingga Miko pun berkesempatan mengambil foto dengan kamera ponselnya sendiri.
Mereka berdua semakin intens berkomunikasi, karena Jingga menyukai gaya humoris Miko. Setelah semakin tampak rasa saling tertarik mereka, Miko pun memberanikan diri untuk mengajak Jingga berpacaran. Enam bulan sudah mereka menjalin hubungan yang sebelumnya tampak selalu indah dan baik-baik saja. Setidaknya dalam penglihatan Jingga sendiri.
Miko berwirausaha dengan membuka sebuah bengkel motor di daerah dekat rumahnya. Karena itu, jam kerjanya bebas dan bisa dengan mudah baginya pergi ke tempat kerja Jingga di jam makan siang untuk mengajak kekasihnya makan bersama. Atau tiba-tiba datang menjemput saat jam pulang kerja padahal tahu Jingga juga bawa motor sendiri. Kangen, katanya selalu.
Ah, rupa-rupanya semua seakan hanya ilusi sesaat. Kebahagiaan dan kebersamaan mereka selama ini sama sekali tak berarti apa-apa di mata Miko. Dengan mudahnya ia berkata cuma sedang bernostalgia sebentar dengan sang mantan dan berharap Jingga dapat maklum karena wanita itu adalah cinta pertamanya!
“Sialan!" Dipukulinya guling yang sedari tadi ia dekap.
"Semua cowok di dunia sama aja br*ngs*knya!" Ia mengomel sebal. Terus dipukulinya guling tak bersalah itu demi untuk meluapkan sedikit amarahnya setelah lelah menangis.
“Jingga! Makan malam, Nak!"
Tiba-tiba terdengar suara ibunya memanggil dari ruang makan. Jingga spontan menoleh ke arah jam dinding dan mendapati hari sudah petang. Astaga! Dia menangis terlalu lama sampai tak sadar waktu.
"Jingga udah makan di luar tadi. Tinggal aja, Bu!" serunya menjawab dengan suara diusahakan sewajar mungkin.
Selera makannya sama sekali hilang. Tak ada rasa lapar meski semenjak siang tak sedikit pun makanan masuk ke perutnya. Yang terasa kini hanya sakit hati saja. Sakitnya seperti ditusuk-tusuk benda tajam, semakin lama terasa semakin dalam menghunjam dan meninggalkan perih berkepanjangan.
Jingga segera bangkit dari ranjang, lalu beranjak ke meja rias untuk memeriksa seberapa sembab wajahnya. Setelah dirasa tak seberapa terlihat, ia keluar untuk ke kamar mandi yang berada di sebelah dapur.
"Udah makan beneran, Mbak?" Nila bertanya saat Jingga melewati seberang meja makan.
"He-em," Dengan sedikit menyembunyikan wajah di balik handuk yang ia bawa, Jingga menjawab pelan.
"Kalo gitu rendangnya buat aku semua, ya?" Mata Nila berbinar riang.
"Terserah!" jawab Jingga sekenanya
"Assseeek!" Nila bersorak sambil memindahkan jatah lauk sang kakak ke atas piringnya sendiri. Beruntung ayah dan ibunya sedang sibuk mengomentari tingkah adiknya itu, sehingga Jingga lolos dari perhatian mereka.
* * *
Jingga Kartika Putri, begitu ayahnya memberi nama anak sulung yang lahir di tanggal 11 bulan Juli 1996 itu. Dia memang lahir pada saat senja di ufuk barat sedang berwarna jingga begitu indahnya setelah sejak Subuh sang ibu menggeliat-geliat kesakitan akibat kontraksi di sebuah klinik bidan terdekat dari rumah mereka. Anak pertama memang selalu merupakan kejutan istimewa. Dulu di masa itu, belum marak ada pemeriksaan USG untuk memeriksa jenis kelamin si janin. Namun, biasanya para tetua di keluarga, nenek kakeknya memiliki keyakinan dengan melihat ciri-ciri dari si ibu hamil mengenai kelak bayi yang lahir itu laki-laki atau kah perempuan. Saat itu nenek dari pihak ibu Jingga meyakini bahwa calon cucu mereka adalah laki-laki. Karena itulah, mereka sekeluarga menyiapkan nama bagi anak lelaki. Namun, yang lahir ternyata perempuan, sehingga ayahnya berpikir cepat tanpa perencanaan mengenai namanya. "Jingga saja namanya,
“Jingga, bisa tolong ikut ke ruangan saya sebentar?" Bu Tutik, sang Kepala Bagian menghampiri meja kerjanya beberapa menit setelah jam kerja dimulai. Jingga yang baru saja sedang memulai tugasnya menyusun bahan sepatu dari bagian persiapan untuk dicek kemudian disetorkan ke bagian jahit, mendongak dan menjawab, "Maaf, Bu. Boleh saya panggil Nindy untuk nerusin cek bahan ini dulu? Soalnya hari ini sudah harus masuk job Line jahit." Line adalah sebutan untuk pembagian departemen jahit karena bentuk tim kerjanya yang berderet memanjang. Bu Tutik mengangguk sembari berkata ia menunggu Jingga secepatnya. "Baik, Bu. Nanti saya langsung nyusul." Ia pun bergegas menuju ke arah ruangan bagian jahit dan memanggil Nindy--salah seorang dari Line yang memang seringkali kebagian menggantikan dirinya saat Jingga sedang ditugaskan ke bagian lain atau membantunya saat job berbarengan datang sehingga J
"Udah sampai mana, Ndy?" Jingga mengawasi sebentar pekerjaan Nindy di meja cek bahan di mana biasanya ia yang menempati. Nindy mendongak sebentar kemudian menjawab lancar sambil kembali fokus pada bahan sepatu yang tengah ia susun per seri. "Ini aku tinggal size 37 dan 36 aja, besok udah bisa selesai dan bantuin si Via ngerjain job barunya." "Sip, kamu emang andalanku," ucap Jingga seraya mencubit lengan Nindy gemas. Nindy yang berbody chubby nan menggemaskan dengan kulit putih dan rambut ikal yang selalu dikuncir model cepol itu memonyongkan bibirnya lucu. Jingga terkekeh sambil beranjak meninggalkan mejanya menuju ke meja Via di seberang. Si empunya sedang mengambil bahan ke departemen Cutting, sehingga Jingga hanya mengecek buku berisi tabel laporan size dan jumlah yang telah dicek dan yang telah disetorkan ke Line. Dua hari ini Jingga tak pernah duduk di meja. Ia harus terus berkeliling untuk men
Rentetan notifikasi pesan dan daftar missed call segera saja memenuhi layar bagian atas HP Jingga sesaat setelah dinyalakan. Benar saja, kesemuanya dari Miko dan beberapa yang berlabel nama Imel. Ia sama sekali tak berniat membaca pesan-pesan dari Miko. Langsung saja yang ditujunya adalah chat dari Imel yang hanya berbunyi, [Tes] Ia mengetik pesan di kolom chat tersebut dengan panjang lebar menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Di paling bawah penjelasan, diakhirinya dengan kalimat tanya, [Nah, kalo kamu yang di posisiku, langsung mutusin dia apa nggak? Pasti iya juga, kan?] Tak lupa dibubuhkannya emot marah. Terkirim. Tanda centang hitam dua buah. "Huuuuft, leganya ...," desah Jingga sembari meletakkan HP di meja dan menyandarkan punggungnya yang terasa amat pegal di sandaran kursi kayu dengan busa empuk itu. Sungguh terlalu kalau sampai Imel masih membela Miko hanya karena alasan mereka bertetangga. Dia kan sesama wan
"Nak,"Jingga berjengit terkejut mendengar suara lembut ibunya yang entah sejak kapan berada di situ. Di pojokan ruang tamu."I-Ibu ... bikin kaget aja, deh," ujar Jingga terbata, mengira-ngira apakah ibunya telah mencuri dengar pembicaraannya dengan Miko barusan atau tidak."Kamu nggak apa-apa, Nak?" si ibu yang biasanya cerewet itu menanyainya lembut, seakan tahu putrinya tengah sekuat tenaga menahan gejolak dalam hati.Jingga menghela napas lemah. Ibunya pasti telah mendengar ihwalnya dengan Miko barusan. Tak ada gunanya lagi menyangkal, begitu pikirnya.Tanpa kata, Jingga menubruk ibunya dan menangis tersedu-sedu di dalam pelukan hangat wanita separuh baya tersebut. Ditumpahkannya air mata yang semenjak melihat raut wajah cemas sang ibu tadi telah menggenangi pelupuknya.Bu Setyowati mengelus-elus punggung juga membelai-belai rambut hitam panjangnya, berusaha memberikan ketenangan. Dibiarkannya Jingga menangis puas-puas agar ia bisa lega
Bu Setyowati yang duduk di sebelah Jingga segera menuangkan air putih dari teko ke dalam gelas dan mengulurkan kepadanya. Jingga pun langsung minum dengan sekali teguk."Duh, kekenyangan, nih. Jingga ke kamar dulu, ya," pamitnya, mencoba menghindar dari Nila yang mulai merecoki. Biarlah ibunya yang mungkin akan memberi penjelasan kepada Bapak dan Nila nanti, pikirnya. Dirinya sendiri sama sekali tak ingin mengungkit ataupun mendengar masalah itu lagi.Di kamar, ia melanjutkan aktivitas mengumpulkan barang dan foto kenangan bersama Miko. Tak lupa ia juga menghapus jejak digital dari HP maupun akun-akun sosmednya setelah memblokir nomor dan akun Miko.Sesegera mungkin ia harus move on. Hidup terus berjalan. Akan ditemukannya kebahagiaan-kebahagiaan lain di luar sana. Keluarga yang disayanginya, pekerjaan yang disukai, serta prestasi yang diperjuangkannya, itu semua layak mendapat perhatian lebih daripada sekedar mengingat masa lalu bersama mantan yan
Hari-hari kemudian dilalui Jingga hanya fokus kepada pekerjaan. Beberapa pandangan mencibir dan meremehkan yang diterimanya dari sesama karyawan yang tampaknya merasa iri atau tersaingi, dianggapnya justru sebagai penyemangat diri agar lebih meningkatkan prestasi lagi. Yang penting berikan yang terbaik, maka hasil yang terbaik pula yang akan mengikuti. Itu sudah hukum alam yang tak terbantahkan.Demi untuk melupakan rasa sakitnya akibat kehilangan cinta untuk kesekian kali dalam hidupnya, ia curahkan seluruh energi dan perhatiannya untuk bekerja. Nindy yang menyaksikan betapa keras usaha Jingga, terkadang menanyainya penasaran,"Tadi sarapan apa, sih? Manusia kok kayak nggak ada capeknya?"Jingga hanya tergelak mendengar seloroh temannya. Ia semakin dekat dengan Nindy semenjak mengerjakan job bersama. Tak disangkanya gadis gemoy itu ternyata cukup pengertian dan care. Seringkali ia memeriksa laci meja Jingga, hanya untuk mengecek apakah kotak bekal ada di situ a
Nila kesal sekali pada dirinya sendiri. Ia tadi sampai kelepasan bicara kalimat yang mungkin akan sangat menyakitkan bagi kakaknya. Apa daya, ia tersulut emosi karena sang kakak tak mau sedikit pun berbagi cerita kepadanya. Mereka kan kakak beradik yang sesama wanita, beda usia juga tak begitu jauh, seharusnya bisa saling curhat tanpa main rahasia segala, begitu isi pikirannya.Ia baru mendengar dari ibunya mengenai Jingga yang telah putus dengan sang kekasih. Si ibu juga tidak menceritakan alasan tepatnya, hanya berkata bahwa mereka belum jodoh saja. Jiwa kepo Nila tentu saja langsung meronta-ronta.Di samping itu, ia juga geram dengan kebiasaan sang kakak yang sering gonta ganti pacar. Ia tak tahu bahwa itu bukan keinginan Jingga. Kalau saja mereka bisa saling terbuka bercerita, Nila pasti akan sangat kasihan pada pengalaman-pengalaman buruk kakaknya dalam hal asmara.Sifat introvert Jingga terlalu dominan sehingga bahkan adiknya sendiri tak paham apa saja ihw
"Jangan lari-larian, Sayang. Nanti jatuh."Jingga berusaha mengejar Senja yang asyik berlarian di tengah halaman, meski sedikit kesulitan karena perutnya yang kini tengah membuncit, tetapi Jingga tetap berusaha mengejar sang Putri. Angkasa yang melihat hal tersebut dari dalam rumah segera berjalan dan menghampiri keduanya dengan tergesa."Sayang, jangan buat Mama repot, dong," kata Angkasa sambil menangkap dan menggendong Senja dalam pelukannya."Papa, kok yang lainnya belum datang, sih? Lama banget," ucap Senja dengan lucunya.Di umur yang baru menginjak lima tahun ini, Senja memang sudah sangat pandai. Sungguh baik Jingga ataupun Angkasa tak menyangka bahwa putri pertama mereka akan cerewet seperti sang Ibu, tetapi lumayan bijak seperti sang Ayah."Nanti, sebentar lagi pasti yang lainnya akan segera datang. Makanya Senja harus jadi anak baik, ya. Jangan nakal, dan jangan lari-lari, kasihan Mama," lanjut Angkasa sambil menunjuk ke arah Jingga.Jingga balas ter
Jingga mulai merasa bosan hanya berdiam diri di rumah saja. Semua karena dia sedang berada dalam masa pemulihan pasca operasi. Sungguh meskipun Jingga bersyukur dia bisa melewati semua ini hingga dapat bertemu dengan bayi cantiknya ini. Namun, terkadang jika sedang sendiri, Jingga kembali merutuki nasibnya.Dia merasa sangat tidak berguna sebagai seorang wanita. Selama ini dia hanya bisa menyusahkan Angkasa saja. Sesekali Jingga terkenang akan masa lalunya. Bagaimana keegoisannya mengalahkan apa pun. Terutama jika sedang ada masalah bersama dengan Angkasa. Jingga tak pernah mau mendengar alasan apa pun. Dia merasa semua perbuatan yang dia lakukan adalah benar.Jingga juga teringat bagaimana dulu dia kabur ke Banyuwangi, ke rumah sang Nenek hanya untuk menghindari Angkasa. Namun, tak dinyana lelaki tersebut justru mengejar dan mencarinya sampai ke sana. Sesampainya di sana pun, Angkasa harus menerima kenyataan pahit. Jingga mengusirnya pulang, dengan kekecewaan yang
Angkasa menggendong dan menciumi bayi perempuan yang cantik serta lucu itu. Setelah mengazaninya, dia kemudian menimang-niman buah cintanya bersama Jingga tersebut. Jingga yang masih belum sadar betul dari proses pembiusan, hanya bisa menggerakkan kepalanya dan tersenyum lega."Anak kita cantik, sama kaya ibunya," kata Angkasa sambil tersenyum hangat."Iya," jawab Jingga singkat."Kalau gitu, karena anaknya perempuan, kita sudah sepakat, kan, memberi nama siapa?" tanya Angkasa kemudian."Senja," sahut Jingga lirih."Ya, Senja, karena dia memang lahir di sore hari. Senja Nurinda, bagaimana, Sayang? Kamu setuju kalau namanya Senja Nurinda?" Angkasa bertanya lagi."Nama yang bagus, Sayang," jawab Jingga sambil berusaha tersenyum."Hey, kamu nggak apa-apa, kan, Sayang?" Angkasa bertanya dengan nada suara panik."Maaf, Pak, nggak apa-apa, ini adalah hal yang wajar terjadi pasca operasi sesar. Bapak tenang dulu, ya. Kami akan segera pindahkan Ibu dan a
Akhirnya setelah melalui beberapa kali diskusi, bukan hanya antara Jingga dan juga Angkasa. Sepasang suami istri tersebut akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran dari dokter kandungan yang selama ini memeriksa kandungan Jingga. Opsi operasi dipilih demi kebaikan sang ibu dan juga bayinya.Sebelum hari dan tanggal operasi ditentukan, sang dokter juga berbicara beberapa hal pribadi khususnya kepada Angkasa. Bu Dokter itu menjelaskan banyak hal kepada suami Jingga tersebut. Hal yang paling penting ketika seorang istri menjalani operasi sesar adalah dukungan dari orang-orang terdekatnya, terutama dari suami."Melahirkan secara sesar jangan dikira mudah, Pak. Akan ada begitu banyak tekanan dan juga perawatan pasca operasi, hal tersebut yang harus Bapak Angkasa perhatikan," ucap Bu Dokter sambil menatap Angkasa lekat."Maksudnya bagaimana, Bu? Bukankah jika melahirkan secara operasi, banyak yang bilang akan lebih mudah karena tidak memerlukan banyak tenag
Menatap Jingga yang sedang tertidur dengan pulasnya, membuat hati Angkasa terenyuh. Bagaimana tidak? Kali ini penyesalan datang kepada Angkasa berkali-kali lipat dari sebelumnya. Dia merasa apa yang terjadi kepada sang istri sekarang karena larangannya terhadap Jingga untuk keluar rumah dan membantu persiapan acara pernikahan Nindy dan juga Nila.Jingga kemungkinan merasa stress dan tertekan karena tidak bisa membantu melakukan apa pun bagi kedua orang tercinta dan terdekatnya tersebut. Jika saja waktu bisa diputar kembali, Angkasa pasti tidak akan membiarkan sang istri sampai mengalami hal buruk seperti ini.Angkasa benar-benar menyesal, dia sungguh tak menyangka kekerasan hati dan keegoisannya kepada Jingga justru berakhir menyedihkan. Untunglah keselamatan sang istri masih dalam perlindungan Tuhan, sehingga baik Jingga maupun calon bayi yang ada dalam kandungannya masih bisa bertahan sampai kini.Saat sedang merenung, Angkasa tiba-tiba mendengar sedikit
Beberapa hari ini Angkasa terlihat sangat lelah. Dia memang menggantikan sang istri untuk mondar mandir ke acara persiapan pernikahan Nindy dan Nila. Angkasa menggantikan posisi sang istri untuk membantu persiapan acara akad di rumah sang mertua. Setelahnya dia berpindah tempat menuju rumah sang sepupu, Nindy, untuk membantunya menyiapkan segala urusan katering dan lain-lain.Bukan tanpa alasan Angkasa berbuat seperti itu. Dia tentu saja tidak ingin membuat Jingga khawatir karena tidak bisa membantu persiapan kedua orang terdekatnya itu. Angkasa bukan juga tidak tahu bagaimana perasaan Jingga. Namun, semua harus tegas dia lakukan demi menjaga kondisi kehamilan istrinya tersebut. Angkasa tentu tidak mau kejadian buruk yang hampir merenggut nyawa sang istri dan bayinya terulang kembali. Akan tetapi, hasilnya tubuh Angkasa terasa sangat lelah. Tak dimungkiri oleh Angkasa jika dia memang terlalu menguras tenaganya selama beberapa hari ini. Namun, dia tak ingin membuat
Hanya setetes air mata yang terjatuh dari sudut mata Jingga, tetapi dapat meluluh lantakkan semua perasaan yang ada pada diri Angkasa. Sebabnya tentu saja, dia tak sanggup jika melihat Jingga menangis. Angkasa kemudian segera menghampiri Jingga, mengusap air mata yang menetes di pipinya, kemudian mengecup kening sang istri mesra."Kita berangkat sekarang," kata Angkasa tanpa pikir panjang.Biarlah dia yang mengalah lagi demi kebahagiaan sang istri. Memeriksa keadaan mobil, bisa sambil berjalan nanti. Untuk urusan kedai dan izin kepada keluarga, bukankah bisa didapat dalam perjalanan dan diurus melalui sambungan telepon?Angkasa lagi-lagi harus kuat, tabah, dan juga mengalah. Dia tak mampu jika melihat air mata Jingga menetes karena dirinya. Dalam hal yang terjadi barusan, Angkasa mengira dialah yang telah membuat Jingga menangis. Padahal yang sesungguhnya, Jingga menangis karena pemikirannya sendiri. Namun, Jingga juga tak menolak ajakan suaminya. Wanita y
Setelah sampai di rumah, Jingga langsung disuruh beristirahat oleh suaminya. Jingga tentu saja tidak bisa menolak. Terlebih Angkasa juga selalu mengingatkan akan kejadian yang barusan dia alami. Dan Jingga tidak mau hal tersebut sampai terulang kembali. Jingga sedang berusaha memejamkan mata ketika Angkasa berpamitan dengannya. Suaminya tersebut akan segera mencarikan ayam bakar madu yang Jingga inginkan. Jingga merasa sangat beruntung, ternyata dalam diamnya Angkasa, dia terus saja memperhatikan kondisi dan kemauan Jingga."Hati-hati, ya, Sayang. Aku juga pesan teh hangatnya dari sana, ya. Kalau bisa jangan terlalu manis tehnya," kata Jingga sambil tersenyum."Beres, Sayang. Aku pergi sekarang. Kamu jangan terlalu banyak bergerak, ya. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu lagi," sahut Angkasa.Jingga hanya mengangguk tanda dia sudah memahami apa yang disampaikan oleh suaminya. Angkasa segera mengecup kening Jingga dan beranjak pergi.
"Kita pulang sekarang, ya, Sayang," bujuk Angkasa ketika melihat Jingga yang kelelahan.Wajah Jingga terlihat pucat pasi, dan keringat dingin juga mengalir di pelipisnya. Angkasa begitu mengkhawatirkan keadaan sang istri. Maklum saja, dokter sudah memperingatkan kepada Jingga agar tidak terlalu lelah dalam usia kandungannya sekarang. Namun, apa boleh buat, Jingga memang keras kepala.Saat dia mendengar tentang rencana pertunangan sang Adik, dia bersikeras ingin membantu Nila untuk mempersiapkan semuanya. Meskipun baik Nila maupun keluarganya yang lain telah memberikan peringatan kepada Jingga, tetapi bukan Jingga namanya jika tidak keras kepala."Nanti dulu, Sayang. Masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan," tolak Jingga lembut."Sayang, kondisi kamu tidak memungkinkan. Coba lihat wajahmu sudah pucat bagaikan mayat," balas Angkasa sedikit kesal.Terkadang Angkasa benar-benar merasa Jingga terlalu keras kepala. Dia bahkan mengingat m