Home / Romansa / Menjadi Istri Keponakan sang Mantan / Bab 3 : Pertemuan Tak Terduga

Share

Bab 3 : Pertemuan Tak Terduga

Author: Vanilla_Nilla
last update Last Updated: 2025-01-24 17:00:50

Cermin besar di sudut kamar memantulkan bayangan Sophia yang tengah bersiap. Jemari rampingnya dengan cermat mengancingkan perhiasan sederhana di lehernya—sebuah kalung perak kecil dengan liontin berbentuk bunga yang pernah diberikan almarhum neneknya.

Gaun satin biru langit yang ia kenakan pas di tubuh, mengalir anggun hingga menutupi lutut. Rambut hitam yang biasanya tergerai, kali ini digulung ke atas dengan beberapa helaian dibiarkan jatuh.

Namun, matanya yang cokelat gelap menyiratkan kegelisahan. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Di seberang kamar, Rose berdiri dengan tangan terlipat di dada, mengamati putrinya yang tengah berdandan.

“Kamu terlihat cantik, Sophia.”

Sophia hanya mengangguk. “Apakah aku harus bertemu dengannya sekarang?”

Rose menghela napas. “Ini untuk masa depanmu, Sophia.”

Robert muncul di ambang pintu, mengenakan setelan jas hitam yang tidak terlalu sering ia pakai. “Waktunya berangkat,” katanya tegas. “Jangan membuat keluarga ini terlihat buruk di hadapan mereka.”

Sophia menahan komentar yang hampir meluncur dari bibirnya. Ia mengambil tas clutch kecilnya dan mengikuti kedua orang tuanya ke luar rumah.

Mobil hitam mengkilap milik Robert meluncur tenang di sepanjang jalan raya kota Austin yang mulai sepi. Di dalam mobil, suasana terasa berat. Sophia duduk di kursi belakang, memperhatikan bayangan gedung-gedung tinggi yang melesat di luar jendela. Tangannya menggenggam erat tas kecilnya, seolah itu bisa menenangkan degup jantungnya yang tidak beraturan.

Rose yang duduk di samping Robert di depan, sesekali melirik ke belakang, memastikan putrinya tetap tenang.

Sementara Robert hanya fokus pada kemudi. “Ingat, Sophia. Jangan menunjukkan sikap kasar. Orang yang akan kamu temui ini memiliki pengaruh besar. Jangan membuat malu keluarga kita.”

Sophia hanya mendesah pelan. Ia tidak membalas, tetapi pikirannya melayang jauh. Siapa lelaki yang akan ia temui? Dan mengapa semua ini terasa seperti hukuman?

Setelah beberapa menit, mobil berhenti di depan sebuah mansion megah. Bangunan itu berdiri menjulang dengan dinding putih berornamen klasik, lengkap dengan pilar-pilar besar di depan pintu masuknya. Di gerbang, tulisan ‘Williams Mansion’ terukir di atas papan emas besar yang berkilauan di bawah lampu malam.

Mata Sophia membelalak, sementara Rose menutup mulutnya, terkejut melihat kemewahan yang terpampang di depan mereka. Bahkan Robert, yang biasanya tenang, terlihat kehilangan kata-kata sejenak.

“Ini ... ini tempat mereka?” gumam Rose, suaranya hampir tak terdengar.

Robert hanya mengangguk, menarik napas dalam sebelum membuka pintu mobil. “Jaga sikap kalian. Kita di sini bukan sebagai tamu biasa.”

Sophia turun dari mobil dengan hati-hati, tumit tinggi sepatunya mengetuk pelan jalanan berlapis batu. Ia mendongak, menatap mansion itu sekali lagi. Jendela-jendela besar dengan tirai berat menjuntai indah.

Pintu besar terbuka, dan seorang pria tua berusia sekitar lima puluhan melangkah keluar. Penampilannya rapi dengan setelan jas abu-abu yang dipadukan dasi merah.

“Selamat malam, Tuan dan Nyonya,” sapanya sopan. “Saya Lewis, kepala pelayan keluarga Williams. Tuan besar sedang menunggu kalian di ruang utama. Silakan masuk.”

Rose mengangguk kikuk, sementara Robert menjawab dengan formalitas. “Terima kasih, Lewis.”

Sophia mengikuti mereka masuk, matanya terus memandang sekeliling. Interior mansion itu tidak kalah mengesankan. Lantai marmer yang berkilauan memantulkan lampu gantung kristal besar yang tergantung di langit-langit. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan klasik berbingkai emas, sementara karpet merah tebal membentang di sepanjang lorong menuju ruang utama.

Langkah kaki mereka terhenti di depan pintu ganda besar yang dijaga oleh dua pelayan lain. Lewis membuka pintu itu perlahan, sebuah ruang luas dengan sofa kulit mewah, perapian besar, dan meja panjang berisi minuman sudah terlihat jelas. Memperlihatkan seorang pria tua yang berjalan perlahan dengan tongkat kayu berukir di tangan kanannya.

Pria itu adalah William Arthur Williams, pemilik Williams Group, salah satu konglomerasi terbesar di negeri ini.

“Selamat malam, Tuan Robert, Nyonya Rose, dan tentu saja, Sophia.” William menyambut mereka.

Robert melangkah maju, membungkuk hormat sambil menjabat tangan William. “Selamat malam, Tuan William. Terima kasih telah menerima kami di rumah Anda yang indah.”

“Keluargaku telah menunggu untuk bertemu dengan kalian.” Tatapan William beralih ke Sophia, matanya mengamati gadis itu sejenak. “Kamu pasti Sophia.”

Sophia mengangguk sopan, meski hatinya berdegup kencang. “Selamat malam, Tuan William. Terima kasih telah mengundang kami.”

William tersenyum tipis, lalu melirik ke arah pintu. “David, Edward, masuklah.”

Suara langkah mendekat mengiringi dua pria yang masuk ke dalam ruangan. Yang pertama adalah seorang pria muda dengan postur tegap, mengenakan setelan navy blue yang terjahit sempurna. Wajahnya tampan dengan garis rahang tegas, alis hitam tebal, dan sepasang mata abu-abu dingin yang menatap Sophia sejenak sebelum beralih pada keluarganya.

“Ini David,” ujar William sambil memperkenalkan pemuda itu. “Cucuku, dan orang yang ingin aku perkenalkan kepada Sophia.”

David melangkah mendekat, mengulurkan tangan. “David,” sapanya.

Sophia menyambut uluran tangan itu dengan ragu-ragu. Jemarinya yang halus bersentuhan dengan tangan David yang dingin dan kokoh. “Senang bertemu dengan Anda,” balasnya.

David hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Namun, tatapannya yang tajam membuat Sophia merasa seolah ia tengah dinilai.

Di belakang David, seorang pria lain masuk, mengenakan setelan abu-abu yang lebih santai. Wajahnya menunjukkan usia yang sedikit lebih tua, mungkin sekitar akhir empat puluhan. Rambut cokelat gelapnya disisir dengan rapi, dan senyumnya sedikit lebih hangat dibandingkan David.

“Ini Edward,” lanjut William. “Anakku yang kedua.”

Edward melangkah maju, senyum ramah menghiasi wajahnya. “Selamat malam. Saya Edward, paman dari David.”

Rose dan Robert menyambut dengan sopan, sementara Sophia hanya mengangguk. Edward tampak lebih terbuka, berbeda dari kesan dingin yang ditampilkan David.

“Silakan duduk,” ujar William, mempersilakan mereka ke sofa mewah di tengah ruangan. Pelayan segera datang membawa minuman.

Saat semua sudah duduk, William mulai berbicara. “Sophia, aku tahu ini mendadak, tetapi aku yakin perjodohan ini adalah keputusan yang tepat. David adalah penerus Williams Group. Dia tidak hanya berbakat, tetapi juga pria yang bertanggung jawab.”

Sophia melirik David yang duduk di sebelahnya. Pria itu tetap diam, matanya fokus pada cangkir teh di tangannya. Hatinya sedikit gelisah, tetapi ia berusaha menjaga sikapnya.

“Saya dengar, Anda kehilangan orang tua Anda?” tanya Rose tiba-tiba.

David mengangguk perlahan. “Iya. Orang tua saya meninggal dalam kecelakaan lima tahun lalu.”

Ada keheningan sejenak di ruangan itu. Sophia dapat merasakan luka dalam yang masih tersisa di balik kata-kata David yang singkat.

Edward yang duduk di sisi lain, mencoba mencairkan suasana. “David memang kehilangan banyak hal, tetapi dia selalu kuat. Bahkan sekarang, dia sudah membawa banyak perubahan besar di perusahaan kami.”

William mengangguk setuju. “Dia adalah kebanggaanku.”

Percakapan mereka terhenti ketika Lewis, kepala pelayan mansion, mendekati William. Pria tua itu membungkuk hormat sebelum berbicara. “Permisi, Tuan.”

“Ada apa, Lewis?” tanya William, alisnya sedikit terangkat.

“Tuan muda keempat sudah kembali.”

Ruangan seketika hening. William menatap Lewis dengan tatapan yang sulit dipercaya. “Benarkah? Suruh dia masuk,” ujarnya, suaranya bergetar karena tak sabar. Pasalnya, sudah lima tahun anaknya itu pergi, dan sekarang akhirnya ia kembali lagi.

“Baik, Tuan,” jawab Lewis, membungkuk lagi sebelum bergegas meninggalkan ruangan.

Edward yang duduk di seberang William, terlihat jelas tidak senang. Rahangnya mengeras, dan ia bersandar dengan kasar ke sofa. “Apa dia benar-benar harus kembali sekarang?” gumam Edward dingin, meski cukup keras untuk didengar.

Tatapan William menyipit, memperingatkan Edward agar tidak bicara lebih jauh. Namun, ketegangan sudah menyebar ke seluruh ruangan.

Pintu ruang utama terbuka kembali, kali ini langkah kaki terdengar lebih berat. Sepatu pantofel menginjak lantai marmer dengan ritme yang stabil. Semua kepala berbalik serentak ke arah pria yang masuk.

Sophia terpaku. Napasnya tertahan ketika pandangannya beradu dengan netra pria itu. Waktu terasa berhenti sejenak, pikirannya melayang pada semua kenangan pahit yang ingin ia lupakan.

Related chapters

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 4 : Pertemuan yang Menghidupkan Luka Lama

    Semua mata di ruangan itu sontak tertuju ke arah pintu ketika suara langkah sepatu terdengar. Sosok seorang pria dengan wajah tampan dan aura dingin memasuki ruangan, menarik perhatian setiap orang yang hadir. Tubuhnya tegap, mengenakan setelan hitam yang membalut sempurna lekuk tubuhnya, membuatnya tampak berwibawa. Sophia terpaku di tempatnya, matanya membelalak saat menyadari siapa pria itu.Daniel.Napasnya tersengal. Pria yang berdiri di hadapannya kini bukan lagi Daniel yang ia kenal beberapa hari lalu. Pria ini tampak jauh lebih berkelas. Sophia meremas gaun di tangannya, mencoba menenangkan dirinya, tetapi dadanya sudah naik turun seiring dengan detak jantungnya yang semakin tak terkendali.“Akhirnya kamu kembali juga.” Edward menatap tajam ke arah Daniel, matanya dipenuhi dengan kebencian yang tak tersamarkan. Lima tahun anak haram itu pergi meninggalkan rumah, dan sekarang ia kembali lagi, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.Daniel menghentikan langkahnya tepat di teng

    Last Updated : 2025-01-24
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 5 : Di Antara Cinta dan Kekuasaan

    Daniel bergerak cepat. Dalam satu langkah sigap, ia menarik Sophia lebih dekat, membekap mulut gadis itu dengan bibirnya. Tubuh Sophia yang kecil bergetar hebat di bawah sentuhan itu, bukan karena kelembutan, tetapi karena rasa takut yang menjalari tubuhnya. Langkah kaki di luar semakin mendekat, disertai suara pintu yang berderit ketika terbuka. Daniel memutar tubuhnya sedikit, memposisikan mereka agar tersembunyi di balik salah satu lemari besar di sudut ruangan. Jarak antara keduanya begitu tipis, aroma tubuh Daniel yang khas bercampur dengan parfumnya memenuhi indera penciuman Sophia. Sosok Lewis, kepala pelayan mansion, muncul di ambang pintu. Ia melangkah masuk perlahan, pandangannya menyapu seluruh ruangan. “Siapa di sana?” Sophia hampir melompat mendengar suara itu, tetapi tangan Daniel yang besar dan kokoh memegang pinggangnya erat, menahannya agar tetap diam. Tubuhnya semakin gemetar, berharap Lewis tidak menemukan mereka. Lewis berjalan lebih jauh ke dalam ruangan, me

    Last Updated : 2025-01-24
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 6 : Takdir yang Mempermainkan

    “Wanita mana yang bisa menolak keponakanku ini?” Daniel berkata dengan santai. Akan tetapi, ada sesuatu dalam suaranya yang membuat ruangan itu terasa lebih tegang. Percakapan langsung terhenti. Semua yang duduk di sofa menoleh ke arahnya, memperhatikan pria yang kini berdiri tegak di hadapan mereka. David, yang sejak tadi terlihat tenang, kini tampak lebih ceria. Sorot kebanggaan muncul di matanya saat mendengar pujian dari pamannya. “Paman, Paman terlalu berlebihan,” ucap David dengan sedikit tawa, meski ada rona malu di wajahnya. Daniel mengangkat alisnya sedikit, ekspresi santainya tak berubah. “Tidak, aku hanya mengatakan fakta,” balasnya tenang. “Di luar sana banyak wanita yang ingin memilikimu, David. Kau bukan hanya pekerja keras, tetapi juga kebanggaan keluarga kita.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Daniel, tetapi matanya justru tertuju pada seseorang di hadapannya—Sophia. Gadis itu duduk dengan tubuh sedikit tegang, jemarinya meremas gaun di pangkuannya.

    Last Updated : 2025-02-11
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 7 : Masa Lalu yang Tak Pernah Hilang

    Suara dentingan gelas dan alunan musik pelan memenuhi sudut bar yang remang-remang. Cahaya lampu temaram memantulkan kilau keemasan di permukaan minuman dalam gelas-gelas kristal yang berjajar rapi di meja bartender. Di salah satu sudut ruangan, dua wanita duduk berhadapan, dengan ekspresi yang kontras. Jane menatap Sophia lekat-lekat, matanya menyipit seakan mencoba memahami sesuatu yang sulit dicerna. Ia baru saja mendengar pengakuan mengejutkan dari sahabatnya, dan itu membuatnya nyaris tidak percaya.“Kau serius? Kau benar-benar menerima perjodohan ini?” Jane menatap sahabatnya dengan tajam, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah tenangnya. Ketika Sophia pertama kali memberitahunya tentang perjodohan itu, ia hampir tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Rasa keterkejutan itu masih melekat, berputar dalam pikirannya seperti badai yang tak kunjung reda. Bagaimana mungkin Sophia setuju untuk menikah dengan pria lain? Selama ini, Jane tahu betul bahwa hati

    Last Updated : 2025-02-11
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 1 : Bara di Balik Pengkhianatan

    “Berani-beraninya kau mengkhianatiku, Daniel. Kau pikir kau bisa bersenang-senang bersama mereka tanpa peduli perasaanku.” Sophia Gabriella berdiri di pintu masuk bar, tubuhnya kaku seperti patung. Sepasang matanya yang biasanya hangat, kini memancarkan api amarah yang membara. Pemandangan di depannya mengiris hatinya tanpa ampun. Daniel, lelaki yang selama ini ia cintai, terlihat begitu nyaman dikelilingi oleh wanita-wanita yang tertawa riang di sampingnya. Namun, yang lebih menyakitkan bagi Sophia adalah cara wanita-wanita itu memperlakukan Daniel. Mereka duduk terlalu dekat, tubuh mereka seolah sengaja bersentuhan dengan Daniel setiap kali mereka bergerak. Salah satu dari mereka, perlahan menyentuh lengan Daniel, jari-jarinya yang lentik bermain di sepanjang otot-otot Daniel yang terlihat di balik lengan kemeja yang tergulung. Daniel tidak menepis sentuhan itu. Sebaliknya, ia tetap tenang, bahkan menoleh sedikit untuk membalas candaan mereka. Jelas terlihat, ia menikmati perh

    Last Updated : 2025-01-24
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 2 : Perpisahan yang Membekas

    Daniel Alexander Williams, pria berusia 30 tahun dengan aura kharismatik yang sulit diabaikan menatap pelayan bar itu dengan santai, seolah-olah kekacauan yang baru saja terjadi bukanlah masalah besar. Pria yang memiliki wajah tegas dengan rahang kuat, dan mata gelap yang selalu sulit ditebak, segera merogoh dompet kulit hitam dari sakunya, lalu menarik beberapa lembar uang tunai. Tanpa tergesa, ia menyerahkannya kepada pelayan. “Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan mengganti kerugiannya.” Pelayan itu terlihat ragu, tapi akhirnya menerima uang tersebut. “Terima kasih, Tuan.” Ia membungkuk sedikit, kemudian pergi. Sementara itu, Sophia berdiri terpaku. Tubuhnya ramping dengan gaun merah yang membungkusnya sempurna, menonjolkan kulitnya yang sehalus porselen. Matanya, yang biasanya lembut seperti cokelat hangat, kini menatap Daniel dengan sorot terluka. Jantungnya masih berdetak kencang, bukan karena kejadian barusan, tetapi karena intensitas Daniel yang selalu membuatnya sulit berna

    Last Updated : 2025-01-24

Latest chapter

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 7 : Masa Lalu yang Tak Pernah Hilang

    Suara dentingan gelas dan alunan musik pelan memenuhi sudut bar yang remang-remang. Cahaya lampu temaram memantulkan kilau keemasan di permukaan minuman dalam gelas-gelas kristal yang berjajar rapi di meja bartender. Di salah satu sudut ruangan, dua wanita duduk berhadapan, dengan ekspresi yang kontras. Jane menatap Sophia lekat-lekat, matanya menyipit seakan mencoba memahami sesuatu yang sulit dicerna. Ia baru saja mendengar pengakuan mengejutkan dari sahabatnya, dan itu membuatnya nyaris tidak percaya.“Kau serius? Kau benar-benar menerima perjodohan ini?” Jane menatap sahabatnya dengan tajam, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah tenangnya. Ketika Sophia pertama kali memberitahunya tentang perjodohan itu, ia hampir tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Rasa keterkejutan itu masih melekat, berputar dalam pikirannya seperti badai yang tak kunjung reda. Bagaimana mungkin Sophia setuju untuk menikah dengan pria lain? Selama ini, Jane tahu betul bahwa hati

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 6 : Takdir yang Mempermainkan

    “Wanita mana yang bisa menolak keponakanku ini?” Daniel berkata dengan santai. Akan tetapi, ada sesuatu dalam suaranya yang membuat ruangan itu terasa lebih tegang. Percakapan langsung terhenti. Semua yang duduk di sofa menoleh ke arahnya, memperhatikan pria yang kini berdiri tegak di hadapan mereka. David, yang sejak tadi terlihat tenang, kini tampak lebih ceria. Sorot kebanggaan muncul di matanya saat mendengar pujian dari pamannya. “Paman, Paman terlalu berlebihan,” ucap David dengan sedikit tawa, meski ada rona malu di wajahnya. Daniel mengangkat alisnya sedikit, ekspresi santainya tak berubah. “Tidak, aku hanya mengatakan fakta,” balasnya tenang. “Di luar sana banyak wanita yang ingin memilikimu, David. Kau bukan hanya pekerja keras, tetapi juga kebanggaan keluarga kita.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Daniel, tetapi matanya justru tertuju pada seseorang di hadapannya—Sophia. Gadis itu duduk dengan tubuh sedikit tegang, jemarinya meremas gaun di pangkuannya.

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 5 : Di Antara Cinta dan Kekuasaan

    Daniel bergerak cepat. Dalam satu langkah sigap, ia menarik Sophia lebih dekat, membekap mulut gadis itu dengan bibirnya. Tubuh Sophia yang kecil bergetar hebat di bawah sentuhan itu, bukan karena kelembutan, tetapi karena rasa takut yang menjalari tubuhnya. Langkah kaki di luar semakin mendekat, disertai suara pintu yang berderit ketika terbuka. Daniel memutar tubuhnya sedikit, memposisikan mereka agar tersembunyi di balik salah satu lemari besar di sudut ruangan. Jarak antara keduanya begitu tipis, aroma tubuh Daniel yang khas bercampur dengan parfumnya memenuhi indera penciuman Sophia. Sosok Lewis, kepala pelayan mansion, muncul di ambang pintu. Ia melangkah masuk perlahan, pandangannya menyapu seluruh ruangan. “Siapa di sana?” Sophia hampir melompat mendengar suara itu, tetapi tangan Daniel yang besar dan kokoh memegang pinggangnya erat, menahannya agar tetap diam. Tubuhnya semakin gemetar, berharap Lewis tidak menemukan mereka. Lewis berjalan lebih jauh ke dalam ruangan, me

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 4 : Pertemuan yang Menghidupkan Luka Lama

    Semua mata di ruangan itu sontak tertuju ke arah pintu ketika suara langkah sepatu terdengar. Sosok seorang pria dengan wajah tampan dan aura dingin memasuki ruangan, menarik perhatian setiap orang yang hadir. Tubuhnya tegap, mengenakan setelan hitam yang membalut sempurna lekuk tubuhnya, membuatnya tampak berwibawa. Sophia terpaku di tempatnya, matanya membelalak saat menyadari siapa pria itu.Daniel.Napasnya tersengal. Pria yang berdiri di hadapannya kini bukan lagi Daniel yang ia kenal beberapa hari lalu. Pria ini tampak jauh lebih berkelas. Sophia meremas gaun di tangannya, mencoba menenangkan dirinya, tetapi dadanya sudah naik turun seiring dengan detak jantungnya yang semakin tak terkendali.“Akhirnya kamu kembali juga.” Edward menatap tajam ke arah Daniel, matanya dipenuhi dengan kebencian yang tak tersamarkan. Lima tahun anak haram itu pergi meninggalkan rumah, dan sekarang ia kembali lagi, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.Daniel menghentikan langkahnya tepat di teng

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 3 : Pertemuan Tak Terduga

    Cermin besar di sudut kamar memantulkan bayangan Sophia yang tengah bersiap. Jemari rampingnya dengan cermat mengancingkan perhiasan sederhana di lehernya—sebuah kalung perak kecil dengan liontin berbentuk bunga yang pernah diberikan almarhum neneknya. Gaun satin biru langit yang ia kenakan pas di tubuh, mengalir anggun hingga menutupi lutut. Rambut hitam yang biasanya tergerai, kali ini digulung ke atas dengan beberapa helaian dibiarkan jatuh.Namun, matanya yang cokelat gelap menyiratkan kegelisahan. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Di seberang kamar, Rose berdiri dengan tangan terlipat di dada, mengamati putrinya yang tengah berdandan. “Kamu terlihat cantik, Sophia.” Sophia hanya mengangguk. “Apakah aku harus bertemu dengannya sekarang?” Rose menghela napas. “Ini untuk masa depanmu, Sophia.” Robert muncul di ambang pintu, mengenakan setelan jas hitam yang tidak terlalu sering ia pakai. “Waktunya berangkat,” katanya tegas. “Jangan membuat keluarga in

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 2 : Perpisahan yang Membekas

    Daniel Alexander Williams, pria berusia 30 tahun dengan aura kharismatik yang sulit diabaikan menatap pelayan bar itu dengan santai, seolah-olah kekacauan yang baru saja terjadi bukanlah masalah besar. Pria yang memiliki wajah tegas dengan rahang kuat, dan mata gelap yang selalu sulit ditebak, segera merogoh dompet kulit hitam dari sakunya, lalu menarik beberapa lembar uang tunai. Tanpa tergesa, ia menyerahkannya kepada pelayan. “Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan mengganti kerugiannya.” Pelayan itu terlihat ragu, tapi akhirnya menerima uang tersebut. “Terima kasih, Tuan.” Ia membungkuk sedikit, kemudian pergi. Sementara itu, Sophia berdiri terpaku. Tubuhnya ramping dengan gaun merah yang membungkusnya sempurna, menonjolkan kulitnya yang sehalus porselen. Matanya, yang biasanya lembut seperti cokelat hangat, kini menatap Daniel dengan sorot terluka. Jantungnya masih berdetak kencang, bukan karena kejadian barusan, tetapi karena intensitas Daniel yang selalu membuatnya sulit berna

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 1 : Bara di Balik Pengkhianatan

    “Berani-beraninya kau mengkhianatiku, Daniel. Kau pikir kau bisa bersenang-senang bersama mereka tanpa peduli perasaanku.” Sophia Gabriella berdiri di pintu masuk bar, tubuhnya kaku seperti patung. Sepasang matanya yang biasanya hangat, kini memancarkan api amarah yang membara. Pemandangan di depannya mengiris hatinya tanpa ampun. Daniel, lelaki yang selama ini ia cintai, terlihat begitu nyaman dikelilingi oleh wanita-wanita yang tertawa riang di sampingnya. Namun, yang lebih menyakitkan bagi Sophia adalah cara wanita-wanita itu memperlakukan Daniel. Mereka duduk terlalu dekat, tubuh mereka seolah sengaja bersentuhan dengan Daniel setiap kali mereka bergerak. Salah satu dari mereka, perlahan menyentuh lengan Daniel, jari-jarinya yang lentik bermain di sepanjang otot-otot Daniel yang terlihat di balik lengan kemeja yang tergulung. Daniel tidak menepis sentuhan itu. Sebaliknya, ia tetap tenang, bahkan menoleh sedikit untuk membalas candaan mereka. Jelas terlihat, ia menikmati perh

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status