แชร์

Bab 2 : Perpisahan yang Membekas

ผู้เขียน: Vanilla_Nilla
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-01-24 16:54:19

Daniel Alexander Williams, pria berusia 30 tahun dengan aura kharismatik yang sulit diabaikan menatap pelayan bar itu dengan santai, seolah-olah kekacauan yang baru saja terjadi bukanlah masalah besar. Pria yang memiliki wajah tegas dengan rahang kuat, dan mata gelap yang selalu sulit ditebak, segera merogoh dompet kulit hitam dari sakunya, lalu menarik beberapa lembar uang tunai. Tanpa tergesa, ia menyerahkannya kepada pelayan. “Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan mengganti kerugiannya.”

Pelayan itu terlihat ragu, tapi akhirnya menerima uang tersebut. “Terima kasih, Tuan.” Ia membungkuk sedikit, kemudian pergi.

Sementara itu, Sophia berdiri terpaku. Tubuhnya ramping dengan gaun merah yang membungkusnya sempurna, menonjolkan kulitnya yang sehalus porselen. Matanya, yang biasanya lembut seperti cokelat hangat, kini menatap Daniel dengan sorot terluka. Jantungnya masih berdetak kencang, bukan karena kejadian barusan, tetapi karena intensitas Daniel yang selalu membuatnya sulit bernapas. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, tangan Daniel sudah melingkari pergelangan tangannya.

“Daniel, apa yang kamu lakukan?”

“Kita pergi dari sini.” Nada suara Daniel tidak memberi ruang untuk penolakan.

Ia menarik Sophia keluar dari bar, melewati kerumunan yang kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Sepatu hak tinggi Sophia mengetuk lantai kayu, melawan tarikannya, tetapi ia tahu itu sia-sia. Daniel tidak pernah membiarkan siapa pun menentangnya.

Begitu mereka tiba di luar, angin malam yang dingin menerpa wajah mereka. Sophia menggigil sedikit, tetapi ia terlalu marah untuk memedulikannya. “Lepaskan, Daniel!” serunya, mencoba menarik tangannya.

Daniel berhenti melangkah, tetapi tidak melepaskannya. Ia berbalik, menatap Sophia dengan mata gelap yang kini terlihat dingin dan tajam. “Kenapa? Apa kamu takut aku akan melakukan sesuatu?”

Sophia mendongak, menatap langsung mata pria itu. “Apa lagi yang kamu mau dariku, Daniel? Aku sudah cukup lelah dengan ini semua. Lepaskan aku!”

Daniel tertawa getir mendengar itu. “Lelah?” Suaranya tajam seperti belati.

Sophia memejamkan matanya sejenak, mengingat kembali lima tahun terakhir. Bagaimana ia jatuh cinta pada pria yang dulu terlihat begitu menjanjikan—pria dengan senyum menawan yang bisa membuat siapa pun lupa akan dunia. Tetapi semakin lama ia bersama Daniel, semakin ia menyadari bahwa cinta itu seperti penjara. Pria itu selalu dingin, tidak pernah benar-benar mencintainya dengan tulus.

“Tolong biarkan aku pergi, Daniel. Aku bukan boneka yang bisa kamu mainkan sesukamu. Aku lelah … lelah selalu menuruti semua tuntutanmu, lelah menghadapi sikap dinginmu yang tidak pernah berubah.”

“Jadi, kamu ingin memutuskan hubungan denganku hanya karena aku tidak memenuhi harapanmu?”

“Bukan karena itu. Aku ingin memutuskan hubungan ini karena aku sadar aku pantas mendapatkan yang lebih baik. Kamu tidak pernah menghargai apa pun yang aku lakukan, Daniel. Jadi, lebih baik kita akhiri semua ini.”

Daniel menatapnya lama, sebelum ia berkata, “Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan. Tapi ingat, Sophia, jika suatu saat kamu kembali menemuiku, aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi.”

Mencoba menahan rasa sakit yang menghujam hatinya. Sophia tahu ini akan sulit, tetapi ia harus melakukannya. “Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan menemuimu lagi, Daniel. Tidak kali ini.”

Sophia berbalik untuk pergi, tetapi sebelum melangkah lebih jauh, ia berhenti. Tanpa menoleh, ia berkata, “Apa kamu tidak akan menahanku?”

Daniel tersenyum, tetapi senyum itu lebih dingin dari angin malam. “Untuk apa aku menahanmu? Aku tahu kamu tidak akan pernah bisa hidup tanpaku.”

Ucapan itu menusuk Sophia, tetapi kali ini, ia tidak membiarkan dirinya jatuh. Ia memutar tubuhnya lagi menghadap Daniel, mengangkat dagunya sedikit lebih tinggi. “Aku yang tidak bisa hidup tanpamu, atau kau yang tidak bisa hidup tanpaku?”

Daniel terdiam sesaat. Ia hanya menatap Sophia nanar. “Kita lihat saja nanti.”

Sophia menelan ludah, menahan rasa sakit di dadanya. “Baiklah, kita lihat saja nanti. Selamat tinggal, Daniel.”

Dengan langkah tegap, ia berjalan menuju taksi yang menunggunya di pinggir jalan.

Sementara Daniel tetap berdiri membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap ke arah taksi yang perlahan menghilang. Namun, di balik ekspresinya yang dingin, ada sesuatu yang bergemuruh di dalam dirinya—sesuatu yang tidak pernah ia akui bahkan kepada dirinya sendiri.

***

Langkah kaki Sophia terdengar berat saat ia memasuki rumah. Kunci pintu yang diputar dengan hati-hati seolah berusaha menyembunyikan kepulangannya. Namun, tidak cukup untuk menghindari tatapan kedua orang tuanya yang duduk di sofa ruang tamu. Lampu ruang tengah yang terang memperlihatkan raut serius Robert dan Rose, yang langsung mengalihkan perhatian dari koran dan televisi saat putri mereka muncul.

“Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang,” tanya Robert dengan tegas, khas seorang ayah yang tak mentolerir kesalahan.

Sophia terdiam sejenak, menggantungkan tas di gantungan dekat pintu. Napasnya masih terasa berat setelah perjalanan pulang.

“Jangan bilang kamu menemui lelaki itu lagi,” selidik Robert, kali ini dengan nada lebih tajam.

Sophia mengangkat wajahnya, menatap langsung ayahnya. “Iya, Ayah benar. Aku memang menemui dia.”

Mendengar itu, Robert menghempaskan koran yang dipegangnya ke meja. Bunyi keras koran menghantam permukaan kayu membuat ruangan terasa lebih sunyi. “Sudah berapa kali ayah katakan? Kamu tidak boleh menemui lelaki itu! Dia tidak baik untukmu, Sophia!”

“Tenang saja, Ayah,” jawab Sophia dengan napas berat. Matanya terlihat lelah, tetapi bibirnya melengkungkan senyum getir. “Ini terakhir kalinya aku menemui dia.”

“Apa maksudmu, Sophia?” Kali ini Rose yang berbicara.

Sophia tersenyum, tetapi senyumnya tidak mampu menyembunyikan luka yang mengendap di dalam hatinya. “Aku dan dia sudah berakhir.”

Mendengar itu, Robert menghela napas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa, lalu mengangguk puas. “Hm, baguslah. Akhirnya putriku sadar juga. Lelaki miskin seperti dia memang tidak pantas untukmu.”

Rose ikut menimpali, “Iya, ayahmu benar. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik.”

Namun, di balik wajah Sophia, sesuatu terlihat retak. Ia mengalihkan pandangannya sejenak, memandangi lantai rumah yang terasa lebih dingin dari biasanya.

“Jadi, bagaimana dengan perjodohan yang sudah ayah tawarkan untukmu, Sophia?” Robert berkata lagi ketika melihat anaknya terdiam.

Pertanyaan itu menghentikan napas Sophia. Ia mendongak, menatap ayahnya dengan mata lebar. Jantungnya berdegup kencang, seperti baru saja dihantam badai.

“Ayah bercanda, ‘kan?”

Robert menggeleng, matanya menatap putrinya dengan serius. “Ayah tidak bercanda. Calon pasanganmu sudah dipilih, dan dia jauh lebih baik daripada lelaki yang baru saja kamu tinggalkan.”

“Siapa?” Sophia bertanya dengan tajam.

Robert tersenyum, senyum kemenangan yang membuat Sophia merasa seperti pion dalam permainan catur. “Kamu akan tahu besok.”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 3 : Pertemuan Tak Terduga

    Cermin besar di sudut kamar memantulkan bayangan Sophia yang tengah bersiap. Jemari rampingnya dengan cermat mengancingkan perhiasan sederhana di lehernya—sebuah kalung perak kecil dengan liontin berbentuk bunga yang pernah diberikan almarhum neneknya. Gaun satin biru langit yang ia kenakan pas di tubuh, mengalir anggun hingga menutupi lutut. Rambut hitam yang biasanya tergerai, kali ini digulung ke atas dengan beberapa helaian dibiarkan jatuh.Namun, matanya yang cokelat gelap menyiratkan kegelisahan. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Di seberang kamar, Rose berdiri dengan tangan terlipat di dada, mengamati putrinya yang tengah berdandan. “Kamu terlihat cantik, Sophia.” Sophia hanya mengangguk. “Apakah aku harus bertemu dengannya sekarang?” Rose menghela napas. “Ini untuk masa depanmu, Sophia.” Robert muncul di ambang pintu, mengenakan setelan jas hitam yang tidak terlalu sering ia pakai. “Waktunya berangkat,” katanya tegas. “Jangan membuat keluarga in

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-24
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 4 : Pertemuan yang Menghidupkan Luka Lama

    Semua mata di ruangan itu sontak tertuju ke arah pintu ketika suara langkah sepatu terdengar. Sosok seorang pria dengan wajah tampan dan aura dingin memasuki ruangan, menarik perhatian setiap orang yang hadir. Tubuhnya tegap, mengenakan setelan hitam yang membalut sempurna lekuk tubuhnya, membuatnya tampak berwibawa. Sophia terpaku di tempatnya, matanya membelalak saat menyadari siapa pria itu.Daniel.Napasnya tersengal. Pria yang berdiri di hadapannya kini bukan lagi Daniel yang ia kenal beberapa hari lalu. Pria ini tampak jauh lebih berkelas. Sophia meremas gaun di tangannya, mencoba menenangkan dirinya, tetapi dadanya sudah naik turun seiring dengan detak jantungnya yang semakin tak terkendali.“Akhirnya kamu kembali juga.” Edward menatap tajam ke arah Daniel, matanya dipenuhi dengan kebencian yang tak tersamarkan. Lima tahun anak haram itu pergi meninggalkan rumah, dan sekarang ia kembali lagi, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.Daniel menghentikan langkahnya tepat di teng

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-24
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 5 : Di Antara Cinta dan Kekuasaan

    Daniel bergerak cepat. Dalam satu langkah sigap, ia menarik Sophia lebih dekat, membekap mulut gadis itu dengan bibirnya. Tubuh Sophia yang kecil bergetar hebat di bawah sentuhan itu, bukan karena kelembutan, tetapi karena rasa takut yang menjalari tubuhnya. Langkah kaki di luar semakin mendekat, disertai suara pintu yang berderit ketika terbuka. Daniel memutar tubuhnya sedikit, memposisikan mereka agar tersembunyi di balik salah satu lemari besar di sudut ruangan. Jarak antara keduanya begitu tipis, aroma tubuh Daniel yang khas bercampur dengan parfumnya memenuhi indera penciuman Sophia. Sosok Lewis, kepala pelayan mansion, muncul di ambang pintu. Ia melangkah masuk perlahan, pandangannya menyapu seluruh ruangan. “Siapa di sana?” Sophia hampir melompat mendengar suara itu, tetapi tangan Daniel yang besar dan kokoh memegang pinggangnya erat, menahannya agar tetap diam. Tubuhnya semakin gemetar, berharap Lewis tidak menemukan mereka. Lewis berjalan lebih jauh ke dalam ruangan, me

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-24
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 6 : Takdir yang Mempermainkan

    “Wanita mana yang bisa menolak keponakanku ini?” Daniel berkata dengan santai. Akan tetapi, ada sesuatu dalam suaranya yang membuat ruangan itu terasa lebih tegang. Percakapan langsung terhenti. Semua yang duduk di sofa menoleh ke arahnya, memperhatikan pria yang kini berdiri tegak di hadapan mereka. David, yang sejak tadi terlihat tenang, kini tampak lebih ceria. Sorot kebanggaan muncul di matanya saat mendengar pujian dari pamannya. “Paman, Paman terlalu berlebihan,” ucap David dengan sedikit tawa, meski ada rona malu di wajahnya. Daniel mengangkat alisnya sedikit, ekspresi santainya tak berubah. “Tidak, aku hanya mengatakan fakta,” balasnya tenang. “Di luar sana banyak wanita yang ingin memilikimu, David. Kau bukan hanya pekerja keras, tetapi juga kebanggaan keluarga kita.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Daniel, tetapi matanya justru tertuju pada seseorang di hadapannya—Sophia. Gadis itu duduk dengan tubuh sedikit tegang, jemarinya meremas gaun di pangkuanny

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-11
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 7 : Masa Lalu yang Tak Pernah Hilang

    Suara dentingan gelas dan alunan musik pelan memenuhi sudut bar yang remang-remang. Cahaya lampu temaram memantulkan kilau keemasan di permukaan minuman dalam gelas-gelas kristal yang berjajar rapi di meja bartender. Di salah satu sudut ruangan, dua wanita duduk berhadapan, dengan ekspresi yang kontras. Jane menatap Sophia lekat-lekat, matanya menyipit seakan mencoba memahami sesuatu yang sulit dicerna. Ia baru saja mendengar pengakuan mengejutkan dari sahabatnya, dan itu membuatnya nyaris tidak percaya.“Kau serius? Kau benar-benar menerima perjodohan ini?” Jane menatap sahabatnya dengan tajam, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah tenangnya. Ketika Sophia pertama kali memberitahunya tentang perjodohan itu, ia hampir tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Rasa keterkejutan itu masih melekat, berputar dalam pikirannya seperti badai yang tak kunjung reda. Bagaimana mungkin Sophia setuju untuk menikah dengan pria lain? Selama ini, Jane tahu betul bahwa hati

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-11
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 8 : Keinginan Terlarang Sophia

    Selepas kepergian Jane, Daniel tetap berdiri di tempatnya, menatap Sophia tanpa berkedip. Pandangannya begitu tajam, seolah mencoba menembus setiap lapisan pertahanan yang mungkin masih tersisa dalam diri wanita itu. Sophia yang biasanya selalu anggun dan berkelas, kini tampak begitu rapuh. Rambutnya tergerai berantakan, sebagian jatuh menutupi wajahnya yang pucat. Napasnya terdengar pelan, nyaris tak beraturan, sementara tangannya yang lemah masih mencengkeram gelas kosong di depannya. Aroma alkohol bercampur dengan parfumnya yang khas menyeruak ke udara, membuat Daniel mengerutkan kening. Baru kali ini ia melihat Sophia sepuruk ini. Lima tahun mereka bersama, dan tak sekalipun ia melihatnya kehilangan kendali seperti ini. Sophia selalu menjadi wanita yang kuat, yang selalu tersenyum meskipun hatinya terluka, yang selalu bangkit meskipun ia jatuh berkali-kali. Tapi malam ini, wanita itu tampak seperti seseorang yang telah kehilangan segalanya. Daniel menghela napas panjang, l

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-12
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 9 : Badai Baru Saja Dimulai

    Udara malam ini terasa begitu dingin, menusuk hingga ke tulang. Namun, anehnya, butiran keringat seukuran biji jagung terus bermunculan di dahi Daniel, mengalir perlahan di sepanjang pelipisnya. Sejak tadi, ia menahan tubuhnya di atas wanita yang terbaring di bawahnya, matanya dipenuhi kilatan hasrat yang sulit dijelaskan. Jemarinya menjelajah dengan lembut, seolah ingin menghafal setiap lekuk yang telah begitu familiar baginya. Sophia selalu memiliki cara untuk membuatnya tenggelam, terperangkap dalam cinta yang tak berujung. Daniel telah bertemu banyak wanita—wajah-wajah cantik yang datang dan pergi dalam hidupnya—namun tidak ada satu pun yang mampu mengikatnya seperti Sophia. Ada sesuatu dalam diri wanita itu, sesuatu yang tak bisa ia temukan pada siapa pun. Bukan sekadar kecantikan atau kelembutan, tapi sebuah daya tarik yang membuatnya tak bisa berpaling, tak peduli seberapa jauh ia mencoba melangkah. Napasnya memburu, terengah-engah seiring dengan bahunya yang naik turun, m

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-12
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 10 : Kepingan Ingatan

    “Auh ….” Sophia mengerjapkan matanya yang terasa berat. Kepalanya berdenyut hebat, seolah-olah ribuan palu godam sedang menghantam tengkoraknya tanpa ampun. Ia mengerang pelan, tangannya terangkat untuk memijat pelipisnya yang berdenyut, berharap rasa sakit itu segera mereda. Pandangan matanya masih buram saat ia mencoba menyapu ruangan di sekitarnya. Tempat ini asing—bukan kamarnya, bukan juga rumahnya. Langit-langit yang berbeda, aroma ruangan yang tidak familiar, serta kesunyian yang begitu menusuk membuat jantungnya mulai berdegup lebih cepat. “Aku di mana?” Pertanyaan itu bergema di kepalanya, memicu ketegangan yang merayap perlahan ke seluruh tubuh. Ia mengedarkan pandangan, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Namun, sebelum pikirannya sempat bekerja, sesuatu yang lebih mengejutkan membuat tubuhnya membeku. Selimut putih yang melingkupinya melorot sedikit, dan saat ia melihat ke bawah—astaga! Darahnya seolah berhenti mengalir. Napasnya tercekat. Ia ti

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-13

บทล่าสุด

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 85 : Kesepakatan Berbahaya

    Laura menatap layar ponselnya dengan kesal. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Daniel, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Jemarinya mengetuk meja dengan tidak sabar, matanya menatap layar yang kembali menampilkan panggilan tak terjawab. "Kenapa sih, Daniel?!" gerutunya, lalu melempar ponselnya ke sofa dengan kasar. Saat itu juga, Anne melangkah masuk dan langsung menangkap ekspresi kesal di wajah Laura. Ia mendekati wanita itu dengan alis sedikit berkerut. "Kau kenapa?" tanyanya ingin tahu. Laura mendesah frustrasi, lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Aku sudah menelepon Daniel berkali-kali, tapi dia sama sekali tidak mengangkat panggilanku. Aku tidak tahu dia sedang di mana dan apa yang sedang dia lakukan." Anne menatapnya dengan sorot mata penuh pertimbangan, lalu duduk di samping Laura. Ia menghela napas pelan sebelum akhirnya berkata, "Aku sendiri tidak tahu mengapa Daniel begitu khawatir terhadap Sophia. Apalagi sejak dulu, aku selalu merasa ada sesuatu di ant

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 84 : Hati yang Hancur

    Daniel menghapus air mata yang jatuh di pelupuk mata Sophia dengan pelan. Ibu jarinya menyapu pipi wanita itu dengan hati-hatian, ia takut menyakiti Sophia lebih jauh. Manik mata mereka beradu. Namun, Sophia segera mengalihkan pandangannya, ia tidak sanggup menatap Daniel lama-lama. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, hm?" suara Daniel terdengar rendah. Sophia mencoba tersenyum, tetapi yang terbentuk di bibirnya hanya lengkungan samar yang menyakitkan. Hatinya terasa begitu sesak, dipenuhi oleh pertanyaan yang sejak dulu selalu ia pendam. Apakah semua ini hanya perasaannya sendiri? Apakah selama lima tahun terakhir, hanya ia yang jatuh cinta tanpa pernah benar-benar dicintai? Kenangan itu menyeruak, membawanya kembali ke masa lalu. Ia mengingat bagaimana ia selalu menunggu Daniel mengatakan cinta padanya. Lima tahun mereka bersama, melewati begitu banyak kebersamaan—dari momen sederhana hingga kebahagiaan yang seharusnya sempurna. Tapi selama itu juga, tidak sekalipun Daniel meng

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 83 : Kekhawatiran yang Tak Terucap

    Daniel menggulung lengan kemejanya hingga ke siku, membiarkan kulitnya terbuka pada udara dingin ruangan. Pandangannya jatuh pada mangkuk bubur yang masih mengepulkan uap tipis di atas nakas. Ia meraih mangkuk itu, jemarinya melingkari sisi keramik yang masih hangat. Ia beralih ke sisi tempat tidur, menarik kursi mendekat sebelum duduk. Matanya mengamati sosok di depannya—wajah pucat itu, bibir kering yang sedikit terbuka, serta napas yang terdengar lemah. Bahkan tanpa menyentuhnya, ia bisa merasakan betapa rapuhnya perempuan ini sekarang. "Sophia," panggilnya lembut. Ia menyendok bubur ke dalam sendok dan meniupnya perlahan. "Makanlah. Kamu butuh tenaga agar cepat sembuh." Perempuan itu menggeleng pelan, matanya tak sekalipun bertemu dengan milik Daniel. "Aku tidak berselera." Suaranya nyaris tak terdengar, begitu pelan hingga hampir menyatu dengan keheningan di antara mereka. Daniel menatapnya, rahangnya mengencang. Ia meletakkan sendok ke dalam mangkuk, lalu menghela napas ber

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 82 : Kejujuran Sophia

    Kelopak mata Sophia perlahan bergerak, perlahan ia lalu membuka mata. Cahaya dari jendela membuatnya harus berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan pandangannya. Napasnya masih terasa berat, dan tubuhnya lemas. Namun, hal pertama yang membuatnya terkejut bukanlah rasa sakit di kepalanya—melainkan sosok pria yang duduk di sampingnya. "Daniel …" gumamnya parau. Tenggorokannya terasa kering, suaranya nyaris tak keluar. Daniel menoleh dengan cepat begitu mendengar suara Sophia. "Kamu sudah sadar," katanya, nada suaranya terdengar lega. Sophia masih berusaha memahami situasinya. Matanya mengedarkan pandangan ke sekitar, mencoba mengenali tempat ini. Bau khas antiseptik langsung menyadarkannya—ia berada di rumah sakit. "Aku di rumah sakit?" bisiknya. Pikirannya mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Terakhir yang ia ingat, ia sedang menuruni tangga … lalu semuanya menjadi buram. "Di mana David?" tanya Sophia, sembari menyapu ke setiap penjuru ruangan mencari sosok suaminya, tap

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 81 : Membawa Sophia

    "Sophia, bangun." Daniel menepuk pipi Sophia dengan pelan. Namun, wanita itu tetap terkulai lemas, sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Semua mata tertuju pada Daniel. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara napas tertahan yang terdengar. Tak ada yang menyangka bahwa Daniel, yang selama ini tampak tenang dan tak banyak bicara soal Sophia, akan bereaksi seperti ini. Bahkan William, yang mengenal anaknya lebih dari siapa pun, tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Namun, ada satu hal yang lebih aneh. David. Pria yang seharusnya menjadi orang pertama yang panik saat melihat istrinya pingsan justru tetap duduk di kursinya. Wajahnya memang terlihat terkejut, tapi tidak ada kegelisahan nyata di matanya. Tidak seperti Daniel, yang kini dengan cemas memeluk tubuh Sophia dalam dekapannya. Daniel mengeratkan rahangnya. Tanpa pikir panjang, ia menyelipkan satu tangan ke bawah lutut Sophia dan satu lagi di punggungnya, lalu mengangkat tubuh Sophia dengan mudah. "Aku

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 80 : Keadaan Sophia

    Saat langkah Sophia menaiki anak tangga, ia bisa merasakan detak jantungnya masih belum kembali normal. Perasaan tidak nyaman itu terus menghantuinya, udara di dalam rumah ini terasa lebih berat sejak Daniel datang. Tangannya mencengkeram pegangan tangga lebih kuat, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menghantam dadanya. Ia harus pergi dari sini, menjauh dari tatapan Daniel, menjauh dari segala kegelisahan yang baru saja ia rasakan. Namun, saat baru saja mencapai lantai atas, ia tak bisa menahan diri untuk berhenti sejenak. Dari tempatnya berdiri, ia masih bisa mendengar samar suara William menyambut Daniel dan Laura di ruang kerja. "Nah, kalian akhirnya datang," suara William terdengar hangat. "Duduklah." "Maaf, Paman, kami sedikit terlambat," ujar Laura dengan nada lembutnya yang dibuat-buat. Sophia mengepalkan jemarinya tanpa sadar. Bahkan tanpa melihatnya pun, ia tahu Laura sedang bertingkah seolah menjadi tunangan sempurna bagi Daniel. Lalu, suara Daniel terdengar,

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 79 : Belum Siap

    Pagi ini, aroma teh melati menguar dari dapur. Sophia menuangkan air panas ke dalam cangkir porselen dengan hati-hati, memastikan suhu dan takarannya pas. Ia tak pernah menambahkan gula dalam teh William. Bukan karena lelaki itu tidak menyukainya, tetapi karena kebiasaan yang sudah tertanam bertahun-tahun—William selalu menikmati tehnya pahit, hanya dengan sedikit perasan lemon untuk memberikan rasa segar. Ia mengangkat cangkir itu perlahan, untuk segera membawanya ke ruang kerja William. "Nona, mengapa Anda tidak meminta maid saja untuk membuat teh?" suara Lewis, kepala pelayan keluarga, terdengar tegas. Sophia berhenti sejenak, menoleh ke arah pria paruh baya itu dengan senyum tipis. "Aku ingin membuatnya sendiri." "Tapi—" "Tidak apa-apa, Lewis," potong Sophia sebelum pria itu bisa menyelesaikan kalimatnya. "Aku hanya ingin memastikan bahwa teh ini dibuat dengan tanganku sendiri." Lewis menatapnya beberapa saat, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi akhirnya ia hanya men

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 78 : Harus Disingkirkan

    Daniel membatu. Napasnya tercekat, udara di sekelilingnya menghilang begitu saja. Kata-kata Jane bergema di dalam kepalanya, berulang-ulang, memenuhi pikirannya dengan kemungkinan yang bahkan tak berani ia bayangkan sebelumnya. Anak itu ... anak yang dikandung Sophia ... adalah anaknya? Mata Daniel melebar, rahangnya menegang. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa Jane hanya mengada-ada. Tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam dirinya yang berbisik bahwa ini mungkin benar. Bahwa selama ini, ia hanya melihat apa yang ingin ia lihat—memilih percaya pada apa yang lebih mudah diterima daripada menghadapi kebenaran yang sebenarnya. "Kau bercanda, kan?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya. Jane tersenyum miring, tetapi ada kepedihan di matanya. "Apa aku terlihat sedang bercanda?" Daniel mengepalkan tangannya di atas meja, jemarinya bergetar. "Sophia tidak pernah mengatakan apa pun padaku ..." "Tentu saja dia tidak mengatakan apa-apa," potong Jane cepat. "Karena dia tahu k

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 77 : Kebenaran

    Jane duduk di salah satu meja kafe dekat jendela, jemarinya mengetuk-ngetuk gelas kopi yang mulai mendingin. Matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk, berharap melihat sosok pria yang ditunggunya. Sudah hampir setengah jam berlalu, tapi Daniel belum juga datang. Mencoba menahan rasa kesal dan gugup yang semakin menjadi, Jane hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Sejak kemarin, ia sudah bertekad untuk memberitahu Daniel tentang kehamilan Sophia. Tapi jika pria itu tidak muncul, bagaimana ia bisa melakukannya? Ponselnya kembali menyala di meja. Dengan cepat, ia meraihnya, berharap itu pesan dari Daniel, tapi bukan. Hanya pemberitahuan dari media sosial. Jane menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Apa dia tidak akan datang? Matanya melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Jika Daniel tidak muncul dalam lima belas menit lagi, mungkin ia harus pergi. Tapi tepat saat ia hendak menyerah, suara bel pintu kafe berbunyi. Seorang pria berpostur te

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status