Daniel Alexander Williams, pria berusia 30 tahun dengan aura kharismatik yang sulit diabaikan menatap pelayan bar itu dengan santai, seolah-olah kekacauan yang baru saja terjadi bukanlah masalah besar. Pria yang memiliki wajah tegas dengan rahang kuat, dan mata gelap yang selalu sulit ditebak, segera merogoh dompet kulit hitam dari sakunya, lalu menarik beberapa lembar uang tunai. Tanpa tergesa, ia menyerahkannya kepada pelayan. “Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan mengganti kerugiannya.” Pelayan itu terlihat ragu, tapi akhirnya menerima uang tersebut. “Terima kasih, Tuan.” Ia membungkuk sedikit, kemudian pergi. Sementara itu, Sophia berdiri terpaku. Tubuhnya ramping dengan gaun merah yang membungkusnya sempurna, menonjolkan kulitnya yang sehalus porselen. Matanya, yang biasanya lembut seperti cokelat hangat, kini menatap Daniel dengan sorot terluka. Jantungnya masih berdetak kencang, bukan karena kejadian barusan, tetapi karena intensitas Daniel yang selalu membuatnya sulit berna
Cermin besar di sudut kamar memantulkan bayangan Sophia yang tengah bersiap. Jemari rampingnya dengan cermat mengancingkan perhiasan sederhana di lehernya—sebuah kalung perak kecil dengan liontin berbentuk bunga yang pernah diberikan almarhum neneknya. Gaun satin biru langit yang ia kenakan pas di tubuh, mengalir anggun hingga menutupi lutut. Rambut hitam yang biasanya tergerai, kali ini digulung ke atas dengan beberapa helaian dibiarkan jatuh.Namun, matanya yang cokelat gelap menyiratkan kegelisahan. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Di seberang kamar, Rose berdiri dengan tangan terlipat di dada, mengamati putrinya yang tengah berdandan. “Kamu terlihat cantik, Sophia.” Sophia hanya mengangguk. “Apakah aku harus bertemu dengannya sekarang?” Rose menghela napas. “Ini untuk masa depanmu, Sophia.” Robert muncul di ambang pintu, mengenakan setelan jas hitam yang tidak terlalu sering ia pakai. “Waktunya berangkat,” katanya tegas. “Jangan membuat keluarga in
Semua mata di ruangan itu sontak tertuju ke arah pintu ketika suara langkah sepatu terdengar. Sosok seorang pria dengan wajah tampan dan aura dingin memasuki ruangan, menarik perhatian setiap orang yang hadir. Tubuhnya tegap, mengenakan setelan hitam yang membalut sempurna lekuk tubuhnya, membuatnya tampak berwibawa. Sophia terpaku di tempatnya, matanya membelalak saat menyadari siapa pria itu.Daniel.Napasnya tersengal. Pria yang berdiri di hadapannya kini bukan lagi Daniel yang ia kenal beberapa hari lalu. Pria ini tampak jauh lebih berkelas. Sophia meremas gaun di tangannya, mencoba menenangkan dirinya, tetapi dadanya sudah naik turun seiring dengan detak jantungnya yang semakin tak terkendali.“Akhirnya kamu kembali juga.” Edward menatap tajam ke arah Daniel, matanya dipenuhi dengan kebencian yang tak tersamarkan. Lima tahun anak haram itu pergi meninggalkan rumah, dan sekarang ia kembali lagi, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.Daniel menghentikan langkahnya tepat di teng
Daniel bergerak cepat. Dalam satu langkah sigap, ia menarik Sophia lebih dekat, membekap mulut gadis itu dengan bibirnya. Tubuh Sophia yang kecil bergetar hebat di bawah sentuhan itu, bukan karena kelembutan, tetapi karena rasa takut yang menjalari tubuhnya. Langkah kaki di luar semakin mendekat, disertai suara pintu yang berderit ketika terbuka. Daniel memutar tubuhnya sedikit, memposisikan mereka agar tersembunyi di balik salah satu lemari besar di sudut ruangan. Jarak antara keduanya begitu tipis, aroma tubuh Daniel yang khas bercampur dengan parfumnya memenuhi indera penciuman Sophia. Sosok Lewis, kepala pelayan mansion, muncul di ambang pintu. Ia melangkah masuk perlahan, pandangannya menyapu seluruh ruangan. “Siapa di sana?” Sophia hampir melompat mendengar suara itu, tetapi tangan Daniel yang besar dan kokoh memegang pinggangnya erat, menahannya agar tetap diam. Tubuhnya semakin gemetar, berharap Lewis tidak menemukan mereka. Lewis berjalan lebih jauh ke dalam ruangan, me
“Wanita mana yang bisa menolak keponakanku ini?” Daniel berkata dengan santai. Akan tetapi, ada sesuatu dalam suaranya yang membuat ruangan itu terasa lebih tegang. Percakapan langsung terhenti. Semua yang duduk di sofa menoleh ke arahnya, memperhatikan pria yang kini berdiri tegak di hadapan mereka. David, yang sejak tadi terlihat tenang, kini tampak lebih ceria. Sorot kebanggaan muncul di matanya saat mendengar pujian dari pamannya. “Paman, Paman terlalu berlebihan,” ucap David dengan sedikit tawa, meski ada rona malu di wajahnya. Daniel mengangkat alisnya sedikit, ekspresi santainya tak berubah. “Tidak, aku hanya mengatakan fakta,” balasnya tenang. “Di luar sana banyak wanita yang ingin memilikimu, David. Kau bukan hanya pekerja keras, tetapi juga kebanggaan keluarga kita.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Daniel, tetapi matanya justru tertuju pada seseorang di hadapannya—Sophia. Gadis itu duduk dengan tubuh sedikit tegang, jemarinya meremas gaun di pangkuanny
Suara dentingan gelas dan alunan musik pelan memenuhi sudut bar yang remang-remang. Cahaya lampu temaram memantulkan kilau keemasan di permukaan minuman dalam gelas-gelas kristal yang berjajar rapi di meja bartender. Di salah satu sudut ruangan, dua wanita duduk berhadapan, dengan ekspresi yang kontras. Jane menatap Sophia lekat-lekat, matanya menyipit seakan mencoba memahami sesuatu yang sulit dicerna. Ia baru saja mendengar pengakuan mengejutkan dari sahabatnya, dan itu membuatnya nyaris tidak percaya.“Kau serius? Kau benar-benar menerima perjodohan ini?” Jane menatap sahabatnya dengan tajam, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah tenangnya. Ketika Sophia pertama kali memberitahunya tentang perjodohan itu, ia hampir tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Rasa keterkejutan itu masih melekat, berputar dalam pikirannya seperti badai yang tak kunjung reda. Bagaimana mungkin Sophia setuju untuk menikah dengan pria lain? Selama ini, Jane tahu betul bahwa hati
Selepas kepergian Jane, Daniel tetap berdiri di tempatnya, menatap Sophia tanpa berkedip. Pandangannya begitu tajam, seolah mencoba menembus setiap lapisan pertahanan yang mungkin masih tersisa dalam diri wanita itu. Sophia yang biasanya selalu anggun dan berkelas, kini tampak begitu rapuh. Rambutnya tergerai berantakan, sebagian jatuh menutupi wajahnya yang pucat. Napasnya terdengar pelan, nyaris tak beraturan, sementara tangannya yang lemah masih mencengkeram gelas kosong di depannya. Aroma alkohol bercampur dengan parfumnya yang khas menyeruak ke udara, membuat Daniel mengerutkan kening. Baru kali ini ia melihat Sophia sepuruk ini. Lima tahun mereka bersama, dan tak sekalipun ia melihatnya kehilangan kendali seperti ini. Sophia selalu menjadi wanita yang kuat, yang selalu tersenyum meskipun hatinya terluka, yang selalu bangkit meskipun ia jatuh berkali-kali. Tapi malam ini, wanita itu tampak seperti seseorang yang telah kehilangan segalanya. Daniel menghela napas panjang, l
Udara malam ini terasa begitu dingin, menusuk hingga ke tulang. Namun, anehnya, butiran keringat seukuran biji jagung terus bermunculan di dahi Daniel, mengalir perlahan di sepanjang pelipisnya. Sejak tadi, ia menahan tubuhnya di atas wanita yang terbaring di bawahnya, matanya dipenuhi kilatan hasrat yang sulit dijelaskan. Jemarinya menjelajah dengan lembut, seolah ingin menghafal setiap lekuk yang telah begitu familiar baginya. Sophia selalu memiliki cara untuk membuatnya tenggelam, terperangkap dalam cinta yang tak berujung. Daniel telah bertemu banyak wanita—wajah-wajah cantik yang datang dan pergi dalam hidupnya—namun tidak ada satu pun yang mampu mengikatnya seperti Sophia. Ada sesuatu dalam diri wanita itu, sesuatu yang tak bisa ia temukan pada siapa pun. Bukan sekadar kecantikan atau kelembutan, tapi sebuah daya tarik yang membuatnya tak bisa berpaling, tak peduli seberapa jauh ia mencoba melangkah. Napasnya memburu, terengah-engah seiring dengan bahunya yang naik turun, m
Sophia merasakan bulu kuduknya berdiri saat melihat wajah pucat Andrew. Pria itu jelas ketakutan. Siapa orang-orang yang ia maksud? Tiba-tiba, pintu bar terbuka kembali, dan seorang pria bertubuh tinggi dengan pakaian serba hitam melangkah masuk. Namun, yang membuat jantung Sophia berdetak lebih kencang bukan hanya posturnya yang mengintimidasi—melainkan topeng hitam yang menutupi separuh wajahnya. Pria itu melangkah mendekat dengan tatapan tajam. Sophia bisa merasakan aura mengancam yang menyelimuti ruangan, membuatnya secara refleks mundur selangkah. Andrew menggertakkan giginya. Ia menoleh pada Sophia dengan ekspresi serius. "Aku bilang pergi dari sini sekarang!" bisiknya tajam. Tapi Sophia tetap diam di tempatnya, hatinya berdebar kencang. Jika ia pergi sekarang, bisa saja Andrew tidak akan pernah mau bicara lagi. Ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk mengetahui siapa dalang di balik kecelakaan ayahnya. "Siapa dia?" bisik Sophia, matanya tetap mengawasi pria bertopeng y
Malam ini, Sophia duduk di sebuah kafe kecil. Ia menggenggam cangkir kopinya, tetapi bahkan kehangatannya tidak mampu meredakan kegelisahannya. Sejak menerima telepon dari John, ia tidak bisa berpikir jernih. Malam ini, ia akan mengetahui siapa yang telah menabrak ayahnya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Tak lama kemudian, John duduk di depannya, meletakkan sebuah amplop cokelat di atas meja. Ekspresinya serius, membuat Sophia semakin gelisah. "Aku sudah menemukan orangnya," ucap John tanpa basa-basi. Jantung Sophia berdegup semakin kencang. "Siapa dia?" tanyanya dengan suara bergetar. John menghela napas sebelum mendorong amplop itu ke arahnya. "Dia seorang sopir truk. Sudah bekerja di perusahaan konstruksi selama dua tahun terakhir." Tangan Sophia sedikit gemetar saat mengambil amplop itu. Ia membuka segelnya dengan hati-hati, menarik selembar kertas berisi foto seseorang. Matanya langsung terpaku pada wajah di dalam foto itu. "Laki-laki ini ..." bisiknya. J
"Sophia, kau kenapa?" Suara Daniel terdengar panik saat melihat wajah Sophia yang tiba-tiba menegang, tangannya mencengkeram perut seperti menahan sakit. Sophia mencoba menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri, meskipun rasa mulas yang menusuk itu membuatnya sulit untuk berbicara dengan normal. "Aku … tidak apa-apa. Perutku hanya sedikit mulas saja." Daniel menatapnya dengan ragu, jelas tidak percaya dengan jawaban itu. "Jangan memaksakan diri." Dengan lembut, ia membantunya untuk berbaring di tempat tidur. Tangan hangatnya menopang bahu Sophia, lalu membenarkan bantal di belakang kepalanya agar lebih nyaman. Tatapannya tetap terfokus pada wajahnya, seolah-olah memastikan bahwa Sophia benar-benar baik-baik saja. "Seharusnya kau lebih banyak istirahat," gumamnya pelan. Sophia hanya mengangguk lemah. Namun, detik berikutnya, ia tersentak pelan saat merasakan sesuatu. Sebuah sentuhan lembut di perutnya. Daniel, tanpa ragu, meletakkan tangannya di atas perut Sophia. Telapak tan
Maid berjalan dengan hati-hati menyusuri koridor menuju kamar Sophia. Di atas nampan yang ia bawa, cangkir porselen berisi susu hangat bergoyang sedikit, tetapi tetap berada dalam keseimbangan. Aroma lembutnya menyebar di udara, menciptakan rasa nyaman. Setibanya di depan kamar, maid mengetuk pintu dengan sopan. "Nyonya Sophia, ini saya. Saya membawakan susu untuk Anda." Tak ada jawaban langsung. Maid menunggu beberapa detik sebelum kembali mengetuk, kali ini sedikit lebih keras. Barulah terdengar suara pelan dari dalam. "Masuklah." Dengan lembut, maid mendorong pintu dan melangkah masuk. Sophia sedang duduk di tempat tidur, bersandar pada bantal tebal. Wajahnya masih terlihat sedikit pucat, tetapi ia sudah jauh lebih baik dibanding sebelumnya. "Terima kasih," kata Sophia lemah, mencoba tersenyum saat melihat maid itu mendekat. "Susu hangatnya baru saja dibuat, Nyonya. Minumlah selagi masih hangat," ujar maid sambil meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur
Mansion William sore ini terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya matahari yang mulai meredup menyorot jendela-jendela besar, memberi kesan nyaman di dalam rumah megah itu. Saat mobil yang membawa Sophia dan David berhenti di depan pintu utama, seorang pelayan dengan sigap membukakan pintu mobil untuk mereka. Sophia melangkah turun dengan hati-hati. Tubuhnya masih terasa sedikit lemah, tapi setidaknya lebih baik dibandingkan saat ia pingsan beberapa hari lalu. Pandangannya langsung menangkap sosok William yang berdiri di depan pintu, menatapnya dengan perhatian. "Sophia, bagaimana keadaanmu?" suara berat William terdengar hangat, membuat hati Sophia sedikit tenang. Ia tersenyum, berusaha meyakinkan pria tua itu. "Aku baik-baik saja, Kakek. Dokter bilang aku hanya sedikit demam." William mengangguk, meski garis khawatir di wajahnya belum sepenuhnya hilang. "Kamu harus banyak istirahat, jangan terlalu capek, apalagi sekarang kamu sedang hamil. Kamu harus menjaga kesehatanmu, menge
Laura menatap layar ponselnya dengan kesal. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Daniel, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Jemarinya mengetuk meja dengan tidak sabar, matanya menatap layar yang kembali menampilkan panggilan tak terjawab. "Kenapa sih, Daniel?!" gerutunya, lalu melempar ponselnya ke sofa dengan kasar. Saat itu juga, Anne melangkah masuk dan langsung menangkap ekspresi kesal di wajah Laura. Ia mendekati wanita itu dengan alis sedikit berkerut. "Kau kenapa?" tanyanya ingin tahu. Laura mendesah frustrasi, lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Aku sudah menelepon Daniel berkali-kali, tapi dia sama sekali tidak mengangkat panggilanku. Aku tidak tahu dia sedang di mana dan apa yang sedang dia lakukan." Anne menatapnya dengan sorot mata penuh pertimbangan, lalu duduk di samping Laura. Ia menghela napas pelan sebelum akhirnya berkata, "Aku sendiri tidak tahu mengapa Daniel begitu khawatir terhadap Sophia. Apalagi sejak dulu, aku selalu merasa ada sesuatu di ant
Daniel menghapus air mata yang jatuh di pelupuk mata Sophia dengan pelan. Ibu jarinya menyapu pipi wanita itu dengan hati-hatian, ia takut menyakiti Sophia lebih jauh. Manik mata mereka beradu. Namun, Sophia segera mengalihkan pandangannya, ia tidak sanggup menatap Daniel lama-lama. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, hm?" suara Daniel terdengar rendah. Sophia mencoba tersenyum, tetapi yang terbentuk di bibirnya hanya lengkungan samar yang menyakitkan. Hatinya terasa begitu sesak, dipenuhi oleh pertanyaan yang sejak dulu selalu ia pendam. Apakah semua ini hanya perasaannya sendiri? Apakah selama lima tahun terakhir, hanya ia yang jatuh cinta tanpa pernah benar-benar dicintai? Kenangan itu menyeruak, membawanya kembali ke masa lalu. Ia mengingat bagaimana ia selalu menunggu Daniel mengatakan cinta padanya. Lima tahun mereka bersama, melewati begitu banyak kebersamaan—dari momen sederhana hingga kebahagiaan yang seharusnya sempurna. Tapi selama itu juga, tidak sekalipun Daniel meng
Daniel menggulung lengan kemejanya hingga ke siku, membiarkan kulitnya terbuka pada udara dingin ruangan. Pandangannya jatuh pada mangkuk bubur yang masih mengepulkan uap tipis di atas nakas. Ia meraih mangkuk itu, jemarinya melingkari sisi keramik yang masih hangat. Ia beralih ke sisi tempat tidur, menarik kursi mendekat sebelum duduk. Matanya mengamati sosok di depannya—wajah pucat itu, bibir kering yang sedikit terbuka, serta napas yang terdengar lemah. Bahkan tanpa menyentuhnya, ia bisa merasakan betapa rapuhnya perempuan ini sekarang. "Sophia," panggilnya lembut. Ia menyendok bubur ke dalam sendok dan meniupnya perlahan. "Makanlah. Kamu butuh tenaga agar cepat sembuh." Perempuan itu menggeleng pelan, matanya tak sekalipun bertemu dengan milik Daniel. "Aku tidak berselera." Suaranya nyaris tak terdengar, begitu pelan hingga hampir menyatu dengan keheningan di antara mereka. Daniel menatapnya, rahangnya mengencang. Ia meletakkan sendok ke dalam mangkuk, lalu menghela napas ber
Kelopak mata Sophia perlahan bergerak, perlahan ia lalu membuka mata. Cahaya dari jendela membuatnya harus berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan pandangannya. Napasnya masih terasa berat, dan tubuhnya lemas. Namun, hal pertama yang membuatnya terkejut bukanlah rasa sakit di kepalanya—melainkan sosok pria yang duduk di sampingnya. "Daniel …" gumamnya parau. Tenggorokannya terasa kering, suaranya nyaris tak keluar. Daniel menoleh dengan cepat begitu mendengar suara Sophia. "Kamu sudah sadar," katanya, nada suaranya terdengar lega. Sophia masih berusaha memahami situasinya. Matanya mengedarkan pandangan ke sekitar, mencoba mengenali tempat ini. Bau khas antiseptik langsung menyadarkannya—ia berada di rumah sakit. "Aku di rumah sakit?" bisiknya. Pikirannya mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Terakhir yang ia ingat, ia sedang menuruni tangga … lalu semuanya menjadi buram. "Di mana David?" tanya Sophia, sembari menyapu ke setiap penjuru ruangan mencari sosok suaminya, tap