Home / Romansa / Menjadi Istri Keponakan sang Mantan / Bab 1 : Bara di Balik Pengkhianatan

Share

Menjadi Istri Keponakan sang Mantan
Menjadi Istri Keponakan sang Mantan
Author: Vanilla_Nilla

Bab 1 : Bara di Balik Pengkhianatan

Author: Vanilla_Nilla
last update Last Updated: 2025-01-24 16:48:47

“Berani-beraninya kau mengkhianatiku, Daniel. Kau pikir kau bisa bersenang-senang bersama mereka tanpa peduli perasaanku.”

Sophia Gabriella berdiri di pintu masuk bar, tubuhnya kaku seperti patung. Sepasang matanya yang biasanya hangat, kini memancarkan api amarah yang membara.

Pemandangan di depannya mengiris hatinya tanpa ampun. Daniel, lelaki yang selama ini ia cintai, terlihat begitu nyaman dikelilingi oleh wanita-wanita yang tertawa riang di sampingnya.

Namun, yang lebih menyakitkan bagi Sophia adalah cara wanita-wanita itu memperlakukan Daniel. Mereka duduk terlalu dekat, tubuh mereka seolah sengaja bersentuhan dengan Daniel setiap kali mereka bergerak. Salah satu dari mereka, perlahan menyentuh lengan Daniel, jari-jarinya yang lentik bermain di sepanjang otot-otot Daniel yang terlihat di balik lengan kemeja yang tergulung.

Daniel tidak menepis sentuhan itu. Sebaliknya, ia tetap tenang, bahkan menoleh sedikit untuk membalas candaan mereka. Jelas terlihat, ia menikmati perhatian yang diberikan oleh wanita-wanita itu, tanpa mempedulikan bahwa ada seseorang yang hatinya sedang hancur berkeping-keping di pintu masuk bar.

Dengan langkah tegas, Sophia berjalan melewati kerumunan. Sepatunya yang berhak tinggi menghasilkan bunyi tegas di lantai kayu. Beberapa pasang mata kini mengarah padanya. Namun, perhatian itu tidak membuatnya gentar. Sophia berhenti tepat di depan meja Daniel.

Daniel mendongak perlahan, menatap wanita yang ada di hadapannya. Tidak ada rasa bersalah di matanya sedikit pun. “Sophia.”

Nama itu meluncur dari bibirnya, begitu ringan, seolah ia tidak tahu badai yang telah menumpuk di hati wanita itu.

Sophia tidak menjawab. Ia melepas jaket kulit hitam yang melekat di tubuhnya, memperlihatkan gaun merah yang pas di tubuhnya. Sekilas, ia sama seperti wanita-wanita yang ada di bar itu. Tanpa meminta izin, ia meraih gelas minuman di atas meja Daniel, lalu meneguknya hingga tandas. Cairan itu membakar tenggorokannya, tetapi ia tidak peduli.

Ia meletakkan gelas itu dengan keras ke meja. “Apa aku tidak pernah cukup untukmu?” Suaranya tenang, tapi ada bara api di setiap katanya.

Daniel mengangkat satu alis. “Apa yang kamu bicarakan, Sophia?”

Sophia mendekat, matanya menatap tajam seperti belati. Tangannya meraih kerah kemeja Daniel, menariknya hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. “Aku sudah memberikan semuanya untukmu, Daniel. Waktuku, perasaanku, hidupku. Tapi kau? Kau bahkan tidak bisa menghargai hubungan ini!”

Wajah Daniel tetap tenang, meski ada kilatan emosi singkat di matanya. “Aku tidak pernah memintamu melakukan semua itu,” balasnya dengan suara rendah. “Kamu yang memilih untuk bertahan.”

Kata-kata itu menghantam Sophia seperti gelombang dingin. Apakah bertahan di sisi Daniel adalah salahnya?

Selama lima tahun terakhir, Sophia yang selalu berusaha menjaga hubungan ini tetap bertahan. Ia yang selalu meminta maaf, bahkan ketika bukan ia yang bersalah. Dengan sabar, Sophia selalu menunggu Daniel untuk berubah, berharap suatu hari pria itu akan mencintainya dengan tulus seperti ia mencintai Daniel. Tapi selama itu pula, Sophia yang harus menelan pahitnya kenyataan bahwa perasaannya tidak pernah benar-benar dibalas.

“Coba katakan padaku. Apa kurangku selama ini? Apa aku kurang baik untukmu? Apa aku kurang sabar menghadapi sikapmu yang selalu dingin padaku?”

Perasaan itu datang lagi—sensasi sesak yang seolah menekan dada Sophia. Ia mencoba menahan air mata, tapi semakin berusaha, semakin sulit baginya untuk bernapas. Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Lima tahun ia menekan dirinya sendiri demi Daniel, menahan kecewa demi hubungan yang hanya ia perjuangkan sendirian.

“Apa kamu benar-benar tidak pernah peduli padaku? Aku sudah memberikan segalanya, Daniel. Segalanya ....”

Mata Daniel sedikit menyipit, tapi ia tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya mengangkat gelasnya lagi, menyesap cairan yang ada di dalamnya, seolah-olah ucapan Sophia hanya angin lalu yang tidak layak mendapatkan perhatiannya.

“Lihat aku!” bentak Sophia. “Lihat aku, Daniel! Jangan terus berpura-pura seperti aku tidak ada di sini!”

Bar seketika terasa lebih sunyi, atau mungkin hanya perasaan Sophia yang terlalu terfokus pada pria di depannya. Ia tidak peduli dengan mata-mata yang mulai melirik ke arah mereka. Malu? Tidak ada rasa itu lagi. Yang tersisa hanyalah keinginan untuk mendapat jawaban, sebuah pengakuan, apa pun yang bisa membuktikan bahwa ia tidak salah memilih pria ini.

Namun Daniel tetap dingin. Ia akhirnya meletakan gelasnya ke meja, lalu berkata, “Apa lagi yang kamu inginkan dariku, Sophia?”

Pertanyaan itu membuat Sophia kehilangan kata-kata. Apa lagi? Apakah Daniel tidak tahu? Atau, lebih tepatnya, apakah ia tidak peduli? Hati Sophia serasa diremas, sakitnya begitu nyata hingga ia ingin menjerit. Tapi ia tahu, jeritannya tidak akan mengubah apa pun.

“Kalau kamu merasa lelah, kamu tahu pintu keluar ada di sana.” Jari Daniel menunjuk ke arah pintu bar tanpa menoleh. “Aku tidak pernah memaksamu untuk bertahan.”

Sophia terdiam. Pernyataan itu seperti belati yang menusuk tepat ke jantungnya. Selama ini, ia mencoba menenangkan dirinya dengan berpikir bahwa Daniel butuh waktu. Bahwa pria ini mencintainya, hanya saja tidak tahu bagaimana caranya menunjukkan. Tapi sekarang, di bawah lampu bar yang suram, kebenaran itu menyakitkan—Daniel tidak pernah benar-benar peduli.

Lima tahun ia bertahan, lima tahun ia mengorbankan dirinya, hanya untuk mendengar bahwa ia bisa pergi kapan saja.

Udara di sekitar mereka terasa menyesakkan. Sophia menatap Daniel, mencoba menemukan sesuatu di matanya—penyesalan, kehangatan, atau setidaknya setitik rasa cinta. Tapi yang ia lihat hanyalah kekosongan. Pria itu tidak berubah, dan mungkin tidak akan pernah berubah.

Sambil menahan napas, Sophia menarik dirinya mundur perlahan. “Aku bodoh. Bodoh karena berharap kamu bisa berubah.”

Daniel tidak merespons. Ia hanya meneguk minuman terakhirnya sebelum kembali bersandar di kursi, seolah-olah momen itu sama sekali tidak penting baginya.

Sophia tahu, saat itu juga, bahwa ia harus pergi. Bukan karena Daniel memintanya, tetapi karena ia akhirnya sadar, ia tidak pantas diperlakukan seperti ini.

“Baiklah, jika kamu ingin aku pergi, aku akan pergi.”

Daniel mengangkat alis, bibirnya melengkung membentuk senyum sinis yang membuat Sophia semakin terluka. “Kamu selalu mengatakan itu, tapi nyatanya, kamu selalu kembali padaku.”

“Kali ini aku benar-benar lelah. Kamu bebas sekarang. Kamu bebas melakukan apa saja yang kamu inginkan. Aku tidak akan melarangmu lagi. Aku tidak akan mencari atau mengganggumu lagi. Tenang saja, Daniel, kamu tidak akan menemukanku di sudut mana pun.”

Daniel menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai, seperti seorang raja yang sedang menilai bawahannya. Wajahnya tampak tanpa cela—hidung mancung sempurna, rahang tegas yang membuatnya terlihat begitu maskulin. Namun, yang paling mencolok adalah matanya—tajam seperti elang yang mengintai mangsanya, seolah mampu membaca setiap pikiran Sophia.

Ia memiringkan kepala sedikit, memindai Sophia dari kepala hingga ujung kaki, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Mau coba lari dariku?”

Lelaki itu segera berdiri. Sosoknya yang tinggi dan tegap membuat siapa pun yang melihatnya sulit mengalihkan pandangan. Ia melangkah maju perlahan, memperkecil jarak di antara mereka. “Sejauh apa pun kamu lari. Aku pasti akan menemukanmu.”

Sophia berjalan mundur setiap kali Daniel melangkah maju. Jarak di antara mereka semakin berkurang, hingga Sophia merasa sudut pandangnya hanya dipenuhi oleh sosok pria itu. Namun, tanpa ia sadari, langkah mundurnya terhenti ketika tubuhnya menabrak seorang bartender yang sedang membawa minuman.

Sophia tersentak kaget. “Hh, hah ….”

Praang!

Gelas-gelas di atas nampan itu jatuh berserakan, suara kaca pecah bergema di antara dentuman musik bar. Cairan berwarna-warni membasahi lantai dan sepatu Sophia, membuat suasana di sekitar mereka sejenak teralihkan.

Sang bartender mengumpat pelan sambil jongkok untuk membersihkan kekacauan itu, sementara Sophia berbalik cepat, wajahnya memerah karena malu. Namun, sebelum ia sempat meminta maaf, Daniel sudah lebih dulu berbicara.

“Tsk, lihat apa yang kamu lakukan?” ucapnya datar, tapi bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang membuat Sophia semakin merasa terkunci di dalam permainan pria itu. “Bahkan saat mencoba menjauh dariku, kamu tetap membuat kekacauan.”

Related chapters

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 2 : Perpisahan yang Membekas

    Daniel Alexander Williams, pria berusia 30 tahun dengan aura kharismatik yang sulit diabaikan menatap pelayan bar itu dengan santai, seolah-olah kekacauan yang baru saja terjadi bukanlah masalah besar. Pria yang memiliki wajah tegas dengan rahang kuat, dan mata gelap yang selalu sulit ditebak, segera merogoh dompet kulit hitam dari sakunya, lalu menarik beberapa lembar uang tunai. Tanpa tergesa, ia menyerahkannya kepada pelayan. “Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan mengganti kerugiannya.” Pelayan itu terlihat ragu, tapi akhirnya menerima uang tersebut. “Terima kasih, Tuan.” Ia membungkuk sedikit, kemudian pergi. Sementara itu, Sophia berdiri terpaku. Tubuhnya ramping dengan gaun merah yang membungkusnya sempurna, menonjolkan kulitnya yang sehalus porselen. Matanya, yang biasanya lembut seperti cokelat hangat, kini menatap Daniel dengan sorot terluka. Jantungnya masih berdetak kencang, bukan karena kejadian barusan, tetapi karena intensitas Daniel yang selalu membuatnya sulit berna

    Last Updated : 2025-01-24
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 3 : Pertemuan Tak Terduga

    Cermin besar di sudut kamar memantulkan bayangan Sophia yang tengah bersiap. Jemari rampingnya dengan cermat mengancingkan perhiasan sederhana di lehernya—sebuah kalung perak kecil dengan liontin berbentuk bunga yang pernah diberikan almarhum neneknya. Gaun satin biru langit yang ia kenakan pas di tubuh, mengalir anggun hingga menutupi lutut. Rambut hitam yang biasanya tergerai, kali ini digulung ke atas dengan beberapa helaian dibiarkan jatuh.Namun, matanya yang cokelat gelap menyiratkan kegelisahan. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Di seberang kamar, Rose berdiri dengan tangan terlipat di dada, mengamati putrinya yang tengah berdandan. “Kamu terlihat cantik, Sophia.” Sophia hanya mengangguk. “Apakah aku harus bertemu dengannya sekarang?” Rose menghela napas. “Ini untuk masa depanmu, Sophia.” Robert muncul di ambang pintu, mengenakan setelan jas hitam yang tidak terlalu sering ia pakai. “Waktunya berangkat,” katanya tegas. “Jangan membuat keluarga in

    Last Updated : 2025-01-24
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 4 : Pertemuan yang Menghidupkan Luka Lama

    Semua mata di ruangan itu sontak tertuju ke arah pintu ketika suara langkah sepatu terdengar. Sosok seorang pria dengan wajah tampan dan aura dingin memasuki ruangan, menarik perhatian setiap orang yang hadir. Tubuhnya tegap, mengenakan setelan hitam yang membalut sempurna lekuk tubuhnya, membuatnya tampak berwibawa. Sophia terpaku di tempatnya, matanya membelalak saat menyadari siapa pria itu.Daniel.Napasnya tersengal. Pria yang berdiri di hadapannya kini bukan lagi Daniel yang ia kenal beberapa hari lalu. Pria ini tampak jauh lebih berkelas. Sophia meremas gaun di tangannya, mencoba menenangkan dirinya, tetapi dadanya sudah naik turun seiring dengan detak jantungnya yang semakin tak terkendali.“Akhirnya kamu kembali juga.” Edward menatap tajam ke arah Daniel, matanya dipenuhi dengan kebencian yang tak tersamarkan. Lima tahun anak haram itu pergi meninggalkan rumah, dan sekarang ia kembali lagi, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.Daniel menghentikan langkahnya tepat di teng

    Last Updated : 2025-01-24
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 5 : Di Antara Cinta dan Kekuasaan

    Daniel bergerak cepat. Dalam satu langkah sigap, ia menarik Sophia lebih dekat, membekap mulut gadis itu dengan bibirnya. Tubuh Sophia yang kecil bergetar hebat di bawah sentuhan itu, bukan karena kelembutan, tetapi karena rasa takut yang menjalari tubuhnya. Langkah kaki di luar semakin mendekat, disertai suara pintu yang berderit ketika terbuka. Daniel memutar tubuhnya sedikit, memposisikan mereka agar tersembunyi di balik salah satu lemari besar di sudut ruangan. Jarak antara keduanya begitu tipis, aroma tubuh Daniel yang khas bercampur dengan parfumnya memenuhi indera penciuman Sophia. Sosok Lewis, kepala pelayan mansion, muncul di ambang pintu. Ia melangkah masuk perlahan, pandangannya menyapu seluruh ruangan. “Siapa di sana?” Sophia hampir melompat mendengar suara itu, tetapi tangan Daniel yang besar dan kokoh memegang pinggangnya erat, menahannya agar tetap diam. Tubuhnya semakin gemetar, berharap Lewis tidak menemukan mereka. Lewis berjalan lebih jauh ke dalam ruangan, me

    Last Updated : 2025-01-24
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 6 : Takdir yang Mempermainkan

    “Wanita mana yang bisa menolak keponakanku ini?” Daniel berkata dengan santai. Akan tetapi, ada sesuatu dalam suaranya yang membuat ruangan itu terasa lebih tegang. Percakapan langsung terhenti. Semua yang duduk di sofa menoleh ke arahnya, memperhatikan pria yang kini berdiri tegak di hadapan mereka. David, yang sejak tadi terlihat tenang, kini tampak lebih ceria. Sorot kebanggaan muncul di matanya saat mendengar pujian dari pamannya. “Paman, Paman terlalu berlebihan,” ucap David dengan sedikit tawa, meski ada rona malu di wajahnya. Daniel mengangkat alisnya sedikit, ekspresi santainya tak berubah. “Tidak, aku hanya mengatakan fakta,” balasnya tenang. “Di luar sana banyak wanita yang ingin memilikimu, David. Kau bukan hanya pekerja keras, tetapi juga kebanggaan keluarga kita.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Daniel, tetapi matanya justru tertuju pada seseorang di hadapannya—Sophia. Gadis itu duduk dengan tubuh sedikit tegang, jemarinya meremas gaun di pangkuannya.

    Last Updated : 2025-02-11
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 7 : Masa Lalu yang Tak Pernah Hilang

    Suara dentingan gelas dan alunan musik pelan memenuhi sudut bar yang remang-remang. Cahaya lampu temaram memantulkan kilau keemasan di permukaan minuman dalam gelas-gelas kristal yang berjajar rapi di meja bartender. Di salah satu sudut ruangan, dua wanita duduk berhadapan, dengan ekspresi yang kontras. Jane menatap Sophia lekat-lekat, matanya menyipit seakan mencoba memahami sesuatu yang sulit dicerna. Ia baru saja mendengar pengakuan mengejutkan dari sahabatnya, dan itu membuatnya nyaris tidak percaya.“Kau serius? Kau benar-benar menerima perjodohan ini?” Jane menatap sahabatnya dengan tajam, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah tenangnya. Ketika Sophia pertama kali memberitahunya tentang perjodohan itu, ia hampir tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Rasa keterkejutan itu masih melekat, berputar dalam pikirannya seperti badai yang tak kunjung reda. Bagaimana mungkin Sophia setuju untuk menikah dengan pria lain? Selama ini, Jane tahu betul bahwa hati

    Last Updated : 2025-02-11

Latest chapter

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 7 : Masa Lalu yang Tak Pernah Hilang

    Suara dentingan gelas dan alunan musik pelan memenuhi sudut bar yang remang-remang. Cahaya lampu temaram memantulkan kilau keemasan di permukaan minuman dalam gelas-gelas kristal yang berjajar rapi di meja bartender. Di salah satu sudut ruangan, dua wanita duduk berhadapan, dengan ekspresi yang kontras. Jane menatap Sophia lekat-lekat, matanya menyipit seakan mencoba memahami sesuatu yang sulit dicerna. Ia baru saja mendengar pengakuan mengejutkan dari sahabatnya, dan itu membuatnya nyaris tidak percaya.“Kau serius? Kau benar-benar menerima perjodohan ini?” Jane menatap sahabatnya dengan tajam, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah tenangnya. Ketika Sophia pertama kali memberitahunya tentang perjodohan itu, ia hampir tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Rasa keterkejutan itu masih melekat, berputar dalam pikirannya seperti badai yang tak kunjung reda. Bagaimana mungkin Sophia setuju untuk menikah dengan pria lain? Selama ini, Jane tahu betul bahwa hati

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 6 : Takdir yang Mempermainkan

    “Wanita mana yang bisa menolak keponakanku ini?” Daniel berkata dengan santai. Akan tetapi, ada sesuatu dalam suaranya yang membuat ruangan itu terasa lebih tegang. Percakapan langsung terhenti. Semua yang duduk di sofa menoleh ke arahnya, memperhatikan pria yang kini berdiri tegak di hadapan mereka. David, yang sejak tadi terlihat tenang, kini tampak lebih ceria. Sorot kebanggaan muncul di matanya saat mendengar pujian dari pamannya. “Paman, Paman terlalu berlebihan,” ucap David dengan sedikit tawa, meski ada rona malu di wajahnya. Daniel mengangkat alisnya sedikit, ekspresi santainya tak berubah. “Tidak, aku hanya mengatakan fakta,” balasnya tenang. “Di luar sana banyak wanita yang ingin memilikimu, David. Kau bukan hanya pekerja keras, tetapi juga kebanggaan keluarga kita.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Daniel, tetapi matanya justru tertuju pada seseorang di hadapannya—Sophia. Gadis itu duduk dengan tubuh sedikit tegang, jemarinya meremas gaun di pangkuannya.

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 5 : Di Antara Cinta dan Kekuasaan

    Daniel bergerak cepat. Dalam satu langkah sigap, ia menarik Sophia lebih dekat, membekap mulut gadis itu dengan bibirnya. Tubuh Sophia yang kecil bergetar hebat di bawah sentuhan itu, bukan karena kelembutan, tetapi karena rasa takut yang menjalari tubuhnya. Langkah kaki di luar semakin mendekat, disertai suara pintu yang berderit ketika terbuka. Daniel memutar tubuhnya sedikit, memposisikan mereka agar tersembunyi di balik salah satu lemari besar di sudut ruangan. Jarak antara keduanya begitu tipis, aroma tubuh Daniel yang khas bercampur dengan parfumnya memenuhi indera penciuman Sophia. Sosok Lewis, kepala pelayan mansion, muncul di ambang pintu. Ia melangkah masuk perlahan, pandangannya menyapu seluruh ruangan. “Siapa di sana?” Sophia hampir melompat mendengar suara itu, tetapi tangan Daniel yang besar dan kokoh memegang pinggangnya erat, menahannya agar tetap diam. Tubuhnya semakin gemetar, berharap Lewis tidak menemukan mereka. Lewis berjalan lebih jauh ke dalam ruangan, me

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 4 : Pertemuan yang Menghidupkan Luka Lama

    Semua mata di ruangan itu sontak tertuju ke arah pintu ketika suara langkah sepatu terdengar. Sosok seorang pria dengan wajah tampan dan aura dingin memasuki ruangan, menarik perhatian setiap orang yang hadir. Tubuhnya tegap, mengenakan setelan hitam yang membalut sempurna lekuk tubuhnya, membuatnya tampak berwibawa. Sophia terpaku di tempatnya, matanya membelalak saat menyadari siapa pria itu.Daniel.Napasnya tersengal. Pria yang berdiri di hadapannya kini bukan lagi Daniel yang ia kenal beberapa hari lalu. Pria ini tampak jauh lebih berkelas. Sophia meremas gaun di tangannya, mencoba menenangkan dirinya, tetapi dadanya sudah naik turun seiring dengan detak jantungnya yang semakin tak terkendali.“Akhirnya kamu kembali juga.” Edward menatap tajam ke arah Daniel, matanya dipenuhi dengan kebencian yang tak tersamarkan. Lima tahun anak haram itu pergi meninggalkan rumah, dan sekarang ia kembali lagi, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.Daniel menghentikan langkahnya tepat di teng

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 3 : Pertemuan Tak Terduga

    Cermin besar di sudut kamar memantulkan bayangan Sophia yang tengah bersiap. Jemari rampingnya dengan cermat mengancingkan perhiasan sederhana di lehernya—sebuah kalung perak kecil dengan liontin berbentuk bunga yang pernah diberikan almarhum neneknya. Gaun satin biru langit yang ia kenakan pas di tubuh, mengalir anggun hingga menutupi lutut. Rambut hitam yang biasanya tergerai, kali ini digulung ke atas dengan beberapa helaian dibiarkan jatuh.Namun, matanya yang cokelat gelap menyiratkan kegelisahan. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Di seberang kamar, Rose berdiri dengan tangan terlipat di dada, mengamati putrinya yang tengah berdandan. “Kamu terlihat cantik, Sophia.” Sophia hanya mengangguk. “Apakah aku harus bertemu dengannya sekarang?” Rose menghela napas. “Ini untuk masa depanmu, Sophia.” Robert muncul di ambang pintu, mengenakan setelan jas hitam yang tidak terlalu sering ia pakai. “Waktunya berangkat,” katanya tegas. “Jangan membuat keluarga in

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 2 : Perpisahan yang Membekas

    Daniel Alexander Williams, pria berusia 30 tahun dengan aura kharismatik yang sulit diabaikan menatap pelayan bar itu dengan santai, seolah-olah kekacauan yang baru saja terjadi bukanlah masalah besar. Pria yang memiliki wajah tegas dengan rahang kuat, dan mata gelap yang selalu sulit ditebak, segera merogoh dompet kulit hitam dari sakunya, lalu menarik beberapa lembar uang tunai. Tanpa tergesa, ia menyerahkannya kepada pelayan. “Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan mengganti kerugiannya.” Pelayan itu terlihat ragu, tapi akhirnya menerima uang tersebut. “Terima kasih, Tuan.” Ia membungkuk sedikit, kemudian pergi. Sementara itu, Sophia berdiri terpaku. Tubuhnya ramping dengan gaun merah yang membungkusnya sempurna, menonjolkan kulitnya yang sehalus porselen. Matanya, yang biasanya lembut seperti cokelat hangat, kini menatap Daniel dengan sorot terluka. Jantungnya masih berdetak kencang, bukan karena kejadian barusan, tetapi karena intensitas Daniel yang selalu membuatnya sulit berna

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 1 : Bara di Balik Pengkhianatan

    “Berani-beraninya kau mengkhianatiku, Daniel. Kau pikir kau bisa bersenang-senang bersama mereka tanpa peduli perasaanku.” Sophia Gabriella berdiri di pintu masuk bar, tubuhnya kaku seperti patung. Sepasang matanya yang biasanya hangat, kini memancarkan api amarah yang membara. Pemandangan di depannya mengiris hatinya tanpa ampun. Daniel, lelaki yang selama ini ia cintai, terlihat begitu nyaman dikelilingi oleh wanita-wanita yang tertawa riang di sampingnya. Namun, yang lebih menyakitkan bagi Sophia adalah cara wanita-wanita itu memperlakukan Daniel. Mereka duduk terlalu dekat, tubuh mereka seolah sengaja bersentuhan dengan Daniel setiap kali mereka bergerak. Salah satu dari mereka, perlahan menyentuh lengan Daniel, jari-jarinya yang lentik bermain di sepanjang otot-otot Daniel yang terlihat di balik lengan kemeja yang tergulung. Daniel tidak menepis sentuhan itu. Sebaliknya, ia tetap tenang, bahkan menoleh sedikit untuk membalas candaan mereka. Jelas terlihat, ia menikmati perh

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status