หน้าหลัก / Romansa / Menjadi Istri Keponakan sang Mantan / Bab 4 : Pertemuan yang Menghidupkan Luka Lama

แชร์

Bab 4 : Pertemuan yang Menghidupkan Luka Lama

ผู้เขียน: Vanilla_Nilla
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-01-24 17:08:03

Semua mata di ruangan itu sontak tertuju ke arah pintu ketika suara langkah sepatu terdengar. Sosok seorang pria dengan wajah tampan dan aura dingin memasuki ruangan, menarik perhatian setiap orang yang hadir. Tubuhnya tegap, mengenakan setelan hitam yang membalut sempurna lekuk tubuhnya, membuatnya tampak berwibawa. Sophia terpaku di tempatnya, matanya membelalak saat menyadari siapa pria itu.

Daniel.

Napasnya tersengal. Pria yang berdiri di hadapannya kini bukan lagi Daniel yang ia kenal beberapa hari lalu. Pria ini tampak jauh lebih berkelas. Sophia meremas gaun di tangannya, mencoba menenangkan dirinya, tetapi dadanya sudah naik turun seiring dengan detak jantungnya yang semakin tak terkendali.

“Akhirnya kamu kembali juga.” Edward menatap tajam ke arah Daniel, matanya dipenuhi dengan kebencian yang tak tersamarkan. Lima tahun anak haram itu pergi meninggalkan rumah, dan sekarang ia kembali lagi, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Daniel menghentikan langkahnya tepat di tengah ruangan, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. “Sepertinya, aku datang di waktu yang tidak tepat,” katanya datar, tapi senyuman tipis di sudut bibirnya membuat suasana terasa semakin tegang.

David yang sejak tadi duduk dengan tenang, segera bangkit dan menyambut kehadiran pamannya. “Tidak, Paman. Paman datang tepat waktu,” ucapnya dengan riang, meski ada rasa hormat yang terpancar dalam suaranya. “Kakek hanya sedang mempertemukanku dengan wanita pilihannya.”

Mendengar itu, Daniel mengangkat alis, wajahnya menunjukkan ketertarikan. “Oh?” katanya pelan, suaranya rendah tetapi cukup untuk membuat jantung Sophia semakin berdebar. “Aku ingin tahu … seperti apa wanita pilihan Ayah.”

Tatapan tajam Daniel mulai bergerak, memindai satu per satu orang di ruangan itu, sampai akhirnya berhenti pada Sophia. Matanya menyipit sedikit, senyuman tipis di bibirnya menghilang, digantikan oleh ekspresi dingin yang sulit ditebak.

“Oh, jadi … kamu,” gumam Daniel, kali ini pandangannya terarah pada Sophia dengan sedikit tersenyum. “Wanita pilihan Ayah ternyata cukup … menarik.”

Sophia hanya bisa terdiam, tubuhnya terasa seperti kaku. Ia harus mengatakan sesuatu, atau setidaknya melakukan sesuatu, tetapi lidahnya seolah kelu. Tatapan Daniel terlalu tajam, seperti pisau yang menguliti setiap emosi yang ia coba sembunyikan.

Sementara itu, Rose yang duduk di samping Robert memegang dadanya, matanya tidak bisa lepas dari Daniel. Mulutnya sedikit terbuka, ia jelas terkejut dengan apa yang baru saja ia lihat. Lelaki itu?

Ya, lelaki itu. Lelaki yang dulu mereka anggap tidak pantas untuk Sophia. Lelaki yang mereka pikir hanya orang miskin tanpa masa depan. Kini berdiri di hadapan mereka sebagai bagian dari keluarga William.

“Apa kabar, Ayah?” Daniel akhirnya berbicara lagi, suaranya tenang meski ada nada dingin yang tak bisa disembunyikan. Matanya sedikit melunak saat menatap William, tetapi hanya sejenak, sebelum kembali menajam.

“Aku baik, Daniel. Dan aku senang kamu akhirnya kembali,” jawab William, meskipun ada sesuatu dalam nadanya yang terasa canggung. Sudah lima tahun anaknya itu pergi dan sekarang ia bahagia akhirnya Daniel telah kembali.

“Sepertinya aku telah mengganggu kalian. Silakan lanjutkan saja. Aku akan menunggu sampai selesai,” ucap Daniel sebelum ia berbalik dan meninggalkan ruangan.

Sophia yang melihat itu hanya bisa menatap punggung Daniel yang semakin menjauh. Tangannya yang sedari tadi meremas gaunnya kini perlahan terhenti. Ada kegelisahan di wajahnya. Namun, ia mencoba menyembunyikannya di balik senyumnya yang tipis. “Permisi, saya mau ke toilet sebentar.”

“Toiletnya ada di lorong paling ujung,” jelas William.

Sophia mengangguk, tapi Robert dan Rose yang memperhatikannya, mereka menatap tajam, seolah meminta Sophia untuk tidak pergi. Namun, Sophia tidak memperdulikan mereka. Dengan cepat, ia meninggalkan ruangan itu untuk segera menemui Daniel.

Tepat ketika Daniel berdiri di ujung ruangan, Sophia memanggilnya, suaranya terdengar lirih. Namun, cukup untuk membuat lelaki itu menghentikan langkahnya. “Daniel ....”

Daniel berbalik perlahan, tatapannya langsung bertemu dengan mata Sophia. Pesona keturunan William memang tidak bisa diabaikan, tak bisa dipungkiri saat melihat Daniel, jantung Sophia pun selalu berdetak kencang. Bahkan di saat ini, saat Daniel menatapnya dengan dalam, sangat dalam sampai membuat Sophia gugup.

“Lihatlah, Sophia,” suara Daniel terdengar rendah. “Kamu bilang ingin pergi dariku. Tapi nyatanya, kamu selalu kembali. Kenapa?” Ia melangkah maju, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. “Apa kamu sudah merindukanku, hanya karena kita tidak bertemu beberapa hari ini?”

Sophia menelan ludah, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Tapi ia tahu, sikapnya sudah terlalu terbaca. “Jangan senang dulu. Aku di sini hanya untuk mengatakan sesuatu padamu.”

Daniel menaikkan satu alis. “Oh? Apa itu?”

Sophia mengangkat dagunya, berusaha menjaga wibawanya di depan pria yang selalu membuatnya lemah. “Kenapa kamu berbohong padaku? Kenapa kamu tidak pernah bilang bahwa kamu adalah keturunan William?”

“Apakah sebelumnya kamu pernah bertanya padaku?”

Sophia menggigit bibirnya, dadanya bergemuruh. Dia tahu Daniel benar. Selama ini, dia tidak pernah benar-benar bertanya tentang masa lalu Daniel, karena ia terlalu sibuk menerima apa pun yang lelaki itu tunjukkan. “Tidak ... tapi kamu tetap seharusnya memberitahuku.”

Daniel mendekat lagi, membuat Sophia nyaris terdesak ke dinding. Tangannya terangkat, jari-jari kekarnya menyentuh lembut dagu Sophia, mengangkatnya agar mata mereka bertemu. “Ada banyak hal tentangku yang tidak kamu ketahui, Sophia. Tapi apakah itu mengubah sesuatu? Apa sekarang kamu memandangku berbeda?”

Suaranya begitu tenang, matanya yang gelap menantang Sophia untuk menjawab. Namun, Sophia hanya bisa terdiam, menatap balik dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia ingin membenci lelaki ini, ingin melepaskan diri dari pesonanya. Tapi di saat yang sama, kehangatan yang terpancar dari sentuhan Daniel membuatnya lupa pada segalanya.

“Kamu selalu berkata bahwa kamu tidak memiliki keluarga,” suara Sophia terdengar serak, matanya menatap Daniel dengan kebingungan yang sulit disembunyikan. “Aku hanya ... terkejut saat tahu bahwa kamu keturunan William.”

Perkataan itu seolah menusuk sesuatu di dalam diri Daniel. Lelaki itu perlahan mundur, langkahnya berat seakan kata-kata Sophia baru saja menjatuhkan beban tak terlihat ke atas pundaknya. Tatapan tajamnya bergeser, tidak lagi menatap Sophia. Ia memandang ke arah lain, ke jendela besar yang memantulkan bayangan dirinya, seolah-olah mencari jawaban yang sudah lama hilang.

“Ibuku memang sudah meninggal,” suaranya penuh dengan luka yang sulit disembunyikan. “Aku hanya anak haram di sini.” Ia tertawa. Namun tidak ada kebahagiaan di sana, hanya kepahitan yang terlihat. “Apa yang bisa aku banggakan dari statusku sebagai anak haram?”

Sophia terdiam sejenak, dadanya terasa sesak mendengar pengakuan itu. Ada kesedihan di balik kata-kata Daniel, sesuatu yang membuatnya ingin memeluk lelaki itu, meski ia tahu, Daniel tidak akan membiarkannya.

“Daniel ....” Sophia maju selangkah, mencoba meraih lelaki itu dari kehampaan yang seolah menyelimuti dirinya. “Tapi statusmu tidak membuatmu berbeda di mataku. Aku hanya ingin tahu kenapa kamu menyembunyikannya dariku. Kenapa kamu tidak pernah membiarkan aku masuk ke duniamu?”

Daniel menghela napas panjang, bahunya naik turun seolah sedang menahan beban yang berat. “Karena dunia ini … bukan tempat untukmu. Tempat ini penuh kebohongan, penuh pengkhianatan. Aku tidak ingin kamu terjebak di dalamnya.” Matanya kembali menatap Sophia.

Daniel mendekat lebih jauh, jaraknya hanya beberapa inci dari Sophia. Tangannya yang besar dan kokoh mencengkeram pelan leher jenjang wanita itu, sentuhannya tidak kasar, tetapi cukup untuk membuat Sophia merasa terkunci dalam kendalinya.

“Tapi kenapa, Sophia?” Suara Daniel rendah dan tajam, seperti racun yang meresap perlahan. “Kenapa kamu malah masuk ke kandang singa ini?”

Sophia menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa takut yang mulai menjalar. Ia tahu Daniel selalu memiliki sisi gelap yang sulit ditebak, tetapi tidak pernah sebelumnya ia merasa sekecil ini di hadapannya.

“Daniel, lepaskan,” pintanya, suaranya bergetar. “Kamu menyakitiku.”

Daniel memperhatikan wajah Sophia, matanya seperti mencoba membaca pikiran gadis itu. Namun, perlahan, genggamannya mulai melemah. “Kamu yang datang ke sini,” gumamnya, “dan sekarang kamu takut?”

Sebelum Sophia sempat membalas, suara langkah kaki terdengar dari luar ruangan. Suara berat sepatu menginjak lantai marmer bergema, mendekat dengan cepat.

“Siapa di sana?” Sebuah suara keras dan penuh wibawa menggema di balik pintu yang kini sedikit terbuka.

Jantung Sophia berdegup kencang, nyaris melompat keluar dari dadanya. Ia menoleh cepat ke arah pintu, tubuhnya menegang. Pikiran-pikiran panik mulai bermunculan. Bagaimana jika mereka memergokinya bersama Daniel? Apa yang akan mereka pikirkan? Apa yang akan mereka lakukan?

Sebuah senyum tipis terukir di wajah Daniel ketika melihat wajah panik Sophia. “Tenang saja, Sophia. Mari kita lihat bagaimana kamu bisa keluar dari situasi ini.”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 5 : Di Antara Cinta dan Kekuasaan

    Daniel bergerak cepat. Dalam satu langkah sigap, ia menarik Sophia lebih dekat, membekap mulut gadis itu dengan bibirnya. Tubuh Sophia yang kecil bergetar hebat di bawah sentuhan itu, bukan karena kelembutan, tetapi karena rasa takut yang menjalari tubuhnya. Langkah kaki di luar semakin mendekat, disertai suara pintu yang berderit ketika terbuka. Daniel memutar tubuhnya sedikit, memposisikan mereka agar tersembunyi di balik salah satu lemari besar di sudut ruangan. Jarak antara keduanya begitu tipis, aroma tubuh Daniel yang khas bercampur dengan parfumnya memenuhi indera penciuman Sophia. Sosok Lewis, kepala pelayan mansion, muncul di ambang pintu. Ia melangkah masuk perlahan, pandangannya menyapu seluruh ruangan. “Siapa di sana?” Sophia hampir melompat mendengar suara itu, tetapi tangan Daniel yang besar dan kokoh memegang pinggangnya erat, menahannya agar tetap diam. Tubuhnya semakin gemetar, berharap Lewis tidak menemukan mereka. Lewis berjalan lebih jauh ke dalam ruangan, me

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-24
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 6 : Takdir yang Mempermainkan

    “Wanita mana yang bisa menolak keponakanku ini?” Daniel berkata dengan santai. Akan tetapi, ada sesuatu dalam suaranya yang membuat ruangan itu terasa lebih tegang. Percakapan langsung terhenti. Semua yang duduk di sofa menoleh ke arahnya, memperhatikan pria yang kini berdiri tegak di hadapan mereka. David, yang sejak tadi terlihat tenang, kini tampak lebih ceria. Sorot kebanggaan muncul di matanya saat mendengar pujian dari pamannya. “Paman, Paman terlalu berlebihan,” ucap David dengan sedikit tawa, meski ada rona malu di wajahnya. Daniel mengangkat alisnya sedikit, ekspresi santainya tak berubah. “Tidak, aku hanya mengatakan fakta,” balasnya tenang. “Di luar sana banyak wanita yang ingin memilikimu, David. Kau bukan hanya pekerja keras, tetapi juga kebanggaan keluarga kita.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Daniel, tetapi matanya justru tertuju pada seseorang di hadapannya—Sophia. Gadis itu duduk dengan tubuh sedikit tegang, jemarinya meremas gaun di pangkuanny

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-11
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 7 : Masa Lalu yang Tak Pernah Hilang

    Suara dentingan gelas dan alunan musik pelan memenuhi sudut bar yang remang-remang. Cahaya lampu temaram memantulkan kilau keemasan di permukaan minuman dalam gelas-gelas kristal yang berjajar rapi di meja bartender. Di salah satu sudut ruangan, dua wanita duduk berhadapan, dengan ekspresi yang kontras. Jane menatap Sophia lekat-lekat, matanya menyipit seakan mencoba memahami sesuatu yang sulit dicerna. Ia baru saja mendengar pengakuan mengejutkan dari sahabatnya, dan itu membuatnya nyaris tidak percaya.“Kau serius? Kau benar-benar menerima perjodohan ini?” Jane menatap sahabatnya dengan tajam, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah tenangnya. Ketika Sophia pertama kali memberitahunya tentang perjodohan itu, ia hampir tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Rasa keterkejutan itu masih melekat, berputar dalam pikirannya seperti badai yang tak kunjung reda. Bagaimana mungkin Sophia setuju untuk menikah dengan pria lain? Selama ini, Jane tahu betul bahwa hati

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-11
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 8 : Keinginan Terlarang Sophia

    Selepas kepergian Jane, Daniel tetap berdiri di tempatnya, menatap Sophia tanpa berkedip. Pandangannya begitu tajam, seolah mencoba menembus setiap lapisan pertahanan yang mungkin masih tersisa dalam diri wanita itu. Sophia yang biasanya selalu anggun dan berkelas, kini tampak begitu rapuh. Rambutnya tergerai berantakan, sebagian jatuh menutupi wajahnya yang pucat. Napasnya terdengar pelan, nyaris tak beraturan, sementara tangannya yang lemah masih mencengkeram gelas kosong di depannya. Aroma alkohol bercampur dengan parfumnya yang khas menyeruak ke udara, membuat Daniel mengerutkan kening. Baru kali ini ia melihat Sophia sepuruk ini. Lima tahun mereka bersama, dan tak sekalipun ia melihatnya kehilangan kendali seperti ini. Sophia selalu menjadi wanita yang kuat, yang selalu tersenyum meskipun hatinya terluka, yang selalu bangkit meskipun ia jatuh berkali-kali. Tapi malam ini, wanita itu tampak seperti seseorang yang telah kehilangan segalanya. Daniel menghela napas panjang, l

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-12
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 9 : Badai Baru Saja Dimulai

    Udara malam ini terasa begitu dingin, menusuk hingga ke tulang. Namun, anehnya, butiran keringat seukuran biji jagung terus bermunculan di dahi Daniel, mengalir perlahan di sepanjang pelipisnya. Sejak tadi, ia menahan tubuhnya di atas wanita yang terbaring di bawahnya, matanya dipenuhi kilatan hasrat yang sulit dijelaskan. Jemarinya menjelajah dengan lembut, seolah ingin menghafal setiap lekuk yang telah begitu familiar baginya. Sophia selalu memiliki cara untuk membuatnya tenggelam, terperangkap dalam cinta yang tak berujung. Daniel telah bertemu banyak wanita—wajah-wajah cantik yang datang dan pergi dalam hidupnya—namun tidak ada satu pun yang mampu mengikatnya seperti Sophia. Ada sesuatu dalam diri wanita itu, sesuatu yang tak bisa ia temukan pada siapa pun. Bukan sekadar kecantikan atau kelembutan, tapi sebuah daya tarik yang membuatnya tak bisa berpaling, tak peduli seberapa jauh ia mencoba melangkah. Napasnya memburu, terengah-engah seiring dengan bahunya yang naik turun, m

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-12
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 10 : Kepingan Ingatan

    “Auh ….” Sophia mengerjapkan matanya yang terasa berat. Kepalanya berdenyut hebat, seolah-olah ribuan palu godam sedang menghantam tengkoraknya tanpa ampun. Ia mengerang pelan, tangannya terangkat untuk memijat pelipisnya yang berdenyut, berharap rasa sakit itu segera mereda. Pandangan matanya masih buram saat ia mencoba menyapu ruangan di sekitarnya. Tempat ini asing—bukan kamarnya, bukan juga rumahnya. Langit-langit yang berbeda, aroma ruangan yang tidak familiar, serta kesunyian yang begitu menusuk membuat jantungnya mulai berdegup lebih cepat. “Aku di mana?” Pertanyaan itu bergema di kepalanya, memicu ketegangan yang merayap perlahan ke seluruh tubuh. Ia mengedarkan pandangan, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Namun, sebelum pikirannya sempat bekerja, sesuatu yang lebih mengejutkan membuat tubuhnya membeku. Selimut putih yang melingkupinya melorot sedikit, dan saat ia melihat ke bawah—astaga! Darahnya seolah berhenti mengalir. Napasnya tercekat. Ia ti

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-13
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 11 : Bekas Kepemilikan

    Sophia keluar dari taksi yang membawanya pulang. Di dalam rumah, ia sudah memikirkan apa yang harus ia katakan pada orang tuanya. Alasan apa yang akan ia berikan, terutama pada ayahnya? Ia tidak mungkin mengungkapkan bahwa semalam ia bersama Daniel. Jika ayahnya tahu, Robert pasti akan marah besar. Namun, jelas Sophia tidak akan mengungkapkan kebenaran itu. Semalam, ia pamit pada ayahnya untuk pergi bersama Jane, dan mungkin alasan yang akan ia berikan sekarang adalah bahwa ia menginap di rumah Jane. Semoga saja ayahnya percaya dan tidak merasa curiga. Sesampainya di dalam rumah, Sophia melihat ayahnya, Robert, yang tengah duduk di kursi dekat jendela besar di ruang tamu. Tangannya memegang sebuah benda yang tampak sudah usang—sebuah jam antik yang diwariskan turun-temurun dalam keluarga mereka. Robert sedang dengan telaten mengelap permukaan kaca jam tersebut, tampak sangat fokus, seolah waktu di sekelilingnya tidak ada artinya. Jam itu adalah benda kesayangan Robert, hadiah da

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-13
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 12 : Gaun Pengantin

    Sophia mengenakan gaun sederhana berwarna krem dan memulas wajahnya dengan riasan tipis. Ia mencoba menutupi bekas merah yang ditinggalkan Daniel dengan concealer, meski hatinya tetap gelisah, takut bila ada yang melihat bekas merah tersebut. Dengan satu tarikan napas panjang, ia melangkah keluar dan masuk ke dalam mobil yang akan membawanya ke butik tempat fitting gaun pengantin. Begitu sampai di butik, aroma lavender bercampur dengan wangi kain baru menyambutnya. Ruangan itu luas dengan dinding putih elegan, rak-rak berisi deretan gaun mewah tergantung rapi, sementara para penjahit sibuk menyesuaikan detail jahitan. Seorang pelayan butik, wanita muda dengan seragam putih anggun, segera mendekatinya dengan senyum ramah. “Selamat datang di butik La Belle, apakah Anda Nona Sophia?” tanyanya sopan. Sophia mengangguk, menatap sekeliling dengan perasaan sedikit gugup. “Ya, aku datang untuk fitting gaun pengantin.” Pelayan itu tersenyum lebih lebar, lalu mengangguk hormat. “Oh,

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-14

บทล่าสุด

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 85 : Kesepakatan Berbahaya

    Laura menatap layar ponselnya dengan kesal. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Daniel, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Jemarinya mengetuk meja dengan tidak sabar, matanya menatap layar yang kembali menampilkan panggilan tak terjawab. "Kenapa sih, Daniel?!" gerutunya, lalu melempar ponselnya ke sofa dengan kasar. Saat itu juga, Anne melangkah masuk dan langsung menangkap ekspresi kesal di wajah Laura. Ia mendekati wanita itu dengan alis sedikit berkerut. "Kau kenapa?" tanyanya ingin tahu. Laura mendesah frustrasi, lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Aku sudah menelepon Daniel berkali-kali, tapi dia sama sekali tidak mengangkat panggilanku. Aku tidak tahu dia sedang di mana dan apa yang sedang dia lakukan." Anne menatapnya dengan sorot mata penuh pertimbangan, lalu duduk di samping Laura. Ia menghela napas pelan sebelum akhirnya berkata, "Aku sendiri tidak tahu mengapa Daniel begitu khawatir terhadap Sophia. Apalagi sejak dulu, aku selalu merasa ada sesuatu di ant

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 84 : Hati yang Hancur

    Daniel menghapus air mata yang jatuh di pelupuk mata Sophia dengan pelan. Ibu jarinya menyapu pipi wanita itu dengan hati-hatian, ia takut menyakiti Sophia lebih jauh. Manik mata mereka beradu. Namun, Sophia segera mengalihkan pandangannya, ia tidak sanggup menatap Daniel lama-lama. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, hm?" suara Daniel terdengar rendah. Sophia mencoba tersenyum, tetapi yang terbentuk di bibirnya hanya lengkungan samar yang menyakitkan. Hatinya terasa begitu sesak, dipenuhi oleh pertanyaan yang sejak dulu selalu ia pendam. Apakah semua ini hanya perasaannya sendiri? Apakah selama lima tahun terakhir, hanya ia yang jatuh cinta tanpa pernah benar-benar dicintai? Kenangan itu menyeruak, membawanya kembali ke masa lalu. Ia mengingat bagaimana ia selalu menunggu Daniel mengatakan cinta padanya. Lima tahun mereka bersama, melewati begitu banyak kebersamaan—dari momen sederhana hingga kebahagiaan yang seharusnya sempurna. Tapi selama itu juga, tidak sekalipun Daniel meng

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 83 : Kekhawatiran yang Tak Terucap

    Daniel menggulung lengan kemejanya hingga ke siku, membiarkan kulitnya terbuka pada udara dingin ruangan. Pandangannya jatuh pada mangkuk bubur yang masih mengepulkan uap tipis di atas nakas. Ia meraih mangkuk itu, jemarinya melingkari sisi keramik yang masih hangat. Ia beralih ke sisi tempat tidur, menarik kursi mendekat sebelum duduk. Matanya mengamati sosok di depannya—wajah pucat itu, bibir kering yang sedikit terbuka, serta napas yang terdengar lemah. Bahkan tanpa menyentuhnya, ia bisa merasakan betapa rapuhnya perempuan ini sekarang. "Sophia," panggilnya lembut. Ia menyendok bubur ke dalam sendok dan meniupnya perlahan. "Makanlah. Kamu butuh tenaga agar cepat sembuh." Perempuan itu menggeleng pelan, matanya tak sekalipun bertemu dengan milik Daniel. "Aku tidak berselera." Suaranya nyaris tak terdengar, begitu pelan hingga hampir menyatu dengan keheningan di antara mereka. Daniel menatapnya, rahangnya mengencang. Ia meletakkan sendok ke dalam mangkuk, lalu menghela napas ber

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 82 : Kejujuran Sophia

    Kelopak mata Sophia perlahan bergerak, perlahan ia lalu membuka mata. Cahaya dari jendela membuatnya harus berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan pandangannya. Napasnya masih terasa berat, dan tubuhnya lemas. Namun, hal pertama yang membuatnya terkejut bukanlah rasa sakit di kepalanya—melainkan sosok pria yang duduk di sampingnya. "Daniel …" gumamnya parau. Tenggorokannya terasa kering, suaranya nyaris tak keluar. Daniel menoleh dengan cepat begitu mendengar suara Sophia. "Kamu sudah sadar," katanya, nada suaranya terdengar lega. Sophia masih berusaha memahami situasinya. Matanya mengedarkan pandangan ke sekitar, mencoba mengenali tempat ini. Bau khas antiseptik langsung menyadarkannya—ia berada di rumah sakit. "Aku di rumah sakit?" bisiknya. Pikirannya mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Terakhir yang ia ingat, ia sedang menuruni tangga … lalu semuanya menjadi buram. "Di mana David?" tanya Sophia, sembari menyapu ke setiap penjuru ruangan mencari sosok suaminya, tap

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 81 : Membawa Sophia

    "Sophia, bangun." Daniel menepuk pipi Sophia dengan pelan. Namun, wanita itu tetap terkulai lemas, sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Semua mata tertuju pada Daniel. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara napas tertahan yang terdengar. Tak ada yang menyangka bahwa Daniel, yang selama ini tampak tenang dan tak banyak bicara soal Sophia, akan bereaksi seperti ini. Bahkan William, yang mengenal anaknya lebih dari siapa pun, tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Namun, ada satu hal yang lebih aneh. David. Pria yang seharusnya menjadi orang pertama yang panik saat melihat istrinya pingsan justru tetap duduk di kursinya. Wajahnya memang terlihat terkejut, tapi tidak ada kegelisahan nyata di matanya. Tidak seperti Daniel, yang kini dengan cemas memeluk tubuh Sophia dalam dekapannya. Daniel mengeratkan rahangnya. Tanpa pikir panjang, ia menyelipkan satu tangan ke bawah lutut Sophia dan satu lagi di punggungnya, lalu mengangkat tubuh Sophia dengan mudah. "Aku

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 80 : Keadaan Sophia

    Saat langkah Sophia menaiki anak tangga, ia bisa merasakan detak jantungnya masih belum kembali normal. Perasaan tidak nyaman itu terus menghantuinya, udara di dalam rumah ini terasa lebih berat sejak Daniel datang. Tangannya mencengkeram pegangan tangga lebih kuat, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menghantam dadanya. Ia harus pergi dari sini, menjauh dari tatapan Daniel, menjauh dari segala kegelisahan yang baru saja ia rasakan. Namun, saat baru saja mencapai lantai atas, ia tak bisa menahan diri untuk berhenti sejenak. Dari tempatnya berdiri, ia masih bisa mendengar samar suara William menyambut Daniel dan Laura di ruang kerja. "Nah, kalian akhirnya datang," suara William terdengar hangat. "Duduklah." "Maaf, Paman, kami sedikit terlambat," ujar Laura dengan nada lembutnya yang dibuat-buat. Sophia mengepalkan jemarinya tanpa sadar. Bahkan tanpa melihatnya pun, ia tahu Laura sedang bertingkah seolah menjadi tunangan sempurna bagi Daniel. Lalu, suara Daniel terdengar,

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 79 : Belum Siap

    Pagi ini, aroma teh melati menguar dari dapur. Sophia menuangkan air panas ke dalam cangkir porselen dengan hati-hati, memastikan suhu dan takarannya pas. Ia tak pernah menambahkan gula dalam teh William. Bukan karena lelaki itu tidak menyukainya, tetapi karena kebiasaan yang sudah tertanam bertahun-tahun—William selalu menikmati tehnya pahit, hanya dengan sedikit perasan lemon untuk memberikan rasa segar. Ia mengangkat cangkir itu perlahan, untuk segera membawanya ke ruang kerja William. "Nona, mengapa Anda tidak meminta maid saja untuk membuat teh?" suara Lewis, kepala pelayan keluarga, terdengar tegas. Sophia berhenti sejenak, menoleh ke arah pria paruh baya itu dengan senyum tipis. "Aku ingin membuatnya sendiri." "Tapi—" "Tidak apa-apa, Lewis," potong Sophia sebelum pria itu bisa menyelesaikan kalimatnya. "Aku hanya ingin memastikan bahwa teh ini dibuat dengan tanganku sendiri." Lewis menatapnya beberapa saat, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi akhirnya ia hanya men

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 78 : Harus Disingkirkan

    Daniel membatu. Napasnya tercekat, udara di sekelilingnya menghilang begitu saja. Kata-kata Jane bergema di dalam kepalanya, berulang-ulang, memenuhi pikirannya dengan kemungkinan yang bahkan tak berani ia bayangkan sebelumnya. Anak itu ... anak yang dikandung Sophia ... adalah anaknya? Mata Daniel melebar, rahangnya menegang. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa Jane hanya mengada-ada. Tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam dirinya yang berbisik bahwa ini mungkin benar. Bahwa selama ini, ia hanya melihat apa yang ingin ia lihat—memilih percaya pada apa yang lebih mudah diterima daripada menghadapi kebenaran yang sebenarnya. "Kau bercanda, kan?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya. Jane tersenyum miring, tetapi ada kepedihan di matanya. "Apa aku terlihat sedang bercanda?" Daniel mengepalkan tangannya di atas meja, jemarinya bergetar. "Sophia tidak pernah mengatakan apa pun padaku ..." "Tentu saja dia tidak mengatakan apa-apa," potong Jane cepat. "Karena dia tahu k

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 77 : Kebenaran

    Jane duduk di salah satu meja kafe dekat jendela, jemarinya mengetuk-ngetuk gelas kopi yang mulai mendingin. Matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk, berharap melihat sosok pria yang ditunggunya. Sudah hampir setengah jam berlalu, tapi Daniel belum juga datang. Mencoba menahan rasa kesal dan gugup yang semakin menjadi, Jane hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Sejak kemarin, ia sudah bertekad untuk memberitahu Daniel tentang kehamilan Sophia. Tapi jika pria itu tidak muncul, bagaimana ia bisa melakukannya? Ponselnya kembali menyala di meja. Dengan cepat, ia meraihnya, berharap itu pesan dari Daniel, tapi bukan. Hanya pemberitahuan dari media sosial. Jane menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Apa dia tidak akan datang? Matanya melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Jika Daniel tidak muncul dalam lima belas menit lagi, mungkin ia harus pergi. Tapi tepat saat ia hendak menyerah, suara bel pintu kafe berbunyi. Seorang pria berpostur te

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status