Aku baru saja kehilangan calon anakku. Rada Nuri bahkan masih terasa. Tapi bukan perlakuan manis yang dapatkan, melainkan kenyataan pahit. Suamiku justru membawa wanita lain ke rumah, dan berkata akan menikah lagi. Sudah jatuh tertimpa tangga. Dia justru menceraikan aku hanya karena aku di tuding tak bisa memberinya anak laki-laki. Aku bersumpah akan membalas semua yang lakukan padaku. Termasuk menyelidiki penyebab keguguran ini, yang terasa janggal.
View MoreAku duduk di sisi sofa, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Aksa di telepon. Suaranya terdengar tegas, nyaris tanpa celah keraguan. Di sampingku, notebook miliknya masih terbuka, menampilkan potongan rekaman CCTV yang buram. Bagian lorong tempat Bu Sekar bertemu seorang wanita di rumah sakit tampak samar, seolah sengaja dikaburkan.Aksa menutup telepon, meletakkan ponselnya di meja. "Orangku akan coba cari tahu lebih dalam. Kalau wanita itu memang petugas rumah sakit, pasti ada catatannya."Aku mengangguk pelan, meski jantungku berdegup kencang. "Kalau dia benar-benar tahu sesuatu, kamu yakin dia mau bicara?" tanyaku, suaraku lebih pelan dari yang aku inginkan."Kita tidak punya pilihan lain, Nayra," jawabnya. "Setidaknya kita mulai dari sini."Beberapa menit berlalu dalam diam. Aku membiarkan pikiranku melayang pada kemungkinan-kemungkinan yang selama ini berusaha aku abaikan. Jika Bu Sekar sampai marah-marah di tempat umum, pasti ada hal penting yang membuatnya kehilangan ke
Aku duduk di pinggir kolam renang dengan kedua kaki menjuntai ke bawah, hingga riak air terlihat. Kuhela napas berat saat lamunan tentang masalah yang sedang kuhadapi, kembali menyiksa. Terkejut, aku segera mendongak, saat melihat sepasang kaki telanjang berdiri di samping kanan, "Aksa, bagaimana kamu bisa masuk?" Aku pun berdiri dan kami berdiri berhadapan. "Aku minta Bibik bukain pintu karena ponselmu dari tadi aku hubungi, tidak kamu jawab," tukas Aksa santai. "Oh, maaf. Habis bangun tidur, aku langsung ke sini. Sementara ponselku, aku letakkan di dalam laci nakas. Jadi, maaf aku tidak tahu," sahutku kikuk, kepalaku tertunduk. "Tidak apa-apa." balasnya santai, kemudian menyerahkan sebuah notebook padaku. membuatku mendongak, menatapnya heran, "Petunjuk awal tentang CCTV yang kamu minta." "Wah, cepat sekali!" pujiku antusias, sambil meraih notebook. Aku sangat senang bisa mendapatkannya, karena dengan begini jalanku akan menjadi mulus membuka tabir misteri keguguranku dan
Pagi menjelang siang itu ramai, tetapi suasananya tetap nyaman. Aroma lavender dari produk perawatan memenuhi ruangan, menenangkan tubuh dan pikiran. Aku menyandarkan kepala, menikmati pijatan lembut di kulit kepala saat seorang hairstylist membilas rambutku. Kak Aluna, yang duduk di kursi sebelah, sedang sibuk memilih warna kuku untuk manicure-nya.Sesaat, aku merasa sedikit lebih ringan. Setidaknya, untuk beberapa jam ini, aku bisa melupakan kekacauan hidupku."Nayra? Ya Tuhan, ini benar-benar kamu?"Sebuah suara perempuan dari belakang mengejutkanku. Aku menoleh dan mendapati seorang wanita dengan rambut sebahu, mengenakan dress santai, berdiri di dekatku dengan tatapan terkejut. Butuh beberapa detik bagiku untuk mengenalinya.Riana.Dulu, kami cukup dekat saat kuliah. Tapi setelah aku menikah dengan Bima, hubungan kami menjauh begitu saja. Aku bahkan hampir lupa bagaimana kami bisa berhenti berhubungan."Riana?" Aku mencoba tersenyum, meskipun hatiku mendadak gelisah."Aku nggak n
Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi bayangan akan kejadian itu terus menghantui—hari saat aku kehilangan anakku, saat hidupku berubah drastis.Rasa nyerinya kontraksi saat sebelum tindakan kuretase masih sangat terasa, dan sampai di rumah aku di hadapkan dengan kenyataan pahit, suamiku mendua.Hati mana yang bisa terima ini."Nay?" suara Kak Dipta terdengar lembut di susul dengan suara ketukan pintu kamar ini."Iya, Kak," jawabku dengan suara bergetar."Boleh Kakak masuk?""Ya Kak."Aku duduk di tepi ranjang, suara pintu di buka, Kak Dipta menyembul di ambang pintu."Kakak sudah dengar semuanya dari Aksa. Kamu harus tegar, kita hadapi ini sama-sama. Kita tinggal kumpulkan bukti yang kuat."Aku terdiam sejenak. Kemudian mengangguk."Aku tahu ini nggak mudah buat kamu," katanya, suaranya penuh perhatian. "Tapi kamu harus kuat, menghadapi mereka harus dengan cerdik."Kata-kata Kak Dipta membuat air mataku mengalir tanpa bisa kucegah. "Aku takut, Kak," bisikku. "Nggak a
"Kau siap dengan penyelidikan kita selanjutnya, Nay?"Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya aku tidak yakin dengan jawabanku sendiri.Kami berjalan keluar dari rumah sakit tanpa banyak bicara. Aksa membawa map itu erat di tangannya, sementara aku hanya menatap kosong ke depan. Langit mendung sore itu, seolah-olah ikut memahami kekacauan di pikiranku.Di parkiran, Aksa membuka pintu mobil untukku, tapi aku tidak langsung masuk. Aku berdiri di sana, memandang rumah sakit di belakangku. "Aksa," panggilku pelan, membuatnya berhenti dan menoleh."Hm?""Kalau benar ini semua disengaja... kenapa? Aku nggak ngerti kenapa seseorang mau menyakitiku, menyakiti bayiku." Suaraku pecah, meski aku berusaha keras menahannya. "Aku nggak punya musuh. Aku nggak pernah berbuat salah sama siapa pun."Aksa diam sejenak, lalu menatapku dengan serius. "Kadang, jawaban itu nggak langsung kita temukan. Tapi yang jelas, ini bukan salahmu, Nayra. Ingat itu."Aku mengangguk pelan, tapi hatiku tetap terasa berat.
Rumah sakit Kasih Bunda."Selamat siang, saya ingin konsultasi dengan dokter Miranda," ucapku pada petugas pendaftaran pasien."Dokter Miranda, hari ini ada dari jam delapan sampai jam dua belas. Ini nomer antrian Anda ." Dengan cekatan petugas laki-laki yang mengenakan pakaian batik itu memberikan struk nomer antrian padaku."Baik, terimakasih."Aku dan Aksa melangkah ke depan ruang praktek dokter Miranda. Sudah ada sekitar 5 orang yang sedang mengantri. Aku dan Aksa duduk bersisian, meski terkadang ada rasa canggung menyelimuti, tapi aku berusaha biasa saja. Karena memang aku butuh bantuannya."Apa kamu mau minum, biar aku beli," ujar Aksa."Oh tidak perlu, nanti saja."Aksa pun kembali duduk di sebelahku, sibuk dengan gawai-nya.Suasana ruang tunggu terasa penuh, meski orang-orang duduk dengan tenang. Suara anak kecil yang merengek pelan memecah keheningan, disusul dengan bisikan lembut ibunya mencoba menenangkan. Aku mengalihkan pandangan ke arah Aksa, yang tampak serius menatap
"Ya! Dan kamu Bima! Rumah tanggamu dengan Nayra mungkin sudah selesai, tapi urusanmu denganku belum selesai! Aku akan buat perhitungan denganmu!" ucap Kak Dipta lantang.Bima tersenyum mengejek, melihat kehadiran Kak Dipta di sini."Oh, baguslah kalau Kak Dipta masih ingat sama Nayra. Biar Kak Dipta tahu bagaimana cerobohnya dia." "Tutup mulutmu, baji**an! Aku tahu itu hanya alasanmu saja, Dasar pengecut! Hanya laki-laki pecundang yang bisanya memanfaatkan keadaan ini, untuk bisa menikah lagi dengan selingkuhan kamu itu!" ucap Kak Dipta menggebu-gebu."Terserah apa katamu, Bung!" Bima hanya tersenyum sinis, kemudian berbalik badan mengabaikan Kak Dipta."Heh, tunggu, Brengsek!"BUGH!!sebuah pukulan keras di layangkan Kak Dipta tepat mengenai rahang sebelah kiri Bima.Membuat kami semua di sini terkejut, aku reflek menutup mulutku dengan telapak tangan, dan Bu Sekar reflek berteriak.Tubuh Bima sontak terhuyung akibat dihadiahi pukulan mendadak dari Kak Dipta. Rahang sebelah kirinya
Aku memandangi layar ponselku yang sejenak terdiam, sebelum akhirnya bergetar lagi. Panggilan tak dikenal, untuk yang kesekian kalinya. Ragu, aku menatap nomor asing itu sejenak, dan seolah sebuah firasat buruk datang menyelubungi hatiku. Aku menahan napas, dan menekan tombol hijau, berusaha menenangkan diri."Ya, Hallo.""Hallo, dengan Ibu Nayra?" Suara pria di ujung telepon itu terdengar tegas, namun ada ketenangan yang meyakinkan."Iya benar. Maaf ini siapa?" Aku menatap layar dengan penasaran, merasa ada sesuatu yang penting."Perkenalkan, saya Arif Zainal, saya pengacara. Kebetulan saya mendapatkan mandat dari Pak Pradipta untuk membantu Ibu Nayra dalam mengurusi perceraian," kata pria itu dengan suara yang penuh percaya diri, seolah sudah mengenal keadaan tanpa perlu banyak penjelasan.Aku terkejut, namun rasa lega segera mengalir begitu mendengar nama Kak Dipta disebut. Ternyata, Kak Dipta memang tidak pernah tinggal diam. Selalu ada langkah cepat yang diambil untuk memastikan
Bab 5. Mendapat dukungan. Aku memilih mengabaikan ucapan Kak Dipta. Aku baru saja mengalami suatu hal yang memporak-porandakan hatiku. Aku masih butuh waktu untuk menenangkan diri. "Nanti dulu lah Kak. Aku masih ingin istirahat dulu. Aku masih kangen dengan suasana rumah, aku masih mau tenangin pikiran dulu. Aku juga ingin ziarah ke makam Papa dan Mama. Aku ingin menikmati suasana baru sebagai diriku yang baru, saat ini," ucapku jujur. Kak Pradipta tersenyum. "Ya, Kakak mengerti, tapi ingat satu hal, jangan terlalu lama bersedih, itu tidak baik. Kamu harus kembali menatap masa depan. Kantor ini selalu terbuka untukmu, kapan pun kamu mau kembali bergabung." Aku mengangguk haru, merasa bangga memiliki keluarga yang begitu sangat mensupport. "Terimakasih Kak, kalau saja dulu aku mendengarkan, semua yang Kakak–" "Sudah Nay, yang berlalu biarlah jadi pelajaran, sekarang sudah saatnya kamu kembali menentukan jalan hidup yang lebih baik." Kembali aku mengangguk. Ya, Kak Dipta benar, a
Bab 1 Dituding Tidak Becus "Kamu keguguran karena nggak bisa jaga diri! Mau menyalahkan siapa lagi!?" Aku terkejut dengan ucapan suamiku. Kata-kata Mas Bima seperti pisau yang menancap di hati, membuatku nyeri sampai terasa menyesakkan. Pria itu berdiri tegak di hadapanku dengan tangan berkacak pinggang, menatapku dengan marah. Selama beberapa saat, aku tidak bisa mengatakan apa pun. Kami baru kehilangan calon bayi kami beberapa hari yang lalu. Aku bisa memahami kemarahannya karena Mas Bima memang menantikan kelahiran anak laki-laki di tengah pernikahan kami yang sudah berusia dua tahun. Aku tahu ia menginginkan penerus, apalagi karena ibu mertuaku terus-menerus meminta cucu. Namun, apakah ia harus menyalahkanku sekeras ini? Aku juga kehilangan. Ditambah lagi– “Mas,” Ketika aku bisa bersuara kembali, kusodorkan berkas pemeriksaan di tangan, “coba Mas lihat dulu. Hasil tes ini menunjukkan–” Tanpa memberikan kesempatan padaku untuk menyelesaikan kalimat, Mas Bima merebut berkas di...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments