Share

Bab 2. di usir.

Penulis: Tifa Nurfa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-24 14:25:40

Bab 2 di usir

"Kalau memang kamu mau menikahi Kiara, maka ceraikan aku, Mas," kataku lagi dengan suara bergetar.

Seketika Mas Bima menoleh, menatapku lamat-lamat. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki itu.

Cukup sudah dia menghancurkan hatiku. Aku seperti tak punya harga diri di matanya.

"Baik. Kalau maumu seperti itu. Silahkan pergi dari sini."

Aku terpana. Ringan saja kalimat itu keluar dari mulut laki-laki yang selama ini aku perjuangkan. Ya, dia benar mengusirku.

Setelah semua yang sudah aku lakukan semuanya. Aku rela meninggalkan keluargaku demi dia. Kini aku telah dicampakkan.

Dengan cepat aku mengusap air mata yang entah sejak kapan sudah menganak sungai. Hati yang terluka ini bagai di siram air garam dia tengah luka yang menganga. Perih bukan main.

Aku melirik ke arah Mama mertuaku. Ia tersenyum simpul. Tentu saja dia senang. Sejak awal beliau memang tak menyukaiku.

"Baik, aku akan pergi dari sini. Aku juga tak sudi tetap di sini, apalagi tinggal bersama Sam-pah seperti kalian," ucapku dengan menatap tajam ke arah Kiara.

"Heh, jaga mulutmu Nayra! Sudahlah kalau memang mau pergi, pergi saja sana! Tak usah banyak bicara, yang sebenarnya sampah itu kamu Nayra! Kamu mau pulang kemana? Keluargamu sudah mencampakkanmu. Kamu bukan siapa-siapa. Kamu hanya akan jadi gelandangan yang terlunta-lunta di luaran sana!"

Kata-kata ibu mertuaku, sukses membuat dadaku teriris nyeri.

Aku membeku. Kata-kata itu menusuk tepat di titik lemahnya hatiku. Benar. Aku tidak punya siapa-siapa. Sejak memutuskan menikah dengan Bima, aku memilih meninggalkan keluargaku yang tidak menyetujui hubungan kami. Aku percaya—begitu naifnya aku percaya—bahwa cinta kami saja cukup untuk mengalahkan segalanya. Ternyata tidak, dengan mudahnya cinta itu berubah.

Aku berbalik menuju kamar. Suara mereka masih terdengar samar-samar, tapi aku tak peduli. Kakiku gemetar saat aku meraih koper tua di bawah ranjang, memasukkan pakaian seadanya dengan tangan yang masih bergetar. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada ribuan beban di dadaku.

Selesai aku memasukkan beberapa baju dan barang-barangku, dengan langkah berat, aku keluar dari kamar. Sejenak aku menyapu pandangan ke seluruh ruangan.

Tempat yang selama ini menjadi saksi bisu kebersamaan kami, ruangan yang selama ini mampu memberi kehangatan, untuk kami berdua.

Setiap detik waktu yang berlalu kini seperti lembaran rol film yang berkelebat di kepalaku.

Aku pejamkan mata ini sejenak, menghalau rada sesak yang makin menghimpit rongga dada.

Setelah kurasa lebih tenang, aku melangkah keluar kamar. Dari ambang pintu kamar ini, samar aku masih bisa melihat dan mendengar Mama mertuaku tengah bercengkerama dengan Kiara.

Tak ada Mas Bima di sana. Entah kemana dia.

"Akhirnya rencana kita berhasil Ma. Kita berhasil membuatnya keluar dari sini." Sayup-sayup aku mendengar suara Kiara setengah berbisik.

Naluriku seakan bekerja dengan sendirinya. Kaki ini melangkah dan berdiri di balik tembok pembatas antara ruang tengah dan ruang tamu.

"Iya, ini semua berkat kamu Kiara." Suara tawa kecil terdengar dari keduanya.

Dadaku bergemuruh hebat, tanganku mengepal sempurna, menahan gejolak amarah yang tiba-tiba memuncak hingga ke ubun-ubun.

"Kita lihat, sebentar lagi, sebentar lagi, wanita itu akan angkat kaki dari sini," bisik Mama.

"Ma, Kiara. Akhirnya aku menemukannya." Tiba-tiba Mas Bima datang, membawa sebuah benda kecil di tangannya. Reaksi Mama dan Kiara pun langsung berubah. Seakan tidak sedang membicarakan suatu hal yang berarti.

Pandai sekali mereka menguasai keadaan.

"Nah iya, ini sudah Mama persiapkan. Coba kamu lihat, kamu suka tidak?"

Sebuah kotak beludru berwarna merah.

Bak di tusuk belati tajam. Mereka benar-benar mencampakkan aku. Belum juga aku pergi dari rumah ini, mereka sudah memamerkan sebuah cin-cin pernikahan. Sama sekali tak ada empatinya sedikit pun.

Aku kembali melangkah setelah merasa lebih kuat. Walau sebenarnya seluruh tulang persendianku seakan lemas tak berdaya.

Tapi di hadapan mereka, aku tak mau terlihat lemah. Aku akan hadapi mereka.

"Nayra," panggil Kiara seraya menatap koper yang kubawa. Ia tersenyum simpul, seolah puas dengan apa yang dilihatnya.

"Kamu pasti senang , iya kan? Sayang sekali ya, cantik, tapi maunya bekas orang," ucapku sambil tersenyum kecil.

Seketika wajahnya memerah.

"Nayra! Jaga bicaramu!" sentak Mas Bima.

"Loh, memang benar kan? Ambillah aku juga sudah tidak butuh laki-laki yang tak punya perasaan! Ini juga kan yang kamu mau Mas? Sekarang jatuhkan talakmu atasku." Aku menatapnya tanpa rasa takut.

Sejenak suasana hening.

"Agar aku bisa pergi dari sini, seperti maumu."

Mas Bima menghela napas, seolah berat untuk mengucapkannya.

"Pergilah, jangan ganggu hidupku lagi. Nayra Callista Wicaksan, mulai saat ini, kamu bukan istriku lagi."

Meski aku tahu ini adalah ujung dari perdebatan kita beberapa waktu terakhir ini, tapi tetap saja, mendengar kalimat talak keluar dari mulutnya, itu terasa menyakitkan.

Sebait kata itu bagaikan api yang membakar. Seluruh dunia seakan runtuh begitu saja.

Aku mengangguk. Sekuat tenaga aku menahan air mata agar tak sampai tumpah di sini.

Baru saja aku hendak menarik koper. Aku terkejut dengan suara ibu mertuaku.

"Tunggu! Nayra! Apa yang hendak kamu bawa itu?" Bu Sekar menarik kasar koper yang hendak kubawa, dan membukanya.

Netraku terbelalak melihat Mama mertuaku, mengacak-acak isi koperku.

"Apa ini? Ini perhiasan di beli pake yang Bima kan? Kamu nggak bisa bawa ini, enak saja! Semua baju-baju ini juga, semua ini Bima yang beli! Jadi kamu nggak bisa bawa ini! Kamu masuk ke rumah ini tidak membawa apapun Nayra! Jadi kalau kamu mau keluar dari sini, ya silahkan! Tapi juga kamu nggak bisa membawa apapun!"

Aku tersentak kaget. Padahal beberapa perhiasan yang hendak kubawa itu juga aku beli dengan uang tabunganku sendiri.

Benar-benar keterlaluan. Sungguh ini merupakan penghinaan.

"Oke, baik. Kalau memang maumu seperti itu. Aku akan keluar dari sini tak membawa apapun. Aku nggak butuh dengan semua ini. Ambillah!" ucapku lantang.

Mama mertuaku hanya mencebik.

"Ya! Silahkan pergi dan jadi gelandangan di luar sana Nayra!" Bu Sekar tersenyum jumawa.

Aku mengangguk.

"Baik. Tapi ingat satu hal, Bu. Aku akan tetap menyelidiki kejanggalan yang menyebabkan aku keguguran, dan jika terbukti ada sesuatu yang tidak beres, maka aku akan buat perhitungan dengan kalian!!" ucapku seraya menatapnya tanpa rasa takut.

Sejenak wajah Bu Sekar terlihat pias. Aku tatap wajah Mas Bima, Kiara dan Bu Sekar satu persatu.

"Aku pastikan kalian akan menyesal berbuat seperti ini padaku," ucapku seraya mengacungkan jari telunjukku tepat di depan wajah Mas Bima. Sebagai tanda aku tak akan takut, hidup sendiri di luar sana.

Aku berjalan tanpa menoleh lagi. Melewati Kiara yang masih duduk manis di sofa ruang tamu. Ia tersenyum puas menatapku.

Seakan mentertawakan kekalahanku.

Tertawalah sebelum nanti kalian akan menangis telah memperlakukanku seperti ini.

Kilatan cahaya tanda hujan akan turun hujan, makin membuat hatiku pilu.

Inikah akhir dari semuanya? Segala pengorbanan yang sudah aku lakukan, inikah yang aku dapatkan, Mas?

Hujan mulai turun. Langit kelabu seolah turut merasakan kesedihan yang aku rasakan. Aku berjalan lebih cepat, mengabaikan tetesan air yang membasahi tubuhku. Aku tidak peduli. Rasanya, segalanya sudah tak ada lagi artinya.

Tetes butir air hujan, mampu menyamarkan tetes air mata, di tengah gelapnya malam, dan gemuruh hujan petir menyambar, Aku terus melangkah, meski tanpa alas kaki.

Aku memeluk tubuhku yang kini basah kuyup.

Dinginnya terasa menusuk tulang, ketika angin menerpa. Tapi itu tak kuhiraukan lagi.

Aku terus berjalan memeluk luka. Mengingat bagaimana mereka memperlakukan aku bagaikan sampah yang tiada berguna. Mereka bahkan menginjak-injak harga diriku.

Hingga tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti tepat di sampingku berjalan. Mobil itu memancarkan cahaya dari lampu depan yang menyilaukan. Di tengah derasnya hujan dan gelapnya malam.

Kemudian suara pintu mobil yang terbuka. Aku masih berdiri tak bergeming.

"Masuk," ucapnya, menyadarkanku akan sesuatu.

Bab terkait

  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 3. kembali pada keluarga.

    Bab 3. "Masuk," ucapnya lugas, menyadarkanku akan sesuatu. Dengan langkah pelan namun pasti aku memasuki mobil mewah berwarna hitam. Beberapa saat kami saling diam. Sekilas aku melirik wajahnya, rahangnya mengeras sekaligus gurat kekecewaan terlihat di sana. Dia Pradipta, kakakku. "Apa yang terjadi? Sampai malam-malam begini di tengah hujan, kamu di luaran seperti ini?" tanyanya terdengar tajam. Aku terdiam tak mampu menjawab, dengan kedua tangan memeluk diri, merasakan hawa dingin yang makin menusuk tulang, karena baju yang basah kuyup terkena AC mobil. Melihatku kedinginan, gerakan tangan Kak Pradipta cepat mematikan pendingin di dalam mobil ini. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang gelap, di tengah derai hujan juga kilat yang menyambar. Tak lama terdengar ponselnya berdering. Ia langsung memasang headset di telinganya dan mengangkat telepon. "Hallo, Aksa, maaf, aku tak jadi kesana. Lain kali kita bahas rencana kerjasama kita. Sekarang aku ada urusan m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 4. Mulai Bangkit

    Bab 4 "Ya. Si Brengsek itu telah berani menyakitinya." Dengan siapa Kak Dipta bicara? Apa dia telpon Kak Arya? Aku tertegun. "Sepertinya memang mereka punya rencana jahat," ucapnya lagi. "Iya, itu pasti, tidak akan kubiarkan orang yang sudah menyakiti adik kecil kita, itu melenggang bebas. Aku pastikan mereka akan menyesal." Kembalinya aku pada keluargaku tentu saja memantik emosi tersendiri pada kedua kakakku. Aku memilih merebahkan tubuhku di pembaringan. Kak Dipta sepertinya menghubungi Kak Arya, mereka berdua memang sangat sayang padaku, aku seakan gadis kecil kesayangan bagi mereka. Sejak dulu. Dan dengan kejadian ini, tentu mereka tak terima aku di perlakukan seperti ini oleh mereka. Aku jadi semakin merasa bersalah telah mengabaikan masukkan dari mereka, sebelum mengambil keputusan untuk menikah dengan Mas Bima. Aku membuang napas berat, dan memejamkan mata, jiwa raga ini terasa sangat lelah. *** "Bagaimana keadaanmu hari ini, Dek?" tanya Kak Dipta, pagi ini di meja m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 5. Mendapat Dukungan

    Bab 5. Mendapat dukungan. Aku memilih mengabaikan ucapan Kak Dipta. Aku baru saja mengalami suatu hal yang memporak-porandakan hatiku. Aku masih butuh waktu untuk menenangkan diri. "Nanti dulu lah Kak. Aku masih ingin istirahat dulu. Aku masih kangen dengan suasana rumah, aku masih mau tenangin pikiran dulu. Aku juga ingin ziarah ke makam Papa dan Mama. Aku ingin menikmati suasana baru sebagai diriku yang baru, saat ini," ucapku jujur. Kak Pradipta tersenyum. "Ya, Kakak mengerti, tapi ingat satu hal, jangan terlalu lama bersedih, itu tidak baik. Kamu harus kembali menatap masa depan. Kantor ini selalu terbuka untukmu, kapan pun kamu mau kembali bergabung." Aku mengangguk haru, merasa bangga memiliki keluarga yang begitu sangat mensupport. "Terimakasih Kak, kalau saja dulu aku mendengarkan, semua yang Kakak–" "Sudah Nay, yang berlalu biarlah jadi pelajaran, sekarang sudah saatnya kamu kembali menentukan jalan hidup yang lebih baik." Kembali aku mengangguk. Ya, Kak Dipta benar, a

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 6. Bertemu di persidangan .

    Aku memandangi layar ponselku yang sejenak terdiam, sebelum akhirnya bergetar lagi. Panggilan tak dikenal, untuk yang kesekian kalinya. Ragu, aku menatap nomor asing itu sejenak, dan seolah sebuah firasat buruk datang menyelubungi hatiku. Aku menahan napas, dan menekan tombol hijau, berusaha menenangkan diri."Ya, Hallo.""Hallo, dengan Ibu Nayra?" Suara pria di ujung telepon itu terdengar tegas, namun ada ketenangan yang meyakinkan."Iya benar. Maaf ini siapa?" Aku menatap layar dengan penasaran, merasa ada sesuatu yang penting."Perkenalkan, saya Arif Zainal, saya pengacara. Kebetulan saya mendapatkan mandat dari Pak Pradipta untuk membantu Ibu Nayra dalam mengurusi perceraian," kata pria itu dengan suara yang penuh percaya diri, seolah sudah mengenal keadaan tanpa perlu banyak penjelasan.Aku terkejut, namun rasa lega segera mengalir begitu mendengar nama Kak Dipta disebut. Ternyata, Kak Dipta memang tidak pernah tinggal diam. Selalu ada langkah cepat yang diambil untuk memastikan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 7. Mulai menyelidiki

    "Ya! Dan kamu Bima! Rumah tanggamu dengan Nayra mungkin sudah selesai, tapi urusanmu denganku belum selesai! Aku akan buat perhitungan denganmu!" ucap Kak Dipta lantang.Bima tersenyum mengejek, melihat kehadiran Kak Dipta di sini."Oh, baguslah kalau Kak Dipta masih ingat sama Nayra. Biar Kak Dipta tahu bagaimana cerobohnya dia." "Tutup mulutmu, baji**an! Aku tahu itu hanya alasanmu saja, Dasar pengecut! Hanya laki-laki pecundang yang bisanya memanfaatkan keadaan ini, untuk bisa menikah lagi dengan selingkuhan kamu itu!" ucap Kak Dipta menggebu-gebu."Terserah apa katamu, Bung!" Bima hanya tersenyum sinis, kemudian berbalik badan mengabaikan Kak Dipta."Heh, tunggu, Brengsek!"BUGH!!sebuah pukulan keras di layangkan Kak Dipta tepat mengenai rahang sebelah kiri Bima.Membuat kami semua di sini terkejut, aku reflek menutup mulutku dengan telapak tangan, dan Bu Sekar reflek berteriak.Tubuh Bima sontak terhuyung akibat dihadiahi pukulan mendadak dari Kak Dipta. Rahang sebelah kirinya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-21
  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 8. Di Rumah Sakit.

    Rumah sakit Kasih Bunda."Selamat siang, saya ingin konsultasi dengan dokter Miranda," ucapku pada petugas pendaftaran pasien."Dokter Miranda, hari ini ada dari jam delapan sampai jam dua belas. Ini nomer antrian Anda ." Dengan cekatan petugas laki-laki yang mengenakan pakaian batik itu memberikan struk nomer antrian padaku."Baik, terimakasih."Aku dan Aksa melangkah ke depan ruang praktek dokter Miranda. Sudah ada sekitar 5 orang yang sedang mengantri. Aku dan Aksa duduk bersisian, meski terkadang ada rasa canggung menyelimuti, tapi aku berusaha biasa saja. Karena memang aku butuh bantuannya."Apa kamu mau minum, biar aku beli," ujar Aksa."Oh tidak perlu, nanti saja."Aksa pun kembali duduk di sebelahku, sibuk dengan gawai-nya.Suasana ruang tunggu terasa penuh, meski orang-orang duduk dengan tenang. Suara anak kecil yang merengek pelan memecah keheningan, disusul dengan bisikan lembut ibunya mencoba menenangkan. Aku mengalihkan pandangan ke arah Aksa, yang tampak serius menatap

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-23
  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 9. Mengungkap teka-teki.

    "Kau siap dengan penyelidikan kita selanjutnya, Nay?"Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya aku tidak yakin dengan jawabanku sendiri.Kami berjalan keluar dari rumah sakit tanpa banyak bicara. Aksa membawa map itu erat di tangannya, sementara aku hanya menatap kosong ke depan. Langit mendung sore itu, seolah-olah ikut memahami kekacauan di pikiranku.Di parkiran, Aksa membuka pintu mobil untukku, tapi aku tidak langsung masuk. Aku berdiri di sana, memandang rumah sakit di belakangku. "Aksa," panggilku pelan, membuatnya berhenti dan menoleh."Hm?""Kalau benar ini semua disengaja... kenapa? Aku nggak ngerti kenapa seseorang mau menyakitiku, menyakiti bayiku." Suaraku pecah, meski aku berusaha keras menahannya. "Aku nggak punya musuh. Aku nggak pernah berbuat salah sama siapa pun."Aksa diam sejenak, lalu menatapku dengan serius. "Kadang, jawaban itu nggak langsung kita temukan. Tapi yang jelas, ini bukan salahmu, Nayra. Ingat itu."Aku mengangguk pelan, tapi hatiku tetap terasa berat.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-23
  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 1. Dianggap tidak becus.

    Bab 1 Dituding Tidak Becus "Kamu keguguran karena nggak bisa jaga diri! Mau menyalahkan siapa lagi!?" Aku terkejut dengan ucapan suamiku. Kata-kata Mas Bima seperti pisau yang menancap di hati, membuatku nyeri sampai terasa menyesakkan. Pria itu berdiri tegak di hadapanku dengan tangan berkacak pinggang, menatapku dengan marah. Selama beberapa saat, aku tidak bisa mengatakan apa pun. Kami baru kehilangan calon bayi kami beberapa hari yang lalu. Aku bisa memahami kemarahannya karena Mas Bima memang menantikan kelahiran anak laki-laki di tengah pernikahan kami yang sudah berusia dua tahun. Aku tahu ia menginginkan penerus, apalagi karena ibu mertuaku terus-menerus meminta cucu. Namun, apakah ia harus menyalahkanku sekeras ini? Aku juga kehilangan. Ditambah lagi– “Mas,” Ketika aku bisa bersuara kembali, kusodorkan berkas pemeriksaan di tangan, “coba Mas lihat dulu. Hasil tes ini menunjukkan–” Tanpa memberikan kesempatan padaku untuk menyelesaikan kalimat, Mas Bima merebut berkas di

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24

Bab terbaru

  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 9. Mengungkap teka-teki.

    "Kau siap dengan penyelidikan kita selanjutnya, Nay?"Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya aku tidak yakin dengan jawabanku sendiri.Kami berjalan keluar dari rumah sakit tanpa banyak bicara. Aksa membawa map itu erat di tangannya, sementara aku hanya menatap kosong ke depan. Langit mendung sore itu, seolah-olah ikut memahami kekacauan di pikiranku.Di parkiran, Aksa membuka pintu mobil untukku, tapi aku tidak langsung masuk. Aku berdiri di sana, memandang rumah sakit di belakangku. "Aksa," panggilku pelan, membuatnya berhenti dan menoleh."Hm?""Kalau benar ini semua disengaja... kenapa? Aku nggak ngerti kenapa seseorang mau menyakitiku, menyakiti bayiku." Suaraku pecah, meski aku berusaha keras menahannya. "Aku nggak punya musuh. Aku nggak pernah berbuat salah sama siapa pun."Aksa diam sejenak, lalu menatapku dengan serius. "Kadang, jawaban itu nggak langsung kita temukan. Tapi yang jelas, ini bukan salahmu, Nayra. Ingat itu."Aku mengangguk pelan, tapi hatiku tetap terasa berat.

  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 8. Di Rumah Sakit.

    Rumah sakit Kasih Bunda."Selamat siang, saya ingin konsultasi dengan dokter Miranda," ucapku pada petugas pendaftaran pasien."Dokter Miranda, hari ini ada dari jam delapan sampai jam dua belas. Ini nomer antrian Anda ." Dengan cekatan petugas laki-laki yang mengenakan pakaian batik itu memberikan struk nomer antrian padaku."Baik, terimakasih."Aku dan Aksa melangkah ke depan ruang praktek dokter Miranda. Sudah ada sekitar 5 orang yang sedang mengantri. Aku dan Aksa duduk bersisian, meski terkadang ada rasa canggung menyelimuti, tapi aku berusaha biasa saja. Karena memang aku butuh bantuannya."Apa kamu mau minum, biar aku beli," ujar Aksa."Oh tidak perlu, nanti saja."Aksa pun kembali duduk di sebelahku, sibuk dengan gawai-nya.Suasana ruang tunggu terasa penuh, meski orang-orang duduk dengan tenang. Suara anak kecil yang merengek pelan memecah keheningan, disusul dengan bisikan lembut ibunya mencoba menenangkan. Aku mengalihkan pandangan ke arah Aksa, yang tampak serius menatap

  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 7. Mulai menyelidiki

    "Ya! Dan kamu Bima! Rumah tanggamu dengan Nayra mungkin sudah selesai, tapi urusanmu denganku belum selesai! Aku akan buat perhitungan denganmu!" ucap Kak Dipta lantang.Bima tersenyum mengejek, melihat kehadiran Kak Dipta di sini."Oh, baguslah kalau Kak Dipta masih ingat sama Nayra. Biar Kak Dipta tahu bagaimana cerobohnya dia." "Tutup mulutmu, baji**an! Aku tahu itu hanya alasanmu saja, Dasar pengecut! Hanya laki-laki pecundang yang bisanya memanfaatkan keadaan ini, untuk bisa menikah lagi dengan selingkuhan kamu itu!" ucap Kak Dipta menggebu-gebu."Terserah apa katamu, Bung!" Bima hanya tersenyum sinis, kemudian berbalik badan mengabaikan Kak Dipta."Heh, tunggu, Brengsek!"BUGH!!sebuah pukulan keras di layangkan Kak Dipta tepat mengenai rahang sebelah kiri Bima.Membuat kami semua di sini terkejut, aku reflek menutup mulutku dengan telapak tangan, dan Bu Sekar reflek berteriak.Tubuh Bima sontak terhuyung akibat dihadiahi pukulan mendadak dari Kak Dipta. Rahang sebelah kirinya

  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 6. Bertemu di persidangan .

    Aku memandangi layar ponselku yang sejenak terdiam, sebelum akhirnya bergetar lagi. Panggilan tak dikenal, untuk yang kesekian kalinya. Ragu, aku menatap nomor asing itu sejenak, dan seolah sebuah firasat buruk datang menyelubungi hatiku. Aku menahan napas, dan menekan tombol hijau, berusaha menenangkan diri."Ya, Hallo.""Hallo, dengan Ibu Nayra?" Suara pria di ujung telepon itu terdengar tegas, namun ada ketenangan yang meyakinkan."Iya benar. Maaf ini siapa?" Aku menatap layar dengan penasaran, merasa ada sesuatu yang penting."Perkenalkan, saya Arif Zainal, saya pengacara. Kebetulan saya mendapatkan mandat dari Pak Pradipta untuk membantu Ibu Nayra dalam mengurusi perceraian," kata pria itu dengan suara yang penuh percaya diri, seolah sudah mengenal keadaan tanpa perlu banyak penjelasan.Aku terkejut, namun rasa lega segera mengalir begitu mendengar nama Kak Dipta disebut. Ternyata, Kak Dipta memang tidak pernah tinggal diam. Selalu ada langkah cepat yang diambil untuk memastikan

  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 5. Mendapat Dukungan

    Bab 5. Mendapat dukungan. Aku memilih mengabaikan ucapan Kak Dipta. Aku baru saja mengalami suatu hal yang memporak-porandakan hatiku. Aku masih butuh waktu untuk menenangkan diri. "Nanti dulu lah Kak. Aku masih ingin istirahat dulu. Aku masih kangen dengan suasana rumah, aku masih mau tenangin pikiran dulu. Aku juga ingin ziarah ke makam Papa dan Mama. Aku ingin menikmati suasana baru sebagai diriku yang baru, saat ini," ucapku jujur. Kak Pradipta tersenyum. "Ya, Kakak mengerti, tapi ingat satu hal, jangan terlalu lama bersedih, itu tidak baik. Kamu harus kembali menatap masa depan. Kantor ini selalu terbuka untukmu, kapan pun kamu mau kembali bergabung." Aku mengangguk haru, merasa bangga memiliki keluarga yang begitu sangat mensupport. "Terimakasih Kak, kalau saja dulu aku mendengarkan, semua yang Kakak–" "Sudah Nay, yang berlalu biarlah jadi pelajaran, sekarang sudah saatnya kamu kembali menentukan jalan hidup yang lebih baik." Kembali aku mengangguk. Ya, Kak Dipta benar, a

  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 4. Mulai Bangkit

    Bab 4 "Ya. Si Brengsek itu telah berani menyakitinya." Dengan siapa Kak Dipta bicara? Apa dia telpon Kak Arya? Aku tertegun. "Sepertinya memang mereka punya rencana jahat," ucapnya lagi. "Iya, itu pasti, tidak akan kubiarkan orang yang sudah menyakiti adik kecil kita, itu melenggang bebas. Aku pastikan mereka akan menyesal." Kembalinya aku pada keluargaku tentu saja memantik emosi tersendiri pada kedua kakakku. Aku memilih merebahkan tubuhku di pembaringan. Kak Dipta sepertinya menghubungi Kak Arya, mereka berdua memang sangat sayang padaku, aku seakan gadis kecil kesayangan bagi mereka. Sejak dulu. Dan dengan kejadian ini, tentu mereka tak terima aku di perlakukan seperti ini oleh mereka. Aku jadi semakin merasa bersalah telah mengabaikan masukkan dari mereka, sebelum mengambil keputusan untuk menikah dengan Mas Bima. Aku membuang napas berat, dan memejamkan mata, jiwa raga ini terasa sangat lelah. *** "Bagaimana keadaanmu hari ini, Dek?" tanya Kak Dipta, pagi ini di meja m

  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 3. kembali pada keluarga.

    Bab 3. "Masuk," ucapnya lugas, menyadarkanku akan sesuatu. Dengan langkah pelan namun pasti aku memasuki mobil mewah berwarna hitam. Beberapa saat kami saling diam. Sekilas aku melirik wajahnya, rahangnya mengeras sekaligus gurat kekecewaan terlihat di sana. Dia Pradipta, kakakku. "Apa yang terjadi? Sampai malam-malam begini di tengah hujan, kamu di luaran seperti ini?" tanyanya terdengar tajam. Aku terdiam tak mampu menjawab, dengan kedua tangan memeluk diri, merasakan hawa dingin yang makin menusuk tulang, karena baju yang basah kuyup terkena AC mobil. Melihatku kedinginan, gerakan tangan Kak Pradipta cepat mematikan pendingin di dalam mobil ini. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang gelap, di tengah derai hujan juga kilat yang menyambar. Tak lama terdengar ponselnya berdering. Ia langsung memasang headset di telinganya dan mengangkat telepon. "Hallo, Aksa, maaf, aku tak jadi kesana. Lain kali kita bahas rencana kerjasama kita. Sekarang aku ada urusan m

  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 2. di usir.

    Bab 2 di usir "Kalau memang kamu mau menikahi Kiara, maka ceraikan aku, Mas," kataku lagi dengan suara bergetar. Seketika Mas Bima menoleh, menatapku lamat-lamat. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki itu. Cukup sudah dia menghancurkan hatiku. Aku seperti tak punya harga diri di matanya. "Baik. Kalau maumu seperti itu. Silahkan pergi dari sini." Aku terpana. Ringan saja kalimat itu keluar dari mulut laki-laki yang selama ini aku perjuangkan. Ya, dia benar mengusirku. Setelah semua yang sudah aku lakukan semuanya. Aku rela meninggalkan keluargaku demi dia. Kini aku telah dicampakkan. Dengan cepat aku mengusap air mata yang entah sejak kapan sudah menganak sungai. Hati yang terluka ini bagai di siram air garam dia tengah luka yang menganga. Perih bukan main. Aku melirik ke arah Mama mertuaku. Ia tersenyum simpul. Tentu saja dia senang. Sejak awal beliau memang tak menyukaiku. "Baik, aku akan pergi dari sini. Aku juga tak sudi tetap di sini, apalagi tinggal bersama Sam-pah se

  • Mantan Istri Membalas Suami Arogan   Bab 1. Dianggap tidak becus.

    Bab 1 Dituding Tidak Becus "Kamu keguguran karena nggak bisa jaga diri! Mau menyalahkan siapa lagi!?" Aku terkejut dengan ucapan suamiku. Kata-kata Mas Bima seperti pisau yang menancap di hati, membuatku nyeri sampai terasa menyesakkan. Pria itu berdiri tegak di hadapanku dengan tangan berkacak pinggang, menatapku dengan marah. Selama beberapa saat, aku tidak bisa mengatakan apa pun. Kami baru kehilangan calon bayi kami beberapa hari yang lalu. Aku bisa memahami kemarahannya karena Mas Bima memang menantikan kelahiran anak laki-laki di tengah pernikahan kami yang sudah berusia dua tahun. Aku tahu ia menginginkan penerus, apalagi karena ibu mertuaku terus-menerus meminta cucu. Namun, apakah ia harus menyalahkanku sekeras ini? Aku juga kehilangan. Ditambah lagi– “Mas,” Ketika aku bisa bersuara kembali, kusodorkan berkas pemeriksaan di tangan, “coba Mas lihat dulu. Hasil tes ini menunjukkan–” Tanpa memberikan kesempatan padaku untuk menyelesaikan kalimat, Mas Bima merebut berkas di

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status