Bab 5
"Ya. Si Brengsek itu telah berani menyakitinya." Dengan siapa Kak Dipta bicara? Apa dia telpon Kak Arya? Aku tertegun. "Sepertinya memang mereka punya rencana jahat." "Iya Kak, itu pasti, tidak akan kubiarkan orang yang sudah menyakiti adik kecil kita, itu melenggang bebas. Aku pastikan mereka akan menyesal." Aku kembali merebahkan tubuhku di pembaringan. Kak Dipta sepertinya menghubungi Kak Arya, mereka berdua memang sangat sayang padaku, aku seakan gadis kecil kesayangan bagi mereka. Sejak dulu. Aku kembali memejamkan mata menjemput mimpi. *** "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Kak Dipta, pagi ini di meja makan. "Aku sudah lebih baik, Kak." "Oke. Hari ini kita akan pulang ke rumah. Rumah itu terlalu sepi sejak kamu memutuskan pergi demi laki-laki brengsek itu!" Aku tersenyum tipis. Kemudian mulai memotong roti sandwich yang sudah di siapkan oleh kakakku yang tampan satu ini. Selesai sarapan, kami akan langsung ke rumah. Rumah orang tua kami. Hampir setengah jam perjalanan akhirnya mobil memasuki halaman rumah yang luas. Bangunan bernuansa putih, dengan dua tiang Kokoh menjulang tinggi. Rumah tiga lantai dengan model klasik namun terlihat mewah dan elegan. Begitu melihat mobil merah milik Kak Dipta, Pak Jamal langsung gesit membukakan gerbang besar itu. Rumput Jepang dan beberapa pot bunga tertata rapi di sisi sebelah kanan, di sudut taman ada gazebo dan kolam ikan kecil. Tempat kita menghabiskan hari dulu ketika kami masih kecil bersama Papa dan Mama. Kini aku sudah berdiri menatap rumah yang selama ini aku rindukan dalam diam. "Non Nayra!" Bik Likah, datang tergopoh dari dalam begitu menyadari Kak Pradipta datang bersamaku. "Masya Allah, akhirnya Non, datang kembali kemari. Bibik kangen Non. Rumah ini jadi terasa sepi sekali sejak Non pergi dari rumah," ucapnya dengan tatapan nanar. Beberapa kali ia memelukku. "Iya Bik, Nay juga kangen sama Bibik, apalagi ... Rumah ini " "Ayo masuk Non." Bik Likah sudah seperti saudara bagi kami, dia sudah mengabdi lama sejak aku, Kak Dipta dan Kak Arya masih kecil-kecil. "Duduk Non, Bibik buatkan minuman cokelat kesukaan Non sama Den Dipta." Aku menghirup aroma rumah ini, suasana yang begitu sangat kurindukan beberapa tahun belakangan ini. Selama ini memang aku menyembunyikan identitas keluargaku dari Mas Bima maupun keluarganya. Sebab pernikahan kami memang tak disetujui oleh kakak-kakakku. Dan Kak Arya dengan tegas mengatakan, "Silahkan kalau kau memilih laki-laki itu, tapi jangan membawa apapun dari sini!" Aku harus melepaskan semua fasilitas juga kemewahan yang dipunya, demi untuk Mas Bima. Entah mengapa kedua kakakku tak menyukai Mas Bima. Padahal Mas Bima baik, dan sayang sayang padaku, waktu itu. Dan kini seakan aku mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Kini aku menyadari, kalau ternyata Mas Bima tidak sebaik yang aku kira. Ternyata benar feeling seorang kakak, dalam menilai seseorang. "Nay, kenapa bengong? Masih memikirkan Bima lagi?" Bergegas aku menyeka air mataku. "Kak Dipta, maafkan aku. Aku menyesal, dulu menentang apa yang kau katakan." Kak Dipta tersenyum tipis. Kemudian mengangguk. "Alhamdulillah kau akhirnya menyadari itu Nay. Sekarang sudah bukan lagi waktunya meratapi atau menyesali semua yang sudah terjadi. Sekarang waktunya kau harus bangkit membuktikan pada mereka kalau kau adalah berlian dan buat mereka menyesal sudah membuang berlian." "Minum dulu Non, Den." Bik Likah meletakkan dua cangkir cokelat panas di atas meja. "Rumah ini akhirnya kembali bernyawa. Bibik senang Non dan Aden kembali kemari. Semenjak Non pergi, Aden juga jarang pulang ke rumah ini, Non. Rumah terasa sepi, cuma ada saya, Sumi, dan Jamal." Bik Sumi juga asisten rumah tangga yang bertugas bersih-bersih rumah. Bik Likah biasanya bagian masak dan membantu apapun di rumah ini. Pak Jamal berjaga di depan, juga mengurusi taman, halaman, kebun. "Ya, Aku pulang kemari buat apa, kalau di rumah juga sepi, jadi aku lebih suka pulang ke apartemen, lebih dekat dari kantor," ucap Kaka Dipta. "Tapi Bibik yakin kalau ada Non di rumah ini, pasti Den Dipta juga akan selalu pulang ke rumah ini." Kak Dipta hanya tersenyum mengiyakan. Bik Likah kembali ke dalam. "Sekarang apa rencanamu, Nay?" Sejenak aku terdiam memikirkan rencana awal apa yang harus kuambil. "Jika memang kau meragukan dengan hasil rekam medis penyebab kamu keguguran. Aku punya teman yang bisa membantu menyelidiki ini." Aku menoleh menatap Kak Dipta. Bicara soal keguguran, jujur hati ini nyeri. Tapi juga ini selalu mengganjal dan jadi pertanyaan, zat apa sebenarnya yang penyebab aku keguguran. "Bagaimana?" Aku mengangguk setuju. "Iya, aku ingin menyelidiki ini. Tapi bagaimana caranya?" "Itu soal mudah, dimana kau melakukan tindakan kuretase?" Aku menyebutkan nama sebuah rumah sakit dimana aku kemarin menjalani tindakan kuret. Setelah menghabiskan segelas minuman cokelat hangat, aku naik ke lantai atas, ke kamarku. Tempat ternyamanku selama ini. Tempat yang juga sangat kurindukan. Aku membuka pintu kamar, nuansa pink, dan ungu muda, seketika membuat hatiku menghangat. Reflek bibir ini menarik senyum. Kamar ini memang di desain dengan konsep manis. Aku merebahkan tubuhku di pembaringan, melepas kerinduan yang selama ini mengungkungku. Semuanya masih sama, tetap tertata rapi, bersih, wangi. Sepertinya Bik Likah memang rutin membersihkannya walau aku tidak berada di sini. Atau mungkin dia berharap jika suatu waktu aku akan kembali kemari. Aku tersenyum menatap ke keluar jendela, yang langsung mengarah pada taman dan kolam ikan. Mendadak bayangan bersama Mama dan Papa menari di pelupuk mata. "Maafkan Nay, Ma, Pa. Nay sudah gagal. Nay terlalu egois, tak mendengarkan kata Kakak." Aku bermonolog sendiri. "Nay!" Tiba-tiba suara ketukan pintu di susuk suara Kaka Dipta memanggil. "Ya Kak." "Ayo ikut." "Kemana?" "Keluar, biar kamu juga nggak sedih terus. Ayo ikut aja." Kak Dipta langsung menarik lenganku keluar rumah, kali ini dia membawa motor sport miliknya, membawaku ke suatu tempat. "Kita mau kemana sih Kak?" Kak Dipta tetap melajukan motornya tanpa menghiraukan pertanyaanku. Hingga sampai di suatu tempat sebuah kafe dengan nuansa alam, ada sungai kecil dengan gemericik air yang mengalir. Suasananya sangat menenangkan, semilir angin sepoi-sepoi makin membuat suasana terasa damai. Aku duduk lesehan seraya menatap persawahan yang hijau. Hingga tiba-tiba suara bariton seorang laki-laki mengagetkanku. Bersambung."Kamu keguguran karena nggak bisa jaga diri! Mau menyalahkan siapa lagi!?"Aku terkejut dengan ucapan Mas Bima. Sepasang mataku terbelalak tak percaya. Kata-kata suamiku itu seperti pisau yang menancap di hati, membuatku nyeri sampai terasa menyesakkan.Pria itu berdiri tegak di hadapanku dengan tangan berkacak pinggang, menatapku dengan marah.Kami baru kehilangan calon bayi kami beberapa hari yang lalu. Aku bisa memahami kemarahannya karena Mas Bima memang menantikan kelahiran anak laki-laki di tengah pernikahan kami yang sudah berusia dua tahun. Aku tahu ia menginginkan penerus, apalagi karena ibu mertuaku terus-menerus meminta cucu.Selama beberapa saat, aku tidak bisa mengatakan apa pun.“Mas,” Ketika aku bisa bersuara kembali, kusodorkan berkas pemeriksaan di tangan, “coba Mas lihat dulu. Hasil tes ini menunjukkan–”Tanpa memberikan kesempatan padaku untuk menyelesaikan kalimat, Mas Bima merebut berkas di tangan lalu membuangnya ke lantai.“Cukup, Nayra! Terimalah kenyataan bahw
"Ini Kiara. Calon adik madumu."Ucapan Mas Bima bagai sambaran petir di siang bolong. “A-apa?” bisikku. Aku bisa melihat senyum di bibir Kiara menjadi senyum miring, seperti sedang mengejek.Bodohnya aku, aku tidak curiga. Aku menepis kecemburuan yang hadir, karena aku pikir, aku bisa memercayai Mas Bima sepenuh hati.Nyatanya aku salah.“Kamu sudah dengar, Nayra,” ucap Mas Bima. “Aku akan menikahi Kiara sebagai istri keduaku.”"Enggak Mas, aku nggak mau di madu." Aku berbisik.Mas Bima menghela napas. Tatapannya padaku tampak tajam. "Aku butuh keturunan.” Ia berucap tegas. “Lagipula, dokter sudah bilang kalau kamu akan sulit untuk hamil lagi.”“Toh,” lanjut Mas Bima. “Sekalipun hamil, memangnya kamu bisa jamin kamu bisa menjaga kandunganmu di waktu mendatang? Istri ceroboh.”Ucapannya benar-benar menyakitiku. Membuat dadaku makin lama makin sesak. Inikah perlakuan yang harus aku terima karena aku menikahi suamiku ini tanpa restu keluarga? Hingga aku harus menerima penghinaan seper
"Eh, eh, tunggu! Barang apa itu yang mau kamu bawa?!"Tiba-tiba saja Ibu merangsek masuk kamar, dan dengan kasar menarik koper yang handak aku tutup.Aku terkejut."Barang-barang itu ...." Wanita paruh baya itu mengacak-acak koperku, menarik keluar benda-benda yang pernah Bima berikan. "Kamu kira kamu bisa pergi membawa semua ini? Nggak. Nggak bisa! Semua barang-barang ini, di beli dengan uang Bima. Jadi kamu tak berhak membawanya! Kamu yang menginginkan pergi dari sini, jadi pergilah tanpa membawa apapun dari sini, kecuali pakaian yang kamu pakai itu." Aku tersentak.Ini bukan soal barang, tapi ini seperti penghinaan bagiku."Baik, aku tak butuh dengan semua barang-barang ini."Sekar tertawa sinis, seolah merasa menang.Dengan tangan kasar, ia menarik keluar perhiasan dari koperku, seakan ingin menghancurkan sisa-sisa harga diriku. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak ingin membawa apapun lagi dari tempat ini, bahkan kenangan yang menyakitkan sekalipun.Padahal beberapa perhiasan itu
Dia Pradipta, kakakku. "Apa yang terjadi? Sampai malam-malam begini di tengah hujan, kamu di luaran seperti ini?" Aku terdiam tak mampu menjawab, dengan kedua tangan memeluk diri, merasakan hawa dingin yang makin menusuk tulang, karena baju yang basah kuyup terkena AC mobil. Gerakan tangannya cepat mematikan pendingin di dalam mobil ini. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang gelap, dan derai hujan juga kilat yang menyambar. Tak lama terdengar ponselnya berdering. Ia langsung memasang headset dan mengangkat telepon. "Hallo, Aksa, lain kali kita bahas rencana kerjasama kita. Sekarang aku ada urusan mendadak. Sorry ya." Ia sepertinya ada janji dengan temannya, dan kini ia membatalkannya. Kembali hening menyelimuti. Kak Pradipta seakan memberiku waktu untuk menenangkan diri. Sesekali ia melirikku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Aku paham dua pasti kecewa. Mobil memasuki halaman yang luas. Bangunan apartemen menjulang tinggi berdiri kokoh dan
Bab 5 "Ya. Si Brengsek itu telah berani menyakitinya." Dengan siapa Kak Dipta bicara? Apa dia telpon Kak Arya? Aku tertegun. "Sepertinya memang mereka punya rencana jahat." "Iya Kak, itu pasti, tidak akan kubiarkan orang yang sudah menyakiti adik kecil kita, itu melenggang bebas. Aku pastikan mereka akan menyesal." Aku kembali merebahkan tubuhku di pembaringan. Kak Dipta sepertinya menghubungi Kak Arya, mereka berdua memang sangat sayang padaku, aku seakan gadis kecil kesayangan bagi mereka. Sejak dulu. Aku kembali memejamkan mata menjemput mimpi. *** "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Kak Dipta, pagi ini di meja makan. "Aku sudah lebih baik, Kak." "Oke. Hari ini kita akan pulang ke rumah. Rumah itu terlalu sepi sejak kamu memutuskan pergi demi laki-laki brengsek itu!" Aku tersenyum tipis. Kemudian mulai memotong roti sandwich yang sudah di siapkan oleh kakakku yang tampan satu ini. Selesai sarapan, kami akan langsung ke rumah. Rumah orang tua kami. Ham
Dia Pradipta, kakakku. "Apa yang terjadi? Sampai malam-malam begini di tengah hujan, kamu di luaran seperti ini?" Aku terdiam tak mampu menjawab, dengan kedua tangan memeluk diri, merasakan hawa dingin yang makin menusuk tulang, karena baju yang basah kuyup terkena AC mobil. Gerakan tangannya cepat mematikan pendingin di dalam mobil ini. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang gelap, dan derai hujan juga kilat yang menyambar. Tak lama terdengar ponselnya berdering. Ia langsung memasang headset dan mengangkat telepon. "Hallo, Aksa, lain kali kita bahas rencana kerjasama kita. Sekarang aku ada urusan mendadak. Sorry ya." Ia sepertinya ada janji dengan temannya, dan kini ia membatalkannya. Kembali hening menyelimuti. Kak Pradipta seakan memberiku waktu untuk menenangkan diri. Sesekali ia melirikku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Aku paham dua pasti kecewa. Mobil memasuki halaman yang luas. Bangunan apartemen menjulang tinggi berdiri kokoh dan
"Eh, eh, tunggu! Barang apa itu yang mau kamu bawa?!"Tiba-tiba saja Ibu merangsek masuk kamar, dan dengan kasar menarik koper yang handak aku tutup.Aku terkejut."Barang-barang itu ...." Wanita paruh baya itu mengacak-acak koperku, menarik keluar benda-benda yang pernah Bima berikan. "Kamu kira kamu bisa pergi membawa semua ini? Nggak. Nggak bisa! Semua barang-barang ini, di beli dengan uang Bima. Jadi kamu tak berhak membawanya! Kamu yang menginginkan pergi dari sini, jadi pergilah tanpa membawa apapun dari sini, kecuali pakaian yang kamu pakai itu." Aku tersentak.Ini bukan soal barang, tapi ini seperti penghinaan bagiku."Baik, aku tak butuh dengan semua barang-barang ini."Sekar tertawa sinis, seolah merasa menang.Dengan tangan kasar, ia menarik keluar perhiasan dari koperku, seakan ingin menghancurkan sisa-sisa harga diriku. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak ingin membawa apapun lagi dari tempat ini, bahkan kenangan yang menyakitkan sekalipun.Padahal beberapa perhiasan itu
"Ini Kiara. Calon adik madumu."Ucapan Mas Bima bagai sambaran petir di siang bolong. “A-apa?” bisikku. Aku bisa melihat senyum di bibir Kiara menjadi senyum miring, seperti sedang mengejek.Bodohnya aku, aku tidak curiga. Aku menepis kecemburuan yang hadir, karena aku pikir, aku bisa memercayai Mas Bima sepenuh hati.Nyatanya aku salah.“Kamu sudah dengar, Nayra,” ucap Mas Bima. “Aku akan menikahi Kiara sebagai istri keduaku.”"Enggak Mas, aku nggak mau di madu." Aku berbisik.Mas Bima menghela napas. Tatapannya padaku tampak tajam. "Aku butuh keturunan.” Ia berucap tegas. “Lagipula, dokter sudah bilang kalau kamu akan sulit untuk hamil lagi.”“Toh,” lanjut Mas Bima. “Sekalipun hamil, memangnya kamu bisa jamin kamu bisa menjaga kandunganmu di waktu mendatang? Istri ceroboh.”Ucapannya benar-benar menyakitiku. Membuat dadaku makin lama makin sesak. Inikah perlakuan yang harus aku terima karena aku menikahi suamiku ini tanpa restu keluarga? Hingga aku harus menerima penghinaan seper
"Kamu keguguran karena nggak bisa jaga diri! Mau menyalahkan siapa lagi!?"Aku terkejut dengan ucapan Mas Bima. Sepasang mataku terbelalak tak percaya. Kata-kata suamiku itu seperti pisau yang menancap di hati, membuatku nyeri sampai terasa menyesakkan.Pria itu berdiri tegak di hadapanku dengan tangan berkacak pinggang, menatapku dengan marah.Kami baru kehilangan calon bayi kami beberapa hari yang lalu. Aku bisa memahami kemarahannya karena Mas Bima memang menantikan kelahiran anak laki-laki di tengah pernikahan kami yang sudah berusia dua tahun. Aku tahu ia menginginkan penerus, apalagi karena ibu mertuaku terus-menerus meminta cucu.Selama beberapa saat, aku tidak bisa mengatakan apa pun.“Mas,” Ketika aku bisa bersuara kembali, kusodorkan berkas pemeriksaan di tangan, “coba Mas lihat dulu. Hasil tes ini menunjukkan–”Tanpa memberikan kesempatan padaku untuk menyelesaikan kalimat, Mas Bima merebut berkas di tangan lalu membuangnya ke lantai.“Cukup, Nayra! Terimalah kenyataan bahw