Aku memandangi layar ponselku yang sejenak terdiam, sebelum akhirnya bergetar lagi. Panggilan tak dikenal, untuk yang kesekian kalinya. Ragu, aku menatap nomor asing itu sejenak, dan seolah sebuah firasat buruk datang menyelubungi hatiku. Aku menahan napas, dan menekan tombol hijau, berusaha menenangkan diri.
"Ya, Hallo." "Hallo, dengan Ibu Nayra?" Suara pria di ujung telepon itu terdengar tegas, namun ada ketenangan yang meyakinkan. "Iya benar. Maaf ini siapa?" Aku menatap layar dengan penasaran, merasa ada sesuatu yang penting. "Perkenalkan, saya Arif Zainal, saya pengacara. Kebetulan saya mendapatkan mandat dari Pak Pradipta untuk membantu Ibu Nayra dalam mengurusi perceraian," kata pria itu dengan suara yang penuh percaya diri, seolah sudah mengenal keadaan tanpa perlu banyak penjelasan. Aku terkejut, namun rasa lega segera mengalir begitu mendengar nama Kak Dipta disebut. Ternyata, Kak Dipta memang tidak pernah tinggal diam. Selalu ada langkah cepat yang diambil untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik, bahkan dalam hal yang sebesar ini. "Oh, iya, Pak. Benar sekali. Senang berkenalan dengan Anda. Saya memang sedang menghadapi kasus perceraian dengan suami saya, Bima Satrianto," jawabku, berusaha tetap tenang meskipun dalam hatiku masih ada ribuan pertanyaan yang menggantung. "Iya, Bu. Kalau begitu, dalam waktu dekat kita bisa bertemu untuk membahas langkah-langkah selanjutnya?" Pak Arif melanjutkan. "Baik, Pak. Saya akan menghubungi Anda lagi untuk menentukan waktunya," jawabku. "Terima kasih, Bu Nayra. Semoga semuanya berjalan lancar. Selamat siang," tutup Pak Arif, dan telepon itu pun terputus. Aku meletakkan ponsel dengan hati yang sedikit lebih lega. Setidaknya ada seseorang yang akan membantuku menghadapinya. Rasanya, meskipun aku tak tahu persis apa yang akan terjadi, langkah ini adalah sesuatu yang lebih pasti daripada yang aku bayangkan sebelumnya. Kak Dipta memang selalu lebih cepat dalam menyelesaikan masalah. Baru saja aku sampai di rumah, dan mendaratkan bobotku di sofa ruang tamu. Sebuah pesan dari Pak Arif muncul di layar. [Ibu Nayra, untuk kelancaran proses perceraian, saya memerlukan beberapa dokumen administratif, seperti fotokopi KTP, KK, serta dokumen-dokumen terkait pernikahan Anda dengan Bima. Mohon segera dipersiapkan. Terima kasih.] Aku membaca pesan itu beberapa kali, mencoba mencerna setiap kata yang tertulis. KTP, KK, dokumen pernikahan … Semuanya harus aku siapkan. Tetapi saat aku berusaha memproses permintaan Pak Arif, sebuah kekosongan tiba-tiba menghantamku. Aku menatap layar ponselku, dan seketika itu juga aku tersadar. Semua dokumen itu ada di rumah Bima. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Semua berkas administratif yang dibutuhkan—KTP, KK, bahkan dokumen pernikahan—semua itu ada di rumah yang dulu aku tinggali bersama Bima. Aku keluar dari sana tanpa membawa apapun, hanya baju yang melekat di tubuhku. Bahkan ponsel ini pun, pemberian Kak Pradipta kemarin. Aku bahkan tak sempat memikirkan barang-barang berharga yang tertinggal. Rasa bingung dan cemas mulai menyelimuti pikiranku. Bagaimana aku bisa mengambil semua itu? Aku tidak ingin kembali ke sana, tidak dengan kondisi seperti ini. Tapi aku tahu, jika aku ingin melanjutkan perceraian ini, aku harus mengurus semua berkas itu. Aku terdiam, merasa berat. Kembali ke rumah Bima berarti aku harus menghadapi mereka lagi, kenyataan yang tidak ingin kutemui. Semua kenangan itu, semua perasaan yang pernah ada antara kami, pasti akan kembali menghantui. Aku menatap layar ponselku sejenak, merasakan keheningan yang menekan. Setelah beberapa detik, aku akhirnya memutuskan untuk membalas pesan dari Pak Arif. [Pak Arif, terima kasih atas informasinya. Semua dokumen yang Anda butuhkan ada di rumah saya bersama suami saya, Bima. Saya tidak membawa apapun ketika keluar kemarin, jadi saya perlu waktu untuk mengambilnya. Mohon kesabarannya.] Aku menekan tombol kirim dan meletakkan ponsel di atas meja. Keputusan itu terasa berat, namun aku tahu tidak ada pilihan lain. Namun, di saat yang sama, sebuah perasaan terpendam muncul. Kembali ke rumah Bima berarti membuka kembali luka lama yang belum sepenuhnya kering. Rumah itu—dulunya tempat kami membangun kenangan bersama—sekarang terasa seperti ruang yang penuh dengan sisa-sisa kebohongan dan pengkhianatan. Bagaimana bisa aku kembali ke sana, tempat yang dulu menjadi simbol kebahagiaan kami, dan sekarang hanya mengingatkan pada rasa sakit dan kehancuran? Ponselku bergetar lagi, pesan dari Pak Arif masuk. Dengan tangan sedikit gemetar, aku membuka pesan itu dan membacanya. [Bu Nayra, saya sudah menghubungi seorang teman yang bekerja di pengadilan agama setempat. Berdasarkan informasi yang saya terima, suami Anda, Bima, sudah mengajukan gugatan cerai di sana. Dengan demikian, berkas-berkas administratif Anda akan terlampir di pengajuan tersebut, jadi Anda tidak perlu kembali ke rumah Bima untuk mengambilnya.] Aku menghela napas panjang, perasaan lega perlahan merayap ke dalam hatiku. Setidaknya aku tidak perlu bertemu mereka dengan kembali ke rumah itu. Beban yang beberapa menit lalu terasa begitu berat di pundakku sedikit terangkat. Meski begitu, ada kegetiran yang tersisa—seperti mengingat bahwa Bima sudah mengambil langkah pertama, seolah mempertegas bahwa hubungan kami benar-benar berakhir. Aku duduk di meja makan, menatap amplop dengan kop surat bertuliskan logo pengadilan agama. Surat panggilan sidang pertama, yang dijadwalkan minggu depan. Tanganku sedikit gemetar saat membaca isinya. Pradipta, yang duduk di seberangku, mengamati dengan penuh perhatian. "Sidangnya minggu depan, Kak," kataku pelan, menunjukkan surat itu kepadanya. Pradipta mengangguk, ekspresinya serius namun penuh dukungan. "Aku akan menemanimu, Nayra. Jangan khawatir, kita hadapi ini bersama." Aku mengangguk, berusaha menahan air mata yang tiba-tiba menggenang di sudut mataku. "Terima kasih, Kak." * Hari dimana sidang pertama di gelar pun tiba. Aku datang bersama Kak Dipta. Sesuai janjinya, dia mendampingiku. Baru saja aku hendak membuka pintu mobil, tiba-tiba ponsel di saku Kak Dipta berdering. Aku menoleh. "Kami duluan masuk, sebentar aku angkat ini dulu, dari orang kantor," ucap Kak Dipta. Dia memang sibuk sekali. Aku mengangguk dan melangkah dengan pasti memasuki gedung bertuliskan nama pengadilan agama. Aku masih tidak menyangka jika pernikahanku akan berakhir di sini. Terlihat Mas Bima juga baru turun dari mobil bersama Ibunya dan Kiara. Aku mencoba tetap tenang, ketika harus bersitatap dengan mereka. U Sekar menatapku penuh kebencian. "Bagaimana rasanya hidup terlunta-lunta di luaran sana?" tanya Bu Sekar tanpa ragu. "Sudah kuduga, tak ada satupun keluargamu yang mendukungmu. Hidup kamu memang menyedihkan, Nayra," ungkapnya lagi. "Eh, Ma. Tapi baju dan tas-nya bagus loh Ma," bisik Kiara, namun masih bisa kudengar. Bu Sekar hanya mencebik, mendengarnya. "Pasti itu, hasil kamu jual diri ya? Laki-laki mana lagi yang berhasil kamu gaet? Kamu peras hartanya?" Tanganku terkepal kuat. "Cukup Bu Sekar! Saya tidak serendah itu!" sentakku. "Oh ya. Lalu dari mana, kamu dapatkan ini semua? Kalau bukan dari hasil jual diri! Lihatlah Bima, keputusan kamu untuk menceraikan dia itu sudah sangat tepat. Betapa dia itu sangat murahan!" ucap Bu Sekar lagi. Mas Bima masih terdiam menatap dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku tidak menyangka kamu bisa melakukan itu, Nay," ucapnya terdengar sangat mempercayai ucapan ibunya. "Keluarga tidak punya, harta apa lagi? Semua kakakmu mana? Apa mereka peduli?" "Saya ada di sini! Untuk mendampingi adik saya." Tiba-tiba Kak Dipta sudah berada di dekatku. "Kak Dipta." Mas Bima bergumam. "Ya! Dan kamu Bima! Rumah tanggamu dengan Nayra mungkin sudah selesai, tapi urusanmu denganku belum selesai! Aku akan buat perhitungan denganmu!" ucap Kak Dipta lantang. Bersambung."Ya! Dan kamu Bima! Rumah tanggamu dengan Nayra mungkin sudah selesai, tapi urusanmu denganku belum selesai! Aku akan buat perhitungan denganmu!" ucap Kak Dipta lantang.Bima tersenyum mengejek, melihat kehadiran Kak Dipta di sini."Oh, baguslah kalau Kak Dipta masih ingat sama Nayra. Biar Kak Dipta tahu bagaimana cerobohnya dia." "Tutup mulutmu, baji**an! Aku tahu itu hanya alasanmu saja, Dasar pengecut! Hanya laki-laki pecundang yang bisanya memanfaatkan keadaan ini, untuk bisa menikah lagi dengan selingkuhan kamu itu!" ucap Kak Dipta menggebu-gebu."Terserah apa katamu, Bung!" Bima hanya tersenyum sinis, kemudian berbalik badan mengabaikan Kak Dipta."Heh, tunggu, Brengsek!"BUGH!!sebuah pukulan keras di layangkan Kak Dipta tepat mengenai rahang sebelah kiri Bima.Membuat kami semua di sini terkejut, aku reflek menutup mulutku dengan telapak tangan, dan Bu Sekar reflek berteriak.Tubuh Bima sontak terhuyung akibat dihadiahi pukulan mendadak dari Kak Dipta. Rahang sebelah kirinya
Rumah sakit Kasih Bunda."Selamat siang, saya ingin konsultasi dengan dokter Miranda," ucapku pada petugas pendaftaran pasien."Dokter Miranda, hari ini ada dari jam delapan sampai jam dua belas. Ini nomer antrian Anda ." Dengan cekatan petugas laki-laki yang mengenakan pakaian batik itu memberikan struk nomer antrian padaku."Baik, terimakasih."Aku dan Aksa melangkah ke depan ruang praktek dokter Miranda. Sudah ada sekitar 5 orang yang sedang mengantri. Aku dan Aksa duduk bersisian, meski terkadang ada rasa canggung menyelimuti, tapi aku berusaha biasa saja. Karena memang aku butuh bantuannya."Apa kamu mau minum, biar aku beli," ujar Aksa."Oh tidak perlu, nanti saja."Aksa pun kembali duduk di sebelahku, sibuk dengan gawai-nya.Suasana ruang tunggu terasa penuh, meski orang-orang duduk dengan tenang. Suara anak kecil yang merengek pelan memecah keheningan, disusul dengan bisikan lembut ibunya mencoba menenangkan. Aku mengalihkan pandangan ke arah Aksa, yang tampak serius menatap
"Kau siap dengan penyelidikan kita selanjutnya, Nay?"Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya aku tidak yakin dengan jawabanku sendiri.Kami berjalan keluar dari rumah sakit tanpa banyak bicara. Aksa membawa map itu erat di tangannya, sementara aku hanya menatap kosong ke depan. Langit mendung sore itu, seolah-olah ikut memahami kekacauan di pikiranku.Di parkiran, Aksa membuka pintu mobil untukku, tapi aku tidak langsung masuk. Aku berdiri di sana, memandang rumah sakit di belakangku. "Aksa," panggilku pelan, membuatnya berhenti dan menoleh."Hm?""Kalau benar ini semua disengaja... kenapa? Aku nggak ngerti kenapa seseorang mau menyakitiku, menyakiti bayiku." Suaraku pecah, meski aku berusaha keras menahannya. "Aku nggak punya musuh. Aku nggak pernah berbuat salah sama siapa pun."Aksa diam sejenak, lalu menatapku dengan serius. "Kadang, jawaban itu nggak langsung kita temukan. Tapi yang jelas, ini bukan salahmu, Nayra. Ingat itu."Aku mengangguk pelan, tapi hatiku tetap terasa berat.
Bab 1 Dituding Tidak Becus "Kamu keguguran karena nggak bisa jaga diri! Mau menyalahkan siapa lagi!?" Aku terkejut dengan ucapan suamiku. Kata-kata Mas Bima seperti pisau yang menancap di hati, membuatku nyeri sampai terasa menyesakkan. Pria itu berdiri tegak di hadapanku dengan tangan berkacak pinggang, menatapku dengan marah. Selama beberapa saat, aku tidak bisa mengatakan apa pun. Kami baru kehilangan calon bayi kami beberapa hari yang lalu. Aku bisa memahami kemarahannya karena Mas Bima memang menantikan kelahiran anak laki-laki di tengah pernikahan kami yang sudah berusia dua tahun. Aku tahu ia menginginkan penerus, apalagi karena ibu mertuaku terus-menerus meminta cucu. Namun, apakah ia harus menyalahkanku sekeras ini? Aku juga kehilangan. Ditambah lagi– “Mas,” Ketika aku bisa bersuara kembali, kusodorkan berkas pemeriksaan di tangan, “coba Mas lihat dulu. Hasil tes ini menunjukkan–” Tanpa memberikan kesempatan padaku untuk menyelesaikan kalimat, Mas Bima merebut berkas di
Bab 2 di usir "Kalau memang kamu mau menikahi Kiara, maka ceraikan aku, Mas," kataku lagi dengan suara bergetar. Seketika Mas Bima menoleh, menatapku lamat-lamat. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki itu. Cukup sudah dia menghancurkan hatiku. Aku seperti tak punya harga diri di matanya. "Baik. Kalau maumu seperti itu. Silahkan pergi dari sini." Aku terpana. Ringan saja kalimat itu keluar dari mulut laki-laki yang selama ini aku perjuangkan. Ya, dia benar mengusirku. Setelah semua yang sudah aku lakukan semuanya. Aku rela meninggalkan keluargaku demi dia. Kini aku telah dicampakkan. Dengan cepat aku mengusap air mata yang entah sejak kapan sudah menganak sungai. Hati yang terluka ini bagai di siram air garam dia tengah luka yang menganga. Perih bukan main. Aku melirik ke arah Mama mertuaku. Ia tersenyum simpul. Tentu saja dia senang. Sejak awal beliau memang tak menyukaiku. "Baik, aku akan pergi dari sini. Aku juga tak sudi tetap di sini, apalagi tinggal bersama Sam-pah se
Bab 3. "Masuk," ucapnya lugas, menyadarkanku akan sesuatu. Dengan langkah pelan namun pasti aku memasuki mobil mewah berwarna hitam. Beberapa saat kami saling diam. Sekilas aku melirik wajahnya, rahangnya mengeras sekaligus gurat kekecewaan terlihat di sana. Dia Pradipta, kakakku. "Apa yang terjadi? Sampai malam-malam begini di tengah hujan, kamu di luaran seperti ini?" tanyanya terdengar tajam. Aku terdiam tak mampu menjawab, dengan kedua tangan memeluk diri, merasakan hawa dingin yang makin menusuk tulang, karena baju yang basah kuyup terkena AC mobil. Melihatku kedinginan, gerakan tangan Kak Pradipta cepat mematikan pendingin di dalam mobil ini. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang gelap, di tengah derai hujan juga kilat yang menyambar. Tak lama terdengar ponselnya berdering. Ia langsung memasang headset di telinganya dan mengangkat telepon. "Hallo, Aksa, maaf, aku tak jadi kesana. Lain kali kita bahas rencana kerjasama kita. Sekarang aku ada urusan m
Bab 4 "Ya. Si Brengsek itu telah berani menyakitinya." Dengan siapa Kak Dipta bicara? Apa dia telpon Kak Arya? Aku tertegun. "Sepertinya memang mereka punya rencana jahat," ucapnya lagi. "Iya, itu pasti, tidak akan kubiarkan orang yang sudah menyakiti adik kecil kita, itu melenggang bebas. Aku pastikan mereka akan menyesal." Kembalinya aku pada keluargaku tentu saja memantik emosi tersendiri pada kedua kakakku. Aku memilih merebahkan tubuhku di pembaringan. Kak Dipta sepertinya menghubungi Kak Arya, mereka berdua memang sangat sayang padaku, aku seakan gadis kecil kesayangan bagi mereka. Sejak dulu. Dan dengan kejadian ini, tentu mereka tak terima aku di perlakukan seperti ini oleh mereka. Aku jadi semakin merasa bersalah telah mengabaikan masukkan dari mereka, sebelum mengambil keputusan untuk menikah dengan Mas Bima. Aku membuang napas berat, dan memejamkan mata, jiwa raga ini terasa sangat lelah. *** "Bagaimana keadaanmu hari ini, Dek?" tanya Kak Dipta, pagi ini di meja m
Bab 5. Mendapat dukungan. Aku memilih mengabaikan ucapan Kak Dipta. Aku baru saja mengalami suatu hal yang memporak-porandakan hatiku. Aku masih butuh waktu untuk menenangkan diri. "Nanti dulu lah Kak. Aku masih ingin istirahat dulu. Aku masih kangen dengan suasana rumah, aku masih mau tenangin pikiran dulu. Aku juga ingin ziarah ke makam Papa dan Mama. Aku ingin menikmati suasana baru sebagai diriku yang baru, saat ini," ucapku jujur. Kak Pradipta tersenyum. "Ya, Kakak mengerti, tapi ingat satu hal, jangan terlalu lama bersedih, itu tidak baik. Kamu harus kembali menatap masa depan. Kantor ini selalu terbuka untukmu, kapan pun kamu mau kembali bergabung." Aku mengangguk haru, merasa bangga memiliki keluarga yang begitu sangat mensupport. "Terimakasih Kak, kalau saja dulu aku mendengarkan, semua yang Kakak–" "Sudah Nay, yang berlalu biarlah jadi pelajaran, sekarang sudah saatnya kamu kembali menentukan jalan hidup yang lebih baik." Kembali aku mengangguk. Ya, Kak Dipta benar, a
"Kau siap dengan penyelidikan kita selanjutnya, Nay?"Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya aku tidak yakin dengan jawabanku sendiri.Kami berjalan keluar dari rumah sakit tanpa banyak bicara. Aksa membawa map itu erat di tangannya, sementara aku hanya menatap kosong ke depan. Langit mendung sore itu, seolah-olah ikut memahami kekacauan di pikiranku.Di parkiran, Aksa membuka pintu mobil untukku, tapi aku tidak langsung masuk. Aku berdiri di sana, memandang rumah sakit di belakangku. "Aksa," panggilku pelan, membuatnya berhenti dan menoleh."Hm?""Kalau benar ini semua disengaja... kenapa? Aku nggak ngerti kenapa seseorang mau menyakitiku, menyakiti bayiku." Suaraku pecah, meski aku berusaha keras menahannya. "Aku nggak punya musuh. Aku nggak pernah berbuat salah sama siapa pun."Aksa diam sejenak, lalu menatapku dengan serius. "Kadang, jawaban itu nggak langsung kita temukan. Tapi yang jelas, ini bukan salahmu, Nayra. Ingat itu."Aku mengangguk pelan, tapi hatiku tetap terasa berat.
Rumah sakit Kasih Bunda."Selamat siang, saya ingin konsultasi dengan dokter Miranda," ucapku pada petugas pendaftaran pasien."Dokter Miranda, hari ini ada dari jam delapan sampai jam dua belas. Ini nomer antrian Anda ." Dengan cekatan petugas laki-laki yang mengenakan pakaian batik itu memberikan struk nomer antrian padaku."Baik, terimakasih."Aku dan Aksa melangkah ke depan ruang praktek dokter Miranda. Sudah ada sekitar 5 orang yang sedang mengantri. Aku dan Aksa duduk bersisian, meski terkadang ada rasa canggung menyelimuti, tapi aku berusaha biasa saja. Karena memang aku butuh bantuannya."Apa kamu mau minum, biar aku beli," ujar Aksa."Oh tidak perlu, nanti saja."Aksa pun kembali duduk di sebelahku, sibuk dengan gawai-nya.Suasana ruang tunggu terasa penuh, meski orang-orang duduk dengan tenang. Suara anak kecil yang merengek pelan memecah keheningan, disusul dengan bisikan lembut ibunya mencoba menenangkan. Aku mengalihkan pandangan ke arah Aksa, yang tampak serius menatap
"Ya! Dan kamu Bima! Rumah tanggamu dengan Nayra mungkin sudah selesai, tapi urusanmu denganku belum selesai! Aku akan buat perhitungan denganmu!" ucap Kak Dipta lantang.Bima tersenyum mengejek, melihat kehadiran Kak Dipta di sini."Oh, baguslah kalau Kak Dipta masih ingat sama Nayra. Biar Kak Dipta tahu bagaimana cerobohnya dia." "Tutup mulutmu, baji**an! Aku tahu itu hanya alasanmu saja, Dasar pengecut! Hanya laki-laki pecundang yang bisanya memanfaatkan keadaan ini, untuk bisa menikah lagi dengan selingkuhan kamu itu!" ucap Kak Dipta menggebu-gebu."Terserah apa katamu, Bung!" Bima hanya tersenyum sinis, kemudian berbalik badan mengabaikan Kak Dipta."Heh, tunggu, Brengsek!"BUGH!!sebuah pukulan keras di layangkan Kak Dipta tepat mengenai rahang sebelah kiri Bima.Membuat kami semua di sini terkejut, aku reflek menutup mulutku dengan telapak tangan, dan Bu Sekar reflek berteriak.Tubuh Bima sontak terhuyung akibat dihadiahi pukulan mendadak dari Kak Dipta. Rahang sebelah kirinya
Aku memandangi layar ponselku yang sejenak terdiam, sebelum akhirnya bergetar lagi. Panggilan tak dikenal, untuk yang kesekian kalinya. Ragu, aku menatap nomor asing itu sejenak, dan seolah sebuah firasat buruk datang menyelubungi hatiku. Aku menahan napas, dan menekan tombol hijau, berusaha menenangkan diri."Ya, Hallo.""Hallo, dengan Ibu Nayra?" Suara pria di ujung telepon itu terdengar tegas, namun ada ketenangan yang meyakinkan."Iya benar. Maaf ini siapa?" Aku menatap layar dengan penasaran, merasa ada sesuatu yang penting."Perkenalkan, saya Arif Zainal, saya pengacara. Kebetulan saya mendapatkan mandat dari Pak Pradipta untuk membantu Ibu Nayra dalam mengurusi perceraian," kata pria itu dengan suara yang penuh percaya diri, seolah sudah mengenal keadaan tanpa perlu banyak penjelasan.Aku terkejut, namun rasa lega segera mengalir begitu mendengar nama Kak Dipta disebut. Ternyata, Kak Dipta memang tidak pernah tinggal diam. Selalu ada langkah cepat yang diambil untuk memastikan
Bab 5. Mendapat dukungan. Aku memilih mengabaikan ucapan Kak Dipta. Aku baru saja mengalami suatu hal yang memporak-porandakan hatiku. Aku masih butuh waktu untuk menenangkan diri. "Nanti dulu lah Kak. Aku masih ingin istirahat dulu. Aku masih kangen dengan suasana rumah, aku masih mau tenangin pikiran dulu. Aku juga ingin ziarah ke makam Papa dan Mama. Aku ingin menikmati suasana baru sebagai diriku yang baru, saat ini," ucapku jujur. Kak Pradipta tersenyum. "Ya, Kakak mengerti, tapi ingat satu hal, jangan terlalu lama bersedih, itu tidak baik. Kamu harus kembali menatap masa depan. Kantor ini selalu terbuka untukmu, kapan pun kamu mau kembali bergabung." Aku mengangguk haru, merasa bangga memiliki keluarga yang begitu sangat mensupport. "Terimakasih Kak, kalau saja dulu aku mendengarkan, semua yang Kakak–" "Sudah Nay, yang berlalu biarlah jadi pelajaran, sekarang sudah saatnya kamu kembali menentukan jalan hidup yang lebih baik." Kembali aku mengangguk. Ya, Kak Dipta benar, a
Bab 4 "Ya. Si Brengsek itu telah berani menyakitinya." Dengan siapa Kak Dipta bicara? Apa dia telpon Kak Arya? Aku tertegun. "Sepertinya memang mereka punya rencana jahat," ucapnya lagi. "Iya, itu pasti, tidak akan kubiarkan orang yang sudah menyakiti adik kecil kita, itu melenggang bebas. Aku pastikan mereka akan menyesal." Kembalinya aku pada keluargaku tentu saja memantik emosi tersendiri pada kedua kakakku. Aku memilih merebahkan tubuhku di pembaringan. Kak Dipta sepertinya menghubungi Kak Arya, mereka berdua memang sangat sayang padaku, aku seakan gadis kecil kesayangan bagi mereka. Sejak dulu. Dan dengan kejadian ini, tentu mereka tak terima aku di perlakukan seperti ini oleh mereka. Aku jadi semakin merasa bersalah telah mengabaikan masukkan dari mereka, sebelum mengambil keputusan untuk menikah dengan Mas Bima. Aku membuang napas berat, dan memejamkan mata, jiwa raga ini terasa sangat lelah. *** "Bagaimana keadaanmu hari ini, Dek?" tanya Kak Dipta, pagi ini di meja m
Bab 3. "Masuk," ucapnya lugas, menyadarkanku akan sesuatu. Dengan langkah pelan namun pasti aku memasuki mobil mewah berwarna hitam. Beberapa saat kami saling diam. Sekilas aku melirik wajahnya, rahangnya mengeras sekaligus gurat kekecewaan terlihat di sana. Dia Pradipta, kakakku. "Apa yang terjadi? Sampai malam-malam begini di tengah hujan, kamu di luaran seperti ini?" tanyanya terdengar tajam. Aku terdiam tak mampu menjawab, dengan kedua tangan memeluk diri, merasakan hawa dingin yang makin menusuk tulang, karena baju yang basah kuyup terkena AC mobil. Melihatku kedinginan, gerakan tangan Kak Pradipta cepat mematikan pendingin di dalam mobil ini. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang gelap, di tengah derai hujan juga kilat yang menyambar. Tak lama terdengar ponselnya berdering. Ia langsung memasang headset di telinganya dan mengangkat telepon. "Hallo, Aksa, maaf, aku tak jadi kesana. Lain kali kita bahas rencana kerjasama kita. Sekarang aku ada urusan m
Bab 2 di usir "Kalau memang kamu mau menikahi Kiara, maka ceraikan aku, Mas," kataku lagi dengan suara bergetar. Seketika Mas Bima menoleh, menatapku lamat-lamat. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki itu. Cukup sudah dia menghancurkan hatiku. Aku seperti tak punya harga diri di matanya. "Baik. Kalau maumu seperti itu. Silahkan pergi dari sini." Aku terpana. Ringan saja kalimat itu keluar dari mulut laki-laki yang selama ini aku perjuangkan. Ya, dia benar mengusirku. Setelah semua yang sudah aku lakukan semuanya. Aku rela meninggalkan keluargaku demi dia. Kini aku telah dicampakkan. Dengan cepat aku mengusap air mata yang entah sejak kapan sudah menganak sungai. Hati yang terluka ini bagai di siram air garam dia tengah luka yang menganga. Perih bukan main. Aku melirik ke arah Mama mertuaku. Ia tersenyum simpul. Tentu saja dia senang. Sejak awal beliau memang tak menyukaiku. "Baik, aku akan pergi dari sini. Aku juga tak sudi tetap di sini, apalagi tinggal bersama Sam-pah se
Bab 1 Dituding Tidak Becus "Kamu keguguran karena nggak bisa jaga diri! Mau menyalahkan siapa lagi!?" Aku terkejut dengan ucapan suamiku. Kata-kata Mas Bima seperti pisau yang menancap di hati, membuatku nyeri sampai terasa menyesakkan. Pria itu berdiri tegak di hadapanku dengan tangan berkacak pinggang, menatapku dengan marah. Selama beberapa saat, aku tidak bisa mengatakan apa pun. Kami baru kehilangan calon bayi kami beberapa hari yang lalu. Aku bisa memahami kemarahannya karena Mas Bima memang menantikan kelahiran anak laki-laki di tengah pernikahan kami yang sudah berusia dua tahun. Aku tahu ia menginginkan penerus, apalagi karena ibu mertuaku terus-menerus meminta cucu. Namun, apakah ia harus menyalahkanku sekeras ini? Aku juga kehilangan. Ditambah lagi– “Mas,” Ketika aku bisa bersuara kembali, kusodorkan berkas pemeriksaan di tangan, “coba Mas lihat dulu. Hasil tes ini menunjukkan–” Tanpa memberikan kesempatan padaku untuk menyelesaikan kalimat, Mas Bima merebut berkas di