"Ya! Dan kamu Bima! Rumah tanggamu dengan Nayra mungkin sudah selesai, tapi urusanmu denganku belum selesai! Aku akan buat perhitungan denganmu!" ucap Kak Dipta lantang.
Bima tersenyum mengejek, melihat kehadiran Kak Dipta di sini. "Oh, baguslah kalau Kak Dipta masih ingat sama Nayra. Biar Kak Dipta tahu bagaimana cerobohnya dia." "Tutup mulutmu, baji**an! Aku tahu itu hanya alasanmu saja, Dasar pengecut! Hanya laki-laki pecundang yang bisanya memanfaatkan keadaan ini, untuk bisa menikah lagi dengan selingkuhan kamu itu!" ucap Kak Dipta menggebu-gebu. "Terserah apa katamu, Bung!" Bima hanya tersenyum sinis, kemudian berbalik badan mengabaikan Kak Dipta. "Heh, tunggu, Brengsek!" BUGH!! sebuah pukulan keras di layangkan Kak Dipta tepat mengenai rahang sebelah kiri Bima. Membuat kami semua di sini terkejut, aku reflek menutup mulutku dengan telapak tangan, dan Bu Sekar reflek berteriak. Tubuh Bima sontak terhuyung akibat dihadiahi pukulan mendadak dari Kak Dipta. Rahang sebelah kirinya memerah, bahkan darah segar terlihat keluar dari sudut bibirnya. "Itu untuk sebuah pengkhianatan yang sudah lakukan pada Nayra!" Kak Dipta mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Bima, dengan wajah memerah, dan tatapannya tajam. "Kurang ajar! Apa begini cara orang tua kalian mendidik? Macam preman!" desis Bima tajam. "Itu pantas untuk laki-laki macam kau Bima!" Bima tersenyum mengejek. "Kau harus membayar mahal untuk ini, aku akan membawa ini ke meja hijau," ancam Bima. Kak Dipta tersenyum, mendengarnya. "Coba saja. Karena justru yang akan mendekam di balik jeruji besi adalah ibumu dan istri mudamu ini, Bim!" balas Kak Dipta tenang tanpa gentar sedikitpun. Seraya menatap tajam ke arah Bu Sekar dan Kiara. Wajah mereka berdua seketika memucat, seolah mengerti dan juga takut akan sebuah kesalahan yang telah mereka lakukan. Tanpa sadar aku tersenyum melihat ekspresi mereka. "Ayo, Nay! Kita masuk, sebentar lagi sidang di mulai." Kak Dipta menggandeng tanganku memasuki ruang persidangan. "Apa maksud dari perkataan Dipta Ma?" Sayup-sayup aku masih bisa mendengar suara Bima menuntut penjelasan pada ibunya akan maksud dari perkataan Kak Dipta tadi. "Entahlah, ngaco aja tuh kakaknya Nayra. Udah yuk ah, kita masuk, nggak usah dipikirin! Paling-paling itu cuma ancaman dia! Udah kamu bikin laporan aja ke kepolisian dengan tuduhan kekerasan dan penganiayaan. Ini nggak bisa di biarin!" cetus Bu Sekar sebelum akhirnya mereka pun masuk ke ruang persidangan. Sidang pertama berlangsung lancar, yang pada intinya dari pihakku maupun Bima, sama-sama ingin bercerai. *** "Gila memang si Bima itu," cicit Kak Dipta saat kami sudah memasuki mobil, usai sidang. "Ya begitulah keluarga mereka." "Dan wanita itu ... Kiara, aku seperti tidak asing dengan dia." Aku menoleh mendengar ucapan Kak Dipta. "Kak Dipta kenal dia?" tanyaku penasaran. "Ya nggak terlalu sih, hanya saja aku seperti tidak asing dengan nama Kiara Alviena," gumam Kak Dipta lagi. "Jangan bilang Kiara itu mantan Kakak," tebakku. "Ih ya enggak lah! Gila aja aku punya mantan kayak dia, nggak banget lah!" kilahnya. "Bener?!" Kak Dipta mengangguk kemudian mulai melajukan mobilnya. "Ya syukurlah kalau gitu. Tapi mengenai kejadian tadi, apa nanti tidak berbuntut panjang, Kak?" Aku mulai mengkhawatirkan ancaman Bima terhadap Kak Dipta. "Tenang aja, biar itu jadi urusanku." "Kamu lihat tadi bagaimana wajah Bu Sekar ketika Mas Bima bicara soal siapa yang akan mendekam di bui," ucap Kak Dipta begitu mendaratkan bobotnya di ruang tamu rumah ini. "Ya, Bu Sekar dan Kiara langsung terlihat pucat. Aku jadi semakin yakin dan tak sabar ingin segera mulai menyelidiki ini." Kak Dipta mengangguk. Tak berapa lama terdengar dering ponsel milik Kak Dipta berdering. "Ya, hallo, Aksa." Kak Pradipta berdiri dari sofa, berjalan ke arah jendela sambil terus berbicara di telepon dengan Aksa. Aku duduk diam di tempatku, merenungkan apa yang baru saja terjadi di persidangan tadi. Wajah pucat Bu Sekar dan Kiara terus terbayang di benakku. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan, sesuatu yang lebih besar dari yang kutahu. Percakapan Pradipta dan Aksa terdengar samar, namun aku bisa menangkap nada serius dalam suara mereka. Beberapa menit kemudian, Pradipta kembali duduk di sebelahku, meletakkan ponselnya di meja. "Aksa ingin bertemu denganmu," katanya pelan. "Dia bilang ada beberapa hal yang perlu kalian diskusikan, terutama soal penyelidikan ini." Aku mengangguk. "Kapan dia bisa bertemu?" tanyaku lagi. "Besok pagi, kalau kamu siap." "Aku siap," jawabku tanpa ragu. Aku tahu ini langkah besar yang harus kuambil untuk menemukan kebenaran. Aku tak rela mereka tersenyum di balik kelicikannya itu. *** Kami menikmati suasana sarapan pagi ini. "Assalamualaikum!" Tiba-tiba suara bariton seorang laki-laki terdengar memasuki ruang makan ini. "Hei, sudah datang rupanya, sini duduk, sarapan dulu," ajak Kak Dipta pada sahabatnya. Sekilas aku meliriknya. "Hem, aku sudah sarapan tadi." "Jangan bohong, aku tahu kamu itu jarang sarapan, sudah ayo duduk sini sarapan! Dek, ambilkan roti itu," titah Kak Dipta dan dengan cekatan aku mengambilkan roti dan selalu untuknya. "Mau aku bantu?" "Oh tidak perlu, saya bisa sendiri, terimakasih, Nay." "Jadi gimana Bro? Sudah ada pandangan, mulai dari mana kita mulai menyelidiki?" tanya Kak Dipta. Aksa mengangguk, "Kita mulai dengan mendatangi rumah sakit tempat Nayra melakukan tindakan kuretase." "Iya betul. Kita bisa mulai dari sana," gumam Kak Dipta. "Nayra, aku sudah melakukan beberapa riset awal. Ada kemungkinan kuat bahwa ada yang tidak beres dengan prosedur yang kamu jalani di rumah sakit. Kita perlu menyelidiki ini lebih dalam." "Bagaimana caranya?" tanyaku, mencoba menahan rasa gugup. "Kita mulai dengan memeriksa rekam medis dan berbicara langsung dengan dokter yang menangani kasusmu. Aku juga sudah menghubungi beberapa kenalanku di industri alat kesehatan untuk membantu jika kita membutuhkan pendapat ahli." Perasaan lega membanjiri hatiku. Aku tidak sendiri dalam perjalanan ini. Dengan Aksa di sisiku, aku merasa lebih kuat. “Terima kasih, Aksa. Aku benar-benar menghargai bantuanmu.” Aksa tersenyum, menatapku dengan penuh perhatian. "Kamu tidak perlu berterima kasih, Nayra. Aku di sini untuk membantu, apa pun yang terjadi." "Tapi kebetulan hari ini aku ada meeting penting dengan klien, jadi aku tidak bisa ikut," ucap Kak Pradipta. "Nay, kau pergi dengan Aska saja, tidak bagaimana? Apa kau keberatan?" Kak Pradipta melempar tanya padaku. "Oh, tidak apa-apa. Ini juga untuk menyelesaikan masalahku, jadi aku siap. Tapi, apa ini tidak menggangu pekerjaanmu Aksa?" Aksa menggeleng. "Santai, kebetulan aku sedang tidak terlalu sibuk di kantor." "Oh baiklah, terimakasih kalau gitu." "Oke kalau begitu, kalau ada apa-apa segera kabari aku, ya," ucap Kak Dipta. Kami menyelesaikan sarapan kami, dan Kak Aksa pergi ke kantor, sedangkan pergi bersama Aska. Aku merasa beban di pundakku sedikit berkurang. Meski perjalanan ini masih panjang, aku tahu bahwa kebenaran ada di ujung jalan, dan aku siap untuk menemukannya. Bersambung.Rumah sakit Kasih Bunda."Selamat siang, saya ingin konsultasi dengan dokter Miranda," ucapku pada petugas pendaftaran pasien."Dokter Miranda, hari ini ada dari jam delapan sampai jam dua belas. Ini nomer antrian Anda ." Dengan cekatan petugas laki-laki yang mengenakan pakaian batik itu memberikan struk nomer antrian padaku."Baik, terimakasih."Aku dan Aksa melangkah ke depan ruang praktek dokter Miranda. Sudah ada sekitar 5 orang yang sedang mengantri. Aku dan Aksa duduk bersisian, meski terkadang ada rasa canggung menyelimuti, tapi aku berusaha biasa saja. Karena memang aku butuh bantuannya."Apa kamu mau minum, biar aku beli," ujar Aksa."Oh tidak perlu, nanti saja."Aksa pun kembali duduk di sebelahku, sibuk dengan gawai-nya.Suasana ruang tunggu terasa penuh, meski orang-orang duduk dengan tenang. Suara anak kecil yang merengek pelan memecah keheningan, disusul dengan bisikan lembut ibunya mencoba menenangkan. Aku mengalihkan pandangan ke arah Aksa, yang tampak serius menatap
"Kau siap dengan penyelidikan kita selanjutnya, Nay?"Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya aku tidak yakin dengan jawabanku sendiri.Kami berjalan keluar dari rumah sakit tanpa banyak bicara. Aksa membawa map itu erat di tangannya, sementara aku hanya menatap kosong ke depan. Langit mendung sore itu, seolah-olah ikut memahami kekacauan di pikiranku.Di parkiran, Aksa membuka pintu mobil untukku, tapi aku tidak langsung masuk. Aku berdiri di sana, memandang rumah sakit di belakangku. "Aksa," panggilku pelan, membuatnya berhenti dan menoleh."Hm?""Kalau benar ini semua disengaja... kenapa? Aku nggak ngerti kenapa seseorang mau menyakitiku, menyakiti bayiku." Suaraku pecah, meski aku berusaha keras menahannya. "Aku nggak punya musuh. Aku nggak pernah berbuat salah sama siapa pun."Aksa diam sejenak, lalu menatapku dengan serius. "Kadang, jawaban itu nggak langsung kita temukan. Tapi yang jelas, ini bukan salahmu, Nayra. Ingat itu."Aku mengangguk pelan, tapi hatiku tetap terasa berat.
Bab 1 Dituding Tidak Becus "Kamu keguguran karena nggak bisa jaga diri! Mau menyalahkan siapa lagi!?" Aku terkejut dengan ucapan suamiku. Kata-kata Mas Bima seperti pisau yang menancap di hati, membuatku nyeri sampai terasa menyesakkan. Pria itu berdiri tegak di hadapanku dengan tangan berkacak pinggang, menatapku dengan marah. Selama beberapa saat, aku tidak bisa mengatakan apa pun. Kami baru kehilangan calon bayi kami beberapa hari yang lalu. Aku bisa memahami kemarahannya karena Mas Bima memang menantikan kelahiran anak laki-laki di tengah pernikahan kami yang sudah berusia dua tahun. Aku tahu ia menginginkan penerus, apalagi karena ibu mertuaku terus-menerus meminta cucu. Namun, apakah ia harus menyalahkanku sekeras ini? Aku juga kehilangan. Ditambah lagi– “Mas,” Ketika aku bisa bersuara kembali, kusodorkan berkas pemeriksaan di tangan, “coba Mas lihat dulu. Hasil tes ini menunjukkan–” Tanpa memberikan kesempatan padaku untuk menyelesaikan kalimat, Mas Bima merebut berkas di
Bab 2 di usir "Kalau memang kamu mau menikahi Kiara, maka ceraikan aku, Mas," kataku lagi dengan suara bergetar. Seketika Mas Bima menoleh, menatapku lamat-lamat. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki itu. Cukup sudah dia menghancurkan hatiku. Aku seperti tak punya harga diri di matanya. "Baik. Kalau maumu seperti itu. Silahkan pergi dari sini." Aku terpana. Ringan saja kalimat itu keluar dari mulut laki-laki yang selama ini aku perjuangkan. Ya, dia benar mengusirku. Setelah semua yang sudah aku lakukan semuanya. Aku rela meninggalkan keluargaku demi dia. Kini aku telah dicampakkan. Dengan cepat aku mengusap air mata yang entah sejak kapan sudah menganak sungai. Hati yang terluka ini bagai di siram air garam dia tengah luka yang menganga. Perih bukan main. Aku melirik ke arah Mama mertuaku. Ia tersenyum simpul. Tentu saja dia senang. Sejak awal beliau memang tak menyukaiku. "Baik, aku akan pergi dari sini. Aku juga tak sudi tetap di sini, apalagi tinggal bersama Sam-pah se
Bab 3. "Masuk," ucapnya lugas, menyadarkanku akan sesuatu. Dengan langkah pelan namun pasti aku memasuki mobil mewah berwarna hitam. Beberapa saat kami saling diam. Sekilas aku melirik wajahnya, rahangnya mengeras sekaligus gurat kekecewaan terlihat di sana. Dia Pradipta, kakakku. "Apa yang terjadi? Sampai malam-malam begini di tengah hujan, kamu di luaran seperti ini?" tanyanya terdengar tajam. Aku terdiam tak mampu menjawab, dengan kedua tangan memeluk diri, merasakan hawa dingin yang makin menusuk tulang, karena baju yang basah kuyup terkena AC mobil. Melihatku kedinginan, gerakan tangan Kak Pradipta cepat mematikan pendingin di dalam mobil ini. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang gelap, di tengah derai hujan juga kilat yang menyambar. Tak lama terdengar ponselnya berdering. Ia langsung memasang headset di telinganya dan mengangkat telepon. "Hallo, Aksa, maaf, aku tak jadi kesana. Lain kali kita bahas rencana kerjasama kita. Sekarang aku ada urusan m
Bab 4 "Ya. Si Brengsek itu telah berani menyakitinya." Dengan siapa Kak Dipta bicara? Apa dia telpon Kak Arya? Aku tertegun. "Sepertinya memang mereka punya rencana jahat," ucapnya lagi. "Iya, itu pasti, tidak akan kubiarkan orang yang sudah menyakiti adik kecil kita, itu melenggang bebas. Aku pastikan mereka akan menyesal." Kembalinya aku pada keluargaku tentu saja memantik emosi tersendiri pada kedua kakakku. Aku memilih merebahkan tubuhku di pembaringan. Kak Dipta sepertinya menghubungi Kak Arya, mereka berdua memang sangat sayang padaku, aku seakan gadis kecil kesayangan bagi mereka. Sejak dulu. Dan dengan kejadian ini, tentu mereka tak terima aku di perlakukan seperti ini oleh mereka. Aku jadi semakin merasa bersalah telah mengabaikan masukkan dari mereka, sebelum mengambil keputusan untuk menikah dengan Mas Bima. Aku membuang napas berat, dan memejamkan mata, jiwa raga ini terasa sangat lelah. *** "Bagaimana keadaanmu hari ini, Dek?" tanya Kak Dipta, pagi ini di meja m
Bab 5. Mendapat dukungan. Aku memilih mengabaikan ucapan Kak Dipta. Aku baru saja mengalami suatu hal yang memporak-porandakan hatiku. Aku masih butuh waktu untuk menenangkan diri. "Nanti dulu lah Kak. Aku masih ingin istirahat dulu. Aku masih kangen dengan suasana rumah, aku masih mau tenangin pikiran dulu. Aku juga ingin ziarah ke makam Papa dan Mama. Aku ingin menikmati suasana baru sebagai diriku yang baru, saat ini," ucapku jujur. Kak Pradipta tersenyum. "Ya, Kakak mengerti, tapi ingat satu hal, jangan terlalu lama bersedih, itu tidak baik. Kamu harus kembali menatap masa depan. Kantor ini selalu terbuka untukmu, kapan pun kamu mau kembali bergabung." Aku mengangguk haru, merasa bangga memiliki keluarga yang begitu sangat mensupport. "Terimakasih Kak, kalau saja dulu aku mendengarkan, semua yang Kakak–" "Sudah Nay, yang berlalu biarlah jadi pelajaran, sekarang sudah saatnya kamu kembali menentukan jalan hidup yang lebih baik." Kembali aku mengangguk. Ya, Kak Dipta benar, a
Aku memandangi layar ponselku yang sejenak terdiam, sebelum akhirnya bergetar lagi. Panggilan tak dikenal, untuk yang kesekian kalinya. Ragu, aku menatap nomor asing itu sejenak, dan seolah sebuah firasat buruk datang menyelubungi hatiku. Aku menahan napas, dan menekan tombol hijau, berusaha menenangkan diri."Ya, Hallo.""Hallo, dengan Ibu Nayra?" Suara pria di ujung telepon itu terdengar tegas, namun ada ketenangan yang meyakinkan."Iya benar. Maaf ini siapa?" Aku menatap layar dengan penasaran, merasa ada sesuatu yang penting."Perkenalkan, saya Arif Zainal, saya pengacara. Kebetulan saya mendapatkan mandat dari Pak Pradipta untuk membantu Ibu Nayra dalam mengurusi perceraian," kata pria itu dengan suara yang penuh percaya diri, seolah sudah mengenal keadaan tanpa perlu banyak penjelasan.Aku terkejut, namun rasa lega segera mengalir begitu mendengar nama Kak Dipta disebut. Ternyata, Kak Dipta memang tidak pernah tinggal diam. Selalu ada langkah cepat yang diambil untuk memastikan
"Kau siap dengan penyelidikan kita selanjutnya, Nay?"Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya aku tidak yakin dengan jawabanku sendiri.Kami berjalan keluar dari rumah sakit tanpa banyak bicara. Aksa membawa map itu erat di tangannya, sementara aku hanya menatap kosong ke depan. Langit mendung sore itu, seolah-olah ikut memahami kekacauan di pikiranku.Di parkiran, Aksa membuka pintu mobil untukku, tapi aku tidak langsung masuk. Aku berdiri di sana, memandang rumah sakit di belakangku. "Aksa," panggilku pelan, membuatnya berhenti dan menoleh."Hm?""Kalau benar ini semua disengaja... kenapa? Aku nggak ngerti kenapa seseorang mau menyakitiku, menyakiti bayiku." Suaraku pecah, meski aku berusaha keras menahannya. "Aku nggak punya musuh. Aku nggak pernah berbuat salah sama siapa pun."Aksa diam sejenak, lalu menatapku dengan serius. "Kadang, jawaban itu nggak langsung kita temukan. Tapi yang jelas, ini bukan salahmu, Nayra. Ingat itu."Aku mengangguk pelan, tapi hatiku tetap terasa berat.
Rumah sakit Kasih Bunda."Selamat siang, saya ingin konsultasi dengan dokter Miranda," ucapku pada petugas pendaftaran pasien."Dokter Miranda, hari ini ada dari jam delapan sampai jam dua belas. Ini nomer antrian Anda ." Dengan cekatan petugas laki-laki yang mengenakan pakaian batik itu memberikan struk nomer antrian padaku."Baik, terimakasih."Aku dan Aksa melangkah ke depan ruang praktek dokter Miranda. Sudah ada sekitar 5 orang yang sedang mengantri. Aku dan Aksa duduk bersisian, meski terkadang ada rasa canggung menyelimuti, tapi aku berusaha biasa saja. Karena memang aku butuh bantuannya."Apa kamu mau minum, biar aku beli," ujar Aksa."Oh tidak perlu, nanti saja."Aksa pun kembali duduk di sebelahku, sibuk dengan gawai-nya.Suasana ruang tunggu terasa penuh, meski orang-orang duduk dengan tenang. Suara anak kecil yang merengek pelan memecah keheningan, disusul dengan bisikan lembut ibunya mencoba menenangkan. Aku mengalihkan pandangan ke arah Aksa, yang tampak serius menatap
"Ya! Dan kamu Bima! Rumah tanggamu dengan Nayra mungkin sudah selesai, tapi urusanmu denganku belum selesai! Aku akan buat perhitungan denganmu!" ucap Kak Dipta lantang.Bima tersenyum mengejek, melihat kehadiran Kak Dipta di sini."Oh, baguslah kalau Kak Dipta masih ingat sama Nayra. Biar Kak Dipta tahu bagaimana cerobohnya dia." "Tutup mulutmu, baji**an! Aku tahu itu hanya alasanmu saja, Dasar pengecut! Hanya laki-laki pecundang yang bisanya memanfaatkan keadaan ini, untuk bisa menikah lagi dengan selingkuhan kamu itu!" ucap Kak Dipta menggebu-gebu."Terserah apa katamu, Bung!" Bima hanya tersenyum sinis, kemudian berbalik badan mengabaikan Kak Dipta."Heh, tunggu, Brengsek!"BUGH!!sebuah pukulan keras di layangkan Kak Dipta tepat mengenai rahang sebelah kiri Bima.Membuat kami semua di sini terkejut, aku reflek menutup mulutku dengan telapak tangan, dan Bu Sekar reflek berteriak.Tubuh Bima sontak terhuyung akibat dihadiahi pukulan mendadak dari Kak Dipta. Rahang sebelah kirinya
Aku memandangi layar ponselku yang sejenak terdiam, sebelum akhirnya bergetar lagi. Panggilan tak dikenal, untuk yang kesekian kalinya. Ragu, aku menatap nomor asing itu sejenak, dan seolah sebuah firasat buruk datang menyelubungi hatiku. Aku menahan napas, dan menekan tombol hijau, berusaha menenangkan diri."Ya, Hallo.""Hallo, dengan Ibu Nayra?" Suara pria di ujung telepon itu terdengar tegas, namun ada ketenangan yang meyakinkan."Iya benar. Maaf ini siapa?" Aku menatap layar dengan penasaran, merasa ada sesuatu yang penting."Perkenalkan, saya Arif Zainal, saya pengacara. Kebetulan saya mendapatkan mandat dari Pak Pradipta untuk membantu Ibu Nayra dalam mengurusi perceraian," kata pria itu dengan suara yang penuh percaya diri, seolah sudah mengenal keadaan tanpa perlu banyak penjelasan.Aku terkejut, namun rasa lega segera mengalir begitu mendengar nama Kak Dipta disebut. Ternyata, Kak Dipta memang tidak pernah tinggal diam. Selalu ada langkah cepat yang diambil untuk memastikan
Bab 5. Mendapat dukungan. Aku memilih mengabaikan ucapan Kak Dipta. Aku baru saja mengalami suatu hal yang memporak-porandakan hatiku. Aku masih butuh waktu untuk menenangkan diri. "Nanti dulu lah Kak. Aku masih ingin istirahat dulu. Aku masih kangen dengan suasana rumah, aku masih mau tenangin pikiran dulu. Aku juga ingin ziarah ke makam Papa dan Mama. Aku ingin menikmati suasana baru sebagai diriku yang baru, saat ini," ucapku jujur. Kak Pradipta tersenyum. "Ya, Kakak mengerti, tapi ingat satu hal, jangan terlalu lama bersedih, itu tidak baik. Kamu harus kembali menatap masa depan. Kantor ini selalu terbuka untukmu, kapan pun kamu mau kembali bergabung." Aku mengangguk haru, merasa bangga memiliki keluarga yang begitu sangat mensupport. "Terimakasih Kak, kalau saja dulu aku mendengarkan, semua yang Kakak–" "Sudah Nay, yang berlalu biarlah jadi pelajaran, sekarang sudah saatnya kamu kembali menentukan jalan hidup yang lebih baik." Kembali aku mengangguk. Ya, Kak Dipta benar, a
Bab 4 "Ya. Si Brengsek itu telah berani menyakitinya." Dengan siapa Kak Dipta bicara? Apa dia telpon Kak Arya? Aku tertegun. "Sepertinya memang mereka punya rencana jahat," ucapnya lagi. "Iya, itu pasti, tidak akan kubiarkan orang yang sudah menyakiti adik kecil kita, itu melenggang bebas. Aku pastikan mereka akan menyesal." Kembalinya aku pada keluargaku tentu saja memantik emosi tersendiri pada kedua kakakku. Aku memilih merebahkan tubuhku di pembaringan. Kak Dipta sepertinya menghubungi Kak Arya, mereka berdua memang sangat sayang padaku, aku seakan gadis kecil kesayangan bagi mereka. Sejak dulu. Dan dengan kejadian ini, tentu mereka tak terima aku di perlakukan seperti ini oleh mereka. Aku jadi semakin merasa bersalah telah mengabaikan masukkan dari mereka, sebelum mengambil keputusan untuk menikah dengan Mas Bima. Aku membuang napas berat, dan memejamkan mata, jiwa raga ini terasa sangat lelah. *** "Bagaimana keadaanmu hari ini, Dek?" tanya Kak Dipta, pagi ini di meja m
Bab 3. "Masuk," ucapnya lugas, menyadarkanku akan sesuatu. Dengan langkah pelan namun pasti aku memasuki mobil mewah berwarna hitam. Beberapa saat kami saling diam. Sekilas aku melirik wajahnya, rahangnya mengeras sekaligus gurat kekecewaan terlihat di sana. Dia Pradipta, kakakku. "Apa yang terjadi? Sampai malam-malam begini di tengah hujan, kamu di luaran seperti ini?" tanyanya terdengar tajam. Aku terdiam tak mampu menjawab, dengan kedua tangan memeluk diri, merasakan hawa dingin yang makin menusuk tulang, karena baju yang basah kuyup terkena AC mobil. Melihatku kedinginan, gerakan tangan Kak Pradipta cepat mematikan pendingin di dalam mobil ini. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang gelap, di tengah derai hujan juga kilat yang menyambar. Tak lama terdengar ponselnya berdering. Ia langsung memasang headset di telinganya dan mengangkat telepon. "Hallo, Aksa, maaf, aku tak jadi kesana. Lain kali kita bahas rencana kerjasama kita. Sekarang aku ada urusan m
Bab 2 di usir "Kalau memang kamu mau menikahi Kiara, maka ceraikan aku, Mas," kataku lagi dengan suara bergetar. Seketika Mas Bima menoleh, menatapku lamat-lamat. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki itu. Cukup sudah dia menghancurkan hatiku. Aku seperti tak punya harga diri di matanya. "Baik. Kalau maumu seperti itu. Silahkan pergi dari sini." Aku terpana. Ringan saja kalimat itu keluar dari mulut laki-laki yang selama ini aku perjuangkan. Ya, dia benar mengusirku. Setelah semua yang sudah aku lakukan semuanya. Aku rela meninggalkan keluargaku demi dia. Kini aku telah dicampakkan. Dengan cepat aku mengusap air mata yang entah sejak kapan sudah menganak sungai. Hati yang terluka ini bagai di siram air garam dia tengah luka yang menganga. Perih bukan main. Aku melirik ke arah Mama mertuaku. Ia tersenyum simpul. Tentu saja dia senang. Sejak awal beliau memang tak menyukaiku. "Baik, aku akan pergi dari sini. Aku juga tak sudi tetap di sini, apalagi tinggal bersama Sam-pah se
Bab 1 Dituding Tidak Becus "Kamu keguguran karena nggak bisa jaga diri! Mau menyalahkan siapa lagi!?" Aku terkejut dengan ucapan suamiku. Kata-kata Mas Bima seperti pisau yang menancap di hati, membuatku nyeri sampai terasa menyesakkan. Pria itu berdiri tegak di hadapanku dengan tangan berkacak pinggang, menatapku dengan marah. Selama beberapa saat, aku tidak bisa mengatakan apa pun. Kami baru kehilangan calon bayi kami beberapa hari yang lalu. Aku bisa memahami kemarahannya karena Mas Bima memang menantikan kelahiran anak laki-laki di tengah pernikahan kami yang sudah berusia dua tahun. Aku tahu ia menginginkan penerus, apalagi karena ibu mertuaku terus-menerus meminta cucu. Namun, apakah ia harus menyalahkanku sekeras ini? Aku juga kehilangan. Ditambah lagi– “Mas,” Ketika aku bisa bersuara kembali, kusodorkan berkas pemeriksaan di tangan, “coba Mas lihat dulu. Hasil tes ini menunjukkan–” Tanpa memberikan kesempatan padaku untuk menyelesaikan kalimat, Mas Bima merebut berkas di