Setelah merusak pesta pernikahan sang mantan, Dinda yang kala itu masih patah hati, melenggangkan kakinya ke sebuah klub. Namun siapa sangka jika hal itu akan membawanya pada masalah yang tidak pernah ia duga, dimana Dinda mendapati dirinya terbangun di keesokan hari dengan seorang pria asing di sebelahnya. Tak ingin mendapatkan masalah, ia pun bergegas pergi dari sana. Namun sial! Di hari pertama kenaikan jabatannya ia justru dipertemukan lagi dengan pria asing itu, dan ternyata pria itu adalah presdir di tempatnya bekerja... Akankah pria itu mengingat sosok Dinda yang menghabiskan malam dengannya?
View MoreDinda mengabaikan uluran tangan dari William, dan lebih memilih Santi yang membantunya. William yang merasa tak enak, segera menarik tangannya kembali.Bu Merry segera menghampiri William. "Maaf Pak, atas insiden kecilnya."William merapikan jasnya dan berdehem. "Saya tidak ingin hal ini terulang lagi."Mereka semua mengangguk, dengan Bu Merry yang melirik tajam ke arah Shella dan Randy.Detik kemudian Andi berjalan ke arah William. "Mari Pak, saya antarkan ke kursi Bapak."William mengangguk kecil, dan berlalu dari hadapan mereka menuju sederet kursi yang berada tepat di depan panggung megah.Sedangkan Mitha, segera menyiapkan minuman untuk beliau. "Diminum, Pak."William mengambil segelas anggur, dan meminumnya, sesekali ia melirik ke arah Dinda yang mash terpaku, dengan senyuman miringnya."Din! Lo apa-apaan sih!? Bisa-bisanya lo nolak Pak Will?" seru Santi yang setengah berbisik.Seketika Dinda tersadar, dan ia menatap Santi dengan raut yang sulit diartikan."Pak Will harus nahan
William menatap pantulan dirinya di dalam cermin, mengatur posisi dasi kupu-kupunya agar terlihat lebih sempurna. Dengan gerakan yang terampil, ia memastikan setiap detail tuxedonya terlihat rapi dan elegan. "Dani, Mitha, apakah semua persiapan untuk malam ini telah selesai?" tanya William, penuh antisipasi. Mereka berdua yang tengah berdiri di sampingnya, menjawab hampir bersamaan, "Sudah Pak."William mengangguk dengan puas. "Baguslah! Kita berangkat ke sana sekarang," ujarnya dengan nada tegas.Sementara itu, di sebuah pesta yang meriah, dua wanita berpakaian dres elegan terlihat sedang berbincang dengan akrab. Masing-masing dari mereka memegang segelas anggur, dengan beberapa dessert yang memenuhi meja di sebelahnya. "Dinda..." panggil seseorang, membuat wanita bergaun biru dongker itu menoleh, senyumannya yang lebar perlahan meluntur kala ia melihat Shella dan Randy yang berjalan menghampirinya, dengan tangan yang saling bertautan. Santi bergumam pelan. "Ngapain sih mereka ke s
Di kos,Dinda merebahkan diri di atas tempat tidur yang dipenuhi dengan paper bag berisi belanjaannya. "Capek banget gue, San," ujar Dinda sambil menghela napas berat. Santi yang berada di ujung tempat tidur, menyahuti, "Sama, Din."Dinda kemudian memejamkan matanya, seakan ingin menarik diri sejenak dari kelelahan yang membelenggu. Namun, seketika itu juga, ia membuka mata lebar-lebar dan berkata, "Oh iya, gue mau curhat sama lo, San." Santi dengan rasa penasaran, langsung menoleh ke arah Dinda. "Mau curhat soal apa lo?" tanyanya, mencoba menebak-nebak topik yang akan dibahas. "Soal malam panas lo?" celetuk Santi dengan nada menggoda sambil tertawa kecil. Dinda, yang tidak mengharapkan komentar seperti itu, langsung melemparkan bantal ke arah Santi. "Itu kecelakaan, San!" serunya, wajahnya memerah, campuran antara malu dan juga kesal.Santi hanya bisa tertawa melihat reaksi Dinda. "Iya iya, gue cuma becanda aja, Din. Soalnya gue kepikiran sesuatu."Dinda terduduk di tepi ranjangn
Dinda mematikan komputer meja di ruang kerjanya. "Akhirnya selesai juga..." senyum Dinda merekah, sambil meregangkan kedua otot lengannya yang terasa pegal.Matanya melirik ke arah jam tangan, dimana waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore.Segera ia pun mengambil tasnya, dan berpamitan pada yang lain."Guys, gue duluan ya!?" pamit Dinda.Ririn yang berada di sampingnya menoleh dengan kacamata yang sedikit terangkat. "Oke, Din! Hati-hati ya."Dinda mengangguk dan melirik ke arah Anita, yang penampilannya sudah berantakan. "Semangat ya buat lemburnya malam ini," cengir Dinda seraya menyentuh lengannya.Dengan lesu, Anita menganggukkan kepalanya. Sedangkan Pak Yanto dan Bu Merry sudah pulang di 15 menit yang lalu.Dinda beranjak dari tempat duduknya dan melangkah gembira menuju lift. Setelah hari yang panjang, ia tidak sabar untuk bertemu dengan sahabatnya, Santi, sesuai janji mereka.Begitu pintu lift terbuka di lantai dasar, Dinda melangkah cepat menuju pintu keluar, tersenyum lebar saat
William meletakkan dokumen yang sedang dipelajarinya di meja kerjanya, sambil menggosok pelipisnya yang mulai berdenyut. Kacamata yang biasa menemaninya bekerja kini tergantung lemas di tangannya. Ruangan kerjanya yang kedap suara seharusnya menjadi benteng dari segala gangguan, namun suara pertengkaran yang melengking dari luar masih mampu menembus masuk. "Sebenarnya ada keributan apa diluar sana?" gumamnya pelan.Dengan rasa penasaran yang mengusik, ia beranjak dari kursi empuknya dan melangkah keluar ruangan.Pemandangan di koridor tidak seperti biasanya. Mitha, sekretarisnya, tampak sedang beradu argumen dengan Rebecca, yang tidak lain adalah mantan kekasihnya. Wajah Mitha merah padam, sementara Rebecca, dengan postur tubuh yang tegap, tampak tidak kalah emosinya."Ada apa ini?!" seru William dengan suara yang cukup keras, seketika memecah pertengkaran yang terjadi.Rebecca, yang menyadari kehadiran William, langsung berbalik dengan senyum yang lebar. Dia melangkah cepat mende
Dinda, Anita, dan Rini tengah berada di ruang dapur atau yang mereka sebut sebagai ruang praktik. Ruangan itu penuh dengan aroma tepung dan ragi, serta suara mixer dan oven yang menyala. Dinda yang tengah memanggang roti, mendadak terkejut saat pintu ruang praktik terbuka dengan tiba-tiba.Tampak sosok Bu Merry datang dengan mengenakan jas praktik putihnya yang khas. "Udah selesai Bu, meetingnya?" tanya Dinda sambil tetap fokus pada roti yang sedang dipanggangnya."Udah, tapi ada yang aneh sama Pak Will," jawab Bu Merry sambil mendekat ke oven untuk memeriksa roti yang sedang dipanggang Dinda.Anita yang tengah menguleni adonan di meja seberang mendengar pembicaraan itu dan segera berseru, "Ada Pak presdir juga?"Bu Merry mengangguk, "Iya donk, kan tadi Ibu abis meeting sama semua kepala divisi dan otomatis Pak Presdir juga ikut karena kita lagi bahas perihal penting."Dinda, Anita dan Rini mengangguk dengan mulut yang berbentuk o."Oh iya! Tadi Ibu bilang, ada yang aneh sama Pak W
Dinda terengah-engah, detak jantungnya masih berdesir ketika ia duduk di kursinya dengan tergesa-gesa. Dengan mata yang masih memancarkan rasa terkejut, dia mencoba menormalkan napasnya. Anita, yang duduk di sebelahnya menoleh dengan kacamata yang ia angkat sedikit dari hidungnya. "Lo kenapa, Din? Kayak abis dikejar setan aja."Dinda mengatur nafasnya sekali lagi, dan menjawab, "Lebih dari itu, Nit." Anita mengerutkan keningnya, tidak mengerti maksud dari kata-kata Dinda. "Hah?" respons Anita, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.Dinda hanya menggeleng cepat. "Bukan apa-apa kok!" ucapnya, dengan cengiran.Tepat saat itu, Bu Merry, kepala divisi mereka datang dengan rambut bob hitamnya yang selalu terawat.Ia menghampiri keduanya dengan langkah yang ringan. "Pagi anak-anakku," sapa Bu Merry dengan suara ceria, yang kontras dengan suasana hati Dinda saat itu.Mendengar sapaan itu, Dinda dan Anita langsung menoleh. "Pagi Bu Merry," sahut mereka hampir bersamaan. Bu Merry k
William terbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamarnya yang temaram. Pikirannya melayang pada malam itu, sebuah malam yang tak bisa ia hapus dari memorinya. "Kenapa aku sama sekali tidak bisa mengingat wajahnya?" bisiknya pada diri sendiri, seraya tangannya menggenggam sebuah gelang wanita yang ia temukan di sisi tempat tidurnya pagi itu. Di tempat yang lain, dalam ruangan yang dipenuhi dengan tumpukan kertas dan buku, Dinda tampak gelisah sambil membuka laci meja kerjanya satu per satu dengan tergesa-gesa. Santi, yang sedari tadi memperhatikan tingkah Dinda, akhirnya tidak tahan untuk bertanya, "Lo cari apa sih, Din?" Dinda menoleh sejenak, "Gelang gue ilang, San. Lo liat gak?" Santi mendekat, ingin membantu, "Gelang yang lo beli di Singapura waktu itu, ya?" Dinda mengangguk, merasa semakin frustasi karena tidak bisa menemukan apa yang dicarinya. Seraya membantu Dinda, Santi pun kembalj bertanya, "Sekali lagi coba lo ingat-ingat, Din. Dimana terak
Dani melangkah lebar memasuki mansion megah milik William. Suasana mansion tampak tenang namun tetap terasa mewah dengan penerangan hangat dari lampu kristal yang menggantung di langit-langit. Dani mendekati seorang maid yang tampak sibuk dengan baki teh di tangannya. "Pak Will lagi di mana, Tik?" tanya Dani dengan nada yang bersahabat. Tika, yang kala itu membawa teko teh, menoleh dengan ekspresi terkejut sejenak sebelum menjawab, "Tuan Will sedang makan malam bersama Oma Tia dan Opa Anton, Pak." Dani mengangguk paham, "Oh, begitu." Sebelum Dani sempat bertanya lebih lanjut, Tika pun berpamitan padanya. "Maaf Pak, saya harus mengantarkan teh ini dulu untuk Oma." "Iya silahkan," balas Dani. Tak lama setelah Tika pergi, Ririn yang juga seorang maid, datang menghampirinya dengan langkah cepat. "Pak Dani, Tuan William meminta saya untuk menyampaikan pada Bapak, kalau Bapak disuruh menunggu di ruang kerja," ujar Ririn dengan sopan. Dani membalas dengan senyum singkat, "Terima k
Dinda menyeka air matanya yang terus mengalir, bahkan suara tangisannya pun semakin kencang dan menggema di dinding kamar kosnya. Di sisi lain, Santi duduk di sampingnya ikut prihatin melihat kondisi Dinda yang sedang patah hati itu, bahkan bekas tisu pun berhamburan memenuhi kotak sampah di bawah tempak tidurnya. "Udah Din, lo gak perlu nangisin si Randy lagi," ucap Santi dengan nada penuh empati. "Harusnya lo ngerasa beruntung karena gak jadi nikah sama si mokondo itu." Mendengar kata 'menikah', Dinda semakin terisak, rasa sakit hatinya semakin memuncak. "Iya San, tapi yang bikin nyesek itu, kenapa dia malah ngehamilin Shella, sahabat gue sendiri. Mana mereka nikah pakek duit tabungan gue sama Randy lagi," ratapnya. "Gue gak ikhlas!!" Santi mempererat genggamannya di tangan Dinda. "Udah, lebih baik lo dandan, terus lo pergi ke acara pernikahan mereka dan ancurin pestanya. Tunjukin kalo lo itu korban, dan mereka harus tau kalo pernikahan itu harusnya jadi milik lo dan kalo bi...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments