Dinda terbangun dengan suara dering yang memecah keheningan pagi. Dengan mata yang masih setengah tertutup, ia meraba-raba mencari sumber suara tersebut, sampai akhirnya ia mendapatkannya, dengan di layar ponselnya yang tertuliskan nama Santi. Sementara itu, Santi di ujung sana mulai kehilangan kesabaran, "Dinda kemana sih!? Kok gak diangkat-angkat?" Beberapa kali ia mencoba menghubungi Dinda. "Udah semalaman gak pulang-pulang, eh sekarang malah susah banget dihubungin."
Saat Dinda hendak menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan, tiba-tiba saja ada gerakan yang tidak terduga melingkar di perutnya. Dengan refleks ia berbalik dan terkejut bukan kepalang. Di belakangnya, ada seorang pria asing yang memeluknya dari belakang dengan mata yang masih terlelap. Dinda terpaku, matanya membulat, bahkan ponselnya pun terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai dengan suara yang sedikit nyaring. "J-jadi semalam itu bukan mimpi?" batin Dinda. Seketika sekelebat ingatan tentang aksi panas mereka semalam berputar di otak cantiknya. Dinda menggeleng pelan, "Gak mungkin..." Kembali Dinda merasakan pergerakan dari pria itu, Dinda terkesiap dan menjauh darinya. "A-aku harus segera pergi dari sini! Akan menjadi masalah besar jika dia melihatku," gumam Dinda yang saat itu juga ia langsung menyomot pakaiannya di lantai, berlari dengan kaki yang dijinjit serta tertatih menuju kamar mandi, agar tak menimbulkan kebisingan. Sedangkan di sisi lain, Santi mulai jengah karena Dinda tak kunjung menjawab panggilan darinya. "Ni anak sebenarnya kemana sih? Bikin orang khawatir aja, mentang-mentang sekarang libur, dia bisa balik seenaknya." Santi dengan kesal melempar ponselnya ke atas tempat tidur, dan duduk di sisi ranjang. Selepas Dinda mengenakan kembali pakaiannya, ia membuka pintu kamar mandi dengan pelan, berjalan menghampiri tempat tidurnya, memastikan bahwa pria itu masih tertidur lelap di sana. Tangan Dinda bahkan melambai-lambai di depan wajah pria itu, ia tersenyum karena pria itu masih asik di dalam mimpi indahnya. Bergegas ia mengambil tas, ponsel serta menjinjing sepatu heelsnya untuk keluar dari sana. Ia memasuki lift, sampai akhirnya beberapa orang masuk di pertengah perjalanannya menuju loby. Tampak orang itu memperhatikan keadaan Dinda yang mengenakan gaun merah serta rambut yang sedikit berantakan, Dinda bahkan menarik kakinya yang polos dengan menunduk, menggenggam tas dan juga sepatunya. Ketika ia sampai di loby, ia segera mengembalikan kartunya pada sang resepsionis untuk check out dan bergegas memasuki taksi yang kala itu sedang berhenti di depan hotel. Di taksi, Dinda masih shock karena masih teringat kejadian yang ia lewati hari ini. Sedangkan sang sopir tampak memperhatikan keadaan Dinda yang berantakan melalui kaca spionnya. Dinda sadar, dan tentu merasa tak nyaman dengan pandangan tersebut. "Pak, tolong lihat ke depan aja!" kata Dinda dengan tegas. Sang sopir hanya mengangguk dan kemudian membuka laci dashboard mobil, mengambil sesuatu dari sana, untuk ia berikan pada Dinda. "Ini Mbak, buat rapihin rambutnya," ujar sang sopir dengan ramah. Dinda merasa bersalah karena telah salah paham, dengan pelan ia pun menerimanya, dan mulai menyisir rambutnya yang berantakan, sebelum akhirnya ia mengembalikan sisir tersebut. "Makasih ya, Pak..." Sang sopir mengangguk seraya menerimanya. Di tempat lain, Randy terdiam dengan dirinya yang masih duduk di atas tempat tidur. "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Shella yang tengah asik membuka tumpukan amplop yang ia peroleh di atas pernikahannya kemarin. "Pagi-pagi kok udah ngelamun aja." Randy hanya menggeleng pelan, dimana ia masih berpikir akan seperti apa hari-harinya ke depan. "Aku lapar, Sayang." Shella menjawab tanpa mengalihkan fokusnya. "Ya udah kamu turun aja ke bawah, Mama aku udah masak." Randy menghela nafas. "Emangnya kamu gak bisa nganterin makan ke kamar? Kaki aku sakit lho, Shell." Shella menoleh dengan kesal. "Kamu gak lihat aku lagi ngapain?" Randy berdecak sebal, kemudian keluar dari kamar dengan membanting pintu. Seketika mata Shella membelalak, karena kertak suara itu menggema di telinganya. Namun ia hanya menggelengkan kepala, dan kembali menatap tumpukan amplop di depannya, tanpa memikirkan suaminya yang baru saja keluar kamar dengan wajah kesal. Di luar kamar, Randy melangkah gontai menuruni tangga. Kakinya yang sakit terasa semakin berat, namun rasa laparnya mendorongnya untuk terus berjalan. Sampai di dapur, ia melihat ibu mertuanya sedang mengaduk sesuatu di panci. "Bu, Ibu lagi masak apa?" tanya Randy. "Ibu buat sup ayam, Nak Randy. Ayo duduk, sebentar lagi supnya matang," jawab ibu mertuanya dengan senyum hangat. Randy tersenyum kecil dan segera mengambil tempatnya di meja makan. Bu Ani dengan hati-hati menuangkan sup panas ke dalam mangkuk yang telah disiapkan di atas meja. "Ngomong-ngomong Shella mana, Ran? Kok dia gak ikut turun sama kamu?" Randy menarik napas, menoleh ke arah Bu Ani dan menjawab dengan suara datar, "Dia sibuk ngitungin amplop." Seulas senyum simpul terukir di wajah Bu Ani, "Oh gitu... Semoga aja ya kita bisa balik modal." Suaranya mencoba terdengar optimis. Randy menatap lurus ke arah Bu Ani, matanya menunjukkan rasa frustrasi yang mendalam. "Kita? Balik modal?Bahkan kalian sendiri tidak membantu sepeserpun," batin Randy. Bu Ani tersenyum canggung. "Kamu sarapan aja dulu, Ibu mau ke atas," ujarnya sambil meninggalkan Randy sendirian dengan pikirannya. Randy hanya bisa menatap kosong ke arah Bu Ani yang memasuki kamarnya dan Shella. "Ibu dan anak itu sama saja, sama-sama mata duitan," gumamnya pelan. Dengan mood yang masih buruk, Randy pun menyendokan nasi ke dalam piringnya, serta menuangkan sayur sop yang baru saja matang ke dalam mangkok kecil. Di kamar, Bu Ani langsung duduk dengan terburu-buru di dekat Shella, yang kala itu masih sibuk mencatat siapa saja yang sudah memberinya amplop. "Wah, banyak juga ya, Shel," kata Bu Ani dengan mata yang berbinar-binar. Shella tersenyum lebar. "Iya donk, Bu." "E anu Shell, kemarin Ibu ditagih uang arisan sama Bu Nyayu-" "Nih Bu, buat Ibu," kata Shella yang tanpa mendengarkan perkataan Bu Ani sampai selesai. Dengan mata yang cerah, Bu Ani pun menerima uang tersebut. "Makasih ya, Shell." Shella mengangguk dan bertanya, "Oh iya, Randy udah sarapan, Bu?" "Kayaknya sih lagi sarapan," balas Bu Ani dengan tangan yang menghitung uangnya. "Tapi mukanya kayak bete gitu." Shella hanya cemberut. "Oh itu, tadi Randy minta Shella buat siapin sarapan, tapi kan Shella lagi sibuk, Bu, makanya Shella suruh dia turun sendiri." Bu Ani menggeplak lengannya. "Harusnya kamu layanin dia dulu, Shel. Emangnya kamu gak ingat, gimana susahnya kamu buat dapetin Randy?" Shella hanya memamerkan sederet gigi putihnya. "Iya sih, Bu... Ya udah kalo gitu Shella turun ke bawah, ya? Mau temenin Randy dulu." "Oke, Ibu juga mau ke tempat Bu Nyayu sekarang." Lantas keduanya pun keluar dari kamar itu, dimana hal tersebut menjadi perhatian untuk Randy yang wajahnya tambah masam, apalagi ketika ia melihat tangan Bu Ani yang sudah menggenggam beberapa lembar uang merah. Bersambung,Sesampainya di tempat kos, Dinda langsung membuka pintu kamar, membuat Santi yang tengah mengerjakan proposal langsung menoleh."Bagus ya... Dari semalam gue tungguin tapi gak balik-balik," omel Santi pada Dinda yang tengah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, dengan ekspresi yang kacau. "Mana telpon gue gak diangkat lagi."Dinda hanya diam, matanya menatap lurus ke arah langit-langit kamarnya."Lo kenapa sih, Din?" Bersamaan dengan itu Santi menghampirinya, berdiri dengan tangan yang menekuk di pinggangnya. "Balik-balik udah kayak kehilangan harga diri aja!"Detik kemudian Dinda menangis tersedu-sedu, "Huaaaaaaa....."Santi yang bingung langsung duduk di sisi ranjang, menyangka bahwa Dinda mungkin masih patah hati atas pengkhianatan Randy."E sorry, Din, gue gak ada maksud buat bentak lo." Santi menyentuh lengan Dinda.Kemudian Dinda mendudukkan dirinya, dan menatap Santi. "G-gue emang udah kehilangan harga diri, San."Kening Santi berkerut. "Maksud lo?"Di hotelWilliam terban
Dani melangkah lebar memasuki mansion megah milik William. Suasana mansion tampak tenang namun tetap terasa mewah dengan penerangan hangat dari lampu kristal yang menggantung di langit-langit. Dani mendekati seorang maid yang tampak sibuk dengan baki teh di tangannya. "Pak Will lagi di mana, Tik?" tanya Dani dengan nada yang bersahabat. Tika, yang kala itu membawa teko teh, menoleh dengan ekspresi terkejut sejenak sebelum menjawab, "Tuan Will sedang makan malam bersama Oma Tia dan Opa Anton, Pak." Dani mengangguk paham, "Oh, begitu." Sebelum Dani sempat bertanya lebih lanjut, Tika pun berpamitan padanya. "Maaf Pak, saya harus mengantarkan teh ini dulu untuk Oma." "Iya silahkan," balas Dani. Tak lama setelah Tika pergi, Ririn yang juga seorang maid, datang menghampirinya dengan langkah cepat. "Pak Dani, Tuan William meminta saya untuk menyampaikan pada Bapak, kalau Bapak disuruh menunggu di ruang kerja," ujar Ririn dengan sopan. Dani membalas dengan senyum singkat, "Terima k
William terbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamarnya yang temaram. Pikirannya melayang pada malam itu, sebuah malam yang tak bisa ia hapus dari memorinya. "Kenapa aku sama sekali tidak bisa mengingat wajahnya?" bisiknya pada diri sendiri, seraya tangannya menggenggam sebuah gelang wanita yang ia temukan di sisi tempat tidurnya pagi itu. Di tempat yang lain, dalam ruangan yang dipenuhi dengan tumpukan kertas dan buku, Dinda tampak gelisah sambil membuka laci meja kerjanya satu per satu dengan tergesa-gesa. Santi, yang sedari tadi memperhatikan tingkah Dinda, akhirnya tidak tahan untuk bertanya, "Lo cari apa sih, Din?" Dinda menoleh sejenak, "Gelang gue ilang, San. Lo liat gak?" Santi mendekat, ingin membantu, "Gelang yang lo beli di Singapura waktu itu, ya?" Dinda mengangguk, merasa semakin frustasi karena tidak bisa menemukan apa yang dicarinya. Seraya membantu Dinda, Santi pun kembalj bertanya, "Sekali lagi coba lo ingat-ingat, Din. Dimana terak
Dinda terengah-engah, detak jantungnya masih berdesir ketika ia duduk di kursinya dengan tergesa-gesa. Dengan mata yang masih memancarkan rasa terkejut, dia mencoba menormalkan napasnya. Anita, yang duduk di sebelahnya menoleh dengan kacamata yang ia angkat sedikit dari hidungnya. "Lo kenapa, Din? Kayak abis dikejar setan aja."Dinda mengatur nafasnya sekali lagi, dan menjawab, "Lebih dari itu, Nit." Anita mengerutkan keningnya, tidak mengerti maksud dari kata-kata Dinda. "Hah?" respons Anita, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.Dinda hanya menggeleng cepat. "Bukan apa-apa kok!" ucapnya, dengan cengiran.Tepat saat itu, Bu Merry, kepala divisi mereka datang dengan rambut bob hitamnya yang selalu terawat.Ia menghampiri keduanya dengan langkah yang ringan. "Pagi anak-anakku," sapa Bu Merry dengan suara ceria, yang kontras dengan suasana hati Dinda saat itu.Mendengar sapaan itu, Dinda dan Anita langsung menoleh. "Pagi Bu Merry," sahut mereka hampir bersamaan. Bu Merry k
Dinda, Anita, dan Rini tengah berada di ruang dapur atau yang mereka sebut sebagai ruang praktik. Ruangan itu penuh dengan aroma tepung dan ragi, serta suara mixer dan oven yang menyala. Dinda yang tengah memanggang roti, mendadak terkejut saat pintu ruang praktik terbuka dengan tiba-tiba.Tampak sosok Bu Merry datang dengan mengenakan jas praktik putihnya yang khas. "Udah selesai Bu, meetingnya?" tanya Dinda sambil tetap fokus pada roti yang sedang dipanggangnya."Udah, tapi ada yang aneh sama Pak Will," jawab Bu Merry sambil mendekat ke oven untuk memeriksa roti yang sedang dipanggang Dinda.Anita yang tengah menguleni adonan di meja seberang mendengar pembicaraan itu dan segera berseru, "Ada Pak presdir juga?"Bu Merry mengangguk, "Iya donk, kan tadi Ibu abis meeting sama semua kepala divisi dan otomatis Pak Presdir juga ikut karena kita lagi bahas perihal penting."Dinda, Anita dan Rini mengangguk dengan mulut yang berbentuk o."Oh iya! Tadi Ibu bilang, ada yang aneh sama Pak W
Dinda menyeka air matanya yang terus mengalir, bahkan suara tangisannya pun semakin kencang dan menggema di dinding kamar kosnya. Di sisi lain, Santi duduk di sampingnya ikut prihatin melihat kondisi Dinda yang sedang patah hati itu, bahkan bekas tisu pun berhamburan memenuhi kotak sampah di bawah tempak tidurnya. "Udah Din, lo gak perlu nangisin si Randy lagi," ucap Santi dengan nada penuh empati. "Harusnya lo ngerasa beruntung karena gak jadi nikah sama si mokondo itu." Mendengar kata 'menikah', Dinda semakin terisak, rasa sakit hatinya semakin memuncak. "Iya San, tapi yang bikin nyesek itu, kenapa dia malah ngehamilin Shella, sahabat gue sendiri. Mana mereka nikah pakek duit tabungan gue sama Randy lagi," ratapnya. "Gue gak ikhlas!!" Santi mempererat genggamannya di tangan Dinda. "Udah, lebih baik lo dandan, terus lo pergi ke acara pernikahan mereka dan ancurin pestanya. Tunjukin kalo lo itu korban, dan mereka harus tau kalo pernikahan itu harusnya jadi milik lo dan kalo bi
Dinda menatap keluar jendela taksi, lamunannya terputus saat sopir taksi memanggilnya melalui kaca spion. "Maaf, Mbak. Kita mau ke mana? Kita udah jalan jauh dari gedung," tanya sopir itu dengan nada kebingungan.Dinda, dengan mata sembab, menyeka air matanya yang baru saja tumpah. "Kita ke Fantasy Club ya, Pak," jawab Dinda dengan suara serak.Sopir taksi itu mengangguk paham dan segera membelokkan mobil menuju ke arah yang dituju.Sementara itu, di ruangan yang mewah dengan dekorasi serba putih, Shella terbangun dari pingsannya.Dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya, ia pun kembali menangis tersedu-sedu. "Aku gak mau tahu! Pokoknya kamu harus kasih dia pelajaran," desak Shella pada Randy yang berdiri di sampingnya dengan wajah bimbang.Randy menghela napas, bingung dengan situasi yang menjerat mereka berdua, namun ia tahu ia harus melakukan sesuatu untuk menenangkan Shella. "I-iya Sayang, nanti kita kasih dia pelajaran ya, yang penting kamu tenang dulu."Bu Ani mengip
Dinda, Anita, dan Rini tengah berada di ruang dapur atau yang mereka sebut sebagai ruang praktik. Ruangan itu penuh dengan aroma tepung dan ragi, serta suara mixer dan oven yang menyala. Dinda yang tengah memanggang roti, mendadak terkejut saat pintu ruang praktik terbuka dengan tiba-tiba.Tampak sosok Bu Merry datang dengan mengenakan jas praktik putihnya yang khas. "Udah selesai Bu, meetingnya?" tanya Dinda sambil tetap fokus pada roti yang sedang dipanggangnya."Udah, tapi ada yang aneh sama Pak Will," jawab Bu Merry sambil mendekat ke oven untuk memeriksa roti yang sedang dipanggang Dinda.Anita yang tengah menguleni adonan di meja seberang mendengar pembicaraan itu dan segera berseru, "Ada Pak presdir juga?"Bu Merry mengangguk, "Iya donk, kan tadi Ibu abis meeting sama semua kepala divisi dan otomatis Pak Presdir juga ikut karena kita lagi bahas perihal penting."Dinda, Anita dan Rini mengangguk dengan mulut yang berbentuk o."Oh iya! Tadi Ibu bilang, ada yang aneh sama Pak W
Dinda terengah-engah, detak jantungnya masih berdesir ketika ia duduk di kursinya dengan tergesa-gesa. Dengan mata yang masih memancarkan rasa terkejut, dia mencoba menormalkan napasnya. Anita, yang duduk di sebelahnya menoleh dengan kacamata yang ia angkat sedikit dari hidungnya. "Lo kenapa, Din? Kayak abis dikejar setan aja."Dinda mengatur nafasnya sekali lagi, dan menjawab, "Lebih dari itu, Nit." Anita mengerutkan keningnya, tidak mengerti maksud dari kata-kata Dinda. "Hah?" respons Anita, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.Dinda hanya menggeleng cepat. "Bukan apa-apa kok!" ucapnya, dengan cengiran.Tepat saat itu, Bu Merry, kepala divisi mereka datang dengan rambut bob hitamnya yang selalu terawat.Ia menghampiri keduanya dengan langkah yang ringan. "Pagi anak-anakku," sapa Bu Merry dengan suara ceria, yang kontras dengan suasana hati Dinda saat itu.Mendengar sapaan itu, Dinda dan Anita langsung menoleh. "Pagi Bu Merry," sahut mereka hampir bersamaan. Bu Merry k
William terbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamarnya yang temaram. Pikirannya melayang pada malam itu, sebuah malam yang tak bisa ia hapus dari memorinya. "Kenapa aku sama sekali tidak bisa mengingat wajahnya?" bisiknya pada diri sendiri, seraya tangannya menggenggam sebuah gelang wanita yang ia temukan di sisi tempat tidurnya pagi itu. Di tempat yang lain, dalam ruangan yang dipenuhi dengan tumpukan kertas dan buku, Dinda tampak gelisah sambil membuka laci meja kerjanya satu per satu dengan tergesa-gesa. Santi, yang sedari tadi memperhatikan tingkah Dinda, akhirnya tidak tahan untuk bertanya, "Lo cari apa sih, Din?" Dinda menoleh sejenak, "Gelang gue ilang, San. Lo liat gak?" Santi mendekat, ingin membantu, "Gelang yang lo beli di Singapura waktu itu, ya?" Dinda mengangguk, merasa semakin frustasi karena tidak bisa menemukan apa yang dicarinya. Seraya membantu Dinda, Santi pun kembalj bertanya, "Sekali lagi coba lo ingat-ingat, Din. Dimana terak
Dani melangkah lebar memasuki mansion megah milik William. Suasana mansion tampak tenang namun tetap terasa mewah dengan penerangan hangat dari lampu kristal yang menggantung di langit-langit. Dani mendekati seorang maid yang tampak sibuk dengan baki teh di tangannya. "Pak Will lagi di mana, Tik?" tanya Dani dengan nada yang bersahabat. Tika, yang kala itu membawa teko teh, menoleh dengan ekspresi terkejut sejenak sebelum menjawab, "Tuan Will sedang makan malam bersama Oma Tia dan Opa Anton, Pak." Dani mengangguk paham, "Oh, begitu." Sebelum Dani sempat bertanya lebih lanjut, Tika pun berpamitan padanya. "Maaf Pak, saya harus mengantarkan teh ini dulu untuk Oma." "Iya silahkan," balas Dani. Tak lama setelah Tika pergi, Ririn yang juga seorang maid, datang menghampirinya dengan langkah cepat. "Pak Dani, Tuan William meminta saya untuk menyampaikan pada Bapak, kalau Bapak disuruh menunggu di ruang kerja," ujar Ririn dengan sopan. Dani membalas dengan senyum singkat, "Terima k
Sesampainya di tempat kos, Dinda langsung membuka pintu kamar, membuat Santi yang tengah mengerjakan proposal langsung menoleh."Bagus ya... Dari semalam gue tungguin tapi gak balik-balik," omel Santi pada Dinda yang tengah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, dengan ekspresi yang kacau. "Mana telpon gue gak diangkat lagi."Dinda hanya diam, matanya menatap lurus ke arah langit-langit kamarnya."Lo kenapa sih, Din?" Bersamaan dengan itu Santi menghampirinya, berdiri dengan tangan yang menekuk di pinggangnya. "Balik-balik udah kayak kehilangan harga diri aja!"Detik kemudian Dinda menangis tersedu-sedu, "Huaaaaaaa....."Santi yang bingung langsung duduk di sisi ranjang, menyangka bahwa Dinda mungkin masih patah hati atas pengkhianatan Randy."E sorry, Din, gue gak ada maksud buat bentak lo." Santi menyentuh lengan Dinda.Kemudian Dinda mendudukkan dirinya, dan menatap Santi. "G-gue emang udah kehilangan harga diri, San."Kening Santi berkerut. "Maksud lo?"Di hotelWilliam terban
Dinda terbangun dengan suara dering yang memecah keheningan pagi. Dengan mata yang masih setengah tertutup, ia meraba-raba mencari sumber suara tersebut, sampai akhirnya ia mendapatkannya, dengan di layar ponselnya yang tertuliskan nama Santi. Sementara itu, Santi di ujung sana mulai kehilangan kesabaran, "Dinda kemana sih!? Kok gak diangkat-angkat?" Beberapa kali ia mencoba menghubungi Dinda. "Udah semalaman gak pulang-pulang, eh sekarang malah susah banget dihubungin."Saat Dinda hendak menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan, tiba-tiba saja ada gerakan yang tidak terduga melingkar di perutnya.Dengan refleks ia berbalik dan terkejut bukan kepalang. Di belakangnya, ada seorang pria asing yang memeluknya dari belakang dengan mata yang masih terlelap.Dinda terpaku, matanya membulat, bahkan ponselnya pun terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai dengan suara yang sedikit nyaring."J-jadi semalam itu bukan mimpi?" batin Dinda.Seketika sekelebat ingatan tentang aksi panas merek
Dinda menatap keluar jendela taksi, lamunannya terputus saat sopir taksi memanggilnya melalui kaca spion. "Maaf, Mbak. Kita mau ke mana? Kita udah jalan jauh dari gedung," tanya sopir itu dengan nada kebingungan.Dinda, dengan mata sembab, menyeka air matanya yang baru saja tumpah. "Kita ke Fantasy Club ya, Pak," jawab Dinda dengan suara serak.Sopir taksi itu mengangguk paham dan segera membelokkan mobil menuju ke arah yang dituju.Sementara itu, di ruangan yang mewah dengan dekorasi serba putih, Shella terbangun dari pingsannya.Dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya, ia pun kembali menangis tersedu-sedu. "Aku gak mau tahu! Pokoknya kamu harus kasih dia pelajaran," desak Shella pada Randy yang berdiri di sampingnya dengan wajah bimbang.Randy menghela napas, bingung dengan situasi yang menjerat mereka berdua, namun ia tahu ia harus melakukan sesuatu untuk menenangkan Shella. "I-iya Sayang, nanti kita kasih dia pelajaran ya, yang penting kamu tenang dulu."Bu Ani mengip
Dinda menyeka air matanya yang terus mengalir, bahkan suara tangisannya pun semakin kencang dan menggema di dinding kamar kosnya. Di sisi lain, Santi duduk di sampingnya ikut prihatin melihat kondisi Dinda yang sedang patah hati itu, bahkan bekas tisu pun berhamburan memenuhi kotak sampah di bawah tempak tidurnya. "Udah Din, lo gak perlu nangisin si Randy lagi," ucap Santi dengan nada penuh empati. "Harusnya lo ngerasa beruntung karena gak jadi nikah sama si mokondo itu." Mendengar kata 'menikah', Dinda semakin terisak, rasa sakit hatinya semakin memuncak. "Iya San, tapi yang bikin nyesek itu, kenapa dia malah ngehamilin Shella, sahabat gue sendiri. Mana mereka nikah pakek duit tabungan gue sama Randy lagi," ratapnya. "Gue gak ikhlas!!" Santi mempererat genggamannya di tangan Dinda. "Udah, lebih baik lo dandan, terus lo pergi ke acara pernikahan mereka dan ancurin pestanya. Tunjukin kalo lo itu korban, dan mereka harus tau kalo pernikahan itu harusnya jadi milik lo dan kalo bi