Dinda terengah-engah, detak jantungnya masih berdesir ketika ia duduk di kursinya dengan tergesa-gesa. Dengan mata yang masih memancarkan rasa terkejut, dia mencoba menormalkan napasnya.
Anita, yang duduk di sebelahnya menoleh dengan kacamata yang ia angkat sedikit dari hidungnya. "Lo kenapa, Din? Kayak abis dikejar setan aja." Dinda mengatur nafasnya sekali lagi, dan menjawab, "Lebih dari itu, Nit." Anita mengerutkan keningnya, tidak mengerti maksud dari kata-kata Dinda. "Hah?" respons Anita, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Dinda hanya menggeleng cepat. "Bukan apa-apa kok!" ucapnya, dengan cengiran. Tepat saat itu, Bu Merry, kepala divisi mereka datang dengan rambut bob hitamnya yang selalu terawat. Ia menghampiri keduanya dengan langkah yang ringan. "Pagi anak-anakku," sapa Bu Merry dengan suara ceria, yang kontras dengan suasana hati Dinda saat itu. Mendengar sapaan itu, Dinda dan Anita langsung menoleh. "Pagi Bu Merry," sahut mereka hampir bersamaan. Bu Merry kemudian duduk di kursinya yang berada tepat di depan mereka, dengan senyuman yang tak pernah lepas, serta tangan yang tampak menaruh tas kesayangannya di atas meja. "Seneng banget kayaknya, Bu," tanya Dinda yang jadi penasaran. Dengan senyuman yang masih terpancar, ia pun membagikan kabar gembira kepada mereka. "Ibu baru saja dapat promosi kenaikan jabatan, dan tentu setelah ibu tidak menjabat di divisi ini, salah satu dari kalian semua punya kesempatan untuk naik dan menggantikan saya," ujarnya dengan nada penuh antusias. Dinda dan Anita, dua karyawan yang telah lama bekerja di bawah pengawasan Bu Merry, saling bertukar pandang penuh kegembiraan sebelum serentak mengucapkan, "Selamat ya, Bu!" "Iya, makasih ya..." balasnya. Sayangnya, percakapan itu harus terpotong karena deringan ponsel. Bu Merry segera meraih telepon genggam yang berada di atas meja kerjanya. "........" "Iya, Pagi Pak." "......." "Baik, Pak, saya akan segera ke ruang meeting," sahut Bu Merry dengan suara yang tegas namun tetap ramah. Setelah menutup sambungan, Bu Merry kembali memandang Dinda dan Anita. "Maaf, Dinda, Anita, Ibu harus ke ruang meeting sekarang. Doakan semoga semuanya berjalan lancar ya," katanya sambil mengumpulkan beberapa berkas penting dari meja kerjanya. "Semangat, Bu!" kata Anita. Dengan langkah pasti, Bu Merry meninggalkan ruangan tersebut, meninggalkan Dinda dan Anita yang masih terpaku memikirkan peluang baru yang mungkin bisa mereka raih. Tiba-tiba Anita menyenggol lengan Dinda dengan lembut. "Din, menurut lo kira-kira siapa yang bakal gantiin posisinya Bu Merry di divisi ini?" Dinda menarik napas, dengan jari-jarinya yang lentik mengetuk dagu secara ritmis. "Em, mungkin Pak Yanto, dia kan senior di divisi ini," jawabnya setelah berpikir. Anita mengernyitkan dahi, tampak ragu dengan jawaban itu. "Iya sih, tapi gue gak yakin soalnya kan Pak Yanto kadang suka gegabah," sahutnya, dengan suara rendah. Dinda menatap Anita. "Terus menurut lo, siapa?" Tanpa ragu, Anita menunjuk ke arah Dinda, seraya tersenyum penuh arti. "Lo, lo orangnya gesit, cekatan, terus kreatif. Lo pasti bakal dapat rekomendasi dari Bu Merry buat naik jabatan." Dinda terkejut, dengan pipinya yang memerah. "Ah, mana mungkin..." "Mungkin aja kok," senyum Anita. Di ruang meeting, yang dipenuhi oleh beberapa perwakilan dari berbagai divisi. Tampak mata mereka tertuju pada Bu Merry yang melangkah maju menuju ujung meja, tempat William, sang presdir duduk dengan postur tubuh yang tegap. Dengan santun, Bu Merry menyerahkan map berisi dokumen penting kepadanya, "Ini laporan terakhir saya, Pak, silahkan Anda cek." William, mengangguk kecil, menerima dokumen tersebut dan mulai membukanya, dan meneliti laporan tersebut sambil sesekali mengangguk puas. "Saya selalu puas dengan hasil kerja keras kamu selama ini," ujarnya dengan suara yang berat dan penuh pengakuan. Setelah beberapa saat memeriksa dokumen tersebut, ia pun menutupnya. Jemarinya saling bertaut, seakan menimbang sesuatu yang penting. Dengan pandangan yang tajam, ia bertanya, "Apa kamu memiliki kandidat untuk menggantikan posisimu?" Mendengar pertanyaan itu, Bu Merry mengangguk dengan yakin. Dari tas kerjanya, ia mengeluarkan dokumen lain yang sudah ia siapkan sebelumnya. Dengan hati-hati, ia menyerahkan dokumen tersebut kepada sang presdir. "Di sini ada 3 kandidat yang saya rasa mampu untuk melanjutkan apa yang telah saya mulai," jelasnya, penuh keyakinan. William menerimanya, dan ketika ia hendak membuka map tersebut, tiba-tiba saja ia merasa nyeri pada bagian belakang kepalanya. "Akan saya periksa nanti," katanya yang kemudian menyerahkan dokumen tersebut pada Dani yang berdiri di belakangnya, lalu dengan gerakan pelan ia sedikit mengusap belakang kepalanya, membuat Bu Merry bertanya. "Apa Anda baik-bakk saja, Pak?" Bu Merry tampak sedikit khawatir. William mengangkat sebelah tangannya. "Saya baik-baik aja." Setelah hampir satu jam berada di ruangan itu, akhirnya meeting pun berakhir, dan Bu Merry pun kembali ke tempatnya. Bersambung,Dinda, Anita, dan Rini tengah berada di ruang dapur atau yang mereka sebut sebagai ruang praktik. Ruangan itu penuh dengan aroma tepung dan ragi, serta suara mixer dan oven yang menyala. Dinda yang tengah memanggang roti, mendadak terkejut saat pintu ruang praktik terbuka dengan tiba-tiba.Tampak sosok Bu Merry datang dengan mengenakan jas praktik putihnya yang khas. "Udah selesai Bu, meetingnya?" tanya Dinda sambil tetap fokus pada roti yang sedang dipanggangnya."Udah, tapi ada yang aneh sama Pak Will," jawab Bu Merry sambil mendekat ke oven untuk memeriksa roti yang sedang dipanggang Dinda.Anita yang tengah menguleni adonan di meja seberang mendengar pembicaraan itu dan segera berseru, "Ada Pak presdir juga?"Bu Merry mengangguk, "Iya donk, kan tadi Ibu abis meeting sama semua kepala divisi dan otomatis Pak Presdir juga ikut karena kita lagi bahas perihal penting."Dinda, Anita dan Rini mengangguk dengan mulut yang berbentuk o."Oh iya! Tadi Ibu bilang, ada yang aneh sama Pak W
Dinda menyeka air matanya yang terus mengalir, bahkan suara tangisannya pun semakin kencang dan menggema di dinding kamar kosnya. Di sisi lain, Santi duduk di sampingnya ikut prihatin melihat kondisi Dinda yang sedang patah hati itu, bahkan bekas tisu pun berhamburan memenuhi kotak sampah di bawah tempak tidurnya. "Udah Din, lo gak perlu nangisin si Randy lagi," ucap Santi dengan nada penuh empati. "Harusnya lo ngerasa beruntung karena gak jadi nikah sama si mokondo itu." Mendengar kata 'menikah', Dinda semakin terisak, rasa sakit hatinya semakin memuncak. "Iya San, tapi yang bikin nyesek itu, kenapa dia malah ngehamilin Shella, sahabat gue sendiri. Mana mereka nikah pakek duit tabungan gue sama Randy lagi," ratapnya. "Gue gak ikhlas!!" Santi mempererat genggamannya di tangan Dinda. "Udah, lebih baik lo dandan, terus lo pergi ke acara pernikahan mereka dan ancurin pestanya. Tunjukin kalo lo itu korban, dan mereka harus tau kalo pernikahan itu harusnya jadi milik lo dan kalo bi
Dinda menatap keluar jendela taksi, lamunannya terputus saat sopir taksi memanggilnya melalui kaca spion. "Maaf, Mbak. Kita mau ke mana? Kita udah jalan jauh dari gedung," tanya sopir itu dengan nada kebingungan.Dinda, dengan mata sembab, menyeka air matanya yang baru saja tumpah. "Kita ke Fantasy Club ya, Pak," jawab Dinda dengan suara serak.Sopir taksi itu mengangguk paham dan segera membelokkan mobil menuju ke arah yang dituju.Sementara itu, di ruangan yang mewah dengan dekorasi serba putih, Shella terbangun dari pingsannya.Dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya, ia pun kembali menangis tersedu-sedu. "Aku gak mau tahu! Pokoknya kamu harus kasih dia pelajaran," desak Shella pada Randy yang berdiri di sampingnya dengan wajah bimbang.Randy menghela napas, bingung dengan situasi yang menjerat mereka berdua, namun ia tahu ia harus melakukan sesuatu untuk menenangkan Shella. "I-iya Sayang, nanti kita kasih dia pelajaran ya, yang penting kamu tenang dulu."Bu Ani mengip
Dinda terbangun dengan suara dering yang memecah keheningan pagi. Dengan mata yang masih setengah tertutup, ia meraba-raba mencari sumber suara tersebut, sampai akhirnya ia mendapatkannya, dengan di layar ponselnya yang tertuliskan nama Santi. Sementara itu, Santi di ujung sana mulai kehilangan kesabaran, "Dinda kemana sih!? Kok gak diangkat-angkat?" Beberapa kali ia mencoba menghubungi Dinda. "Udah semalaman gak pulang-pulang, eh sekarang malah susah banget dihubungin."Saat Dinda hendak menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan, tiba-tiba saja ada gerakan yang tidak terduga melingkar di perutnya.Dengan refleks ia berbalik dan terkejut bukan kepalang. Di belakangnya, ada seorang pria asing yang memeluknya dari belakang dengan mata yang masih terlelap.Dinda terpaku, matanya membulat, bahkan ponselnya pun terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai dengan suara yang sedikit nyaring."J-jadi semalam itu bukan mimpi?" batin Dinda.Seketika sekelebat ingatan tentang aksi panas merek
Sesampainya di tempat kos, Dinda langsung membuka pintu kamar, membuat Santi yang tengah mengerjakan proposal langsung menoleh."Bagus ya... Dari semalam gue tungguin tapi gak balik-balik," omel Santi pada Dinda yang tengah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, dengan ekspresi yang kacau. "Mana telpon gue gak diangkat lagi."Dinda hanya diam, matanya menatap lurus ke arah langit-langit kamarnya."Lo kenapa sih, Din?" Bersamaan dengan itu Santi menghampirinya, berdiri dengan tangan yang menekuk di pinggangnya. "Balik-balik udah kayak kehilangan harga diri aja!"Detik kemudian Dinda menangis tersedu-sedu, "Huaaaaaaa....."Santi yang bingung langsung duduk di sisi ranjang, menyangka bahwa Dinda mungkin masih patah hati atas pengkhianatan Randy."E sorry, Din, gue gak ada maksud buat bentak lo." Santi menyentuh lengan Dinda.Kemudian Dinda mendudukkan dirinya, dan menatap Santi. "G-gue emang udah kehilangan harga diri, San."Kening Santi berkerut. "Maksud lo?"Di hotelWilliam terban
Dani melangkah lebar memasuki mansion megah milik William. Suasana mansion tampak tenang namun tetap terasa mewah dengan penerangan hangat dari lampu kristal yang menggantung di langit-langit. Dani mendekati seorang maid yang tampak sibuk dengan baki teh di tangannya. "Pak Will lagi di mana, Tik?" tanya Dani dengan nada yang bersahabat. Tika, yang kala itu membawa teko teh, menoleh dengan ekspresi terkejut sejenak sebelum menjawab, "Tuan Will sedang makan malam bersama Oma Tia dan Opa Anton, Pak." Dani mengangguk paham, "Oh, begitu." Sebelum Dani sempat bertanya lebih lanjut, Tika pun berpamitan padanya. "Maaf Pak, saya harus mengantarkan teh ini dulu untuk Oma." "Iya silahkan," balas Dani. Tak lama setelah Tika pergi, Ririn yang juga seorang maid, datang menghampirinya dengan langkah cepat. "Pak Dani, Tuan William meminta saya untuk menyampaikan pada Bapak, kalau Bapak disuruh menunggu di ruang kerja," ujar Ririn dengan sopan. Dani membalas dengan senyum singkat, "Terima k
William terbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamarnya yang temaram. Pikirannya melayang pada malam itu, sebuah malam yang tak bisa ia hapus dari memorinya. "Kenapa aku sama sekali tidak bisa mengingat wajahnya?" bisiknya pada diri sendiri, seraya tangannya menggenggam sebuah gelang wanita yang ia temukan di sisi tempat tidurnya pagi itu. Di tempat yang lain, dalam ruangan yang dipenuhi dengan tumpukan kertas dan buku, Dinda tampak gelisah sambil membuka laci meja kerjanya satu per satu dengan tergesa-gesa. Santi, yang sedari tadi memperhatikan tingkah Dinda, akhirnya tidak tahan untuk bertanya, "Lo cari apa sih, Din?" Dinda menoleh sejenak, "Gelang gue ilang, San. Lo liat gak?" Santi mendekat, ingin membantu, "Gelang yang lo beli di Singapura waktu itu, ya?" Dinda mengangguk, merasa semakin frustasi karena tidak bisa menemukan apa yang dicarinya. Seraya membantu Dinda, Santi pun kembalj bertanya, "Sekali lagi coba lo ingat-ingat, Din. Dimana terak
Dinda, Anita, dan Rini tengah berada di ruang dapur atau yang mereka sebut sebagai ruang praktik. Ruangan itu penuh dengan aroma tepung dan ragi, serta suara mixer dan oven yang menyala. Dinda yang tengah memanggang roti, mendadak terkejut saat pintu ruang praktik terbuka dengan tiba-tiba.Tampak sosok Bu Merry datang dengan mengenakan jas praktik putihnya yang khas. "Udah selesai Bu, meetingnya?" tanya Dinda sambil tetap fokus pada roti yang sedang dipanggangnya."Udah, tapi ada yang aneh sama Pak Will," jawab Bu Merry sambil mendekat ke oven untuk memeriksa roti yang sedang dipanggang Dinda.Anita yang tengah menguleni adonan di meja seberang mendengar pembicaraan itu dan segera berseru, "Ada Pak presdir juga?"Bu Merry mengangguk, "Iya donk, kan tadi Ibu abis meeting sama semua kepala divisi dan otomatis Pak Presdir juga ikut karena kita lagi bahas perihal penting."Dinda, Anita dan Rini mengangguk dengan mulut yang berbentuk o."Oh iya! Tadi Ibu bilang, ada yang aneh sama Pak W
Dinda terengah-engah, detak jantungnya masih berdesir ketika ia duduk di kursinya dengan tergesa-gesa. Dengan mata yang masih memancarkan rasa terkejut, dia mencoba menormalkan napasnya. Anita, yang duduk di sebelahnya menoleh dengan kacamata yang ia angkat sedikit dari hidungnya. "Lo kenapa, Din? Kayak abis dikejar setan aja."Dinda mengatur nafasnya sekali lagi, dan menjawab, "Lebih dari itu, Nit." Anita mengerutkan keningnya, tidak mengerti maksud dari kata-kata Dinda. "Hah?" respons Anita, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.Dinda hanya menggeleng cepat. "Bukan apa-apa kok!" ucapnya, dengan cengiran.Tepat saat itu, Bu Merry, kepala divisi mereka datang dengan rambut bob hitamnya yang selalu terawat.Ia menghampiri keduanya dengan langkah yang ringan. "Pagi anak-anakku," sapa Bu Merry dengan suara ceria, yang kontras dengan suasana hati Dinda saat itu.Mendengar sapaan itu, Dinda dan Anita langsung menoleh. "Pagi Bu Merry," sahut mereka hampir bersamaan. Bu Merry k
William terbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamarnya yang temaram. Pikirannya melayang pada malam itu, sebuah malam yang tak bisa ia hapus dari memorinya. "Kenapa aku sama sekali tidak bisa mengingat wajahnya?" bisiknya pada diri sendiri, seraya tangannya menggenggam sebuah gelang wanita yang ia temukan di sisi tempat tidurnya pagi itu. Di tempat yang lain, dalam ruangan yang dipenuhi dengan tumpukan kertas dan buku, Dinda tampak gelisah sambil membuka laci meja kerjanya satu per satu dengan tergesa-gesa. Santi, yang sedari tadi memperhatikan tingkah Dinda, akhirnya tidak tahan untuk bertanya, "Lo cari apa sih, Din?" Dinda menoleh sejenak, "Gelang gue ilang, San. Lo liat gak?" Santi mendekat, ingin membantu, "Gelang yang lo beli di Singapura waktu itu, ya?" Dinda mengangguk, merasa semakin frustasi karena tidak bisa menemukan apa yang dicarinya. Seraya membantu Dinda, Santi pun kembalj bertanya, "Sekali lagi coba lo ingat-ingat, Din. Dimana terak
Dani melangkah lebar memasuki mansion megah milik William. Suasana mansion tampak tenang namun tetap terasa mewah dengan penerangan hangat dari lampu kristal yang menggantung di langit-langit. Dani mendekati seorang maid yang tampak sibuk dengan baki teh di tangannya. "Pak Will lagi di mana, Tik?" tanya Dani dengan nada yang bersahabat. Tika, yang kala itu membawa teko teh, menoleh dengan ekspresi terkejut sejenak sebelum menjawab, "Tuan Will sedang makan malam bersama Oma Tia dan Opa Anton, Pak." Dani mengangguk paham, "Oh, begitu." Sebelum Dani sempat bertanya lebih lanjut, Tika pun berpamitan padanya. "Maaf Pak, saya harus mengantarkan teh ini dulu untuk Oma." "Iya silahkan," balas Dani. Tak lama setelah Tika pergi, Ririn yang juga seorang maid, datang menghampirinya dengan langkah cepat. "Pak Dani, Tuan William meminta saya untuk menyampaikan pada Bapak, kalau Bapak disuruh menunggu di ruang kerja," ujar Ririn dengan sopan. Dani membalas dengan senyum singkat, "Terima k
Sesampainya di tempat kos, Dinda langsung membuka pintu kamar, membuat Santi yang tengah mengerjakan proposal langsung menoleh."Bagus ya... Dari semalam gue tungguin tapi gak balik-balik," omel Santi pada Dinda yang tengah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, dengan ekspresi yang kacau. "Mana telpon gue gak diangkat lagi."Dinda hanya diam, matanya menatap lurus ke arah langit-langit kamarnya."Lo kenapa sih, Din?" Bersamaan dengan itu Santi menghampirinya, berdiri dengan tangan yang menekuk di pinggangnya. "Balik-balik udah kayak kehilangan harga diri aja!"Detik kemudian Dinda menangis tersedu-sedu, "Huaaaaaaa....."Santi yang bingung langsung duduk di sisi ranjang, menyangka bahwa Dinda mungkin masih patah hati atas pengkhianatan Randy."E sorry, Din, gue gak ada maksud buat bentak lo." Santi menyentuh lengan Dinda.Kemudian Dinda mendudukkan dirinya, dan menatap Santi. "G-gue emang udah kehilangan harga diri, San."Kening Santi berkerut. "Maksud lo?"Di hotelWilliam terban
Dinda terbangun dengan suara dering yang memecah keheningan pagi. Dengan mata yang masih setengah tertutup, ia meraba-raba mencari sumber suara tersebut, sampai akhirnya ia mendapatkannya, dengan di layar ponselnya yang tertuliskan nama Santi. Sementara itu, Santi di ujung sana mulai kehilangan kesabaran, "Dinda kemana sih!? Kok gak diangkat-angkat?" Beberapa kali ia mencoba menghubungi Dinda. "Udah semalaman gak pulang-pulang, eh sekarang malah susah banget dihubungin."Saat Dinda hendak menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan, tiba-tiba saja ada gerakan yang tidak terduga melingkar di perutnya.Dengan refleks ia berbalik dan terkejut bukan kepalang. Di belakangnya, ada seorang pria asing yang memeluknya dari belakang dengan mata yang masih terlelap.Dinda terpaku, matanya membulat, bahkan ponselnya pun terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai dengan suara yang sedikit nyaring."J-jadi semalam itu bukan mimpi?" batin Dinda.Seketika sekelebat ingatan tentang aksi panas merek
Dinda menatap keluar jendela taksi, lamunannya terputus saat sopir taksi memanggilnya melalui kaca spion. "Maaf, Mbak. Kita mau ke mana? Kita udah jalan jauh dari gedung," tanya sopir itu dengan nada kebingungan.Dinda, dengan mata sembab, menyeka air matanya yang baru saja tumpah. "Kita ke Fantasy Club ya, Pak," jawab Dinda dengan suara serak.Sopir taksi itu mengangguk paham dan segera membelokkan mobil menuju ke arah yang dituju.Sementara itu, di ruangan yang mewah dengan dekorasi serba putih, Shella terbangun dari pingsannya.Dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya, ia pun kembali menangis tersedu-sedu. "Aku gak mau tahu! Pokoknya kamu harus kasih dia pelajaran," desak Shella pada Randy yang berdiri di sampingnya dengan wajah bimbang.Randy menghela napas, bingung dengan situasi yang menjerat mereka berdua, namun ia tahu ia harus melakukan sesuatu untuk menenangkan Shella. "I-iya Sayang, nanti kita kasih dia pelajaran ya, yang penting kamu tenang dulu."Bu Ani mengip
Dinda menyeka air matanya yang terus mengalir, bahkan suara tangisannya pun semakin kencang dan menggema di dinding kamar kosnya. Di sisi lain, Santi duduk di sampingnya ikut prihatin melihat kondisi Dinda yang sedang patah hati itu, bahkan bekas tisu pun berhamburan memenuhi kotak sampah di bawah tempak tidurnya. "Udah Din, lo gak perlu nangisin si Randy lagi," ucap Santi dengan nada penuh empati. "Harusnya lo ngerasa beruntung karena gak jadi nikah sama si mokondo itu." Mendengar kata 'menikah', Dinda semakin terisak, rasa sakit hatinya semakin memuncak. "Iya San, tapi yang bikin nyesek itu, kenapa dia malah ngehamilin Shella, sahabat gue sendiri. Mana mereka nikah pakek duit tabungan gue sama Randy lagi," ratapnya. "Gue gak ikhlas!!" Santi mempererat genggamannya di tangan Dinda. "Udah, lebih baik lo dandan, terus lo pergi ke acara pernikahan mereka dan ancurin pestanya. Tunjukin kalo lo itu korban, dan mereka harus tau kalo pernikahan itu harusnya jadi milik lo dan kalo bi