Bab 6

William terbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamarnya yang temaram. Pikirannya melayang pada malam itu, sebuah malam yang tak bisa ia hapus dari memorinya.

"Kenapa aku sama sekali tidak bisa mengingat wajahnya?" bisiknya pada diri sendiri, seraya tangannya menggenggam sebuah gelang wanita yang ia temukan di sisi tempat tidurnya pagi itu.

Di tempat yang lain, dalam ruangan yang dipenuhi dengan tumpukan kertas dan buku, Dinda tampak gelisah sambil membuka laci meja kerjanya satu per satu dengan tergesa-gesa.

Santi, yang sedari tadi memperhatikan tingkah Dinda, akhirnya tidak tahan untuk bertanya, "Lo cari apa sih, Din?"

Dinda menoleh sejenak, "Gelang gue ilang, San. Lo liat gak?"

Santi mendekat, ingin membantu, "Gelang yang lo beli di Singapura waktu itu, ya?"

Dinda mengangguk, merasa semakin frustasi karena tidak bisa menemukan apa yang dicarinya.

Seraya membantu Dinda, Santi pun kembalj bertanya, "Sekali lagi coba lo ingat-ingat, Din. Dimana terakhir kali lo nyimpan gelangnya? Atau kapan terakhir lo pakek?" Bersamaan itu Snati mengangkat beberapa bantal sofa dan mencari di bawahnya.

Dinda yang sedang mengobrak-abrik laci lemarinya, berhenti dan terdiam sesaat. "Ya, Tuhan! Gue baru ingat, kemarin gue pakek gelang itu pas ke acaranya si Badjingan itu," jawabnya seraya melirik ke arah Santi.

Santi membelak, "Jangan-jangan gelang lo jatuh di sana, Din!" ucapnya dengan nada ragu namun mencoba tetap tenang untuk tidak menambah kepanikan Dinda.

Dinda terpaku sejenak, lalu dengan gerakan refleks, ia meremas rambutnya sendiri, frustasi.

"Aaa... Kenapa sih harus jatuh? Mana gelangnya mahal banget, butuh tiga bulan gaji gue!" rintihnya, suara serak menahan emosi.

Melihat itu, Santi mendekat dan menatapnya dengan kasihan. "Tenang, Din. Kita cari solusinya bareng-bareng, atau mungkin kita bisa balik ke-"

"Gila ya, lo! Yakali gue harus balik lagi ke sana," potong Dinda secara spontan.

"Ya siapa tau aja masih ada, kan? Lo bilang sayang tadi," ucap Santi.

Dinda menggeleng keras. "Big No! Gue gak sudi balik lagi ke sana, lagian kalo kita ke sana, tu gelang pastinya udah ada yang ngambil."

"Ya terus, gimana donk?" sahut Santi.

Dinda menghela nafas panjang, melepaskan kekecewaannya. "Ya udahlah, mungkin emang bukan rejeki gue," katanya dengan nada pasrah.

Santi memeluk Dinda, seraya mengusap-usap bahunya. "Ya udah, sekarang kita istirahat yuk? Besok kan kita harus kerja, lo juga pasti bakal sibuk besok."

Dinda mengangguk lemah, dan pasrah saat Santi menuntunnya ke tempat tidur.

Dengan perasaan berat hati, Dinda pun harus merelakan gelangnya dan tidur dalam keadaan yang resah.

***

Keesokan paginya,

Dinda dan Santi menghentikan motor mereka di area parkir, dan berjalan beriringan memasuki kantor.

"Udah jangan cemberut, semangat donk! Kan hari senin," kata Santi seraya menyenggol lengan Dinda.

Dinda menghela nafas. "Gue masih kepikiran soal gelang, San."

Santi mengerti dan memberinya pemahaman. "Rezeki gak kemana, ikhlasin aja, siapa tau aja nanti lo dapet ganti ya lebih."

Dinda tersenyum dan mengangguk.

"Kalo gitu gue duluan ya, Din!" pamit Santi yang langsung berlalu meninggalkan Dinda di loby, karena mereka yang berbeda divisi.

Dengan langkah gontai, Dinda pun segera berbelok menuju sebuah lift. Namun tiba-tiba saja ia menghentikan langkahnya ketika ia merasakan tak nyaman di kakinya.

"Ni heels, kenapa dah?!" gumamnya seraya menunduk, dan melepaskan sebelah kanan heelsnya yang ternyata bermasalah.

"Sumpah! Sialnya banget gue dari kemarin." Bersamaan dengan itu Dinda berjalan sembari berjinjit, dengan tangan yang masih membetulkan heelsnya.

Namun tiba-tiba saja kaki heelsnya yang patah itu terlempar jauh dari tangannya.

Mulutnya terbuka lebar, saat kaki heels itu mendarat di belakang kepala seorang pria yang tengah berbincang dengan bawahannya.

"Arghh..." ringisnya, sembari mengusap belakang kepala.

"Pak Will, Anda baik-baik saja?!" tanya Dani dengan khawatir.

"Ada seseorang yang melempar kepala saya," jelas William yang membuat Dani melihat ke sekelilingnya.

"Jangan-jangan itu-" Dinda tak mampu melanjutkan perkataannya, dan segera berlari memasuki lift yang terbuka, dengan tak memperdulikan orang-orang yang hendak masuk juga ke dalam sana.

Baik Dani maupun William sama-sama melihat punggung sang pelaku, yang menerobos masuk ke dalam lift. Sialnya ketika Dani hendak menyusul, lift itu sudah keburu tertutup, dengan Dinda yang menutupi wajahnya dengan majalah menggunakan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya yang berada di bawah masih memegangi heels yang patah.

"Aman!" lega Dinda yang kemudian menurunkan majalahnya. "Bisa gawat kalau Pak Dani lihat gue, dan gue yakin banget kalo orang yang kena lemparan heels gue itu Pak Will, presdir di perusahaan ini."

Balik lagi pada Dani yang kembali menghampiri William. "Maaf, Pak Will, orang itu keburu pergi."

William kesal. "Cari orang itu! Saya mau dia dihukum, bisa-bisanya dia pergi setelah melakukan kesalahan."

Dani mengangguk. "Baik, Pak!"

Bersambung,