Sesampainya di tempat kos, Dinda langsung membuka pintu kamar, membuat Santi yang tengah mengerjakan proposal langsung menoleh.
"Bagus ya... Dari semalam gue tungguin tapi gak balik-balik," omel Santi pada Dinda yang tengah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, dengan ekspresi yang kacau. "Mana telpon gue gak diangkat lagi." Dinda hanya diam, matanya menatap lurus ke arah langit-langit kamarnya. "Lo kenapa sih, Din?" Bersamaan dengan itu Santi menghampirinya, berdiri dengan tangan yang menekuk di pinggangnya. "Balik-balik udah kayak kehilangan harga diri aja!" Detik kemudian Dinda menangis tersedu-sedu, "Huaaaaaaa....." Santi yang bingung langsung duduk di sisi ranjang, menyangka bahwa Dinda mungkin masih patah hati atas pengkhianatan Randy. "E sorry, Din, gue gak ada maksud buat bentak lo." Santi menyentuh lengan Dinda. Kemudian Dinda mendudukkan dirinya, dan menatap Santi. "G-gue emang udah kehilangan harga diri, San." Kening Santi berkerut. "Maksud lo?" Di hotel William terbangun ketika sayup-sayup sinar matahari masuk ke celah kamarnya, menghantam matanya yang masih lelah. Dia terduduk dengan tangan yang memegangi kepalanya, karena masih pening. "Arghh... Kenapa kepalaku sangat sakit?" gumamnya. Perlahan ia mengedarkan pandangannya, dan terfokus pada ponselnya. Ia pun mengambilnya untuk mengecek waktu saat ini, dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi. "Aku harus segera pergi, Oma pasti sudah menunggu," kata William sambil menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya. Namun di detik kemudian ia dikejutkan dengan noda darah yang berada di sampingnya. "Darah?" William seketika teringat kejadian semalam, dimana ia menghabiskan malam panas dengan seorang wanita. "Siapa perempuan itu? Kenapa dia bisa masuk ke dalam kamarku? Apa dia penyusup?!" Di detik itu juga William menelpon asistennya, Dani. "Pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Dani di seberang sana. "E begini Dani, semalam yang menginap di hotel dan entah kejadiannya seperti apa, yang jelas saya telah meniduri seseorang." Dani yang mendengarnya sedikit awkward. "Kamu tolong cari tau siapa perempuan yang sudah masuk ke dalam kamar saya, karena saya sama sekali tidak mengundangnya," lanjut William. Dani mengangguk. "Baik, Pak." Tak berselang lama sambungan telpon pun terputus, dengan William yang bersiap untuk pergi, begitu pula dengan Dani yang akan ke hotel untuk menyelidiki masalah tersebut. Di tempat lain, "Aaaaaaaa....!!! Rebecca berteriak, sambil memandang pecahan gelas di lantai yang tercecer karena amarahnya. Nafasnya tersengal, matanya menyala penuh saat ia menatap pria di depannya. "Apakah kamu tidak mengerti apa yang kuucapkan, atau kamu sengaja mengabaikannya?" Pria itu menunduk, mencoba menyembunyikan rasa takutnya. "Maaf, Nona Rebecca. Tapi, saya benar-benar sudah membawa Tuan William ke kamar yang Nona maksud." Rebecca menghela napas berat, mengusap wajahnya frustrasi. "Tetapi dia tidak ada di sana saat aku datang! Bagaimana bisa?!" ucapnya dengan nada tinggi, tangannya terkepal erat. Lelaki itu menelan ludah, mencoba menjelaskan. "M-mungkin... mungkin Tuan William pergi sebelum Nona datang." Rebecca menghempaskan diri ke kursi terdekat, matanya masih membara. "Ini benar-benar membuat rencanaku rusak total!" Kegagalan ini tidak hanya menghilangkan sebuah momen, tetapi juga menghilangkan kesempatan yang mungkin sulit akan datang lagi. "Sekarang kamu pergi! Saya benar-benar muak melihat kamu," kata Rebecca seraya memijat pelipisnya. Lelaki itu mengangguk, dan kemudian pergi dari sana. Balik lagi ke kosan, tampak mulut Santi terbuka dengan lebar. "What!! Lo gak salah, Din? Lo lagi gak bercanda kan?" tanya Santi sembari menggoyang-goyangkan lengan Dinda. Dinda menggeleng pelan. "Gue serius, San. Gue bener-bener udah nyerahin kesucian gue, sama orang yang enggak gue kenal." "Kita harus cari tahu siapa dia! Bisa-bisanya dia masuk ke kamar lo." Santi tampak sangat marah. Dinda menghembuskan nafas. "Kayaknya gak perlu deh, San." "Lah, kenapa? Dia kan udah perk*sa lo." Santi bingung dengan perkataan Dinda barusan. "Gue gak mau memperpanjang masalah, lagian pas kita ngelakuinnya, gak ada paksaan sama sekali. Jadi jatuhnya ya mau sama mau," kata Dinda pelan. Santi memijat pelipisnya. "Ck! Terus kalo lo sampe hamil gimana?" "Gak mungkin, kan cuma sekali." Bersamaan dengan itu Dinda menunjukkan telunjuknya, membentuk angka 1. "Padahal lo pintar, Din, tapi kenapa soal beginian lo mendadak b*go?" Santi hanya bisa menggelengkan kepala. "Ya semoga aja nggak," lanjut Dinda. "Udah ah, gak usah bahas soal ini lagi, gue bener-bener stress." Dinda kembali merebahkan tubuhnya. Santi mengguncangkan tubuh Dinda. "Seenggaknya lo ganti baju, Din." "Iya nanti," sahut Dinda yang tubuhnya masih terasa lemas. Di sebuah mansion yang sangat mewah, terhenti sebuah mobil sport di depannya. Sampai sepasang sepatu mengkilap turun dari sana. Dan dia adalah William Emilio Harvey, presdir dari Harvey Corp, perusahaan yang bergerak di bidang makanan dan juga bakery. "Selamat siang, Tuan," sapa para maid kala William berjalan memasuki rumah. "Oh iya, Oma ada di mana?" tanya William pada salah satu diantaranya. "Beliau sedang berada di taman belakang, Tuan," jawab Ririn. William hanya mengangguk, dan berjalan menuju gazebo belakang, dimana Oma Tia sedang menikmati teh hangatnya. "Siang, Oma," sapa William seraya duduk di samping Oma. Oma Tia tampak ngambek. "Kemana aja kamu? Kok gak pulang?" "E iya Oma, semalam William nginep di hotel karena tiba-tiba aja William gak enak badan," jawab William yang memang begitu adanya. Oma Tia hanya mengangguk sekali, dan William yang tau Oma-nya itu masih marah, lantas menggenggam tangannya. "Maafin Will ya, Oma, harusnya William nemenin Oma sarapan." Oma Tia hanya menghela nafas. "Iya gak apa-apa." "Em, Oma gak sama Opa?" tanya William dengan mata mencari. "Opa kamu pergi main golf," jawabnya. William hanya manggut-manggut. Di kamar, "Shell, kamu bisa pijitin kaki aku, nggak? Rasanya kaki aku pada pegel-pegel semua," kata Randy sembari memijat tipis betisnya. Shella duduk di samping Randy, dan mulai memijat kaki sang suami. "Ran, maafin aku ya soal tadi pagi." "Iyah gak apa-apa, ngomong-ngomong kamu udah selesai hitung amplopnya?" lanjut Randy. Shella mengangguk. "Iya udah, nanti uangnya kita pakek buat nyicil rumah ya? Soalnya aku gak mau kita tinggal di rumah Ibu atau Mama kamu, aku pengen punya rumah sendiri." "Iya terserah kamu, yang penting cicilannya sesuai." Randy memejamkan matanya, menikmati pijitan tersebut. Shella tersenyum lebar. "Kalau gitu nanti kita coba ke survei ke kelapa gading ya, Sayang. Rumah disana kan bagus-bagus, pasti sesuai sama selera kita." Seketika mata Randy membelak. "Tapi rumah disana kan mahal, Shell." Shella berdecak. "Ck! Tapi aku maunya di sana, lagian kan gaji kamu pasti besar, kamu kan asisten manajer di kantor." "Iya, tapi kamu harus ingat kalo aku juga harus kasih jatah ke Mama aku. Tau sendiri kan Papa aku kerjaannya freelance," lanjut Randy. "Iya aku tau..." Bibir Shella tampak manyun. "Tapi, semuanya aku yang atur ya, soalnua kan kita udah nikah jadi kita juga punya kebutuhan juga." Randy hanya mengiyakan, malas untuk berdebat dengan sang istri yang baru ia nikahi itu. Bersambung,Dani melangkah lebar memasuki mansion megah milik William. Suasana mansion tampak tenang namun tetap terasa mewah dengan penerangan hangat dari lampu kristal yang menggantung di langit-langit. Dani mendekati seorang maid yang tampak sibuk dengan baki teh di tangannya. "Pak Will lagi di mana, Tik?" tanya Dani dengan nada yang bersahabat. Tika, yang kala itu membawa teko teh, menoleh dengan ekspresi terkejut sejenak sebelum menjawab, "Tuan Will sedang makan malam bersama Oma Tia dan Opa Anton, Pak." Dani mengangguk paham, "Oh, begitu." Sebelum Dani sempat bertanya lebih lanjut, Tika pun berpamitan padanya. "Maaf Pak, saya harus mengantarkan teh ini dulu untuk Oma." "Iya silahkan," balas Dani. Tak lama setelah Tika pergi, Ririn yang juga seorang maid, datang menghampirinya dengan langkah cepat. "Pak Dani, Tuan William meminta saya untuk menyampaikan pada Bapak, kalau Bapak disuruh menunggu di ruang kerja," ujar Ririn dengan sopan. Dani membalas dengan senyum singkat, "Terima k
William terbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamarnya yang temaram. Pikirannya melayang pada malam itu, sebuah malam yang tak bisa ia hapus dari memorinya. "Kenapa aku sama sekali tidak bisa mengingat wajahnya?" bisiknya pada diri sendiri, seraya tangannya menggenggam sebuah gelang wanita yang ia temukan di sisi tempat tidurnya pagi itu. Di tempat yang lain, dalam ruangan yang dipenuhi dengan tumpukan kertas dan buku, Dinda tampak gelisah sambil membuka laci meja kerjanya satu per satu dengan tergesa-gesa. Santi, yang sedari tadi memperhatikan tingkah Dinda, akhirnya tidak tahan untuk bertanya, "Lo cari apa sih, Din?" Dinda menoleh sejenak, "Gelang gue ilang, San. Lo liat gak?" Santi mendekat, ingin membantu, "Gelang yang lo beli di Singapura waktu itu, ya?" Dinda mengangguk, merasa semakin frustasi karena tidak bisa menemukan apa yang dicarinya. Seraya membantu Dinda, Santi pun kembalj bertanya, "Sekali lagi coba lo ingat-ingat, Din. Dimana terak
Dinda terengah-engah, detak jantungnya masih berdesir ketika ia duduk di kursinya dengan tergesa-gesa. Dengan mata yang masih memancarkan rasa terkejut, dia mencoba menormalkan napasnya. Anita, yang duduk di sebelahnya menoleh dengan kacamata yang ia angkat sedikit dari hidungnya. "Lo kenapa, Din? Kayak abis dikejar setan aja."Dinda mengatur nafasnya sekali lagi, dan menjawab, "Lebih dari itu, Nit." Anita mengerutkan keningnya, tidak mengerti maksud dari kata-kata Dinda. "Hah?" respons Anita, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.Dinda hanya menggeleng cepat. "Bukan apa-apa kok!" ucapnya, dengan cengiran.Tepat saat itu, Bu Merry, kepala divisi mereka datang dengan rambut bob hitamnya yang selalu terawat.Ia menghampiri keduanya dengan langkah yang ringan. "Pagi anak-anakku," sapa Bu Merry dengan suara ceria, yang kontras dengan suasana hati Dinda saat itu.Mendengar sapaan itu, Dinda dan Anita langsung menoleh. "Pagi Bu Merry," sahut mereka hampir bersamaan. Bu Merry k
Dinda, Anita, dan Rini tengah berada di ruang dapur atau yang mereka sebut sebagai ruang praktik. Ruangan itu penuh dengan aroma tepung dan ragi, serta suara mixer dan oven yang menyala. Dinda yang tengah memanggang roti, mendadak terkejut saat pintu ruang praktik terbuka dengan tiba-tiba.Tampak sosok Bu Merry datang dengan mengenakan jas praktik putihnya yang khas. "Udah selesai Bu, meetingnya?" tanya Dinda sambil tetap fokus pada roti yang sedang dipanggangnya."Udah, tapi ada yang aneh sama Pak Will," jawab Bu Merry sambil mendekat ke oven untuk memeriksa roti yang sedang dipanggang Dinda.Anita yang tengah menguleni adonan di meja seberang mendengar pembicaraan itu dan segera berseru, "Ada Pak presdir juga?"Bu Merry mengangguk, "Iya donk, kan tadi Ibu abis meeting sama semua kepala divisi dan otomatis Pak Presdir juga ikut karena kita lagi bahas perihal penting."Dinda, Anita dan Rini mengangguk dengan mulut yang berbentuk o."Oh iya! Tadi Ibu bilang, ada yang aneh sama Pak W
Dinda menyeka air matanya yang terus mengalir, bahkan suara tangisannya pun semakin kencang dan menggema di dinding kamar kosnya. Di sisi lain, Santi duduk di sampingnya ikut prihatin melihat kondisi Dinda yang sedang patah hati itu, bahkan bekas tisu pun berhamburan memenuhi kotak sampah di bawah tempak tidurnya. "Udah Din, lo gak perlu nangisin si Randy lagi," ucap Santi dengan nada penuh empati. "Harusnya lo ngerasa beruntung karena gak jadi nikah sama si mokondo itu." Mendengar kata 'menikah', Dinda semakin terisak, rasa sakit hatinya semakin memuncak. "Iya San, tapi yang bikin nyesek itu, kenapa dia malah ngehamilin Shella, sahabat gue sendiri. Mana mereka nikah pakek duit tabungan gue sama Randy lagi," ratapnya. "Gue gak ikhlas!!" Santi mempererat genggamannya di tangan Dinda. "Udah, lebih baik lo dandan, terus lo pergi ke acara pernikahan mereka dan ancurin pestanya. Tunjukin kalo lo itu korban, dan mereka harus tau kalo pernikahan itu harusnya jadi milik lo dan kalo bi
Dinda menatap keluar jendela taksi, lamunannya terputus saat sopir taksi memanggilnya melalui kaca spion. "Maaf, Mbak. Kita mau ke mana? Kita udah jalan jauh dari gedung," tanya sopir itu dengan nada kebingungan.Dinda, dengan mata sembab, menyeka air matanya yang baru saja tumpah. "Kita ke Fantasy Club ya, Pak," jawab Dinda dengan suara serak.Sopir taksi itu mengangguk paham dan segera membelokkan mobil menuju ke arah yang dituju.Sementara itu, di ruangan yang mewah dengan dekorasi serba putih, Shella terbangun dari pingsannya.Dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya, ia pun kembali menangis tersedu-sedu. "Aku gak mau tahu! Pokoknya kamu harus kasih dia pelajaran," desak Shella pada Randy yang berdiri di sampingnya dengan wajah bimbang.Randy menghela napas, bingung dengan situasi yang menjerat mereka berdua, namun ia tahu ia harus melakukan sesuatu untuk menenangkan Shella. "I-iya Sayang, nanti kita kasih dia pelajaran ya, yang penting kamu tenang dulu."Bu Ani mengip
Dinda terbangun dengan suara dering yang memecah keheningan pagi. Dengan mata yang masih setengah tertutup, ia meraba-raba mencari sumber suara tersebut, sampai akhirnya ia mendapatkannya, dengan di layar ponselnya yang tertuliskan nama Santi. Sementara itu, Santi di ujung sana mulai kehilangan kesabaran, "Dinda kemana sih!? Kok gak diangkat-angkat?" Beberapa kali ia mencoba menghubungi Dinda. "Udah semalaman gak pulang-pulang, eh sekarang malah susah banget dihubungin."Saat Dinda hendak menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan, tiba-tiba saja ada gerakan yang tidak terduga melingkar di perutnya.Dengan refleks ia berbalik dan terkejut bukan kepalang. Di belakangnya, ada seorang pria asing yang memeluknya dari belakang dengan mata yang masih terlelap.Dinda terpaku, matanya membulat, bahkan ponselnya pun terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai dengan suara yang sedikit nyaring."J-jadi semalam itu bukan mimpi?" batin Dinda.Seketika sekelebat ingatan tentang aksi panas merek
Dinda, Anita, dan Rini tengah berada di ruang dapur atau yang mereka sebut sebagai ruang praktik. Ruangan itu penuh dengan aroma tepung dan ragi, serta suara mixer dan oven yang menyala. Dinda yang tengah memanggang roti, mendadak terkejut saat pintu ruang praktik terbuka dengan tiba-tiba.Tampak sosok Bu Merry datang dengan mengenakan jas praktik putihnya yang khas. "Udah selesai Bu, meetingnya?" tanya Dinda sambil tetap fokus pada roti yang sedang dipanggangnya."Udah, tapi ada yang aneh sama Pak Will," jawab Bu Merry sambil mendekat ke oven untuk memeriksa roti yang sedang dipanggang Dinda.Anita yang tengah menguleni adonan di meja seberang mendengar pembicaraan itu dan segera berseru, "Ada Pak presdir juga?"Bu Merry mengangguk, "Iya donk, kan tadi Ibu abis meeting sama semua kepala divisi dan otomatis Pak Presdir juga ikut karena kita lagi bahas perihal penting."Dinda, Anita dan Rini mengangguk dengan mulut yang berbentuk o."Oh iya! Tadi Ibu bilang, ada yang aneh sama Pak W
Dinda terengah-engah, detak jantungnya masih berdesir ketika ia duduk di kursinya dengan tergesa-gesa. Dengan mata yang masih memancarkan rasa terkejut, dia mencoba menormalkan napasnya. Anita, yang duduk di sebelahnya menoleh dengan kacamata yang ia angkat sedikit dari hidungnya. "Lo kenapa, Din? Kayak abis dikejar setan aja."Dinda mengatur nafasnya sekali lagi, dan menjawab, "Lebih dari itu, Nit." Anita mengerutkan keningnya, tidak mengerti maksud dari kata-kata Dinda. "Hah?" respons Anita, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.Dinda hanya menggeleng cepat. "Bukan apa-apa kok!" ucapnya, dengan cengiran.Tepat saat itu, Bu Merry, kepala divisi mereka datang dengan rambut bob hitamnya yang selalu terawat.Ia menghampiri keduanya dengan langkah yang ringan. "Pagi anak-anakku," sapa Bu Merry dengan suara ceria, yang kontras dengan suasana hati Dinda saat itu.Mendengar sapaan itu, Dinda dan Anita langsung menoleh. "Pagi Bu Merry," sahut mereka hampir bersamaan. Bu Merry k
William terbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamarnya yang temaram. Pikirannya melayang pada malam itu, sebuah malam yang tak bisa ia hapus dari memorinya. "Kenapa aku sama sekali tidak bisa mengingat wajahnya?" bisiknya pada diri sendiri, seraya tangannya menggenggam sebuah gelang wanita yang ia temukan di sisi tempat tidurnya pagi itu. Di tempat yang lain, dalam ruangan yang dipenuhi dengan tumpukan kertas dan buku, Dinda tampak gelisah sambil membuka laci meja kerjanya satu per satu dengan tergesa-gesa. Santi, yang sedari tadi memperhatikan tingkah Dinda, akhirnya tidak tahan untuk bertanya, "Lo cari apa sih, Din?" Dinda menoleh sejenak, "Gelang gue ilang, San. Lo liat gak?" Santi mendekat, ingin membantu, "Gelang yang lo beli di Singapura waktu itu, ya?" Dinda mengangguk, merasa semakin frustasi karena tidak bisa menemukan apa yang dicarinya. Seraya membantu Dinda, Santi pun kembalj bertanya, "Sekali lagi coba lo ingat-ingat, Din. Dimana terak
Dani melangkah lebar memasuki mansion megah milik William. Suasana mansion tampak tenang namun tetap terasa mewah dengan penerangan hangat dari lampu kristal yang menggantung di langit-langit. Dani mendekati seorang maid yang tampak sibuk dengan baki teh di tangannya. "Pak Will lagi di mana, Tik?" tanya Dani dengan nada yang bersahabat. Tika, yang kala itu membawa teko teh, menoleh dengan ekspresi terkejut sejenak sebelum menjawab, "Tuan Will sedang makan malam bersama Oma Tia dan Opa Anton, Pak." Dani mengangguk paham, "Oh, begitu." Sebelum Dani sempat bertanya lebih lanjut, Tika pun berpamitan padanya. "Maaf Pak, saya harus mengantarkan teh ini dulu untuk Oma." "Iya silahkan," balas Dani. Tak lama setelah Tika pergi, Ririn yang juga seorang maid, datang menghampirinya dengan langkah cepat. "Pak Dani, Tuan William meminta saya untuk menyampaikan pada Bapak, kalau Bapak disuruh menunggu di ruang kerja," ujar Ririn dengan sopan. Dani membalas dengan senyum singkat, "Terima k
Sesampainya di tempat kos, Dinda langsung membuka pintu kamar, membuat Santi yang tengah mengerjakan proposal langsung menoleh."Bagus ya... Dari semalam gue tungguin tapi gak balik-balik," omel Santi pada Dinda yang tengah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, dengan ekspresi yang kacau. "Mana telpon gue gak diangkat lagi."Dinda hanya diam, matanya menatap lurus ke arah langit-langit kamarnya."Lo kenapa sih, Din?" Bersamaan dengan itu Santi menghampirinya, berdiri dengan tangan yang menekuk di pinggangnya. "Balik-balik udah kayak kehilangan harga diri aja!"Detik kemudian Dinda menangis tersedu-sedu, "Huaaaaaaa....."Santi yang bingung langsung duduk di sisi ranjang, menyangka bahwa Dinda mungkin masih patah hati atas pengkhianatan Randy."E sorry, Din, gue gak ada maksud buat bentak lo." Santi menyentuh lengan Dinda.Kemudian Dinda mendudukkan dirinya, dan menatap Santi. "G-gue emang udah kehilangan harga diri, San."Kening Santi berkerut. "Maksud lo?"Di hotelWilliam terban
Dinda terbangun dengan suara dering yang memecah keheningan pagi. Dengan mata yang masih setengah tertutup, ia meraba-raba mencari sumber suara tersebut, sampai akhirnya ia mendapatkannya, dengan di layar ponselnya yang tertuliskan nama Santi. Sementara itu, Santi di ujung sana mulai kehilangan kesabaran, "Dinda kemana sih!? Kok gak diangkat-angkat?" Beberapa kali ia mencoba menghubungi Dinda. "Udah semalaman gak pulang-pulang, eh sekarang malah susah banget dihubungin."Saat Dinda hendak menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan, tiba-tiba saja ada gerakan yang tidak terduga melingkar di perutnya.Dengan refleks ia berbalik dan terkejut bukan kepalang. Di belakangnya, ada seorang pria asing yang memeluknya dari belakang dengan mata yang masih terlelap.Dinda terpaku, matanya membulat, bahkan ponselnya pun terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai dengan suara yang sedikit nyaring."J-jadi semalam itu bukan mimpi?" batin Dinda.Seketika sekelebat ingatan tentang aksi panas merek
Dinda menatap keluar jendela taksi, lamunannya terputus saat sopir taksi memanggilnya melalui kaca spion. "Maaf, Mbak. Kita mau ke mana? Kita udah jalan jauh dari gedung," tanya sopir itu dengan nada kebingungan.Dinda, dengan mata sembab, menyeka air matanya yang baru saja tumpah. "Kita ke Fantasy Club ya, Pak," jawab Dinda dengan suara serak.Sopir taksi itu mengangguk paham dan segera membelokkan mobil menuju ke arah yang dituju.Sementara itu, di ruangan yang mewah dengan dekorasi serba putih, Shella terbangun dari pingsannya.Dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya, ia pun kembali menangis tersedu-sedu. "Aku gak mau tahu! Pokoknya kamu harus kasih dia pelajaran," desak Shella pada Randy yang berdiri di sampingnya dengan wajah bimbang.Randy menghela napas, bingung dengan situasi yang menjerat mereka berdua, namun ia tahu ia harus melakukan sesuatu untuk menenangkan Shella. "I-iya Sayang, nanti kita kasih dia pelajaran ya, yang penting kamu tenang dulu."Bu Ani mengip
Dinda menyeka air matanya yang terus mengalir, bahkan suara tangisannya pun semakin kencang dan menggema di dinding kamar kosnya. Di sisi lain, Santi duduk di sampingnya ikut prihatin melihat kondisi Dinda yang sedang patah hati itu, bahkan bekas tisu pun berhamburan memenuhi kotak sampah di bawah tempak tidurnya. "Udah Din, lo gak perlu nangisin si Randy lagi," ucap Santi dengan nada penuh empati. "Harusnya lo ngerasa beruntung karena gak jadi nikah sama si mokondo itu." Mendengar kata 'menikah', Dinda semakin terisak, rasa sakit hatinya semakin memuncak. "Iya San, tapi yang bikin nyesek itu, kenapa dia malah ngehamilin Shella, sahabat gue sendiri. Mana mereka nikah pakek duit tabungan gue sama Randy lagi," ratapnya. "Gue gak ikhlas!!" Santi mempererat genggamannya di tangan Dinda. "Udah, lebih baik lo dandan, terus lo pergi ke acara pernikahan mereka dan ancurin pestanya. Tunjukin kalo lo itu korban, dan mereka harus tau kalo pernikahan itu harusnya jadi milik lo dan kalo bi