Bertemu dengan Lembayung Azura Arunika di masa muda membuat Ryu menjatuhkan hatinya. Azura memiliki magnet kuat yang mampu menarik jatuh kesombongan Ryu hingga ikrar setia itu terjaga begitu lama. Sepuluh tahun setelahnya, semua berubah dan berbeda. Azura bahkan tak lagi mengingat Ryu sebagai bagian dari kenangan masa mudanya. Sebuah peristiwa nahas dan penuh trauma membuat Azura kehilangan memorinya, termasuk lupa pada Ryu yang tetap setia. Demi menjaga Azura dari trauma, Ryu memilih menahan dirinya, berpura asing terhadap Azura sang personal assistant yang kini melengkapi posisinya sebagai General Manager di kebun kelapa sawit warisan keluarga. Ryu menunggu dengan segenap rindu, menanti Azura mengingat masa-masa itu. Lalu, menikah menjadi jalan yang Ryu pilih untuk membuat rasanya terbaca oleh Azura, sang cinta pertama. For more visual add In*ag*r*m ikarus_v
view more"Aku emang punya mimpi untuk bisa hidup normal sebelum memutuskan untuk memilih mati. Tapi mimpi seindah ini, apa boleh aku minta selamanya aja terjadi? Aku nggak boleh bangun kan?" gumam Rara. Ryu meraih jemari Rara, dibawanya agar bisa menyentuh pipinya. Senyum Ryu melebar, sebelah tangannya yang lain meraba kepala Rara, mengusapnya penuh cinta. "Apa kamu nggak bisa ngerasain kalau ini nyata? Aku nyata, Azura. Suamimu, Ryu Raiden Dhananjaya, orang yang selama 10 tahun belakangan ini cuma ngeliat ke kamu aja, cinta sama kamu," terang Ryu tak lagi memikirkan resiko akibat kalimatnya. Benar kata Luna, Rara masih tetap tenang, tidak histeris atau menolak fakta yang Ryu ungkapkan. Senyum Rara justru terkembang, ia sendiri yang menangkup kedua pipi Ryu tanpa ragu. "Kamu suamiku? Kenapa aku nggak punya ingatan sedikitpun tentang kamu kalau kamu emang nyata? Dari dunia mana kamu berasal? Dunia Rara yang berantakan?" desis Rara bingung, matanya berkaca-kaca. "Dari dunia Lembayung Azura
"Ini kemajuan, Ryu," ucap Luna tersenyum lega. "Tapi dia lupa semuanya tentang pernikahan kami, Mbak," tandas Ryu tak mengerti. Ditolehnya Rara yang tengah tertidur pulas, kelelahan. "Dia bisa nerima kenyataan yang kamu kasih tau, soal Bu Endah, soal status kamu, itu adalah momen baru yang jadi bukti kalau emosinya berkembang, dia membentuk pertahanan yang udah bagus banget. Kepingan kenangan yang dia blokir karena dia trauma, lama-lama bisa dia terima tanpa harus bikin pertahanan apa-apa," terang Luna. Ryu mengurut tengkuknya, sebenarnya ia tak berharap apapun lagi setelah tahu bahwa Rara justru melupakan seluruh kenangan mereka. Namun, jika bagi Rara melupakannya berarti sebuah kemajuan dari pertahanan dirinya, Ryu tidak punya pilihan kecuali menerimanya. Bukankah semua yang ia lakukan untuk sang istri adalah demi kesembuhan? "Mbak, dia bisa hidup normal lagi kan meski dia punya semua kenangan menyakitkan dan mengingatnya?" tanya Ryu. Luna mengangguk, "Rara bakalan lebih resist
"Aku nggak ngerti," lirih Rara, tatapannya nanar ke arah jalanan di luar sana di mana pintu utama memang sudah sengaja dibuka oleh Susi. "Aku nggak ngerti," ucapnya lagi, memegangi kepalanya. "Kepalaku sakit," rintihnya tiba-tiba menangis, kesulitan bernapas. Cepat-cepat Ryu membopong istrinya. Namun, bukannya dibawa masuk ke dalam kamar, Ryu justru membawa istrinya keluar rumah menuju dermaga kecil di dekat guest house. Beruntung ini adalah akhir pekan, tetangga sekitar banyak yang sudah turun ke Sampit sore kemarin. Jadi, suasana di sekitar rumah Ryu cukup sepi dan Rara tak mendapat banyak perhatian. Air danau yang sedikit surut juga membuat tak banyak pencari ikan mendatangi sekitar guest house. "Yang tenang ya, kamu nggak harus memaksa diri kamu, Azura," ucap Ryu menurunkan Rara di ujung dermaga. Ia ikut duduk di lantainya sambil memeluk sang istri. "Liat, duniamu luas Azura, kamu nggak boleh terjebak sama masa lalu gila yang nggak perlu kamu inget," ujarnya. Rara masih ber
"Pagi Pak!" sapa Rara ketika Ryu keluar dari kamar tamu, kamar yang sebelumnya ditempati oleh Rara. Ryu menggaruk kepalanya, masih berusaha menyadarkan dirinya. Hari masih gelap, Ryu bangun agak kesiangan karena semalam ia menunggui Rara terlelap hingga pukul 00.30. Rara tampak duduk di ruang tamu, senyumnya terkembang. "Pagi," jawab Ryu sekenanya. Ia meregangkan tubuhnya sambil menguap santai. "Pak?" teriaknya kaget tiba-tiba. "Barusan manggil aku apa? Pak?" ulangnya reflek berbalik ke arah Rara. Senyuman Rara masih terpatri, ia mengangguk, "Pak GM kan?" tebaknya. "Kamu inget?" Ryu langsung mendekat. "Kata Mbak Susi," jawab Rara. "Mbak Susi cerita tadi ke aku kalau Mas yang udah nolongin aku selama aku hancur sejauh ini. Aku juga ditampung di sini di saat Ayah nggak peduli," tambahnya. Ryu lemas seketika, "Kukira kamu inget," desahnya kecewa. "Makasih Pak GM, udah bantu aku buat bertahan sampe sekarang. Padahal ini bukan tanggung jawab perusahaan," ucap Rara sangat po
"Ayah ke mana?" tanya Rara tersadar. "Pak Darwis di Sampit, kamu lupa Ayah udah nikah lagi?" tanya Ryu balik, pelan-pelan menuntun ingatan Rara. Rara terpana, untuk beberapa saat ia terdiam sambil menutup mata. Tidak ada yang bisa ia ingat dari lelaki di depannya ini, tapi kenapa memori tentang ayahnya yang menikah lagi juga tidak ia temui? Meninggalnya sang bunda menjadi luka yang tak bisa Rara lupakan, dan kehadiran Bu Endah adalah luka lain baginya tapi masih bisa ia atasi. "Ayah nikah sama perempuan yang udah ngasih aku minuman aneh itu kan?" gumam Rara, tatapannya tampak kosong sekarang. "Kamu inget itu?" "Aku nggak bakalan lupa. Mas, kenapa dia beginiin aku? Kenapa dia jahat?" Ryu menghela napas sabar, ia raih jemari Rara dan digenggamnya jemari istrinya itu. "Aku boleh cerita?" tanya Ryu meminta ijin. "Boleh," jawab Rara lagi-lagi mengangguk. "Namanya Bu Endah, dulu satu SMA sama ayah kamu, mantan pacar lebih tepatnya," mulai Ryu hati-hati. Ia menghela napas sebentar,
Tiga hari lamanya, Ryu berperan sebagai orang asing untuk Rara. Praktis, selama 3 hari itu pula, Rara tidak bisa bekerja hingga Ryu terpaksa memberi istrinya cuti tahunan. Ryu juga meminta HRD untuk menugaskan Elok, personal assistant manajer operasional untuk menggantikan posisi Rara sementara. Kabar cepat merebak tapi Ryu tidak menganggapnya dan memilih fokus pada proses penyembuhan Rara. "Sudah makan, sudah mandi dan sepertinya, Mbak Rara suasana hatinya baik sekali hari ini, Pak," lapor Susi saat Ryu pulang dari GMO menjelang senja. "Dia nggak ngaco lagi kan Mbak ngomongnya?" tanya Ryu sambil melepas jasnya, ia langsung menuju ke kamar, melihat keadaan sang istri. "Enggak Pak, seperti kemarin, Mbak Rara udah nggak bilang mau mati lagi," jawab Susi. "Oke Mbak, biar saya yang temenin Rara. Mbak bisa bersih-bersih, kalau Mbak pengin mandi dan makan," ujar Ryu. Susi mengangguk, ia segera ke dapur meletakkan bekas piring yang tadi ia gunakan untuk membawakan Rara camilan, lal
"Mbak Rara sudah saya lap tubuhnya Pak, sudah tiduran dan sudah tidak menangis," lapor Susi sekembalinya Ryu dari pinggir danau. "Oke, makasih Mbak," jawab Ryu lega. "Saya masakin untuk makan malam ya Pak, seadanya bahan," ucap Susi lagi, meminta ijin. "Tadi saya minta Jaka belikan makanan untuk siang ini Mbak, sebelum masak, tolong suapin Rara dulu," pinta Ryu. "Oh, iya Pak, siap," Susi segera berbalik menuju dapur. Ryu mengekor Susi yang masuk ke kamarnya untuk menyuapi Rara. Ia sengaja menjaga jarak agar Rara tidak histeris melihatnya. Wajah Rara sudah lebih cerah, Susi sudah merapikan rambut dan mengganti pakaiannya. "Mbak Rara, makan dulu ya," bujuk Susi ceria. Rara spontan menggeleng, "Mau mati aja," katanya. "Heh, mau apapun itu, harus makan dulu, Mbak Susi bantu ya," kata Susi tak menyerah. Sorot mata Rara yang tadinya kosong menatap keluar jendela, akhirnya berpindah menatap pada Susi. Air matanya mengalir, tapi ia tidak meracau, hanya bibirnya saja yang bergetar me
"Kenapa kamu pengin mati?" Luna, dokter jiwa yang sejak bertahun-tahun lalu menangani Rara akhirnya didatangkan Ryu ke kebun. Mengingat kondisi Rara yang tidak mungkin untuk dibawa perjalanan jauh ke Sampit, Ryu meminta Jaka untuk menjemput Luna. Rara masih mengisolasi diri dan tak mau didekati lelaki, ia melempar apapun yang bisa dijangkaunya untuk menghalau Ryu saat berusaha mendekat. Baru ketika Luna datang, Rara menjadi lebih tenang. "Mau mati," jawab Rara lirih, pandangannya kosong, penampilannya sangat berantakan. "Kamu takut hidup sendiri ya?" tebak Luna berusaha untuk bertanya dengan santai. "Aku nggak mau hamil, nggak mau hidup, nggak mau semuanya," ucap Rara. "Tapi ada yang pengin kamu tetep hidup dan ada di sisinya," Luna menghela napas panjang. "Coba kamu inget Ra, ada seseorang yang sangat bisa kamu andalkan, sangat mencintai kamu. Ada nggak di ingatanmu tentang orang itu?" pancingnya. "Nggak! Dia nggak boleh tau! Dia nggak boleh liat aku begini. Aku kotor, menjiji
"Bundaaa," rintih Rara tak berdaya. Saat ia membuka mata, tubuhnya diseret begitu saja melewati semak, meski tak kuat, ia masih memiliki keinginan untuk melawan. "Pukul aja kepalanya!" perintah sebuah suara lain yang baru saja datang. Perlahan Rara mencoba membuka matanya, seragamnya sudah compang-camping sobek, roknya susah tersingkap. Saat itulah ia juga sadar bahwa ada 5 orang lelaki di sekitarnya, mengerubunginya. Satu orang sudah berlutut di depan Rara, siap menindih Rara yang setengah sadar. Air mata Rara mengalir, suaranya sudah tenggelam dalam rasa nelangsa yang tanpa akhir. Pening di kepalanya semakin terasa saat ia mendengar tawa dan obrolan vulgar orang-orang yang merudapaksanya. Tak ada lagi kekuatan Rara untuk sekadar membuka mata, tubuhnya digerayangi pun Rara seperti mati rasa. Kepalanya lalu dihantam sebuah benda keras, kesadaran Rara menghilang. *** "Bunda!" seru Rara seketika bangun dari posisi tidurnya dengan mata nyalang ketakutan. "Azura," panggil Ryu
Mewarisi perusahaan yang dikelola oleh keluarga besar Dhanapati, Ryu Raiden Dhananjaya harus berakhir di dalam perkebunan sawit rimbun Kalimantan Tengah yang jauh dari keramaian dua bulan belakangan ini. Bagaimanapun, ia sulung dari pasangan Gentala Rainer Dhanapati, pengusaha perkebunan kelapa sawit tersohor dan Mika Hayu Lyana Indrajaya—pewaris perusahaan rokok terbesar di Jawa. Jadi, mau tidak mau, Ryu harus rela melanjutkan bisnis keluarga demi membuktikan kualitas dan kemampuannya dan hidup menepi dari hiruk-pikuk perkotaan. "AZURA!!" Satu detik. Dua detik. Tiga detik. "AZURA!!" "Inggih Bapak (Banjar: Iya, Bapak), maaf Pak, saya baru kembali dari kantin," ucap Rara, begitu Lembayung Azura Arunika akrab dipanggil. Ia menyembulkan kepalanya di pintu ruangan sang bos, tersenyum cantik. "Ngapain di kantin?" tanya Ryu, lelaki berparas rupawan dengan perangai 'buta hejo' kata para karyawannya ini. "Maaf, ini jam makan siang kan Pak?" Rara meringis polos. "Sejak kapan kamu ...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments