Zaina, seorang gadis yang baru saja kehilangan tantenya, dipaksa masuk pesantren untuk bekerja sebagai mbak dapur demi melindungi diri dari ancaman suami tantenya. Zaina terpaksa menikah dengan anak pertama kyai, karena kesalahpahaman. Mereka berdua harus saling beradaptasi, menghadapi gosip, dan mencari jalan menuju kebahagiaan meski penuh konflik.
view morePagi itu, udara terasa segar dan langit tampak cerah. Zaina duduk di kursi penumpang, tangannya menggenggam tangan Arkana erat. Wajahnya sedikit tegang, tapi senyumnya tetap terukir. Hari ini, mereka akan memeriksakan kandungan untuk pertama kalinya setelah dua garis merah di test pack itu muncul. “Deg-degan nggak?” tanya Arkana sambil melirik istrinya sejenak, sebelum kembali fokus pada jalanan. “Deg-degan banget,” Zaina mengangguk pelan. “Kamu?” “Lebih. Rasanya kayak mau ketemu seseorang yang belum pernah kita lihat, tapi udah kita sayang dari awal,” gumam Arkana pelan, membuat Zaina menoleh dan tersenyum kecil. Sesampainya di rumah sakit, mereka disambut oleh resepsionis dan diarahkan menuju ruang pemeriksaan kandungan. Setelah menunggu beberapa saat, nama Zaina dipanggil. Arkana menggenggam tangannya, menguatkan. “Assalamualaikum, silakan duduk, Bu Zaina,” sapa dokter wanita dengan ramah, mengenakan kerudung biru muda dan senyum yang hangat. “Bapak juga boleh ikut dudu
Setelah salat Maghrib berjamaah, Zaina duduk tenang di sisi ranjang, matanya tak henti memandangi sosok suaminya yang sedang khusyuk membaca Al-Qur’an. Senyuman tak pernah lepas dari wajahnya malam itu ada rasa hangat yang tak bisa dijelaskan. Arkana, yang menyadari tatapan Zaina sejak tadi, menghentikan bacaannya dan menoleh pelan. “Ih, kamu kenapa senyum-senyum terus gitu?” tanyanya heran sambil menutup mushaf. Zaina menggeleng, senyumnya makin mengembang. “Aku punya hadiah kecil buat kamu, Mas.” Arkana mengangkat alis, penasaran. “Apa tuh?” Zaina tak langsung menjawab. Ia menyibakkan mukenahnya, berdiri, lalu mengambil sebuah kotak kecil berwarna biru dari atas lemari. Arkana hanya diam, memperhatikan gerak-gerik istrinya dengan penuh rasa ingin tahu. Begitu duduk kembali di ranjang, Zaina menatapnya sambil menggoyang-goyangkan kotak itu. “Tebak ini apa?” katanya menggoda. Arkana menyipitkan mata, mencoba menebak. “Hmm, dari bentuknya sih jam tangan ya?” Zaina menggele
Kalimat Zaina terputus ketika bibir Arkana mengecupnya cepat. Zaina membelalak, kaget, pipinya langsung memerah. Arkana hanya tersenyum lalu berbisik di dekat telinganya. "Sudah aku bilang, yang aku cintai cuma satu—istriku, Zaina Qiana Farahah." Kali ini, ciumannya tidak lagi singkat. Arkana mencium Zaina dengan lembut, penuh rasa. Zaina sempat tertegun, namun perlahan mulai membalas dengan perasaan yang sama. Mereka tenggelam dalam keheningan malam, hanya suara napas yang tersisa. Beberapa menit berlalu, Arkana menyentuh pipi Zaina dengan jemari lembutnya. "Sayang, kalau malam ini aku ingin kamu… kamu nggak masalah?" tanyanya pelan, penuh rasa hormat dan kasih. Zaina menunduk malu, lalu mengangguk kecil. Senyum Arkana mengembang. Ia bangkit, lalu mengangkat Zaina dalam pelukannya, menggendong nya ala bridal style seolah membawa harta paling berharga dalam hidupnya. "Aku gak pandai ngomong manis, tapi satu yang pasti aku cinta kamu, dan itu nggak akan berubah," bisiknya
Arkana memperhatikan gerak-gerik istrinya dengan seksama. Sejak kehadiran Syifa di rumah, Zaina berubah. Ia lebih banyak diam dan menjaga jarak. Biasanya, Zaina selalu duduk di samping Arkana saat makan malam, namun malam ini ia memilih duduk di seberang meja. Di sisi Arkana kini duduk Syifa, dengan senyum tak lepas dari wajahnya. "Gimana, Umi? Enak, kan, nasi goreng buatan Syifa?" tanya Syifa ceria sambil menyuapkan sendok ke mulutnya. Khadijah mengangguk sambil tersenyum. "Enak banget. Bumbunya pas, Syifa memang jago masak." Di sisi lain, Arkana hanya makan nasi putih dan ayam goreng buatan Zaina. Namun tanpa diminta, Syifa menggantikan makanannya dengan sepiring nasi goreng kecap lengkap dengan ayam suwir, telur, kacang polong, dan sawi. "Makan ini aja, Mas. Kalau cuma nasi putih sama ayam, kurang gizi," ucapnya sambil tertawa kecil, namun ucapannya terdengar seperti sindiran. Zaina hanya melirik sekilas, bola matanya bergerak tanpa ekspresi. Ia tidak mengatakan apa pun
Di teras rumah yang masih diselimuti udara pagi, Zaina berdiri dengan tatapan penuh perhatian, mengiringi kepergian suaminya. Arkana tengah bersiap untuk berangkat bekerja. "Hati-hati di jalan ya, Mas," ujar Zaina lembut. Arkana menoleh dan tersenyum sebelum Zaina mencium punggung tangannya dengan penuh hormat. Begitu Zaina selesai, gantian Arkana yang mencium tangan istrinya berkali-kali, seakan tak ingin melepaskannya begitu saja. Sebagai penutup, ia mengecup lembut kepala Zaina yang berbalut hijab. "Kamu juga hati-hati di rumah, ya. Kalau merasa nggak enak badan, jangan dulu sentuh pekerjaan rumah," pesan Arkana. Zaina terkekeh kecil. "Aku sudah sehat banget, kok, Mas. Lagipula, nggak enak juga kalau terus bergantung sama Umi." Arkana mengangkat alisnya. "Ingat, ya. Bukan cuma Umi yang ngerjain pekerjaan rumah, suami kamu ini juga ikut turun tangan, loh," ujarnya menegaskan. Zaina tersenyum, mengangguk. "Iya, iya, Mas. Sekarang berangkat, nanti malah keburu siang." Arkana me
Setelah empat hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Zaina diperbolehkan pulang. Sejak kemarin, Khadijah memilih menginap di rumah sakit demi menjaga anak dan menantunya, memastikan Zaina mendapatkan perawatan terbaik. Arkana dengan penuh perhatian menuntun Zaina menuju ranjang mereka, menggenggam tangannya seakan takut jika istrinya kehilangan keseimbangan. Padahal, jika dipikirkan, Zaina masih bisa berjalan seperti biasa. Hanya saja, Arkana terlalu protektif, terlalu takut jika sesuatu yang buruk terjadi lagi. "Hati-hati, Sayang." ujarnya lembut saat Zaina telah duduk di tepi ranjang. Zaina menatap suaminya dengan tatapan geli. "Mas, aku bisa sendiri kok." Arkana tidak menjawab. Ia hanya diam, tetap menatap Zaina dengan ekspresi yang sulit dijelaskan ada ketakutan, ada kekhawatiran, ada juga rasa bersalah yang mendalam. Zaina mendesah pelan, lalu bertanya, "Umi di mana, Mas?" "Tadi umi ke belakang, mau cuci baju kotor kamu," jawab Arkana santai sambil mulai mengeluarkan b
"Tapi Zaina nggak apa-apa kan, Mas?" tanyanya dengan nada khawatir. Arkana mengangguk pelan. "Alhamdulillah, Abi. kalau aku nggak cepat pulang kemarin, mungkin keadaannya bakal lebih buruk." Matanya kembali menatap wajah Zaina yang pucat. Sesak kembali menghantam dadanya. Namun, di seberang telepon, ekspresi Umi Khadijah berubah tegas. "Surya itu, dia sudah keterlaluan! Abi nggak akan pernah memaafkannya!" Arkana terdiam. Ia mengerti kemarahan itu, karena ia pun merasakan hal yang sama. "Abi sama Umi mau segera ke Bandung, Mas. Umi mu nggak bisa tenang kalau belum lihat Zaina dengan mata kepala sendiri," lanjutnya. "Besok Umi bisa langsung ke Bandung. Aku juga tetap di sini menemani Zaina," jawab Arkana. Ghifari menghela napas. "Ya sudah, kalau gitu Umi tutup dulu telponnya. Jagain Zaina baik-baik, Nak." "Iya, Abi." Panggilan pun berakhir. Arkana kembali menatap istrinya, menggenggam tangannya lebih erat. **** Sementara itu, di Surabaya, Ghifari baru saja sel
Arkana baru saja memarkirkan mobilnya di garasi ketika melihat pintu rumahnya terbuka. Keningnya berkerut. Ada yang tidak beres. Beberapa barang terlihat jatuh dari tempatnya, menambah firasat buruk yang mulai merayapi pikirannya. "Zaina?" panggilnya, namun tak ada jawaban. Langkahnya semakin cepat ketika suara istrinya terdengar dari dalam rumah. "Mas! Tolong!" Darah Arkana berdesir. Tanpa berpikir panjang, ia langsung berlari menaiki tangga menuju kamar mereka. "Zaina?! Kamu di mana?!" suaranya lantang, penuh kepanikan. Dari balik salah satu kamar, suara tangisan dan jeritan Zaina semakin jelas. Arkana mencoba membuka pintu, tapi terkunci dari dalam. Tanpa berpikir dua kali, ia mendobraknya dengan seluruh kekuatan yang dimiliki. Pintu terbanting terbuka, dan apa yang dilihatnya membuat darahnya mendidih. Di dalam kamar yang berantakan, seorang pria paruh baya menindih tubuh Zaina di atas tempat tidur. Tangannya mencengkeram erat pergelangan tangan perempuan itu, seme
Setelah malam yang indah bagi mereka, hubungan Arkana dan Zaina terasa semakin erat. Tidak ada lagi rasa canggung, hanya kenyamanan yang semakin kuat di antara mereka. Namun, siang ini mereka harus kembali ke Surabaya. Sebelum menuju bandara, Zaina mengajak Arkana mampir ke sebuah kafe milik Faris, teman lamanya. Arkana awalnya setuju, meski sebenarnya ia lebih memilih langsung ke bandara. Begitu mereka duduk, Zaina langsung menikmati kopinya. Matanya berbinar. "Masya Allah, kopinya enak banget! Ada aroma khas yang beda dari yang lain." Faris tersenyum bangga. "Nah, itu karena biji kopi yang aku pakai kualitasnya pilihan. Proses roasting-nya juga aku perhatiin banget. Ditambah lagi, teknik penyeduhannya beda dari yang lain." Zaina terlihat begitu tertarik, bertanya ini itu tentang kopi. Arkana hanya diam, matanya memperhatikan setiap ekspresi istrinya. Ada sedikit rasa tak nyaman di dadanya, apalagi saat melihat Zaina begitu menikmati percakapannya dengan Faris. Arkana m
Zaina Qiana Farahah, seorang gadis berusia 23 tahun yang telah kehilangan kedua orangtuanya sejak usia 12 tahun, ia tinggal bersama tantenya, Ani. Zaina membantu Ani mengelola usaha catering kecil, sekaligus bekerja sebagai barista di malam hari. Semua itu dilakukannya demi membantu biaya pengobatan Ani yang tengah berjuang melawan kanker hati. Setiap malam, setelah menyelesaikan pekerjaannya di catering, Zaina bersiap untuk pergi ke kafe tempatnya bekerja. "Mau berangkat, nduk?" Tanya Ani dengan suara lembut, menatap Zaina yang sedang menyusun tasnya. Zaina tersenyum tipis, meskipun ada lelah yang tergambar di matanya. "Tante hati-hati di rumah ya, nanti jam 10 Zaina pulang." Jawabnya, mencoba meyakinkan Ani, meski hati kecilnya tak tenang. "Ada yang lebih penting dari kerja, lho, nduk. Kamu pasti capek banget setelah bantuin pesanan nasi kotak hari ini." Ani menggenggam tangan Zaina, mencoba mengungkapkan rasa khawatirnya. Zaina menggelengkan kepala, duduk di meja makan d...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments