Share

Bab 5

Penulis: Narra Azahra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-03 16:57:05

"Motornya kenapa lagi, Gus?" tanya seorang pria dengan baju penuh noda oli.

Arkana tersenyum tipis. "Gak ada apa-apa. Saya cuma mampir, lihat-lihat bengkel kalian," jawabnya santai.

Gilang, mengangguk. "Oh, saya kira ada masalah. Alhamdulillah, bengkel lagi ramai gus, banyak servis hari ini."

"Baguslah, sukses terus buat kalian," ujar Arkana, tulus mendoakan.

"Semua ini juga berkat Gus Arkana," timpal Saka, salah satu mekanik lainnya.

Arkana menggeleng ringan. "Saya cuma perantara. Rezeki itu datangnya dari Allah. Selama kalian gak ninggalin ibadah, insyaAllah rezeki pasti selalu ada," ujarnya dengan nada lembut namun penuh keyakinan.

Kelima pria di bengkel itu menghentikan sejenak aktivitas mereka. Mereka tahu betul, tanpa Arkana, mungkin hidup mereka masih berantakan.

Dulu, mereka adalah anak punk yang hidup di jalanan, mengamen untuk bertahan hidup. Setiap kali bertemu Arkana di lampu merah, pria itu selalu mengingatkan mereka untuk sholat. Awalnya mereka kesal, menganggap Arkana hanya sok suci.

Namun, suatu hari, diam-diam mereka memutuskan sholat di masjid tempat Arkana biasa beribadah ketika sedang di luar rumah. Dari situlah titik balik kehidupan mereka dimulai. Arkana membimbing mereka hingga kini, bahkan mendirikan bengkel ini untuk mereka agar bisa hidup lebih baik.

Di tengah obrolan, Farel tiba-tiba membuka topik lain. "Azam tuh, Gus. Pacaran," katanya sambil tetap sibuk mengutak-atik mesin.

Azam, yang merasa namanya disebut, langsung menoleh. "Astaghfirullah, saya gak ngapa-ngapain, Gus! Saya cuma mau melamar, ya wajar kalau chat-an, kan?" kilahnya membela diri.

"Asal chat-nya gak berlebihan, ya gak masalah lah," sahut Boni, pemuda paling tampan di antara kelima dari mereka.

"Makin pinter aja si Boni," Arkana terkekeh.

"Eh, ngomong-ngomong, katanya Gus Arkana juga mau melamar seseorang?" tanya Boni, penasaran.

Arkana tersenyum tipis. "Doakan saja, insyaAllah secepatnya," jawabnya penuh makna.

Gilang menyipitkan mata. "Cintaku bersemi dengan ning yang merupakan saudaraku." Ujar Gilang, menggoda Arkana.

Sontak, tawa pecah di bengkel itu.

Arkana kemudian mengangkat sebuah kantong plastik dan meletakkannya di meja. "Ini saya bawakan nasi kotak buat kalian."

"MasyaAllah, Alhamdulillah! Gak usah repot-repot, Gus. Tapi kalau sudah dibawakan, ya saya terima dengan senang hati," ujar Farel, wajahnya berbinar.

"Giliran makanan aja gercep," sahut Gilang, meledek.

"Kayak kamu gak pernah aja," balas Farel cepat, membuat yang lain tertawa lagi.

Arkana hanya menggelengkan kepala, tersenyum melihat kebersamaan mereka. Ia lalu berpamitan. "Saya pulang dulu, ya. Assalamualaikum."

"Wa’alaikumussalam. Hati-hati, Gus!" jawab mereka serempak.

****

Zaina berjalan seorang diri di sepanjang trotoar, wajahnya masam. Ia tadi pergi ke pasar bersama Hana, tetapi saat izin ke toilet, Hana malah meninggalkannya begitu saja.

Lebih parahnya lagi, semua barang belanjaan ada di Hana, sementara Zaina tidak membawa uang sepeser pun.

"Tega sekali..." batinnya. Sejak awal, Zaina sudah tahu kalau Hana tidak menyukainya, tapi apakah harus sampai meninggalkannya seperti ini?

"Ya Allah, semoga ada keajaiban yang datang buat nyelamatin aku," gumamnya sambil terus melangkah.

Jarak antara pasar dan pesantren cukup jauh. Dengan gamis hitam dan kerudung coklat susu yang tertiup angin, Zaina melangkah tanpa tujuan, berharap ada seseorang yang mengenalnya dan bisa membantunya pulang.

Tiba-tiba, suara deru motor besar menghentikan langkahnya. Sebuah motor sport berwarna hitam berhenti tepat di sampingnya.

Zaina menoleh, sedikit waspada, tetapi saat pengemudi motor itu melepas helmnya, ia langsung mengenali wajah itu.

"Kayak pernah kenal..." batinnya sebelum akhirnya sadar.

"Gus Arkana?" serunya, terkejut sekaligus lega.

Arkana menatapnya dengan ekspresi datar. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga!" Zaina tersenyum lebar. "Saya tadi ke pasar sama Hana, tapi dia malah ninggalin saya sendirian."

Arkana menghela napas. "Kenapa gak naik angkot atau taksi?"

"Saya gak bawa uang, Gus."

Arkana menatapnya tajam. "Otak kamu isinya apa sih? Kan bisa bayar nanti setelah sampai pesantren."

Zaina terdiam sesaat. "Iya juga, ya... Kenapa saya gak kepikiran?"

Arkana hanya menggeleng, sementara Zaina tersenyum penuh harap. "Tapi sekarang ada Gus Arkana. Mau kan nebengin saya sekali aja? Gus bakal dapat pahala, loh!"

"Yang ada malah dosa, Zaina. Kamu bukan mahrom saya."

"Ya ampun, Gus. Kan bisa duduk agak ke belakang," protes Zaina.

Arkana melirik motornya sekilas. "Motor saya bukan buat boncengan jauh. Kalau naik ini, kamu harus pegangan ke saya."

Zaina menatap motor itu lebih teliti. Benar saja, motor besar dengan jok belakang yang tinggi itu memang tidak memungkinkan untuk duduk tanpa pegangan.

Arkana melanjutkan, "Kalau kamu jatuh, saya yang repot. Jadi lebih baik cari taksi aja."

Arkana menghela napas, lalu merogoh saku celananya. "Ambil ini, pakai buat bayar taksi."

Zaina menatap uang itu sejenak, lalu menggeleng. "Gak usah, Gus. Saya bayar setelah sampai aja." Suaranya terdengar agak kesal.

Tanpa menunggu tanggapan, Zaina bergegas mencari taksi. Tak butuh waktu lama, sebuah taksi berhenti di depannya. Sebelum masuk, ia sempat melirik Arkana sekilas.

"Assalamualaikum," ucapnya singkat, lalu menutup pintu taksi.

"Wa'alaikumussalam." Arkana hanya menggelengkan kepala, sedikit tersenyum. Sifatnya menggiatkan dengan adik perempuannya, setelah itu pria itu kembali mengenakan helm dan melajukan motornya.

****

Athar duduk berselonjor di sofa, matanya fokus menonton pertandingan sepak bola di televisi. Ia izin pulang ke ndalem hari ini karena merasa tidak enak badan. Di sampingnya, Umi Khadijah terlihat sibuk membaca novel islami.

"Umi, kapan Mbak Alana pulang?" tanya Athar tiba-tiba, memecah keheningan.

"Bulan depan, kayaknya," jawab Umi singkat, tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.

Athar mengangguk kecil, lalu kembali menonton.

Tak lama kemudian, Arkana keluar dari kamarnya. Begitu melihat adiknya masih duduk santai, ekspresinya langsung berubah.

"Athar, ngapain kamu di sini? Bukannya harusnya di asrama?" tegurnya dengan nada tegas.

Athar mendengus kesal. "Mas, aku lagi gak enak badan. Udah deh, jangan usir aku dulu."

Arkana mengerutkan dahi, jelas tidak percaya. "Alasan aja kamu. Pasti cuma mau nonton TV, kan?"

Athar melirik Arkana sekilas sebelum kembali fokus ke layar. "Umi, lihat deh. Mas Arkana nyebelin banget, selalu gak percaya sama aku," adunya dengan nada manja.

Arkana hanya menghela napas. "Jangan lembek, Athar. Kamu itu laki-laki," ujarnya.

Umi Khadijah yang sejak tadi mencoba menikmati novelnya kini melirik kedua anaknya bergantian. Tatapan tajamnya membuat mereka langsung diam.

Suasana kembali tenang. Arkana kini sibuk dengan ponselnya, sementara Athar masih asyik menonton televisi.

Tiba-tiba, Athar bersuara, "Umi, Mbak Zaina cantik ya."

Mendengar itu, baik Umi Khadijah maupun Arkana langsung menoleh ke arahnya.

"Kenapa, Nak? Kamu suka sama Zaina?" tanya Umi, sedikit penasaran.

Athar buru-buru menggeleng. "Nggak, Umi. Cuma bilang aja, emang bener Mbak Zaina cantik, kan?"

Umi Khadijah tersenyum kecil dan mengangguk. Memang benar, gadis itu memiliki wajah yang menawan kulitnya putih bersih, bibirnya merah alami, dan pipinya yang chubby membuatnya terlihat semakin manis.

"Gimana kalau kita jodohin Mas Arkana sama Mbak Zaina aja, Umi?" ujar Athar tiba-tiba, sambil nyengir jail.

Arkana yang sedang sibuk dengan ponselnya langsung menoleh tajam. "Enak aja kamu! Aku udah ada calon."

Umi Khadijah terkejut. "Siapa, Le?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 6

    Athar langsung tertawa penuh kemenangan. "Wah, Mas Arkana main rahasia-rahasiaan nih, Umi! Ayo telpon Abi! Pasti dari Jakarta langsung pesen tiket pulang kalau dengar ini." Umi ikut tersenyum geli. "Iya, sopo toh, Le? Umi penasaran." Arkana terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ning Syifa, Umi." **** "Za, tolong ambilin piring di gudang," perintah Hana dengan nada mendesak. Zaina yang sedang merapikan meja melirik tumpukan piring di atasnya. "Bukannya piringnya masih banyak? Lihat tuh," ujarnya heran. "Udah, cepetan! Keburu anak-anak datang semua," kata Hana, menyembunyikan senyum liciknya. Zaina mendengus kesal, tapi tetap menurut. Sementara itu, Hana memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan rencananya. Di dalam gudang, Zaina mengamati sekeliling, mencari piring yang disebut Hana. Namun, yang ada hanya karung beras, bahan baku dapur, dan beberapa peralatan lama. Sementara itu, Arkana masuk ke gudang, entah untuk mencari apa. Zaina yang masih sibuk mencari tida

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 7

    "Zaina ke mana yah?" gumam Yaya pelan, rasa khawatir semakin menjalari hatinya. Setelah sholat tahajud, Yaya langsung keluar kamar, menunggu Zaina yang entah pergi ke mana. Atau jangan-jangan… tadi malam dia tidak pulang ke kamar? Yaya benar-benar tidak tahu. Selepas makan malam, ia langsung tertidur. Namun, sebelum itu, ia sempat melihat Zaina berbicara dengan Hana. Pikirannya terus berputar hingga suara langkah kaki membuatnya menoleh. "Aya? Ngapain kamu di sini?" suara Aliyah terdengar pelan saat ia keluar dari kamar. "Mbak Al, Zaina gak ada," ujar Yaya panik. Aliyah berjalan mendekat, mencoba menenangkan. "Mungkin dia ke kamar mandi," tebaknya. Yaya menggeleng cepat, matanya masih menatap lorong pesantren yang sepi. "Dia gak pulang, Mbak, dari semalam." Aliyah mulai serius. "Kamu yakin?" Yaya mengangguk. "Kemarin aku masih lihat dia ngobrol sama Hana sebelum makan malam. Setelah itu, aku gak tahu. Aku langsung balik ke kamar dan ketiduran." Aliyah berpikir seje

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-10
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 8

    "Zaina pasti setuju." Suara berat itu membuat Arkana tersentak. Ia menoleh dan mendapati Kyai Ghifari sudah berdiri di ambang pintu dapur. Dengan langkah mantap, pria paruh baya itu berjalan menuju meja makan dan duduk di sana. "Apa salahnya jika kamu menikah dengannya? Dia gadis baik-baik," lanjut Kyai Ghifari. Umi Khadijah segera menyodorkan secangkir teh yang sedari tadi sudah disiapkannya. Ia lalu ikut duduk di sebelah suaminya, sementara Arkana tetap berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi penuh perlawanan. "Abi, kami tidak saling mencintai," ujar Arkana berusaha menekan emosinya. "Dia hanya membantu di pesantren Abi sementara Arkana di sini sebagai Gus. Apa Abi tidak berpikir bahwa ini akan menyulitkan kami berdua?" Kyai Ghifari menyesap tehnya dengan tenang, sebelum menatap putranya dengan penuh kewibawaan. "Semua manusia sama saja, Nak. Jika kalian tidak saling cinta, maka berusahalah. Cinta itu akan datang jika kalian membiasakan diri. Abi dan Umi dulu juga tidak s

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-12
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 9

    Pagi ini, kondisi Zaina sudah jauh lebih baik. Ia memutuskan kembali membantu di dapur seperti biasanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari berbagai hal yang menekan batinnya. "Caca, biar aku saja yang menghaluskan bumbu ini. Kamu bantu mereka, ya," ujar Zaina, melirik sekilas ke arah beberapa mbak dapur yang sedang berkumpul dengan Hana. Tatapan mereka begitu menusuk, penuh dengan sindiran yang jelas ditujukan padanya. Caca menatap Zaina ragu. "Mbak gak apa-apa? Ini banyak bumbu yang harus diulek. Mbak kan baru sembuh," ujarnya khawatir. Zaina mengangguk, tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja." Caca menyerah, lalu menyerahkan cobek ke Zaina sebelum akhirnya bergabung dengan Hana dan yang lainnya. Namun, baru saja ia mendekat, bisikan sinis mulai terdengar. "Kamu gak takut deket-deket sama dia?" ujar Firda dengan nada mengejek. "Udah deh, kalau kalian ghibah terus, masakannya gak selesai-selesai," sela Caca, mulai kesal dengan sikap mereka. Sejak tadi, mereka lebih sibuk

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 10

    Beberapa menit kemudian, Hana datang dengan wajah tak senang. "Kenapa kamu ngasih makanan lagi ke anak-anak? Tadi dia sudah makan. Ck, kalau gini yang lain gak kebagian dong," ujarnya dengan nada ketus. Zaina menghela napas, berusaha tetap sabar. "Cuman sedikit, Han. Lagian, ini juga masih banyak," jawabnya tenang. Hana mendengus. "Lain kali jangan kayak gitu. mentang-mentang mau menikah sama gus Arkana kamu jadi seenaknya," ujarnya sebelum pergi. Zaina hanya bisa beristighfar. Setelah memastikan semua santri sudah mendapat jatah sarapan, Zaina mulai membereskan baskom-baskom yang sudah kosong. Namun, tiba-tiba ia merasa seperti sedang diperhatikan. Ketika ia menoleh, matanya langsung bertemu dengan sosok yang berdiri tidak jauh darinya. Arkana. Sejak kejadian di gudang, ini pertama kalinya mereka bertemu langsung. Jantung Zaina berdetak lebih cepat. Ia merasa bersalah, pasti Arkana sangat marah padanya. Tatapan mereka bertahan lebih lama dari seharusnya, hingga akhirnya

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-16
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 11

    Setelah selesai merapikan tempat tidur, ia beralih ke almari, menata beberapa baju yang berantakan. Saat merapikan salah satu sudut, matanya menangkap sebuah bingkai foto. Foto keluarganya. Zaina tersenyum dan mengambilnya. Perlahan, ia melangkah ke jendela, membiarkan pandangannya menembus pemandangan malam yang tenang. Bulan bersinar begitu terang, meski hanya sedikit bintang yang menemani. Lagi-lagi, ia tersenyum saat angin malam menerpa wajahnya dengan lembut. "Itu pasti kalian, kan? Kalian menyapa Zaina," bisiknya, menatap foto dalam genggamannya. Tangannya mengelus pinggiran bingkai dengan hati-hati. "Zaina akan segera menikah. Pasti kalian kaget." Ia terkikik kecil. "Zaina juga kaget... ini tiba-tiba banget." Zaina menggigit bibirnya, menahan perasaan yang bercampur aduk di dadanya. "Zaina menikah sama Gus Arkana..." katanya pelan. Begitu kalimat itu meluncur dari bibirnya, perasaan hangat menjalar di dalam hatinya. Entah mengapa, menyebut nama pria itu sekarang t

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 12

    Arkana terdiam sejenak, mencerna kata-kata mereka. "That's an interesting perspective," gumamnya. Mr. Johnson tertawa kecil. "Well, saya sudah cukup tua untuk memahami hal itu." Percakapan mereka akhirnya kembali ke topik utama. Setelah beberapa pertimbangan akhir, Mr. Johnson akhirnya setuju untuk menyewa vila Arkana dalam jangka panjang. Sebuah kesepakatan besar yang akan semakin memperkuat reputasi bisnisnya. **** Senja di Bali selalu memberikan ketenangan. Langit yang mulai merona keemasan, debur ombak yang menyapa pasir putih, dan angin sepoi-sepoi yang membelai wajah. Arkana duduk sendiri di sudut sebuah kafe pinggir pantai, menyesap kopi hitam yang kini mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, membawanya ke berbagai ingatan yang tak bisa ia lepaskan begitu saja. Di hadapannya, sepasang suami istri lanjut usia tengah menikmati hidangan mereka. Arkana tidak sengaja memperhatikan mereka—betapa sederhana, tapi penuh makna cara mereka berinteraksi. Si wanita menyuapi

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 13

    Khadijah berjalan menuju almari kayu besar, tangannya sibuk mencari sesuatu di dalamnya. Sementara itu, Zaina duduk di tepi ranjang, bola matanya menelusuri setiap sudut kamar yang terasa begitu luas dan nyaman. "Nah, ini dia," ujar Khadijah setelah menemukan sesuatu. Wanita itu membawa sebuah kotak merah beludru dan duduk di samping Zaina. Dengan perlahan, ia membuka kotak itu, memperlihatkan isi di dalamnya. Zaina terpaku. Di dalam kotak itu terdapat satu set perhiasan emas sebuah kalung dengan ukiran halus, sepasang anting, sebuah gelang, dan sebuah cincin dengan permata kecil di tengahnya. Semuanya tampak begitu berharga. “Ini perhiasan turun-temurun dari keluarga kami,” ucap Khadijah dengan lembut. “Karena kamu adalah menantu pertama dalam keluarga ini, umi serahkan ini untukmu.” Zaina menelan ludah. Ia tidak menyangka akan menerima sesuatu yang begitu berharga. "Umi, ini terlalu banyak. Zaina merasa tidak pantas menyimpan perhiasan ini," ucapnya, menolak dengan sop

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-20

Bab terbaru

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 65

    Pagi itu, suasana rumah Abah Gusti masih lengang. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan cangkir teh di meja makan. Syifa tampak mondar-mandir di dapur, mencoba bersikap tenang. Tapi sejak beberapa hari ini, wajahnya selalu terlihat cemas. Matanya sembab, dan tubuhnya pun lebih lemah dari biasanya. Abah Gusti hendak ke kamar mandi, seperti biasa, tapi langkahnya terhenti di depan tempat cucian. Matanya menangkap sesuatu—bungkusan kecil putih dengan garis merah yang masih terlihat jelas. Ia memungutnya dengan tangan gemetar. Seketika dadanya bergemuruh. “Tespek.” Gusti berdiri di tempat, napasnya memburu. Ada dentuman kuat di dadanya antara amarah dan kecewa. Ia menggenggam alat itu dengan keras lalu berjalan ke arah dapur. “Syifa!” suaranya menggelegar. Syifa yang tengah menuang teh hampir menjatuhkan cangkir. Ia menoleh cepat. “Iya, Bah?” “Apa ini?” tanya Abah Gusti dingin, menunjukkan benda yang membuat tubuh Syifa langsung lemas. Syifa terdiam. Matanya mulai

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 64

    "Halo," ucapnya pelan, nyaris berbisik, seolah takut jika suaranya terlalu keras akan membuat semuanya runtuh. Di seberang, suara Arkana terdengar rendah dan hati-hati. "Kamu belum tidur?" "Belum, akhir-akhir ini agak susah tidur," jawab Syifa, mencoba terdengar biasa. Padahal dadanya sesak, dan matanya terasa panas. "Kamu baik-baik aja?" tanya Arkana lagi, kali ini terdengar lebih lembut atau mungkin cemas. Syifa menunduk. Ada jeda yang lama sebelum ia menjawab. "Masih berusaha buat baik-baik aja." Hening menyelinap di antara mereka. Lalu suara Arkana kembali terdengar, lebih pelan. "Kamu gak cerita ke siapa-siapa, kan?" "Belum," jawab Syifa cepat, seperti refleks. Ia menarik napas panjang, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. "Kalau aku cerita sekarang... aku takut semuanya jadi makin kacau." "Syifa." Arkana seperti menahan sesuatu di ujung suaranya. "Kamu gak bisa terus begini. Kamu gak harus hadapi semua sendiri." "Itu kenapa aku hubungin kamu waktu

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 63

    Arkana baru saja pulang. Jam menunjukkan pukul sebelas malam lebih. Ia melangkah pelan masuk kamar, dan mendapati Zaina sudah berbaring di ranjang tampak tertidur. Namun, ia tak benar-benar terlelap. Dengan gerakan hati-hati, Arkana meletakkan tas kecilnya di sofa, mengganti bajunya dengan pakaian rumah, lalu mengambil wudhu. Rasa lelah tampak membekas di wajahnya, tapi ada beban lain yang lebih besar yang ia bawa malam itu. Ia naik ke atas ranjang perlahan, berusaha agar tidak mengganggu Zaina. Ia menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, lalu menggenggam ponselnya jempolnya sibuk mengetik sesuatu. Matanya fokus, seperti sedang membalas chat seseorang yang penting. Zaina, yang sedari tadi hanya memejamkan mata, kini membalikkan tubuhnya perlahan, menatap suaminya. "Belum tidur?" tanya Arkana saat menyadari gerakan Zaina. Suaranya terdengar pelan. Zaina menggeleng. Ia lalu bangun perlahan, menopang tubuhnya yang kini terasa semakin berat karena usia kandungan yang sudah

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 62

    Langkah kaki Zaina melambat ketika keluar dari area kedatangan bandara. Perutnya yang membuncit membuatnya harus berhati-hati, namun bukan itu yang membuat gerakannya terasa berat. Matanya terus menatap dua orang di depannya suaminya dan Syifa. Dari tadi, Zaina tak mendengar satu pun suara tawa keluar dari mulut mereka. Tapi anehnya, kedekatan itu justru terasa lebih dalam daripada sekadar candaan atau gurauan. Mereka seperti dua orang yang menyimpan rahasia besar, saling paham dalam diam. Dan di tengah itu, Zaina merasa seperti bayangan, ada tapi tak dianggap. “Mas…” ucapnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Tangan Zaina terulur mengelus perutnya. Ia menunduk, mencoba menelan rasa perih yang mulai naik ke tenggorokan. Matanya basah, tapi ia cepat-cepat mengedip agar air mata itu tak jatuh. Tidak sekarang. Tidak di depan mereka. Setibanya di parkiran, Arkana hanya mengangguk ketika Zaina bilang ingin duduk di kursi belakang. Syifa juga tak menolak ketika duduk di sampin

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 61

    Zaina berjalan mondar-mandir di ruang tengah rumah mereka. Sesekali tangannya mengelus perut yang membuncit, mencoba menenangkan diri dengan merasakan gerakan kecil dari bayi di dalam sana. Tapi kegelisahannya tak kunjung reda. Sudah hampir dua jam sejak Arkana pamit untuk menemui Syifa, tapi hingga kini belum kembali. Ponselnya sempat beberapa kali dia cek, berharap ada pesan masuk atau panggilan. Namun tak ada. Saat mencoba menghubungi nomor suaminya, hanya suara operator yang menjawab. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.” Zaina menghela napas panjang, duduk perlahan di sofa sambil mengusap perutnya pelan. “Mas Arkana ke mana sih, nggak biasanya sampai selama ini. Aku tahu Syifa udah minta maaf dan sadar, tapi dia masih suka sama Mas Arkana. Jangan-jangan…” Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk yang mulai menumpuk di benaknya. “Mas, kamu tuh kenapa sih nggak kabarin? Apa aku salah udah izinin kamu ketemu Syifa?” gumamnya lirih, penuh k

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 60

    Hujan baru saja reda ketika mobil Arkana berhenti di depan rumah mereka. Udara malam terasa lembab, membawa bau tanah basah yang menyegarkan. Zaina turun lebih dulu, dibantu Arkana yang langsung membukakan pintu mobil. Ia menggandeng tangan istrinya masuk rumah, penuh hati-hati seperti membawa kaca yang mudah pecah. Zaina langsung menuju kamar dan mengganti bajunya dengan piyama bermotif bunga kecil, sementara Arkana menunaikan salat Isya’ sendirian. Suara lembut lantunannya mengisi ruangan, membuat hati Zaina yang sedang duduk di pinggir ranjang ikut tenang. Selesai mengucap salam, Arkana melipat sajadahnya, lalu mendekat ke ranjang. Ia tidak langsung naik, melainkan duduk bersila di lantai, menempelkan telinganya ke perut Zaina dengan senyum penuh harap. “Assalamu’alaikum, dedek,” bisiknya pelan, lalu mencium perut Zaina yang kini makin membuncit. “Malam ini, Abi mau cerita ya.” Zaina tertawa kecil, mengusap rambut Arkana yang menempel di perutnya. “Cerita apa, Abi?” Ark

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 59

    Zaina duduk di lantai ruang tamu, mengenakan daster longgar warna biru muda serta kerudung instan. Di pangkuannya, Zaina menguncir rambut Rara putri kecil Indah. Gadis kecil itu anteng sedang asyik memainkan boneka kecilnya. Tangannya yang mungil sesekali menarik mainan yang lain, sehingga membuat Zaina mendengus. karena Rara yang tiba-tiba bergerak membuat kunciran itu tidak rapih “Raraaa, pelan dong,” keluh Zaina sambil membenahi rambut Rara yang mulai berantakan. Indah muncul dari dapur membawa dua gelas teh hangat. Ia duduk di sebelah Zaina sambil mengamati tingkah putrinya yang semakin lengket sejak Zaina datang. "Gimana agak susah kan?" Tanya Indah. Zaina meringis, "Dikit mbak, tapi tadi Rara anteng kok. iya kan Ra?" Rara mengangguk seolah mengerti, masih dipangkuan Zaina. “Kayaknya Rara milih tantenya daripada mamanya sendiri deh,” celetuk Indah sambil menyodorkan teh. “Kalau Rara rambutnya aku kuncir selalu gak mau, Za.” Zaina tertawa kecil, menerima teh itu. “An

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 58

    Suara jarum jam berdetak pelan dan desau angin luar jendela yang menemani. Zaina mendadak bangun, matanya terbuka lebar, napasnya ngos-ngosan seolah baru lari jauh. Tangannya refleks memegangi perutnya yang mulai membulat. Hatinya sesak. Matanya berkaca. Arkana yang tidur di sebelahnya pelan-pelan membuka mata, merasa ada yang aneh. Ia menoleh, melihat istrinya duduk di ranjang sambil menunduk. “Sayang,” suaranya parau dan lembut, “kenapa?” Zaina tidak langsung menjawab. Bibirnya bergetar, jari-jarinya mengusap lembut perutnya yang hangat. Ia tahu Arkana pasti khawatir, tapi untuk beberapa detik, ia hanya diam. “Zaina,” ulang Arkana, kini duduk tegak dan meraih bahu Zaina pelan. “Kenapa? Kamu mimpi buruk?” Zaina mengangguk pelan. “Tapi aku gak mau kamu nanya-nanya tentang itu,” katanya lirih, nyaris seperti bisikan. “Aku takut, makin kepikiran.” Arkana menatapnya penuh tanya, tapi memilih diam. Ia tahu kapan harus mendesak dan kapan harus memberi ruang. Beberapa detik he

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 57

    “Usia kehamilan sudah memasuki trimester kedua. Artinya, Ibu akan mulai lebih sering merasa pergerakan janin ya. Dan mulai saat ini, konsumsi gizi makin harus dijaga. Oh ya, Bapak, kalau bisa Ibu diajak jalan pagi tiap hari, ya.” Arkana mengangguk mantap. “Siap, Bu. Nanti saya yang ngingetin.” Bu Hesti kemudian tersenyum tipis, lalu seperti teringat sesuatu, ia bertanya halus, “Ngomong-ngomong, selama hamil masih berhubungan suami istri kan ya, Bu Zaina?” Zaina langsung salah tingkah, pipinya memerah. Arkana pun tersedak pelan dan pura-pura batuk. “H-hehe iya, Bu,” jawab Zaina lirih. Bu Hesti tertawa kecil. “Tenang, itu wajar kok. Selama tidak ada keluhan seperti kontraksi, perdarahan, atau keluhan nyeri setelahnya, itu tidak masalah. Tapi tetap ya, semua harus atas kenyamanan ibu. Jangan dipaksa.” Zaina dan Arkana hanya saling lirik dengan canggung. Lalu keluar dari ruangan sambil menahan senyum malu. Di parkiran mobil, Zaina duduk dulu sebelum masuk ke dalam. Ia menata

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status