Share

Bab 4

Author: Narra Azahra
last update Last Updated: 2025-02-01 15:58:04

"Assalamualaikum, boleh Umi masuk?" tanya Umi Khadijah sambil mengetuk pintu kamar Arkana.

"Waalaikumsalam, boleh Umi," jawab Arkana. Ia segera berdiri dari kursinya dan melepas kacamata yang sedang dipakainya.

Umi Khadijah masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi tempat tidur Arkana. "Ada apa ya, Umi?" tanya Arkana sambil ikut duduk di sampingnya.

"Gak ada apa-apa, cuma Umi kok rasanya sudah lama banget gak denger curhatan kamu," ujar Umi Khadijah dengan nada lembut.

Arkana tersenyum kecil. "Mau curhat apa, Umi? Arkana gak ada masalah kok," balasnya santai.

"Jadi kalau ada masalah saja kamu baru mau cerita sama Umi?" Umi Khadijah berpura-pura cemberut, memasang wajah seolah kecewa.

Arkana terkekeh melihat tingkah Uminya. Meski sudah berumur, sikap Umi Khadijah sering mengingatkan Arkana pada anak-anak. Abi memang sering berkata kalau istrinya punya jiwa muda yang tak pernah pudar.

"Gimana villa kamu di Bali?" tanya Umi, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Alhamdulillah, Umi, sekarang lagi banyak yang menginap. Bahkan Arkana berencana membangun villa lagi di sana," jawab Arkana penuh semangat.

Umi Khadijah mengangguk. "Kalau kontrakan gimana?"

"Lagi sepi, Umi. Cuma ada lima anak saja yang sewa sekarang," jelas Arkana sambil menghela napas.

"Yang sabar, Le. Setidaknya villa kamu sedang berkembang pesat," ujar Umi Khadijah menenangkan.

Arkana mengangguk, kemudian keheningan sesaat menyelimuti mereka.

"Umi," panggil Arkana tiba-tiba.

"Hm?" sahut Umi Khadijah dengan deheman lembut, memberi tanda bahwa ia mendengar.

"Eh, gak jadi deh," Arkana mengalihkan topik dengan cepat. "Ning Syifa sudah lama ya gak ke sini," katanya sambil tersenyum tipis.

"Syifa kan lagi kuliah di Mesir, Le," jawab Umi Khadijah. "Kenapa tiba-tiba tanya Syifa?" tanyanya curiga, alisnya terangkat sedikit.

Arkana hanya menggeleng dan tersenyum, tidak menjawab.

Umi Khadijah menatapnya lebih lekat. "Kamu gak ada niatan nikah, Le? Umi pengen cepat-cepat punya cucu," ucapnya dengan nada manja seperti anak kecil yang sedang merengek meminta hadiah.

Arkana tertawa kecil, lalu menjawab, "Secepatnya, Umi. Kalau sudah waktunya, Arkana pasti langsung bawa calonnya ke depan Umi dan Abi."

Umi Khadijah tersenyum lega, meski dalam hatinya tetap berharap doa itu terkabul lebih cepat.

****

Pagi ini, Zaina mendapat tugas menyapu halaman rumah Pak Kyai. Sebelum mulai, ia terlebih dahulu memangkas beberapa daun kering dari tanaman di sekitarnya.

"Jadi ingat Bunda, dulu beliau suka sekali merawat tanaman seperti ini," gumamnya lirih, senyum tipis terukir di wajahnya.

Setelah memastikan semua daun kering sudah dipotong, matanya tanpa sengaja tertuju pada sebuah kolam kecil di sudut halaman.

"Eh, ternyata ada ikan di sini," ucapnya dengan mata berbinar, terpukau oleh kolam yang menyerupai air terjun mini, dihuni ikan koi berwarna-warni yang berenang lincah.

"Mbak Zaina," sapa sebuah suara yang familiar.

Zaina menoleh dan menemukan Athar berdiri tak jauh darinya. Ia tersenyum dan mengangguk ke arah pemuda itu.

"Dapat tugas piket di ndalem ya, Mbak?" tanya Athar sambil melangkah mendekat. Ia mengenakan sarung dan kopyah, khas santri yang tinggal di pondok.

"Iya, Gus. Tadi aku lagi potongin rumput, terus lihat kolam ini. Ternyata ada ikannya," jawab Zaina dengan nada antusias.

Athar ikut menatap kolam itu. "Oh, itu ikan peliharaan saya, Mbak," ujarnya bangga.

"Wah, kamu pandai merawat ikan, ya. Besar-besar sekali," puji Zaina tulus.

"Gus Athar ini mondok di sini juga?" tanyanya ingin tahu.

"Iya, Mbak. Aku tinggal di asrama laki-laki, tapi kadang kalau lagi iseng ya pulang ke rumah. Kebetulan ini hari Minggu," jawab Athar santai.

"Asyik banget, kalau bosan di asrama tinggal pulang ke rumah," canda Zaina.

Athar tertawa kecil. "Mbak Zaina belum tahu aja. Kalau aku pulang tanpa izin, bisa-bisa langsung diusir sama Mas Arkana, disuruh balik ke asrama lagi. Ini aja aku baru mau balik sebelum ketahuan," bisiknya sambil melirik ke arah rumah.

Namun, baru saja Athar mengucapkan itu, pintu rumah terbuka, dan Arkana keluar. Tatapannya langsung mengunci ke arah adik bungsunya dengan ekspresi tajam.

"Ingat, kamu itu santri. Punya gelar ‘Gus’ pula. Gak malu berduaan begini sama perempuan? Mana ghodul bashor yang diajarkan Abi?" sindir Arkana dingin.

Athar menghela napas panjang, sudah terbiasa dengan sikap kakaknya yang tegas. "Tuh kan, Mbak. Udah kuduga," bisiknya lagi, lalu menambahkan dengan suara lebih keras, "Tenang aja, Mas. Ini aku udah mau balik ke asrama."

"Tunggu apa lagi? Pergi sana," ujar Arkana tegas.

"Astaghfirullah, sabar banget aku ini," gumam Athar sebelum menoleh ke Zaina. "Mbak, aku ke asrama dulu, ya."

Zaina hanya mengangguk, menahan tawa melihat interaksi kakak beradik itu.

Setelah memastikan Athar benar-benar keluar dari gerbang rumah, Arkana menoleh sekilas ke arah Zaina.

"Kamu belum diajarkan cara memakai hijab yang benar, ya?" tanyanya tanpa menatapnya langsung.

"Iya, Gus?" Zaina sedikit bingung karena tidak mendengar dengan jelas.

"Hijabmu, turunkan. Jangan diikat seperti itu," ucapnya singkat, lalu tanpa menunggu respons, ia langsung berbalik dan masuk ke dalam rumah.

Zaina refleks menunduk, memperhatikan hijabnya yang memang sengaja ia selampirkan agar tidak mudah kotor.

"Hidup di pesantren ternyata segini ketatnya, ya," gumamnya sambil menarik napas panjang.

"

Related chapters

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   bab 5

    "Motornya kenapa lagi, Gus?" tanya seorang pria dengan baju penuh noda oli. Arkana tersenyum tipis. "Gak ada apa-apa. Saya cuma mampir, lihat-lihat bengkel kalian," jawabnya santai. Gilang, mengangguk. "Oh, saya kira ada masalah. Alhamdulillah, bengkel lagi ramai gus, banyak servis hari ini." "Baguslah, sukses terus buat kalian," ujar Arkana, tulus mendoakan. "Semua ini juga berkat Gus Arkana," timpal Saka, salah satu mekanik lainnya. Arkana menggeleng ringan. "Saya cuma perantara. Rezeki itu datangnya dari Allah. Selama kalian gak ninggalin ibadah, insyaAllah rezeki pasti selalu ada," ujarnya dengan nada lembut namun penuh keyakinan. Kelima pria di bengkel itu menghentikan sejenak aktivitas mereka. Mereka tahu betul, tanpa Arkana, mungkin hidup mereka masih berantakan. Dulu, mereka adalah anak punk yang hidup di jalanan, mengamen untuk bertahan hidup. Setiap kali bertemu Arkana di lampu merah, pria itu selalu mengingatkan mereka untuk sholat. Awalnya mereka kesal, menga

    Last Updated : 2025-02-03
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   bab 6

    Athar langsung tertawa penuh kemenangan. "Wah, Mas Arkana main rahasia-rahasiaan nih, Umi! Ayo telpon Abi! Pasti dari Yaman langsung pesen tiket pulang kalau dengar ini." Umi ikut tersenyum geli. "Iya, sopo toh, Le? Umi penasaran." Arkana terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ning Syifa, Umi." **** "Za, tolong ambilin piring di gudang," perintah Hana dengan nada mendesak. Zaina yang sedang merapikan meja melirik tumpukan piring di atasnya. "Bukannya piringnya masih banyak? Lihat tuh," ujarnya heran. "Udah, cepetan! Keburu anak-anak datang semua," kata Hana, menyembunyikan senyum liciknya. Zaina mendengus kesal, tapi tetap menurut. Sementara itu, Hana memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan rencananya. Di dalam gudang, Zaina mengamati sekeliling, mencari piring yang disebut Hana. Namun, yang ada hanya karung beras, bahan baku dapur, dan beberapa peralatan lama. Sementara itu, Arkana masuk ke gudang, entah untuk mencari apa. Zaina yang masih sibuk mencari tidak

    Last Updated : 2025-02-03
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 1: Kehilangan

    Zaina Qiana Farahah, seorang gadis berusia 23 tahun yang telah kehilangan kedua orangtuanya sejak usia 12 tahun, ia tinggal bersama tantenya, Ani. Zaina membantu Ani mengelola usaha catering kecil, sekaligus bekerja sebagai barista di malam hari. Semua itu dilakukannya demi membantu biaya pengobatan Ani yang tengah berjuang melawan kanker hati. Setiap malam, setelah menyelesaikan pekerjaannya di catering, Zaina bersiap untuk pergi ke kafe tempatnya bekerja. "Mau berangkat, nduk?" Tanya Ani dengan suara lembut, menatap Zaina yang sedang menyusun tasnya. Zaina tersenyum tipis, meskipun ada lelah yang tergambar di matanya. "Tante hati-hati di rumah ya, nanti jam 10 Zaina pulang." Jawabnya, mencoba meyakinkan Ani, meski hati kecilnya tak tenang. "Ada yang lebih penting dari kerja, lho, nduk. Kamu pasti capek banget setelah bantuin pesanan nasi kotak hari ini." Ani menggenggam tangan Zaina, mencoba mengungkapkan rasa khawatirnya. Zaina menggelengkan kepala, duduk di meja makan d

    Last Updated : 2025-01-20
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 2: Pertemuan

    Di halaman pesantren, Zaina kini berdiri dengan gamis abu-abu yang menjuntai rapi, dilengkapi hijab segi empat yang menutupi mahkotanya. Di tangannya tergenggam sebuah koper dan tas ransel besar. Rasa gugup menyelimuti dirinya, membayangkan bagaimana cara menjelaskan bahwa ia tiba-tiba saja datang untuk menjadi bagian dari mbak dapur di pesantren ini. Langkahnya perlahan menapaki halaman, matanya menangkap pemandangan santriwan dan santriwati yang sibuk berlalu-lalang. Beberapa di antara mereka berhenti sejenak, menatap Zaina penuh rasa penasaran. "Santriwati baru, ya?" bisik seorang santriwati yang sedang menyapu halaman asrama. Teman-temannya mendekat, ikut mengamati. "Kayaknya sih. Aduh, cantik banget lagi," ujar salah satu dari mereka. Ketika melewati mereka, Zaina menyunggingkan senyum sopan. "Maaf, bolehkah saya minta tolong diantar ke rumah ndalem?" tanyanya lembut meskipun tahu lawan bicaranya mungkin lebih muda. Ketiga santriwati itu saling pandang, lalu mengangguk

    Last Updated : 2025-01-21
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 3

    Setelah sholat subuh, para mbak ndalem yang bertugas di dapur segera sibuk memasak. Zaina kebagian tugas menyiapkan ayam bumbu bali dan tempe kering. Meski baru beberapa hari tinggal di pesantren, Zaina sudah menunjukkan kemampuan memasaknya yang luar biasa—tak mengherankan, karena sejak remaja ia sering membantu Tante Ani di dapur. Waktu terus berjalan, kini jam menunjukkan pukul enam pagi. Aroma harum dari masakan memenuhi dapur. "Hm, bumbu balinya wangi banget," komentar Aliyah sambil menghirup aroma dari wajan. "Jadi inget masakannya mbak Ani," tambah Aliyah, senyumnya penuh nostalgia. Zaina tersenyum kecil, merasa tersentuh dengan pujian itu. "Awalnya aku kira kamu gak bisa masak, Zaina. Eh, ternyata jago banget!" ujar Yaya, sambil mengacungkan jempol. Zaina terkekeh pelan. "Setelah tante keluar dari pesantren ini, beliau buka usaha katering. Mau gak mau aku harus bantuin. Dari situ deh aku belajar masak." Semua yang ada di dapur mengangguk paham. Di sudut lain, H

    Last Updated : 2025-01-30

Latest chapter

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   bab 6

    Athar langsung tertawa penuh kemenangan. "Wah, Mas Arkana main rahasia-rahasiaan nih, Umi! Ayo telpon Abi! Pasti dari Yaman langsung pesen tiket pulang kalau dengar ini." Umi ikut tersenyum geli. "Iya, sopo toh, Le? Umi penasaran." Arkana terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ning Syifa, Umi." **** "Za, tolong ambilin piring di gudang," perintah Hana dengan nada mendesak. Zaina yang sedang merapikan meja melirik tumpukan piring di atasnya. "Bukannya piringnya masih banyak? Lihat tuh," ujarnya heran. "Udah, cepetan! Keburu anak-anak datang semua," kata Hana, menyembunyikan senyum liciknya. Zaina mendengus kesal, tapi tetap menurut. Sementara itu, Hana memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan rencananya. Di dalam gudang, Zaina mengamati sekeliling, mencari piring yang disebut Hana. Namun, yang ada hanya karung beras, bahan baku dapur, dan beberapa peralatan lama. Sementara itu, Arkana masuk ke gudang, entah untuk mencari apa. Zaina yang masih sibuk mencari tidak

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   bab 5

    "Motornya kenapa lagi, Gus?" tanya seorang pria dengan baju penuh noda oli. Arkana tersenyum tipis. "Gak ada apa-apa. Saya cuma mampir, lihat-lihat bengkel kalian," jawabnya santai. Gilang, mengangguk. "Oh, saya kira ada masalah. Alhamdulillah, bengkel lagi ramai gus, banyak servis hari ini." "Baguslah, sukses terus buat kalian," ujar Arkana, tulus mendoakan. "Semua ini juga berkat Gus Arkana," timpal Saka, salah satu mekanik lainnya. Arkana menggeleng ringan. "Saya cuma perantara. Rezeki itu datangnya dari Allah. Selama kalian gak ninggalin ibadah, insyaAllah rezeki pasti selalu ada," ujarnya dengan nada lembut namun penuh keyakinan. Kelima pria di bengkel itu menghentikan sejenak aktivitas mereka. Mereka tahu betul, tanpa Arkana, mungkin hidup mereka masih berantakan. Dulu, mereka adalah anak punk yang hidup di jalanan, mengamen untuk bertahan hidup. Setiap kali bertemu Arkana di lampu merah, pria itu selalu mengingatkan mereka untuk sholat. Awalnya mereka kesal, menga

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 4

    "Assalamualaikum, boleh Umi masuk?" tanya Umi Khadijah sambil mengetuk pintu kamar Arkana. "Waalaikumsalam, boleh Umi," jawab Arkana. Ia segera berdiri dari kursinya dan melepas kacamata yang sedang dipakainya. Umi Khadijah masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi tempat tidur Arkana. "Ada apa ya, Umi?" tanya Arkana sambil ikut duduk di sampingnya. "Gak ada apa-apa, cuma Umi kok rasanya sudah lama banget gak denger curhatan kamu," ujar Umi Khadijah dengan nada lembut. Arkana tersenyum kecil. "Mau curhat apa, Umi? Arkana gak ada masalah kok," balasnya santai. "Jadi kalau ada masalah saja kamu baru mau cerita sama Umi?" Umi Khadijah berpura-pura cemberut, memasang wajah seolah kecewa. Arkana terkekeh melihat tingkah Uminya. Meski sudah berumur, sikap Umi Khadijah sering mengingatkan Arkana pada anak-anak. Abi memang sering berkata kalau istrinya punya jiwa muda yang tak pernah pudar. "Gimana villa kamu di Bali?" tanya Umi, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Alhamdulillah,

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 3

    Setelah sholat subuh, para mbak ndalem yang bertugas di dapur segera sibuk memasak. Zaina kebagian tugas menyiapkan ayam bumbu bali dan tempe kering. Meski baru beberapa hari tinggal di pesantren, Zaina sudah menunjukkan kemampuan memasaknya yang luar biasa—tak mengherankan, karena sejak remaja ia sering membantu Tante Ani di dapur. Waktu terus berjalan, kini jam menunjukkan pukul enam pagi. Aroma harum dari masakan memenuhi dapur. "Hm, bumbu balinya wangi banget," komentar Aliyah sambil menghirup aroma dari wajan. "Jadi inget masakannya mbak Ani," tambah Aliyah, senyumnya penuh nostalgia. Zaina tersenyum kecil, merasa tersentuh dengan pujian itu. "Awalnya aku kira kamu gak bisa masak, Zaina. Eh, ternyata jago banget!" ujar Yaya, sambil mengacungkan jempol. Zaina terkekeh pelan. "Setelah tante keluar dari pesantren ini, beliau buka usaha katering. Mau gak mau aku harus bantuin. Dari situ deh aku belajar masak." Semua yang ada di dapur mengangguk paham. Di sudut lain, H

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 2: Pertemuan

    Di halaman pesantren, Zaina kini berdiri dengan gamis abu-abu yang menjuntai rapi, dilengkapi hijab segi empat yang menutupi mahkotanya. Di tangannya tergenggam sebuah koper dan tas ransel besar. Rasa gugup menyelimuti dirinya, membayangkan bagaimana cara menjelaskan bahwa ia tiba-tiba saja datang untuk menjadi bagian dari mbak dapur di pesantren ini. Langkahnya perlahan menapaki halaman, matanya menangkap pemandangan santriwan dan santriwati yang sibuk berlalu-lalang. Beberapa di antara mereka berhenti sejenak, menatap Zaina penuh rasa penasaran. "Santriwati baru, ya?" bisik seorang santriwati yang sedang menyapu halaman asrama. Teman-temannya mendekat, ikut mengamati. "Kayaknya sih. Aduh, cantik banget lagi," ujar salah satu dari mereka. Ketika melewati mereka, Zaina menyunggingkan senyum sopan. "Maaf, bolehkah saya minta tolong diantar ke rumah ndalem?" tanyanya lembut meskipun tahu lawan bicaranya mungkin lebih muda. Ketiga santriwati itu saling pandang, lalu mengangguk

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 1: Kehilangan

    Zaina Qiana Farahah, seorang gadis berusia 23 tahun yang telah kehilangan kedua orangtuanya sejak usia 12 tahun, ia tinggal bersama tantenya, Ani. Zaina membantu Ani mengelola usaha catering kecil, sekaligus bekerja sebagai barista di malam hari. Semua itu dilakukannya demi membantu biaya pengobatan Ani yang tengah berjuang melawan kanker hati. Setiap malam, setelah menyelesaikan pekerjaannya di catering, Zaina bersiap untuk pergi ke kafe tempatnya bekerja. "Mau berangkat, nduk?" Tanya Ani dengan suara lembut, menatap Zaina yang sedang menyusun tasnya. Zaina tersenyum tipis, meskipun ada lelah yang tergambar di matanya. "Tante hati-hati di rumah ya, nanti jam 10 Zaina pulang." Jawabnya, mencoba meyakinkan Ani, meski hati kecilnya tak tenang. "Ada yang lebih penting dari kerja, lho, nduk. Kamu pasti capek banget setelah bantuin pesanan nasi kotak hari ini." Ani menggenggam tangan Zaina, mencoba mengungkapkan rasa khawatirnya. Zaina menggelengkan kepala, duduk di meja makan d

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status