Share

Bab 3

Penulis: Narra Azahra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-30 16:34:17

Setelah sholat subuh, para mbak ndalem yang bertugas di dapur segera sibuk memasak. Zaina kebagian tugas menyiapkan ayam bumbu bali dan tempe kering. Meski baru beberapa hari tinggal di pesantren, Zaina sudah menunjukkan kemampuan memasaknya yang luar biasa—tak mengherankan, karena sejak remaja ia sering membantu Tante Ani di dapur.

Waktu terus berjalan, kini jam menunjukkan pukul enam pagi. Aroma harum dari masakan memenuhi dapur.

"Hm, bumbu balinya wangi banget," komentar Aliyah sambil menghirup aroma dari wajan.

"Jadi inget masakannya mbak Ani," tambah Aliyah, senyumnya penuh nostalgia.

Zaina tersenyum kecil, merasa tersentuh dengan pujian itu.

"Awalnya aku kira kamu gak bisa masak, Zaina. Eh, ternyata jago banget!" ujar Yaya, sambil mengacungkan jempol.

Zaina terkekeh pelan. "Setelah tante keluar dari pesantren ini, beliau buka usaha katering. Mau gak mau aku harus bantuin. Dari situ deh aku belajar masak."

Semua yang ada di dapur mengangguk paham.

Di sudut lain, Hana memasang wajah kesal. Ia tak suka mendengar pujian-pujian yang terus mengalir untuk Zaina.

"Ini ayam balinya udah matang. Ada yang mau coba?" tawar Zaina dengan ramah.

"Aku! Aku!" Yaya maju paling depan, diikuti Aliyah dan beberapa mbak ndalem lainnya.

"Hm, enak banget!" komentar Aliyah setelah mencicipinya. Ternyata rasanya bahkan lebih enak daripada masakan Ani, yang selama ini jadi panutan mereka.

"Sumpah, mbak Zaina harus jadi chef sih," ujar Rani dengan mata berbinar.

Zaina hanya tersenyum kecil mendengar pujian itu.

"Za, beneran. Rani gak salah ngomong. Kamu cocok jadi chef!" tambah Yaya yang terkenal doyan makan.

Zaina menggeleng ringan. "Udah, ayo lanjut masak lagi. Jangan cuma makan aja," ujar Aliyah, membubarkan kerumunan kecil itu supaya pekerjaan cepat selesai.

Zaina kembali fokus, membereskan peralatan yang sudah dipakai. Sambil membawa beberapa alat masak ke tempat cuci, ia melewati Hana yang tampak sibuk dengan tugasnya. Zaina berusaha ramah, tersenyum kecil kepada Hana. Namun, respons yang ia dapatkan justru dingin.

"Baru kali ini ada mbak ndalem yang caper banget," sindir Hana pelan, cukup lirih supaya Aliyah tak mendengar.

Zaina tahu ucapan itu ditujukan padanya. Namun, ia memilih untuk tidak mempermasalahkannya. Baginya, fokus utama di sini adalah bekerja dengan baik, bukan mencari masalah. Lagipula, ia sama sekali tak berniat caper.

****

"Karena tamu Kyai Ghifari datang jam 10, kita harus bagi tugas. Ada yang menyiapkan makan siang santri, dan ada yang membantu mempersiapkan jamuan di rumah ndalem," ujar Aliyah tegas.

"Yaya, Hana, Rani, Zaina, kalian bantu di rumah ndalem. Dira, Gina, Amanda, Caca, dan Firda tetap di dapur."

Semua mengangguk, lalu mulai bergerak menyelesaikan tugas masing-masing. Zaina dan yang lain segera menuju rumah ndalem. Sesampainya di sana, Zaina langsung membantu memasak makanan ringan di dapur.

"Zaina, boleh tolong ambilin daun pisang di depan?" pinta Yaya sambil sibuk menggulung adonan sosis solo.

Karena tugasnya sudah selesai, Zaina dengan senang hati mengiyakan. Ia berjalan ke halaman depan, tapi bukannya masuk lewat rumah, ia memilih jalan di sisi rumah yang menuju garasi.

Matanya sibuk mencari daun pisang itu. "Duh, katanya di halaman, kok gak ada ya?" gumamnya pelan.

Zaina melangkah lebih jauh. "Apa mungkin ada di garasi?" pikirnya. Ia ragu sejenak, tapi akhirnya memutuskan untuk mengecek ke sana. Benar saja, daun pisang itu ada, tersembunyi di bayangan yang terlindungi mobil.

Baru saja hendak membawa daun itu kembali, tiba-tiba sebuah motor besar melaju pelan ke arah garasi dan tanpa sengaja menyenggol tubuh mungil Zaina hingga ia tersungkur ke tanah.

"Aduh, baru sampai garasi orang aja udah ketabrak," celetuk Zaina, sedikit kesal.

Sambil mengibas-ngibas debu di gamisnya, ia berdiri dan memungut daun pisang yang terjatuh. "Mas, kalau bawa motor hati-hati dong! Udah di garasi aja masih nabrak orang secantik ini," ujarnya setengah bercanda sambil melirik pria berjaket hitam dengan helm full face.

Pria itu hanya terdiam, jelas bingung menghadapi sikap gadis ini.

Zaina melanjutkan, masih dengan nada santai, "Udah, gak usah repot-repot minta maaf. Saya udah maafin kok."

Pria itu tetap tak berkata apa-apa, hanya menatapnya sebentar sebelum berlalu pergi

Arkana baru saja tiba di rumah setelah dua minggu tidak pulang. Ia membuka pintu dengan langkah mantap dan mengucapkan salam.

"Assalamualaikum, Umi."

Khadijah yang tengah sibuk di dapur langsung bergegas menghampiri. "Wa'alaikumussalam, le. Akhirnya kamu pulang juga!" ujar Umi senang.

"Iya, Umi. Gimana kabar Umi?"

"Alhamdulillah, sehat," jawab Khadijah sambil tersenyum lebar.

"Kamu ganti baju dulu sana. Bau matahari," candanya.

Arkana hanya mengangguk kecil lalu menuju kamarnya untuk membersihkan diri.

****

Di dapur, Umi Khadijah memanggil Zaina yang sedang merapikan piring-piring. "Zaina, tolong bawain jajanan ini ke ruang tamu ya," pintanya sambil menyodorkan nampan penuh makanan ringan.

"Iya, Umi," jawab Zaina patuh. Ia membawa nampan itu ke ruang tamu dan menatanya dengan rapi di meja.

Saat kembali ke dapur, langkah Zaina terhenti ketika berpapasan dengan Arkana yang baru saja keluar dari kamarnya.

Mata Zaina membelalak sedikit. Wajah pria itu tampak familiar. Ia menatap lamat-lamat, berusaha mengingat di mana pernah melihatnya. Arkana, yang merasa risih karena diperhatikan seperti itu, hanya menoleh sekilas.

"Tundukkan pandangan itu wajib," ujarnya singkat, suaranya dingin.

Zaina langsung menundukkan wajahnya dengan kikuk. Arkana pun berlalu tanpa sepatah kata lagi, menuju ruang tamu untuk menemui Umi.

Jika saja Zaina tahu bahwa pria yang memimpin kajian malam ini adalah seorang gus, dia pasti tidak akan bersikap sekonyol itu di pertemuan pertama mereka. Kini rasa malu terus menghantui pikirannya.

"Malu banget!" pekik Zaina tiba-tiba, tanpa sadar.

Yaya dan beberapa santriwati di sebelahnya langsung menoleh, wajah mereka memancarkan rasa penasaran. Suara Zaina terlalu keras untuk diabaikan.

"Za, kenapa sih?" tanya Yaya sambil mengerutkan dahi.

"Ah, gak apa-apa kok," Zaina buru-buru tersenyum, berusaha menutupi rasa malunya.

Di depan mereka, Gus Arkana berbicara dengan nada tenang namun penuh wibawa.

"Bisa jadi apa yang sedang Allah uji pada kita saat ini adalah kebaikan yang belum kita pahami. Kita tidak pernah tahu rencana-Nya ke depan. Insyaallah, kesedihan hari ini akan diganti dengan kebahagiaan esok," ujar Arkana, suaranya menggema lembut.

Semua mendengarkan dengan khusyuk, termasuk Zaina. Hatinya tersentuh dengan setiap kata yang keluar dari mulut gus itu.

Tiba-tiba, Yaya berbisik, "Za, jangan sampai jatuh cinta sama Gus Arkana."

Zaina menoleh bingung. "Hah? Siapa juga yang suka. Aku tahu diri kali, Ay," jawabnya cepat, meski ada sedikit gugup dalam suaranya.

Yaya terkekeh pelan. "Semua di pesantren ini tergila-gila sama Gus Arkana," bisiknya lagi.

"Ya iyalah, siapa yang gak suka. Udah soleh, sukses, ganteng pula," tambah Yaya sambil menghela napas dramatis.

Zaina hanya tersenyum kecil, lalu menatap Yaya dengan penasaran. "Kamu juga suka sama dia?" godanya.

Yaya langsung menggeleng tegas. "Enggak lah! Di hatiku cuma ada nama lain, bukan Gus Arkana," jawabnya bangga, tanpa ragu.

Zaina terkekeh. "Menurutku, sih, kalau soal tampang, Gus Athar lebih menang."

Yaya menoleh cepat dengan alis terangkat. "Za, kamu suka berondong?"

****

Sore itu, Zaina duduk bersama Umi Khadijah dan Kyai Ghifari, menikmati secangkir teh hangat di bawah sinar matahari yang mulai redup.

"Ani dulu sangat berjasa bagi keluarga kami, nduk," ujar Kyai Ghifari dengan suara lembut.

Zaina yang duduk di antara kedua orang berilmu itu merasa sedikit canggung, hanya bisa tersenyum mendengar kata-kata Kyai yang penuh penghargaan itu.

"Gak hanya memasak, dia juga yang mengurus anak-anak kami, termasuk Athar. Sejak kecil, Ani yang merawat Athar," tambah Kyai Ghifari lagi, matanya seolah mengenang kenangan lama.

Umi Khadijah mengangguk setuju. "Ani sudah kami anggap sebagai adik kami sendiri. Jadi, kamu jangan sungkan untuk meminta bantuan pada kami, ya," ujarnya dengan senyum hangat.

Zaina hanya mengangguk kikuk, merasa belum layak untuk menerima perhatian sebanyak itu.

Suasana pun hening sejenak, hingga tiba-tiba Kyai Ghifari memecah keheningan. "Kamu mau kuliah?" tanyanya, suara beratnya penuh perhatian.

Zaina terdiam sesaat, berpikir sejenak sebelum menjawab, "Tidak, Kyai." Meski sebenarnya Zaina ingin kuliah, namun ia merasa ada banyak hal yang lebih penting untuk diperhatikan.

"Kenapa?" tanya Umi Khadijah, matanya penuh rasa ingin tahu.

"Padahal tujuan kami memanggilmu ke sini adalah untuk menyekolahkanmu, supaya kamu sukses nanti," lanjut Umi Khadijah dengan lembut.

"Saya di sini untuk bekerja, membantu di dapur, Umi," jawab Zaina dengan sopan.

Kyai Ghifari menatapnya dengan penuh pengertian, "Kamu itu masih terlalu muda, nduk."

"Tidak apa-apa, Kyai. Saya memang tidak ada niatan untuk kuliah," jawab Zaina, meski dalam hati ia merasa sedikit bersalah karena berbohong.

Umi Khadijah menghela napas pelan, "Sayang sekali, nduk. Ani bilang kamu dulu adalah murid yang berprestasi di sekolah sejak kecil."

Zaina tersenyum tipis. "Lebih baik saya di sini saja, mengabdi di pesantren ini. Bukankah ini juga amal buat saya?" jawabnya dengan rendah hati.

Umi Khadijah memegang tangan Zaina dengan lembut, "Kamu sudah cantik, rajin, masyaAllah, nduk. Semoga Allah memberi kamu jodoh yang terbaik."

Zaina tersenyum, hati terasa hangat dengan doa dan perhatian yang tulus dari kedua orang tersebut.

Bab terkait

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 4

    "Assalamualaikum, boleh Umi masuk?" tanya Umi Khadijah sambil mengetuk pintu kamar Arkana. "Waalaikumsalam, boleh Umi," jawab Arkana. Ia segera berdiri dari kursinya dan melepas kacamata yang sedang dipakainya. Umi Khadijah masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi tempat tidur Arkana. "Ada apa ya, Umi?" tanya Arkana sambil ikut duduk di sampingnya. "Gak ada apa-apa, cuma Umi kok rasanya sudah lama banget gak denger curhatan kamu," ujar Umi Khadijah dengan nada lembut. Arkana tersenyum kecil. "Mau curhat apa, Umi? Arkana gak ada masalah kok," balasnya santai. "Jadi kalau ada masalah saja kamu baru mau cerita sama Umi?" Umi Khadijah berpura-pura cemberut, memasang wajah seolah kecewa. Arkana terkekeh melihat tingkah Uminya. Meski sudah berumur, sikap Umi Khadijah sering mengingatkan Arkana pada anak-anak. Abi memang sering berkata kalau istrinya punya jiwa muda yang tak pernah pudar. "Gimana villa kamu di Bali?" tanya Umi, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Alhamdulillah,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-01
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   bab 5

    "Motornya kenapa lagi, Gus?" tanya seorang pria dengan baju penuh noda oli. Arkana tersenyum tipis. "Gak ada apa-apa. Saya cuma mampir, lihat-lihat bengkel kalian," jawabnya santai. Gilang, mengangguk. "Oh, saya kira ada masalah. Alhamdulillah, bengkel lagi ramai gus, banyak servis hari ini." "Baguslah, sukses terus buat kalian," ujar Arkana, tulus mendoakan. "Semua ini juga berkat Gus Arkana," timpal Saka, salah satu mekanik lainnya. Arkana menggeleng ringan. "Saya cuma perantara. Rezeki itu datangnya dari Allah. Selama kalian gak ninggalin ibadah, insyaAllah rezeki pasti selalu ada," ujarnya dengan nada lembut namun penuh keyakinan. Kelima pria di bengkel itu menghentikan sejenak aktivitas mereka. Mereka tahu betul, tanpa Arkana, mungkin hidup mereka masih berantakan. Dulu, mereka adalah anak punk yang hidup di jalanan, mengamen untuk bertahan hidup. Setiap kali bertemu Arkana di lampu merah, pria itu selalu mengingatkan mereka untuk sholat. Awalnya mereka kesal, menga

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   bab 6

    Athar langsung tertawa penuh kemenangan. "Wah, Mas Arkana main rahasia-rahasiaan nih, Umi! Ayo telpon Abi! Pasti dari Yaman langsung pesen tiket pulang kalau dengar ini." Umi ikut tersenyum geli. "Iya, sopo toh, Le? Umi penasaran." Arkana terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ning Syifa, Umi." **** "Za, tolong ambilin piring di gudang," perintah Hana dengan nada mendesak. Zaina yang sedang merapikan meja melirik tumpukan piring di atasnya. "Bukannya piringnya masih banyak? Lihat tuh," ujarnya heran. "Udah, cepetan! Keburu anak-anak datang semua," kata Hana, menyembunyikan senyum liciknya. Zaina mendengus kesal, tapi tetap menurut. Sementara itu, Hana memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan rencananya. Di dalam gudang, Zaina mengamati sekeliling, mencari piring yang disebut Hana. Namun, yang ada hanya karung beras, bahan baku dapur, dan beberapa peralatan lama. Sementara itu, Arkana masuk ke gudang, entah untuk mencari apa. Zaina yang masih sibuk mencari tidak

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 1: Kehilangan

    Zaina Qiana Farahah, seorang gadis berusia 23 tahun yang telah kehilangan kedua orangtuanya sejak usia 12 tahun, ia tinggal bersama tantenya, Ani. Zaina membantu Ani mengelola usaha catering kecil, sekaligus bekerja sebagai barista di malam hari. Semua itu dilakukannya demi membantu biaya pengobatan Ani yang tengah berjuang melawan kanker hati. Setiap malam, setelah menyelesaikan pekerjaannya di catering, Zaina bersiap untuk pergi ke kafe tempatnya bekerja. "Mau berangkat, nduk?" Tanya Ani dengan suara lembut, menatap Zaina yang sedang menyusun tasnya. Zaina tersenyum tipis, meskipun ada lelah yang tergambar di matanya. "Tante hati-hati di rumah ya, nanti jam 10 Zaina pulang." Jawabnya, mencoba meyakinkan Ani, meski hati kecilnya tak tenang. "Ada yang lebih penting dari kerja, lho, nduk. Kamu pasti capek banget setelah bantuin pesanan nasi kotak hari ini." Ani menggenggam tangan Zaina, mencoba mengungkapkan rasa khawatirnya. Zaina menggelengkan kepala, duduk di meja makan d

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 2: Pertemuan

    Di halaman pesantren, Zaina kini berdiri dengan gamis abu-abu yang menjuntai rapi, dilengkapi hijab segi empat yang menutupi mahkotanya. Di tangannya tergenggam sebuah koper dan tas ransel besar. Rasa gugup menyelimuti dirinya, membayangkan bagaimana cara menjelaskan bahwa ia tiba-tiba saja datang untuk menjadi bagian dari mbak dapur di pesantren ini. Langkahnya perlahan menapaki halaman, matanya menangkap pemandangan santriwan dan santriwati yang sibuk berlalu-lalang. Beberapa di antara mereka berhenti sejenak, menatap Zaina penuh rasa penasaran. "Santriwati baru, ya?" bisik seorang santriwati yang sedang menyapu halaman asrama. Teman-temannya mendekat, ikut mengamati. "Kayaknya sih. Aduh, cantik banget lagi," ujar salah satu dari mereka. Ketika melewati mereka, Zaina menyunggingkan senyum sopan. "Maaf, bolehkah saya minta tolong diantar ke rumah ndalem?" tanyanya lembut meskipun tahu lawan bicaranya mungkin lebih muda. Ketiga santriwati itu saling pandang, lalu mengangguk

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-21

Bab terbaru

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   bab 6

    Athar langsung tertawa penuh kemenangan. "Wah, Mas Arkana main rahasia-rahasiaan nih, Umi! Ayo telpon Abi! Pasti dari Yaman langsung pesen tiket pulang kalau dengar ini." Umi ikut tersenyum geli. "Iya, sopo toh, Le? Umi penasaran." Arkana terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ning Syifa, Umi." **** "Za, tolong ambilin piring di gudang," perintah Hana dengan nada mendesak. Zaina yang sedang merapikan meja melirik tumpukan piring di atasnya. "Bukannya piringnya masih banyak? Lihat tuh," ujarnya heran. "Udah, cepetan! Keburu anak-anak datang semua," kata Hana, menyembunyikan senyum liciknya. Zaina mendengus kesal, tapi tetap menurut. Sementara itu, Hana memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan rencananya. Di dalam gudang, Zaina mengamati sekeliling, mencari piring yang disebut Hana. Namun, yang ada hanya karung beras, bahan baku dapur, dan beberapa peralatan lama. Sementara itu, Arkana masuk ke gudang, entah untuk mencari apa. Zaina yang masih sibuk mencari tidak

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   bab 5

    "Motornya kenapa lagi, Gus?" tanya seorang pria dengan baju penuh noda oli. Arkana tersenyum tipis. "Gak ada apa-apa. Saya cuma mampir, lihat-lihat bengkel kalian," jawabnya santai. Gilang, mengangguk. "Oh, saya kira ada masalah. Alhamdulillah, bengkel lagi ramai gus, banyak servis hari ini." "Baguslah, sukses terus buat kalian," ujar Arkana, tulus mendoakan. "Semua ini juga berkat Gus Arkana," timpal Saka, salah satu mekanik lainnya. Arkana menggeleng ringan. "Saya cuma perantara. Rezeki itu datangnya dari Allah. Selama kalian gak ninggalin ibadah, insyaAllah rezeki pasti selalu ada," ujarnya dengan nada lembut namun penuh keyakinan. Kelima pria di bengkel itu menghentikan sejenak aktivitas mereka. Mereka tahu betul, tanpa Arkana, mungkin hidup mereka masih berantakan. Dulu, mereka adalah anak punk yang hidup di jalanan, mengamen untuk bertahan hidup. Setiap kali bertemu Arkana di lampu merah, pria itu selalu mengingatkan mereka untuk sholat. Awalnya mereka kesal, menga

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 4

    "Assalamualaikum, boleh Umi masuk?" tanya Umi Khadijah sambil mengetuk pintu kamar Arkana. "Waalaikumsalam, boleh Umi," jawab Arkana. Ia segera berdiri dari kursinya dan melepas kacamata yang sedang dipakainya. Umi Khadijah masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi tempat tidur Arkana. "Ada apa ya, Umi?" tanya Arkana sambil ikut duduk di sampingnya. "Gak ada apa-apa, cuma Umi kok rasanya sudah lama banget gak denger curhatan kamu," ujar Umi Khadijah dengan nada lembut. Arkana tersenyum kecil. "Mau curhat apa, Umi? Arkana gak ada masalah kok," balasnya santai. "Jadi kalau ada masalah saja kamu baru mau cerita sama Umi?" Umi Khadijah berpura-pura cemberut, memasang wajah seolah kecewa. Arkana terkekeh melihat tingkah Uminya. Meski sudah berumur, sikap Umi Khadijah sering mengingatkan Arkana pada anak-anak. Abi memang sering berkata kalau istrinya punya jiwa muda yang tak pernah pudar. "Gimana villa kamu di Bali?" tanya Umi, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Alhamdulillah,

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 3

    Setelah sholat subuh, para mbak ndalem yang bertugas di dapur segera sibuk memasak. Zaina kebagian tugas menyiapkan ayam bumbu bali dan tempe kering. Meski baru beberapa hari tinggal di pesantren, Zaina sudah menunjukkan kemampuan memasaknya yang luar biasa—tak mengherankan, karena sejak remaja ia sering membantu Tante Ani di dapur. Waktu terus berjalan, kini jam menunjukkan pukul enam pagi. Aroma harum dari masakan memenuhi dapur. "Hm, bumbu balinya wangi banget," komentar Aliyah sambil menghirup aroma dari wajan. "Jadi inget masakannya mbak Ani," tambah Aliyah, senyumnya penuh nostalgia. Zaina tersenyum kecil, merasa tersentuh dengan pujian itu. "Awalnya aku kira kamu gak bisa masak, Zaina. Eh, ternyata jago banget!" ujar Yaya, sambil mengacungkan jempol. Zaina terkekeh pelan. "Setelah tante keluar dari pesantren ini, beliau buka usaha katering. Mau gak mau aku harus bantuin. Dari situ deh aku belajar masak." Semua yang ada di dapur mengangguk paham. Di sudut lain, H

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 2: Pertemuan

    Di halaman pesantren, Zaina kini berdiri dengan gamis abu-abu yang menjuntai rapi, dilengkapi hijab segi empat yang menutupi mahkotanya. Di tangannya tergenggam sebuah koper dan tas ransel besar. Rasa gugup menyelimuti dirinya, membayangkan bagaimana cara menjelaskan bahwa ia tiba-tiba saja datang untuk menjadi bagian dari mbak dapur di pesantren ini. Langkahnya perlahan menapaki halaman, matanya menangkap pemandangan santriwan dan santriwati yang sibuk berlalu-lalang. Beberapa di antara mereka berhenti sejenak, menatap Zaina penuh rasa penasaran. "Santriwati baru, ya?" bisik seorang santriwati yang sedang menyapu halaman asrama. Teman-temannya mendekat, ikut mengamati. "Kayaknya sih. Aduh, cantik banget lagi," ujar salah satu dari mereka. Ketika melewati mereka, Zaina menyunggingkan senyum sopan. "Maaf, bolehkah saya minta tolong diantar ke rumah ndalem?" tanyanya lembut meskipun tahu lawan bicaranya mungkin lebih muda. Ketiga santriwati itu saling pandang, lalu mengangguk

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 1: Kehilangan

    Zaina Qiana Farahah, seorang gadis berusia 23 tahun yang telah kehilangan kedua orangtuanya sejak usia 12 tahun, ia tinggal bersama tantenya, Ani. Zaina membantu Ani mengelola usaha catering kecil, sekaligus bekerja sebagai barista di malam hari. Semua itu dilakukannya demi membantu biaya pengobatan Ani yang tengah berjuang melawan kanker hati. Setiap malam, setelah menyelesaikan pekerjaannya di catering, Zaina bersiap untuk pergi ke kafe tempatnya bekerja. "Mau berangkat, nduk?" Tanya Ani dengan suara lembut, menatap Zaina yang sedang menyusun tasnya. Zaina tersenyum tipis, meskipun ada lelah yang tergambar di matanya. "Tante hati-hati di rumah ya, nanti jam 10 Zaina pulang." Jawabnya, mencoba meyakinkan Ani, meski hati kecilnya tak tenang. "Ada yang lebih penting dari kerja, lho, nduk. Kamu pasti capek banget setelah bantuin pesanan nasi kotak hari ini." Ani menggenggam tangan Zaina, mencoba mengungkapkan rasa khawatirnya. Zaina menggelengkan kepala, duduk di meja makan d

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status