Share

Bab 3

Penulis: Narra Azahra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-30 16:34:17

Setelah sholat subuh, para mbak ndalem yang bertugas di dapur segera sibuk memasak. Zaina kebagian tugas menyiapkan ayam bumbu bali dan tempe kering. Meski baru beberapa hari tinggal di pesantren, Zaina sudah menunjukkan kemampuan memasaknya yang luar biasa—tak mengherankan, karena sejak remaja ia sering membantu Tante Ani di dapur.

Waktu terus berjalan, kini jam menunjukkan pukul enam pagi. Aroma harum dari masakan memenuhi dapur.

"Hm, bumbu balinya wangi banget," komentar Aliyah sambil menghirup aroma dari wajan.

"Jadi inget masakannya mbak Ani," tambah Aliyah, senyumnya penuh nostalgia.

Zaina tersenyum kecil, merasa tersentuh dengan pujian itu.

"Awalnya aku kira kamu gak bisa masak, Zaina. Eh, ternyata jago banget!" ujar Yaya, sambil mengacungkan jempol.

Zaina terkekeh pelan. "Setelah tante keluar dari pesantren ini, beliau buka usaha katering. Mau gak mau aku harus bantuin. Dari situ deh aku belajar masak."

Semua yang ada di dapur mengangguk paham.

Di sudut lain, Hana memasang wajah kesal. Ia tak suka mendengar pujian-pujian yang terus mengalir untuk Zaina.

"Ini ayam balinya udah matang. Ada yang mau coba?" tawar Zaina dengan ramah.

"Aku! Aku!" Yaya maju paling depan, diikuti Aliyah dan beberapa mbak ndalem lainnya.

"Hm, enak banget!" komentar Aliyah setelah mencicipinya. Ternyata rasanya bahkan lebih enak daripada masakan Ani, yang selama ini jadi panutan mereka.

"Sumpah, mbak Zaina harus jadi chef sih," ujar Rani dengan mata berbinar.

Zaina hanya tersenyum kecil mendengar pujian itu.

"Za, beneran. Rani gak salah ngomong. Kamu cocok jadi chef!" tambah Yaya yang terkenal doyan makan.

Zaina menggeleng ringan. "Udah, ayo lanjut masak lagi. Jangan cuma makan aja," ujar Aliyah, membubarkan kerumunan kecil itu supaya pekerjaan cepat selesai.

Zaina kembali fokus, membereskan peralatan yang sudah dipakai. Sambil membawa beberapa alat masak ke tempat cuci, ia melewati Hana yang tampak sibuk dengan tugasnya. Zaina berusaha ramah, tersenyum kecil kepada Hana. Namun, respons yang ia dapatkan justru dingin.

"Baru kali ini ada mbak ndalem yang caper banget," sindir Hana pelan, cukup lirih supaya Aliyah tak mendengar.

Zaina tahu ucapan itu ditujukan padanya. Namun, ia memilih untuk tidak mempermasalahkannya. Baginya, fokus utama di sini adalah bekerja dengan baik, bukan mencari masalah. Lagipula, ia sama sekali tak berniat caper.

****

"Karena tamu Kyai Ghifari datang jam 10, kita harus bagi tugas. Ada yang menyiapkan makan siang santri, dan ada yang membantu mempersiapkan jamuan di rumah ndalem," ujar Aliyah tegas.

"Yaya, Hana, Rani, Zaina, kalian bantu di rumah ndalem. Dira, Gina, Amanda, Caca, dan Firda tetap di dapur."

Semua mengangguk, lalu mulai bergerak menyelesaikan tugas masing-masing. Zaina dan yang lain segera menuju rumah ndalem. Sesampainya di sana, Zaina langsung membantu memasak makanan ringan di dapur.

"Zaina, boleh tolong ambilin daun pisang di depan?" pinta Yaya sambil sibuk menggulung adonan sosis solo.

Karena tugasnya sudah selesai, Zaina dengan senang hati mengiyakan. Ia berjalan ke halaman depan, tapi bukannya masuk lewat rumah, ia memilih jalan di sisi rumah yang menuju garasi.

Matanya sibuk mencari daun pisang itu. "Duh, katanya di halaman, kok gak ada ya?" gumamnya pelan.

Zaina melangkah lebih jauh. "Apa mungkin ada di garasi?" pikirnya. Ia ragu sejenak, tapi akhirnya memutuskan untuk mengecek ke sana. Benar saja, daun pisang itu ada, tersembunyi di bayangan yang terlindungi mobil.

Baru saja hendak membawa daun itu kembali, tiba-tiba sebuah motor besar melaju pelan ke arah garasi dan tanpa sengaja menyenggol tubuh mungil Zaina hingga ia tersungkur ke tanah.

"Aduh, baru sampai garasi orang aja udah ketabrak," celetuk Zaina, sedikit kesal.

Sambil mengibas-ngibas debu di gamisnya, ia berdiri dan memungut daun pisang yang terjatuh. "Mas, kalau bawa motor hati-hati dong! Udah di garasi aja masih nabrak orang secantik ini," ujarnya setengah bercanda sambil melirik pria berjaket hitam dengan helm full face.

Pria itu hanya terdiam, jelas bingung menghadapi sikap gadis ini.

Zaina melanjutkan, masih dengan nada santai, "Udah, gak usah repot-repot minta maaf. Saya udah maafin kok."

Pria itu tetap tak berkata apa-apa, hanya menatapnya sebentar sebelum berlalu pergi

Arkana baru saja tiba di rumah setelah dua minggu tidak pulang. Ia membuka pintu dengan langkah mantap dan mengucapkan salam.

"Assalamualaikum, Umi."

Khadijah yang tengah sibuk di dapur langsung bergegas menghampiri. "Wa'alaikumussalam, le. Akhirnya kamu pulang juga!" ujar Umi senang.

"Iya, Umi. Gimana kabar Umi?"

"Alhamdulillah, sehat," jawab Khadijah sambil tersenyum lebar.

"Kamu ganti baju dulu sana. Bau matahari," candanya.

Arkana hanya mengangguk kecil lalu menuju kamarnya untuk membersihkan diri.

****

Di dapur, Umi Khadijah memanggil Zaina yang sedang merapikan piring-piring. "Zaina, tolong bawain jajanan ini ke ruang tamu ya," pintanya sambil menyodorkan nampan penuh makanan ringan.

"Iya, Umi," jawab Zaina patuh. Ia membawa nampan itu ke ruang tamu dan menatanya dengan rapi di meja.

Saat kembali ke dapur, langkah Zaina terhenti ketika berpapasan dengan Arkana yang baru saja keluar dari kamarnya.

Mata Zaina membelalak sedikit. Wajah pria itu tampak familiar. Ia menatap lamat-lamat, berusaha mengingat di mana pernah melihatnya. Arkana, yang merasa risih karena diperhatikan seperti itu, hanya menoleh sekilas.

"Tundukkan pandangan itu wajib," ujarnya singkat, suaranya dingin.

Zaina langsung menundukkan wajahnya dengan kikuk. Arkana pun berlalu tanpa sepatah kata lagi, menuju ruang tamu untuk menemui Umi.

Jika saja Zaina tahu bahwa pria yang memimpin kajian malam ini adalah seorang gus, dia pasti tidak akan bersikap sekonyol itu di pertemuan pertama mereka. Kini rasa malu terus menghantui pikirannya.

"Malu banget!" pekik Zaina tiba-tiba, tanpa sadar.

Yaya dan beberapa santriwati di sebelahnya langsung menoleh, wajah mereka memancarkan rasa penasaran. Suara Zaina terlalu keras untuk diabaikan.

"Za, kenapa sih?" tanya Yaya sambil mengerutkan dahi.

"Ah, gak apa-apa kok," Zaina buru-buru tersenyum, berusaha menutupi rasa malunya.

Di depan mereka, Gus Arkana berbicara dengan nada tenang namun penuh wibawa.

"Bisa jadi apa yang sedang Allah uji pada kita saat ini adalah kebaikan yang belum kita pahami. Kita tidak pernah tahu rencana-Nya ke depan. Insyaallah, kesedihan hari ini akan diganti dengan kebahagiaan esok," ujar Arkana, suaranya menggema lembut.

Semua mendengarkan dengan khusyuk, termasuk Zaina. Hatinya tersentuh dengan setiap kata yang keluar dari mulut gus itu.

Tiba-tiba, Yaya berbisik, "Za, jangan sampai jatuh cinta sama Gus Arkana."

Zaina menoleh bingung. "Hah? Siapa juga yang suka. Aku tahu diri kali, Ay," jawabnya cepat, meski ada sedikit gugup dalam suaranya.

Yaya terkekeh pelan. "Semua di pesantren ini tergila-gila sama Gus Arkana," bisiknya lagi.

"Ya iyalah, siapa yang gak suka. Udah soleh, sukses, ganteng pula," tambah Yaya sambil menghela napas dramatis.

Zaina hanya tersenyum kecil, lalu menatap Yaya dengan penasaran. "Kamu juga suka sama dia?" godanya.

Yaya langsung menggeleng tegas. "Enggak lah! Di hatiku cuma ada nama lain, bukan Gus Arkana," jawabnya bangga, tanpa ragu.

Zaina terkekeh. "Menurutku, sih, kalau soal tampang, Gus Athar lebih menang."

Yaya menoleh cepat dengan alis terangkat. "Za, kamu suka berondong?"

****

Sore itu, Zaina duduk bersama Umi Khadijah dan Kyai Ghifari, menikmati secangkir teh hangat di bawah sinar matahari yang mulai redup.

"Ani dulu sangat berjasa bagi keluarga kami, nduk," ujar Kyai Ghifari dengan suara lembut.

Zaina yang duduk di antara kedua orang berilmu itu merasa sedikit canggung, hanya bisa tersenyum mendengar kata-kata Kyai yang penuh penghargaan itu.

"Gak hanya memasak, dia juga yang mengurus anak-anak kami, termasuk Athar. Sejak kecil, Ani yang merawat Athar," tambah Kyai Ghifari lagi, matanya seolah mengenang kenangan lama.

Umi Khadijah mengangguk setuju. "Ani sudah kami anggap sebagai adik kami sendiri. Jadi, kamu jangan sungkan untuk meminta bantuan pada kami, ya," ujarnya dengan senyum hangat.

Zaina hanya mengangguk kikuk, merasa belum layak untuk menerima perhatian sebanyak itu.

Suasana pun hening sejenak, hingga tiba-tiba Kyai Ghifari memecah keheningan. "Kamu mau kuliah?" tanyanya, suara beratnya penuh perhatian.

Zaina terdiam sesaat, berpikir sejenak sebelum menjawab, "Tidak, Kyai." Meski sebenarnya Zaina ingin kuliah, namun ia merasa ada banyak hal yang lebih penting untuk diperhatikan.

"Kenapa?" tanya Umi Khadijah, matanya penuh rasa ingin tahu.

"Padahal tujuan kami memanggilmu ke sini adalah untuk menyekolahkanmu, supaya kamu sukses nanti," lanjut Umi Khadijah dengan lembut.

"Saya di sini untuk bekerja, membantu di dapur, Umi," jawab Zaina dengan sopan.

Kyai Ghifari menatapnya dengan penuh pengertian, "Kamu itu masih terlalu muda, nduk."

"Tidak apa-apa, Kyai. Saya memang tidak ada niatan untuk kuliah," jawab Zaina, meski dalam hati ia merasa sedikit bersalah karena berbohong.

Umi Khadijah menghela napas pelan, "Sayang sekali, nduk. Ani bilang kamu dulu adalah murid yang berprestasi di sekolah sejak kecil."

Zaina tersenyum tipis. "Lebih baik saya di sini saja, mengabdi di pesantren ini. Bukankah ini juga amal buat saya?" jawabnya dengan rendah hati.

Umi Khadijah memegang tangan Zaina dengan lembut, "Kamu sudah cantik, rajin, masyaAllah, nduk. Semoga Allah memberi kamu jodoh yang terbaik."

Zaina tersenyum, hati terasa hangat dengan doa dan perhatian yang tulus dari kedua orang tersebut.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 4

    "Assalamualaikum, boleh Umi masuk?" tanya Umi Khadijah sambil mengetuk pintu kamar Arkana. "Waalaikumsalam, boleh Umi," jawab Arkana. Ia segera berdiri dari kursinya dan melepas kacamata yang sedang dipakainya. Umi Khadijah masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi tempat tidur Arkana. "Ada apa ya, Umi?" tanya Arkana sambil ikut duduk di sampingnya. "Gak ada apa-apa, cuma Umi kok rasanya sudah lama banget gak denger curhatan kamu," ujar Umi Khadijah dengan nada lembut. Arkana tersenyum kecil. "Mau curhat apa, Umi? Arkana gak ada masalah kok," balasnya santai. "Jadi kalau ada masalah saja kamu baru mau cerita sama Umi?" Umi Khadijah berpura-pura cemberut, memasang wajah seolah kecewa. Arkana terkekeh melihat tingkah Uminya. Meski sudah berumur, sikap Umi Khadijah sering mengingatkan Arkana pada anak-anak. Abi memang sering berkata kalau istrinya punya jiwa muda yang tak pernah pudar. "Gimana villa kamu di Bali?" tanya Umi, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Alhamdulillah,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-01
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 5

    "Motornya kenapa lagi, Gus?" tanya seorang pria dengan baju penuh noda oli. Arkana tersenyum tipis. "Gak ada apa-apa. Saya cuma mampir, lihat-lihat bengkel kalian," jawabnya santai. Gilang, mengangguk. "Oh, saya kira ada masalah. Alhamdulillah, bengkel lagi ramai gus, banyak servis hari ini." "Baguslah, sukses terus buat kalian," ujar Arkana, tulus mendoakan. "Semua ini juga berkat Gus Arkana," timpal Saka, salah satu mekanik lainnya. Arkana menggeleng ringan. "Saya cuma perantara. Rezeki itu datangnya dari Allah. Selama kalian gak ninggalin ibadah, insyaAllah rezeki pasti selalu ada," ujarnya dengan nada lembut namun penuh keyakinan. Kelima pria di bengkel itu menghentikan sejenak aktivitas mereka. Mereka tahu betul, tanpa Arkana, mungkin hidup mereka masih berantakan. Dulu, mereka adalah anak punk yang hidup di jalanan, mengamen untuk bertahan hidup. Setiap kali bertemu Arkana di lampu merah, pria itu selalu mengingatkan mereka untuk sholat. Awalnya mereka kesal, mengan

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 6

    Athar langsung tertawa penuh kemenangan. "Wah, Mas Arkana main rahasia-rahasiaan nih, Umi! Ayo telpon Abi! Pasti dari Jakarta langsung pesen tiket pulang kalau dengar ini." Umi ikut tersenyum geli. "Iya, sopo toh, Le? Umi penasaran." Arkana terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ning Syifa, Umi." **** "Za, tolong ambilin piring di gudang," perintah Hana dengan nada mendesak. Zaina yang sedang merapikan meja melirik tumpukan piring di atasnya. "Bukannya piringnya masih banyak? Lihat tuh," ujarnya heran. "Udah, cepetan! Keburu anak-anak datang semua," kata Hana, menyembunyikan senyum liciknya. Zaina mendengus kesal, tapi tetap menurut. Sementara itu, Hana memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan rencananya. Di dalam gudang, Zaina mengamati sekeliling, mencari piring yang disebut Hana. Namun, yang ada hanya karung beras, bahan baku dapur, dan beberapa peralatan lama. Sementara itu, Arkana masuk ke gudang, entah untuk mencari apa. Zaina yang masih sibuk mencari tida

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 7

    "Zaina ke mana yah?" gumam Yaya pelan, rasa khawatir semakin menjalari hatinya. Setelah sholat tahajud, Yaya langsung keluar kamar, menunggu Zaina yang entah pergi ke mana. Atau jangan-jangan… tadi malam dia tidak pulang ke kamar? Yaya benar-benar tidak tahu. Selepas makan malam, ia langsung tertidur. Namun, sebelum itu, ia sempat melihat Zaina berbicara dengan Hana. Pikirannya terus berputar hingga suara langkah kaki membuatnya menoleh. "Aya? Ngapain kamu di sini?" suara Aliyah terdengar pelan saat ia keluar dari kamar. "Mbak Al, Zaina gak ada," ujar Yaya panik. Aliyah berjalan mendekat, mencoba menenangkan. "Mungkin dia ke kamar mandi," tebaknya. Yaya menggeleng cepat, matanya masih menatap lorong pesantren yang sepi. "Dia gak pulang, Mbak, dari semalam." Aliyah mulai serius. "Kamu yakin?" Yaya mengangguk. "Kemarin aku masih lihat dia ngobrol sama Hana sebelum makan malam. Setelah itu, aku gak tahu. Aku langsung balik ke kamar dan ketiduran." Aliyah berpikir seje

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-10
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 8

    "Zaina pasti setuju." Suara berat itu membuat Arkana tersentak. Ia menoleh dan mendapati Kyai Ghifari sudah berdiri di ambang pintu dapur. Dengan langkah mantap, pria paruh baya itu berjalan menuju meja makan dan duduk di sana. "Apa salahnya jika kamu menikah dengannya? Dia gadis baik-baik," lanjut Kyai Ghifari. Umi Khadijah segera menyodorkan secangkir teh yang sedari tadi sudah disiapkannya. Ia lalu ikut duduk di sebelah suaminya, sementara Arkana tetap berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi penuh perlawanan. "Abi, kami tidak saling mencintai," ujar Arkana berusaha menekan emosinya. "Dia hanya membantu di pesantren Abi sementara Arkana di sini sebagai Gus. Apa Abi tidak berpikir bahwa ini akan menyulitkan kami berdua?" Kyai Ghifari menyesap tehnya dengan tenang, sebelum menatap putranya dengan penuh kewibawaan. "Semua manusia sama saja, Nak. Jika kalian tidak saling cinta, maka berusahalah. Cinta itu akan datang jika kalian membiasakan diri. Abi dan Umi dulu juga tidak s

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-12
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 9

    Pagi ini, kondisi Zaina sudah jauh lebih baik. Ia memutuskan kembali membantu di dapur seperti biasanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari berbagai hal yang menekan batinnya. "Caca, biar aku saja yang menghaluskan bumbu ini. Kamu bantu mereka, ya," ujar Zaina, melirik sekilas ke arah beberapa mbak dapur yang sedang berkumpul dengan Hana. Tatapan mereka begitu menusuk, penuh dengan sindiran yang jelas ditujukan padanya. Caca menatap Zaina ragu. "Mbak gak apa-apa? Ini banyak bumbu yang harus diulek. Mbak kan baru sembuh," ujarnya khawatir. Zaina mengangguk, tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja." Caca menyerah, lalu menyerahkan cobek ke Zaina sebelum akhirnya bergabung dengan Hana dan yang lainnya. Namun, baru saja ia mendekat, bisikan sinis mulai terdengar. "Kamu gak takut deket-deket sama dia?" ujar Firda dengan nada mengejek. "Udah deh, kalau kalian ghibah terus, masakannya gak selesai-selesai," sela Caca, mulai kesal dengan sikap mereka. Sejak tadi, mereka lebih sibuk

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 10

    Beberapa menit kemudian, Hana datang dengan wajah tak senang. "Kenapa kamu ngasih makanan lagi ke anak-anak? Tadi dia sudah makan. Ck, kalau gini yang lain gak kebagian dong," ujarnya dengan nada ketus. Zaina menghela napas, berusaha tetap sabar. "Cuman sedikit, Han. Lagian, ini juga masih banyak," jawabnya tenang. Hana mendengus. "Lain kali jangan kayak gitu. mentang-mentang mau menikah sama gus Arkana kamu jadi seenaknya," ujarnya sebelum pergi. Zaina hanya bisa beristighfar. Setelah memastikan semua santri sudah mendapat jatah sarapan, Zaina mulai membereskan baskom-baskom yang sudah kosong. Namun, tiba-tiba ia merasa seperti sedang diperhatikan. Ketika ia menoleh, matanya langsung bertemu dengan sosok yang berdiri tidak jauh darinya. Arkana. Sejak kejadian di gudang, ini pertama kalinya mereka bertemu langsung. Jantung Zaina berdetak lebih cepat. Ia merasa bersalah, pasti Arkana sangat marah padanya. Tatapan mereka bertahan lebih lama dari seharusnya, hingga akhirnya

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-16
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 11

    Setelah selesai merapikan tempat tidur, ia beralih ke almari, menata beberapa baju yang berantakan. Saat merapikan salah satu sudut, matanya menangkap sebuah bingkai foto. Foto keluarganya. Zaina tersenyum dan mengambilnya. Perlahan, ia melangkah ke jendela, membiarkan pandangannya menembus pemandangan malam yang tenang. Bulan bersinar begitu terang, meski hanya sedikit bintang yang menemani. Lagi-lagi, ia tersenyum saat angin malam menerpa wajahnya dengan lembut. "Itu pasti kalian, kan? Kalian menyapa Zaina," bisiknya, menatap foto dalam genggamannya. Tangannya mengelus pinggiran bingkai dengan hati-hati. "Zaina akan segera menikah. Pasti kalian kaget." Ia terkikik kecil. "Zaina juga kaget... ini tiba-tiba banget." Zaina menggigit bibirnya, menahan perasaan yang bercampur aduk di dadanya. "Zaina menikah sama Gus Arkana..." katanya pelan. Begitu kalimat itu meluncur dari bibirnya, perasaan hangat menjalar di dalam hatinya. Entah mengapa, menyebut nama pria itu sekarang t

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17

Bab terbaru

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 65

    Pagi itu, suasana rumah Abah Gusti masih lengang. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan cangkir teh di meja makan. Syifa tampak mondar-mandir di dapur, mencoba bersikap tenang. Tapi sejak beberapa hari ini, wajahnya selalu terlihat cemas. Matanya sembab, dan tubuhnya pun lebih lemah dari biasanya. Abah Gusti hendak ke kamar mandi, seperti biasa, tapi langkahnya terhenti di depan tempat cucian. Matanya menangkap sesuatu—bungkusan kecil putih dengan garis merah yang masih terlihat jelas. Ia memungutnya dengan tangan gemetar. Seketika dadanya bergemuruh. “Tespek.” Gusti berdiri di tempat, napasnya memburu. Ada dentuman kuat di dadanya antara amarah dan kecewa. Ia menggenggam alat itu dengan keras lalu berjalan ke arah dapur. “Syifa!” suaranya menggelegar. Syifa yang tengah menuang teh hampir menjatuhkan cangkir. Ia menoleh cepat. “Iya, Bah?” “Apa ini?” tanya Abah Gusti dingin, menunjukkan benda yang membuat tubuh Syifa langsung lemas. Syifa terdiam. Matanya mulai

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 64

    "Halo," ucapnya pelan, nyaris berbisik, seolah takut jika suaranya terlalu keras akan membuat semuanya runtuh. Di seberang, suara Arkana terdengar rendah dan hati-hati. "Kamu belum tidur?" "Belum, akhir-akhir ini agak susah tidur," jawab Syifa, mencoba terdengar biasa. Padahal dadanya sesak, dan matanya terasa panas. "Kamu baik-baik aja?" tanya Arkana lagi, kali ini terdengar lebih lembut atau mungkin cemas. Syifa menunduk. Ada jeda yang lama sebelum ia menjawab. "Masih berusaha buat baik-baik aja." Hening menyelinap di antara mereka. Lalu suara Arkana kembali terdengar, lebih pelan. "Kamu gak cerita ke siapa-siapa, kan?" "Belum," jawab Syifa cepat, seperti refleks. Ia menarik napas panjang, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. "Kalau aku cerita sekarang... aku takut semuanya jadi makin kacau." "Syifa." Arkana seperti menahan sesuatu di ujung suaranya. "Kamu gak bisa terus begini. Kamu gak harus hadapi semua sendiri." "Itu kenapa aku hubungin kamu waktu

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 63

    Arkana baru saja pulang. Jam menunjukkan pukul sebelas malam lebih. Ia melangkah pelan masuk kamar, dan mendapati Zaina sudah berbaring di ranjang tampak tertidur. Namun, ia tak benar-benar terlelap. Dengan gerakan hati-hati, Arkana meletakkan tas kecilnya di sofa, mengganti bajunya dengan pakaian rumah, lalu mengambil wudhu. Rasa lelah tampak membekas di wajahnya, tapi ada beban lain yang lebih besar yang ia bawa malam itu. Ia naik ke atas ranjang perlahan, berusaha agar tidak mengganggu Zaina. Ia menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, lalu menggenggam ponselnya jempolnya sibuk mengetik sesuatu. Matanya fokus, seperti sedang membalas chat seseorang yang penting. Zaina, yang sedari tadi hanya memejamkan mata, kini membalikkan tubuhnya perlahan, menatap suaminya. "Belum tidur?" tanya Arkana saat menyadari gerakan Zaina. Suaranya terdengar pelan. Zaina menggeleng. Ia lalu bangun perlahan, menopang tubuhnya yang kini terasa semakin berat karena usia kandungan yang sudah

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 62

    Langkah kaki Zaina melambat ketika keluar dari area kedatangan bandara. Perutnya yang membuncit membuatnya harus berhati-hati, namun bukan itu yang membuat gerakannya terasa berat. Matanya terus menatap dua orang di depannya suaminya dan Syifa. Dari tadi, Zaina tak mendengar satu pun suara tawa keluar dari mulut mereka. Tapi anehnya, kedekatan itu justru terasa lebih dalam daripada sekadar candaan atau gurauan. Mereka seperti dua orang yang menyimpan rahasia besar, saling paham dalam diam. Dan di tengah itu, Zaina merasa seperti bayangan, ada tapi tak dianggap. “Mas…” ucapnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Tangan Zaina terulur mengelus perutnya. Ia menunduk, mencoba menelan rasa perih yang mulai naik ke tenggorokan. Matanya basah, tapi ia cepat-cepat mengedip agar air mata itu tak jatuh. Tidak sekarang. Tidak di depan mereka. Setibanya di parkiran, Arkana hanya mengangguk ketika Zaina bilang ingin duduk di kursi belakang. Syifa juga tak menolak ketika duduk di sampin

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 61

    Zaina berjalan mondar-mandir di ruang tengah rumah mereka. Sesekali tangannya mengelus perut yang membuncit, mencoba menenangkan diri dengan merasakan gerakan kecil dari bayi di dalam sana. Tapi kegelisahannya tak kunjung reda. Sudah hampir dua jam sejak Arkana pamit untuk menemui Syifa, tapi hingga kini belum kembali. Ponselnya sempat beberapa kali dia cek, berharap ada pesan masuk atau panggilan. Namun tak ada. Saat mencoba menghubungi nomor suaminya, hanya suara operator yang menjawab. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.” Zaina menghela napas panjang, duduk perlahan di sofa sambil mengusap perutnya pelan. “Mas Arkana ke mana sih, nggak biasanya sampai selama ini. Aku tahu Syifa udah minta maaf dan sadar, tapi dia masih suka sama Mas Arkana. Jangan-jangan…” Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk yang mulai menumpuk di benaknya. “Mas, kamu tuh kenapa sih nggak kabarin? Apa aku salah udah izinin kamu ketemu Syifa?” gumamnya lirih, penuh k

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 60

    Hujan baru saja reda ketika mobil Arkana berhenti di depan rumah mereka. Udara malam terasa lembab, membawa bau tanah basah yang menyegarkan. Zaina turun lebih dulu, dibantu Arkana yang langsung membukakan pintu mobil. Ia menggandeng tangan istrinya masuk rumah, penuh hati-hati seperti membawa kaca yang mudah pecah. Zaina langsung menuju kamar dan mengganti bajunya dengan piyama bermotif bunga kecil, sementara Arkana menunaikan salat Isya’ sendirian. Suara lembut lantunannya mengisi ruangan, membuat hati Zaina yang sedang duduk di pinggir ranjang ikut tenang. Selesai mengucap salam, Arkana melipat sajadahnya, lalu mendekat ke ranjang. Ia tidak langsung naik, melainkan duduk bersila di lantai, menempelkan telinganya ke perut Zaina dengan senyum penuh harap. “Assalamu’alaikum, dedek,” bisiknya pelan, lalu mencium perut Zaina yang kini makin membuncit. “Malam ini, Abi mau cerita ya.” Zaina tertawa kecil, mengusap rambut Arkana yang menempel di perutnya. “Cerita apa, Abi?” Ark

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 59

    Zaina duduk di lantai ruang tamu, mengenakan daster longgar warna biru muda serta kerudung instan. Di pangkuannya, Zaina menguncir rambut Rara putri kecil Indah. Gadis kecil itu anteng sedang asyik memainkan boneka kecilnya. Tangannya yang mungil sesekali menarik mainan yang lain, sehingga membuat Zaina mendengus. karena Rara yang tiba-tiba bergerak membuat kunciran itu tidak rapih “Raraaa, pelan dong,” keluh Zaina sambil membenahi rambut Rara yang mulai berantakan. Indah muncul dari dapur membawa dua gelas teh hangat. Ia duduk di sebelah Zaina sambil mengamati tingkah putrinya yang semakin lengket sejak Zaina datang. "Gimana agak susah kan?" Tanya Indah. Zaina meringis, "Dikit mbak, tapi tadi Rara anteng kok. iya kan Ra?" Rara mengangguk seolah mengerti, masih dipangkuan Zaina. “Kayaknya Rara milih tantenya daripada mamanya sendiri deh,” celetuk Indah sambil menyodorkan teh. “Kalau Rara rambutnya aku kuncir selalu gak mau, Za.” Zaina tertawa kecil, menerima teh itu. “An

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 58

    Suara jarum jam berdetak pelan dan desau angin luar jendela yang menemani. Zaina mendadak bangun, matanya terbuka lebar, napasnya ngos-ngosan seolah baru lari jauh. Tangannya refleks memegangi perutnya yang mulai membulat. Hatinya sesak. Matanya berkaca. Arkana yang tidur di sebelahnya pelan-pelan membuka mata, merasa ada yang aneh. Ia menoleh, melihat istrinya duduk di ranjang sambil menunduk. “Sayang,” suaranya parau dan lembut, “kenapa?” Zaina tidak langsung menjawab. Bibirnya bergetar, jari-jarinya mengusap lembut perutnya yang hangat. Ia tahu Arkana pasti khawatir, tapi untuk beberapa detik, ia hanya diam. “Zaina,” ulang Arkana, kini duduk tegak dan meraih bahu Zaina pelan. “Kenapa? Kamu mimpi buruk?” Zaina mengangguk pelan. “Tapi aku gak mau kamu nanya-nanya tentang itu,” katanya lirih, nyaris seperti bisikan. “Aku takut, makin kepikiran.” Arkana menatapnya penuh tanya, tapi memilih diam. Ia tahu kapan harus mendesak dan kapan harus memberi ruang. Beberapa detik he

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 57

    “Usia kehamilan sudah memasuki trimester kedua. Artinya, Ibu akan mulai lebih sering merasa pergerakan janin ya. Dan mulai saat ini, konsumsi gizi makin harus dijaga. Oh ya, Bapak, kalau bisa Ibu diajak jalan pagi tiap hari, ya.” Arkana mengangguk mantap. “Siap, Bu. Nanti saya yang ngingetin.” Bu Hesti kemudian tersenyum tipis, lalu seperti teringat sesuatu, ia bertanya halus, “Ngomong-ngomong, selama hamil masih berhubungan suami istri kan ya, Bu Zaina?” Zaina langsung salah tingkah, pipinya memerah. Arkana pun tersedak pelan dan pura-pura batuk. “H-hehe iya, Bu,” jawab Zaina lirih. Bu Hesti tertawa kecil. “Tenang, itu wajar kok. Selama tidak ada keluhan seperti kontraksi, perdarahan, atau keluhan nyeri setelahnya, itu tidak masalah. Tapi tetap ya, semua harus atas kenyamanan ibu. Jangan dipaksa.” Zaina dan Arkana hanya saling lirik dengan canggung. Lalu keluar dari ruangan sambil menahan senyum malu. Di parkiran mobil, Zaina duduk dulu sebelum masuk ke dalam. Ia menata

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status