Share

Bab 3

Penulis: Narra Azahra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-30 16:34:17

Setelah sholat subuh, para mbak ndalem yang bertugas di dapur segera sibuk memasak. Zaina kebagian tugas menyiapkan ayam bumbu bali dan tempe kering. Meski baru beberapa hari tinggal di pesantren, Zaina sudah menunjukkan kemampuan memasaknya yang luar biasa—tak mengherankan, karena sejak remaja ia sering membantu Tante Ani di dapur.

Waktu terus berjalan, kini jam menunjukkan pukul enam pagi. Aroma harum dari masakan memenuhi dapur.

"Hm, bumbu balinya wangi banget," komentar Aliyah sambil menghirup aroma dari wajan.

"Jadi inget masakannya mbak Ani," tambah Aliyah, senyumnya penuh nostalgia.

Zaina tersenyum kecil, merasa tersentuh dengan pujian itu.

"Awalnya aku kira kamu gak bisa masak, Zaina. Eh, ternyata jago banget!" ujar Yaya, sambil mengacungkan jempol.

Zaina terkekeh pelan. "Setelah tante keluar dari pesantren ini, beliau buka usaha katering. Mau gak mau aku harus bantuin. Dari situ deh aku belajar masak."

Semua yang ada di dapur mengangguk paham.

Di sudut lain, Hana memasang wajah kesal. Ia tak suka mendengar pujian-pujian yang terus mengalir untuk Zaina.

"Ini ayam balinya udah matang. Ada yang mau coba?" tawar Zaina dengan ramah.

"Aku! Aku!" Yaya maju paling depan, diikuti Aliyah dan beberapa mbak ndalem lainnya.

"Hm, enak banget!" komentar Aliyah setelah mencicipinya. Ternyata rasanya bahkan lebih enak daripada masakan Ani, yang selama ini jadi panutan mereka.

"Sumpah, mbak Zaina harus jadi chef sih," ujar Rani dengan mata berbinar.

Zaina hanya tersenyum kecil mendengar pujian itu.

"Za, beneran. Rani gak salah ngomong. Kamu cocok jadi chef!" tambah Yaya yang terkenal doyan makan.

Zaina menggeleng ringan. "Udah, ayo lanjut masak lagi. Jangan cuma makan aja," ujar Aliyah, membubarkan kerumunan kecil itu supaya pekerjaan cepat selesai.

Zaina kembali fokus, membereskan peralatan yang sudah dipakai. Sambil membawa beberapa alat masak ke tempat cuci, ia melewati Hana yang tampak sibuk dengan tugasnya. Zaina berusaha ramah, tersenyum kecil kepada Hana. Namun, respons yang ia dapatkan justru dingin.

"Baru kali ini ada mbak ndalem yang caper banget," sindir Hana pelan, cukup lirih supaya Aliyah tak mendengar.

Zaina tahu ucapan itu ditujukan padanya. Namun, ia memilih untuk tidak mempermasalahkannya. Baginya, fokus utama di sini adalah bekerja dengan baik, bukan mencari masalah. Lagipula, ia sama sekali tak berniat caper.

****

"Karena tamu Kyai Ghifari datang jam 10, kita harus bagi tugas. Ada yang menyiapkan makan siang santri, dan ada yang membantu mempersiapkan jamuan di rumah ndalem," ujar Aliyah tegas.

"Yaya, Hana, Rani, Zaina, kalian bantu di rumah ndalem. Dira, Gina, Amanda, Caca, dan Firda tetap di dapur."

Semua mengangguk, lalu mulai bergerak menyelesaikan tugas masing-masing. Zaina dan yang lain segera menuju rumah ndalem. Sesampainya di sana, Zaina langsung membantu memasak makanan ringan di dapur.

"Zaina, boleh tolong ambilin daun pisang di depan?" pinta Yaya sambil sibuk menggulung adonan sosis solo.

Karena tugasnya sudah selesai, Zaina dengan senang hati mengiyakan. Ia berjalan ke halaman depan, tapi bukannya masuk lewat rumah, ia memilih jalan di sisi rumah yang menuju garasi.

Matanya sibuk mencari daun pisang itu. "Duh, katanya di halaman, kok gak ada ya?" gumamnya pelan.

Zaina melangkah lebih jauh. "Apa mungkin ada di garasi?" pikirnya. Ia ragu sejenak, tapi akhirnya memutuskan untuk mengecek ke sana. Benar saja, daun pisang itu ada, tersembunyi di bayangan yang terlindungi mobil.

Baru saja hendak membawa daun itu kembali, tiba-tiba sebuah motor besar melaju pelan ke arah garasi dan tanpa sengaja menyenggol tubuh mungil Zaina hingga ia tersungkur ke tanah.

"Aduh, baru sampai garasi orang aja udah ketabrak," celetuk Zaina, sedikit kesal.

Sambil mengibas-ngibas debu di gamisnya, ia berdiri dan memungut daun pisang yang terjatuh. "Mas, kalau bawa motor hati-hati dong! Udah di garasi aja masih nabrak orang secantik ini," ujarnya setengah bercanda sambil melirik pria berjaket hitam dengan helm full face.

Pria itu hanya terdiam, jelas bingung menghadapi sikap gadis ini.

Zaina melanjutkan, masih dengan nada santai, "Udah, gak usah repot-repot minta maaf. Saya udah maafin kok."

Pria itu tetap tak berkata apa-apa, hanya menatapnya sebentar sebelum berlalu pergi

Arkana baru saja tiba di rumah setelah dua minggu tidak pulang. Ia membuka pintu dengan langkah mantap dan mengucapkan salam.

"Assalamualaikum, Umi."

Khadijah yang tengah sibuk di dapur langsung bergegas menghampiri. "Wa'alaikumussalam, le. Akhirnya kamu pulang juga!" ujar Umi senang.

"Iya, Umi. Gimana kabar Umi?"

"Alhamdulillah, sehat," jawab Khadijah sambil tersenyum lebar.

"Kamu ganti baju dulu sana. Bau matahari," candanya.

Arkana hanya mengangguk kecil lalu menuju kamarnya untuk membersihkan diri.

****

Di dapur, Umi Khadijah memanggil Zaina yang sedang merapikan piring-piring. "Zaina, tolong bawain jajanan ini ke ruang tamu ya," pintanya sambil menyodorkan nampan penuh makanan ringan.

"Iya, Umi," jawab Zaina patuh. Ia membawa nampan itu ke ruang tamu dan menatanya dengan rapi di meja.

Saat kembali ke dapur, langkah Zaina terhenti ketika berpapasan dengan Arkana yang baru saja keluar dari kamarnya.

Mata Zaina membelalak sedikit. Wajah pria itu tampak familiar. Ia menatap lamat-lamat, berusaha mengingat di mana pernah melihatnya. Arkana, yang merasa risih karena diperhatikan seperti itu, hanya menoleh sekilas.

"Tundukkan pandangan itu wajib," ujarnya singkat, suaranya dingin.

Zaina langsung menundukkan wajahnya dengan kikuk. Arkana pun berlalu tanpa sepatah kata lagi, menuju ruang tamu untuk menemui Umi.

Jika saja Zaina tahu bahwa pria yang memimpin kajian malam ini adalah seorang gus, dia pasti tidak akan bersikap sekonyol itu di pertemuan pertama mereka. Kini rasa malu terus menghantui pikirannya.

"Malu banget!" pekik Zaina tiba-tiba, tanpa sadar.

Yaya dan beberapa santriwati di sebelahnya langsung menoleh, wajah mereka memancarkan rasa penasaran. Suara Zaina terlalu keras untuk diabaikan.

"Za, kenapa sih?" tanya Yaya sambil mengerutkan dahi.

"Ah, gak apa-apa kok," Zaina buru-buru tersenyum, berusaha menutupi rasa malunya.

Di depan mereka, Gus Arkana berbicara dengan nada tenang namun penuh wibawa.

"Bisa jadi apa yang sedang Allah uji pada kita saat ini adalah kebaikan yang belum kita pahami. Kita tidak pernah tahu rencana-Nya ke depan. Insyaallah, kesedihan hari ini akan diganti dengan kebahagiaan esok," ujar Arkana, suaranya menggema lembut.

Semua mendengarkan dengan khusyuk, termasuk Zaina. Hatinya tersentuh dengan setiap kata yang keluar dari mulut gus itu.

Tiba-tiba, Yaya berbisik, "Za, jangan sampai jatuh cinta sama Gus Arkana."

Zaina menoleh bingung. "Hah? Siapa juga yang suka. Aku tahu diri kali, Ay," jawabnya cepat, meski ada sedikit gugup dalam suaranya.

Yaya terkekeh pelan. "Semua di pesantren ini tergila-gila sama Gus Arkana," bisiknya lagi.

"Ya iyalah, siapa yang gak suka. Udah soleh, sukses, ganteng pula," tambah Yaya sambil menghela napas dramatis.

Zaina hanya tersenyum kecil, lalu menatap Yaya dengan penasaran. "Kamu juga suka sama dia?" godanya.

Yaya langsung menggeleng tegas. "Enggak lah! Di hatiku cuma ada nama lain, bukan Gus Arkana," jawabnya bangga, tanpa ragu.

Zaina terkekeh. "Menurutku, sih, kalau soal tampang, Gus Athar lebih menang."

Yaya menoleh cepat dengan alis terangkat. "Za, kamu suka berondong?"

****

Sore itu, Zaina duduk bersama Umi Khadijah dan Kyai Ghifari, menikmati secangkir teh hangat di bawah sinar matahari yang mulai redup.

"Ani dulu sangat berjasa bagi keluarga kami, nduk," ujar Kyai Ghifari dengan suara lembut.

Zaina yang duduk di antara kedua orang berilmu itu merasa sedikit canggung, hanya bisa tersenyum mendengar kata-kata Kyai yang penuh penghargaan itu.

"Gak hanya memasak, dia juga yang mengurus anak-anak kami, termasuk Athar. Sejak kecil, Ani yang merawat Athar," tambah Kyai Ghifari lagi, matanya seolah mengenang kenangan lama.

Umi Khadijah mengangguk setuju. "Ani sudah kami anggap sebagai adik kami sendiri. Jadi, kamu jangan sungkan untuk meminta bantuan pada kami, ya," ujarnya dengan senyum hangat.

Zaina hanya mengangguk kikuk, merasa belum layak untuk menerima perhatian sebanyak itu.

Suasana pun hening sejenak, hingga tiba-tiba Kyai Ghifari memecah keheningan. "Kamu mau kuliah?" tanyanya, suara beratnya penuh perhatian.

Zaina terdiam sesaat, berpikir sejenak sebelum menjawab, "Tidak, Kyai." Meski sebenarnya Zaina ingin kuliah, namun ia merasa ada banyak hal yang lebih penting untuk diperhatikan.

"Kenapa?" tanya Umi Khadijah, matanya penuh rasa ingin tahu.

"Padahal tujuan kami memanggilmu ke sini adalah untuk menyekolahkanmu, supaya kamu sukses nanti," lanjut Umi Khadijah dengan lembut.

"Saya di sini untuk bekerja, membantu di dapur, Umi," jawab Zaina dengan sopan.

Kyai Ghifari menatapnya dengan penuh pengertian, "Kamu itu masih terlalu muda, nduk."

"Tidak apa-apa, Kyai. Saya memang tidak ada niatan untuk kuliah," jawab Zaina, meski dalam hati ia merasa sedikit bersalah karena berbohong.

Umi Khadijah menghela napas pelan, "Sayang sekali, nduk. Ani bilang kamu dulu adalah murid yang berprestasi di sekolah sejak kecil."

Zaina tersenyum tipis. "Lebih baik saya di sini saja, mengabdi di pesantren ini. Bukankah ini juga amal buat saya?" jawabnya dengan rendah hati.

Umi Khadijah memegang tangan Zaina dengan lembut, "Kamu sudah cantik, rajin, masyaAllah, nduk. Semoga Allah memberi kamu jodoh yang terbaik."

Zaina tersenyum, hati terasa hangat dengan doa dan perhatian yang tulus dari kedua orang tersebut.

Bab terkait

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 4

    "Assalamualaikum, boleh Umi masuk?" tanya Umi Khadijah sambil mengetuk pintu kamar Arkana. "Waalaikumsalam, boleh Umi," jawab Arkana. Ia segera berdiri dari kursinya dan melepas kacamata yang sedang dipakainya. Umi Khadijah masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi tempat tidur Arkana. "Ada apa ya, Umi?" tanya Arkana sambil ikut duduk di sampingnya. "Gak ada apa-apa, cuma Umi kok rasanya sudah lama banget gak denger curhatan kamu," ujar Umi Khadijah dengan nada lembut. Arkana tersenyum kecil. "Mau curhat apa, Umi? Arkana gak ada masalah kok," balasnya santai. "Jadi kalau ada masalah saja kamu baru mau cerita sama Umi?" Umi Khadijah berpura-pura cemberut, memasang wajah seolah kecewa. Arkana terkekeh melihat tingkah Uminya. Meski sudah berumur, sikap Umi Khadijah sering mengingatkan Arkana pada anak-anak. Abi memang sering berkata kalau istrinya punya jiwa muda yang tak pernah pudar. "Gimana villa kamu di Bali?" tanya Umi, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Alhamdulillah,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-01
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 5

    "Motornya kenapa lagi, Gus?" tanya seorang pria dengan baju penuh noda oli. Arkana tersenyum tipis. "Gak ada apa-apa. Saya cuma mampir, lihat-lihat bengkel kalian," jawabnya santai. Gilang, mengangguk. "Oh, saya kira ada masalah. Alhamdulillah, bengkel lagi ramai gus, banyak servis hari ini." "Baguslah, sukses terus buat kalian," ujar Arkana, tulus mendoakan. "Semua ini juga berkat Gus Arkana," timpal Saka, salah satu mekanik lainnya. Arkana menggeleng ringan. "Saya cuma perantara. Rezeki itu datangnya dari Allah. Selama kalian gak ninggalin ibadah, insyaAllah rezeki pasti selalu ada," ujarnya dengan nada lembut namun penuh keyakinan. Kelima pria di bengkel itu menghentikan sejenak aktivitas mereka. Mereka tahu betul, tanpa Arkana, mungkin hidup mereka masih berantakan. Dulu, mereka adalah anak punk yang hidup di jalanan, mengamen untuk bertahan hidup. Setiap kali bertemu Arkana di lampu merah, pria itu selalu mengingatkan mereka untuk sholat. Awalnya mereka kesal, mengan

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 6

    Athar langsung tertawa penuh kemenangan. "Wah, Mas Arkana main rahasia-rahasiaan nih, Umi! Ayo telpon Abi! Pasti dari Jakarta langsung pesen tiket pulang kalau dengar ini." Umi ikut tersenyum geli. "Iya, sopo toh, Le? Umi penasaran." Arkana terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ning Syifa, Umi." **** "Za, tolong ambilin piring di gudang," perintah Hana dengan nada mendesak. Zaina yang sedang merapikan meja melirik tumpukan piring di atasnya. "Bukannya piringnya masih banyak? Lihat tuh," ujarnya heran. "Udah, cepetan! Keburu anak-anak datang semua," kata Hana, menyembunyikan senyum liciknya. Zaina mendengus kesal, tapi tetap menurut. Sementara itu, Hana memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan rencananya. Di dalam gudang, Zaina mengamati sekeliling, mencari piring yang disebut Hana. Namun, yang ada hanya karung beras, bahan baku dapur, dan beberapa peralatan lama. Sementara itu, Arkana masuk ke gudang, entah untuk mencari apa. Zaina yang masih sibuk mencari tida

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 7

    "Zaina ke mana yah?" gumam Yaya pelan, rasa khawatir semakin menjalari hatinya. Setelah sholat tahajud, Yaya langsung keluar kamar, menunggu Zaina yang entah pergi ke mana. Atau jangan-jangan… tadi malam dia tidak pulang ke kamar? Yaya benar-benar tidak tahu. Selepas makan malam, ia langsung tertidur. Namun, sebelum itu, ia sempat melihat Zaina berbicara dengan Hana. Pikirannya terus berputar hingga suara langkah kaki membuatnya menoleh. "Aya? Ngapain kamu di sini?" suara Aliyah terdengar pelan saat ia keluar dari kamar. "Mbak Al, Zaina gak ada," ujar Yaya panik. Aliyah berjalan mendekat, mencoba menenangkan. "Mungkin dia ke kamar mandi," tebaknya. Yaya menggeleng cepat, matanya masih menatap lorong pesantren yang sepi. "Dia gak pulang, Mbak, dari semalam." Aliyah mulai serius. "Kamu yakin?" Yaya mengangguk. "Kemarin aku masih lihat dia ngobrol sama Hana sebelum makan malam. Setelah itu, aku gak tahu. Aku langsung balik ke kamar dan ketiduran." Aliyah berpikir seje

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-10
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 8

    "Zaina pasti setuju." Suara berat itu membuat Arkana tersentak. Ia menoleh dan mendapati Kyai Ghifari sudah berdiri di ambang pintu dapur. Dengan langkah mantap, pria paruh baya itu berjalan menuju meja makan dan duduk di sana. "Apa salahnya jika kamu menikah dengannya? Dia gadis baik-baik," lanjut Kyai Ghifari. Umi Khadijah segera menyodorkan secangkir teh yang sedari tadi sudah disiapkannya. Ia lalu ikut duduk di sebelah suaminya, sementara Arkana tetap berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi penuh perlawanan. "Abi, kami tidak saling mencintai," ujar Arkana berusaha menekan emosinya. "Dia hanya membantu di pesantren Abi sementara Arkana di sini sebagai Gus. Apa Abi tidak berpikir bahwa ini akan menyulitkan kami berdua?" Kyai Ghifari menyesap tehnya dengan tenang, sebelum menatap putranya dengan penuh kewibawaan. "Semua manusia sama saja, Nak. Jika kalian tidak saling cinta, maka berusahalah. Cinta itu akan datang jika kalian membiasakan diri. Abi dan Umi dulu juga tidak s

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-12
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 9

    Pagi ini, kondisi Zaina sudah jauh lebih baik. Ia memutuskan kembali membantu di dapur seperti biasanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari berbagai hal yang menekan batinnya. "Caca, biar aku saja yang menghaluskan bumbu ini. Kamu bantu mereka, ya," ujar Zaina, melirik sekilas ke arah beberapa mbak dapur yang sedang berkumpul dengan Hana. Tatapan mereka begitu menusuk, penuh dengan sindiran yang jelas ditujukan padanya. Caca menatap Zaina ragu. "Mbak gak apa-apa? Ini banyak bumbu yang harus diulek. Mbak kan baru sembuh," ujarnya khawatir. Zaina mengangguk, tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja." Caca menyerah, lalu menyerahkan cobek ke Zaina sebelum akhirnya bergabung dengan Hana dan yang lainnya. Namun, baru saja ia mendekat, bisikan sinis mulai terdengar. "Kamu gak takut deket-deket sama dia?" ujar Firda dengan nada mengejek. "Udah deh, kalau kalian ghibah terus, masakannya gak selesai-selesai," sela Caca, mulai kesal dengan sikap mereka. Sejak tadi, mereka lebih sibuk

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 10

    Beberapa menit kemudian, Hana datang dengan wajah tak senang. "Kenapa kamu ngasih makanan lagi ke anak-anak? Tadi dia sudah makan. Ck, kalau gini yang lain gak kebagian dong," ujarnya dengan nada ketus. Zaina menghela napas, berusaha tetap sabar. "Cuman sedikit, Han. Lagian, ini juga masih banyak," jawabnya tenang. Hana mendengus. "Lain kali jangan kayak gitu. mentang-mentang mau menikah sama gus Arkana kamu jadi seenaknya," ujarnya sebelum pergi. Zaina hanya bisa beristighfar. Setelah memastikan semua santri sudah mendapat jatah sarapan, Zaina mulai membereskan baskom-baskom yang sudah kosong. Namun, tiba-tiba ia merasa seperti sedang diperhatikan. Ketika ia menoleh, matanya langsung bertemu dengan sosok yang berdiri tidak jauh darinya. Arkana. Sejak kejadian di gudang, ini pertama kalinya mereka bertemu langsung. Jantung Zaina berdetak lebih cepat. Ia merasa bersalah, pasti Arkana sangat marah padanya. Tatapan mereka bertahan lebih lama dari seharusnya, hingga akhirnya

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-16
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 11

    Setelah selesai merapikan tempat tidur, ia beralih ke almari, menata beberapa baju yang berantakan. Saat merapikan salah satu sudut, matanya menangkap sebuah bingkai foto. Foto keluarganya. Zaina tersenyum dan mengambilnya. Perlahan, ia melangkah ke jendela, membiarkan pandangannya menembus pemandangan malam yang tenang. Bulan bersinar begitu terang, meski hanya sedikit bintang yang menemani. Lagi-lagi, ia tersenyum saat angin malam menerpa wajahnya dengan lembut. "Itu pasti kalian, kan? Kalian menyapa Zaina," bisiknya, menatap foto dalam genggamannya. Tangannya mengelus pinggiran bingkai dengan hati-hati. "Zaina akan segera menikah. Pasti kalian kaget." Ia terkikik kecil. "Zaina juga kaget... ini tiba-tiba banget." Zaina menggigit bibirnya, menahan perasaan yang bercampur aduk di dadanya. "Zaina menikah sama Gus Arkana..." katanya pelan. Begitu kalimat itu meluncur dari bibirnya, perasaan hangat menjalar di dalam hatinya. Entah mengapa, menyebut nama pria itu sekarang t

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17

Bab terbaru

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 27

    Zaina menatapnya skeptis. "Rara pasti nangis kalau sama kamu, Mas," ucapnya penuh keyakinan. Arkana menoleh ke Rara. "Iya, Ra?" tanyanya mencoba menantang. Seakan mengerti, bayi mungil itu langsung mengangguk. Zaina tertawa kecil, "Lucu banget ya, Mas, Rara ini." Arkana tersenyum, "Kalau kamu suka anak kecil, gimana kalau kita bikin satu sendiri?" tanyanya santai, menatap Zaina dengan ekspresi penuh arti.Mendengar ucapan Arkana, pipi Zaina sempat memerah karena canggung. Namun, ia buru-buru menormalkan ekspresinya. "Udah ah, jangan ngomong yang aneh-aneh," ucapnya, lalu melangkah lebih cepat.Di dalam hatinya, Zaina mencoba meyakinkan diri. "Arkana sudah punya perasaan sama perempuan lain sebelum aku. Kata-katanya tadi pasti cuma kebetulan."Namun, langkahnya terhenti saat suara Arkana kembali terdengar."Aneh apanya? Kita ini suami istri, kan? Kamu nggak mau melahirkan anak untuk saya?" tanyanya, terdengar santai namun penuh makna.Zaina langsung berbalik, menatap Arkana tajam.

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 26

    "Kenapa? Kok kayak lagi ada masalah besar gitu?" ujar Adam begitu masuk ke ruangan Arkana. Arkana yang sempat tersentak langsung berpura-pura sibuk, memainkan pulpen di tangannya seolah sedang berpikir keras tentang pekerjaannya. "Cerita, bro. Kalau ada masalah," lanjut Adam sambil menjatuhkan tubuhnya ke kursi di depan meja Arkana. Ia memutar-mutar kursinya dengan santai, menatap sahabatnya yang tampak lebih pendiam dari biasanya. Arkana menghela napas sebelum akhirnya bertanya, "Indah pernah ngejauhin lo tiba-tiba gak?" Adam mengernyit, berpikir sejenak. "Selama ini sih nggak pernah," jawabnya, lalu menyandarkan punggungnya. "Tapi kalau lagi ngambek sih iya." Arkana mengetukkan pulpennya ke meja, lalu menatap Adam dengan serius. "Cewek biasanya ngambek gara-gara apa sih?" Adam menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, mencoba mengingat pengalaman pribadinya. "Cemburu. Atau nggak, karena gue kurang peka." Arkana mengangguk pelan. Adam memperhatikan ekspresi sahabatnya la

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 25

    Arkana yang mendengar segera berlari ke dapur dengan wajah panik. "Kenapa, Za?" tanyanya cemas, langsung meraih tangan Zaina untuk memastikan lukanya. Namun, Zaina buru-buru menepis tangannya dan segera membasuh luka itu dengan air. "Kamu gak papa?" suara Arkana terdengar lembut, penuh kekhawatiran. Zaina tak menjawab. Sayatan ini memang kecil, tapi rasa perihnya seakan menusuk lebih dalam dari sekadar luka fisik. Gadis itu hanya diam, berjalan ke meja makan lalu duduk dengan tatapan kosong. Arkana pun mengikuti, tanpa suara, sebelum akhirnya mengambil segelas air dan menyodorkannya pada Zaina. "Minum dulu," ujarnya pelan. Zaina menerima gelas itu dan meneguknya tanpa banyak kata. "Aku ambilkan plester, ya?" tawar Arkana. "Tidak usah, Mas. Ini hanya luka kecil." Zaina menolak dengan suara yang nyaris datar. Ia kembali bangkit dan berjalan ke dapur, melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Arkana menghela napas, tapi tetap mengikuti Zaina. "Biar aku aja yang mas

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 24

    Arkana menyandarkan tubuhnya. "Kos yang gue kelola selama ini gak jalan sebagus villa. Gue mikir, daripada terus bertahan dengan kos yang sepi peminat, kenapa gak kita ubah jadi villa baru?" Adam tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Itu bisa jadi ide bagus, sih. Tapi lo yakin bisa bersaing sama villa lain? udah banyak Villa ternama disini, termasuk Aruna Hills ini, tapi kalau lo bikin villa baru, lo harus bangun branding dari awal." Arkana mengangguk. "Makanya gue mau bikin konsep yang beda. Sesuatu yang unik, yang gak cuma tempat nginep, tapi juga experience." Adam terkekeh. "Lo kayaknya udah mikirin ini matang-matang, ya?" "Gue gak mau ambil risiko kalau gak yakin," ujar Arkana. "Makanya gue tanya lo, menurut lo ide ini worth it atau enggak?" Adam menyandarkan punggungnya, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Kalau ada konsep kuat, promosi jalan, dan marketnya jelas, gue rasa bisa sukses. Tapi lo butuh strategi yang lebih dari sekadar ubah kos jadi villa." Arkana

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 23

    Sinta mengangkat alis, menunggu lanjutan kalimatnya. "...dari gula," lanjut Athar cepat sebelum yang lain sempat menggoda. Zora dan Nindi langsung mendesah kecewa. "Ih, kirain mau gombal!" Abid hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Athar gombal? Kayaknya dunia belum siap buat itu," celetuknya. Sinta mendengus kecil lalu mengambil satu potong mangga dan menggigitnya dengan puas. Tiba-tiba Athar menoleh ke arah Sinta. "Eh, kamu anak mana sih?" tanyanya santai. Sinta refleks menoleh, sedikit heran dengan pertanyaan mendadak itu. "Jombang, Gus," jawabnya sambil tetap melahap mangganya. Athar mengangguk-angguk pelan, tampak berpikir sejenak. "Kita gak ditanya, Gus?" protes Nindi berharap mendapatkan perhatian yang sama. Athar melirik sekilas. "Surabaya, kan?" tanyanya dengan wajah datar. Nindi menghela napas panjang, lalu menepuk dahinya sendiri. "Yaelah, Thar. Udah gak seru," gumamnya. Zora yang sejak tadi memperhatikan interaksi mereka tiba-tiba menyeringai. "Kayaknya

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 22

    "Terserah," jawab Arkana dengan nada lembut, membuat Zaina menoleh dan mengerutkan dahi. "Mas ini, semuanya terserah," gumamnya pelan sambil akhirnya memilihkan produk untuk suaminya. Setelah merasa semua belanjaan sudah lengkap, mereka berjalan menuju kasir. Namun, saat melewati bagian buah-buahan, Zaina tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Mas!" serunya spontan, membuat Arkana sedikit kaget. "Kenapa?" tanya Arkana heran. "Untung aja aku ingat, kita belum beli buah," ujar Zaina. "Gapapa kan, Mas?" Arkana menoleh ke bagian buah-buahan dan mengangguk. "Gapapa, kamu mau buah apa?" tanyanya. "Mangga, kayaknya enak sih, Mas." Zaina menatap tumpukan mangga berwarna kuning kemerahan yang tampak segar dan menggoda. "Apel juga mau, jeruk juga, anggur juga... Eh, gapapa kan, Mas?" tanya Zaina sedikit ragu, takut belanjaannya terlalu banyak. Arkana hanya tersenyum melihat ekspresi istrinya. "Gapapa, Za. Pilih aja sesukamu." Mendengar itu, Zaina tersenyum girang dan mulai m

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 21

    Pagi ini, Zaina dan Arkana sudah siap untuk berangkat ke Bandung. Sebelum pergi, Zaina menyempatkan diri untuk berpamitan dengan teman-temannya di dapur pesantren. "Udah siap, Za?" suara Arkana terdengar dari pintu kamar. Pria itu mengenakan kemeja rapi dipadukan dengan sarung. Zaina menoleh, mengangguk, lalu menutup kopernya. Arkana dengan sigap membantunya membawa koper ke luar. Di ruang makan, Khadijah sedang duduk sambil menyeruput teh hangat. Saat melihat keduanya, ia langsung bertanya, "Udah siap?" "Iya, Umi. Kami terbang pukul sembilan," jawab Arkana. "Hati-hati ya, Nak. Kalian diantar Pak Harto, kan?" tanya Khadijah, memastikan. Zaina mengangguk, sementara Arkana sudah keluar lebih dulu untuk memasukkan koper ke bagasi mobil. Zaina dan Khadijah berjalan beriringan menuju halaman. Sepanjang jalan, Khadijah menggenggam tangan menantunya erat, seolah ingin menyampaikan banyak hal tanpa kata-kata. "Umi, kita pamit ya. Umi jaga diri baik-baik," ujar Zaina lembut.

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 20

    Suasana semakin canggung. Yanti terperangah, sementara Bu Linda dan Bu Umi hanya bisa saling pandang, tidak menyangka pertemuan ini akan berujung seperti ini. "Zaina, kita pulang," ucap Khadijah akhirnya, berdiri dari tempat duduknya. Zaina ikut berdiri, mengangguk sopan pada para ibu-ibu yang masih duduk. "Permisi, Bu. Assalamualaikum," ucapnya dengan senyum yang dipaksakan. "Waalaikumsalam," jawab Bu Linda dan Bu Umi hampir bersamaan, masih menatap Khadijah tidak enak juga dengan kejadian tadi. **** Setelah makan siang bersama teman-teman Umi Khadijah, Arkana datang menjemput Zaina. Namun, Umi Khadijah tidak ikut pulang bersama mereka, karena ia harus singgah terlebih dahulu ke toko busananya. Sebelum keluar dari mobil, Umi menatap lembut menantunya. "Zaina, yang tadi jangan dipikirkan, ya. Umi minta maaf kalau kamu tersinggung dengan perkataan teman Umi," ucapnya dengan nada penuh kasih. Zaina tersenyum kecil, berusaha terlihat baik-baik saja meski hatinya masih teras

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 19

    Athar tersenyum tipis melihat tingkah temannya. Namun, seketika itu juga pikirannya kembali pada satu hal yang belakangan ini sulit ia lupakan. "Kayaknya aku harus cepet-cepet move on deh dari Mbak Zaina. Masa gue gini-gini aja terus sih? Ini juga kenapa sukanya sama yang lebih tua? Bikin ribet aja." Ia mengusap wajahnya, merasa kesal dengan diri sendiri. Tanpa berpikir panjang, Athar berdiri dan berjalan ke luar asrama. Entah mau ke mana, yang jelas ia butuh udara segar. **** "Pakai lauk apa, Gus?" tanya Zaina sambil menatap suaminya. Arkana yang sedang menuangkan air ke gelasnya menoleh sebentar. "Ayam sama telur aja," jawabnya santai. Zaina mengangguk lalu dengan cekatan mengambilkan makanan untuk suaminya. Dari seberang meja, Khadijah dan Ghifari memperhatikan pasangan baru itu dengan senyum penuh makna. Tak lama kemudian, Zaina menyodorkan piring berisi lauk pilihan Arkana. "Terima kasih," ujar Arkana singkat. Zaina hanya mengangguk, sementara Khadijah yang seda

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status