Di halaman pesantren, Zaina kini berdiri dengan gamis abu-abu yang menjuntai rapi, dilengkapi hijab segi empat yang menutupi mahkotanya. Di tangannya tergenggam sebuah koper dan tas ransel besar. Rasa gugup menyelimuti dirinya, membayangkan bagaimana cara menjelaskan bahwa ia tiba-tiba saja datang untuk menjadi bagian dari mbak dapur di pesantren ini.
Langkahnya perlahan menapaki halaman, matanya menangkap pemandangan santriwan dan santriwati yang sibuk berlalu-lalang. Beberapa di antara mereka berhenti sejenak, menatap Zaina penuh rasa penasaran. "Santriwati baru, ya?" bisik seorang santriwati yang sedang menyapu halaman asrama. Teman-temannya mendekat, ikut mengamati. "Kayaknya sih. Aduh, cantik banget lagi," ujar salah satu dari mereka. Ketika melewati mereka, Zaina menyunggingkan senyum sopan. "Maaf, bolehkah saya minta tolong diantar ke rumah ndalem?" tanyanya lembut meskipun tahu lawan bicaranya mungkin lebih muda. Ketiga santriwati itu saling pandang, lalu mengangguk penuh semangat. "Oh, boleh, Mbak. Ayo, kami antar," ujar salah satu, yang bernama Sinta. Saat berjalan bersama, rasa penasaran mereka pun mencuat. "Mbak ini santriwati baru, ya?" tanya Sinta. Zaina menggeleng. "Lah, terus ke sini buat apa? Jangan-jangan Mbak ini kerabatnya Bu Nyai sama Pak Kyai?" timpal Zora dengan mata berbinar. Zaina tersenyum kecil mendengar dugaan itu. "Penampilan saya seperti ini kalian pikir saya kerabat mereka?" ujarnya ringan. Ketiga gadis itu terdiam bingung. "Sebenarnya, saya ini keponakan dari Tante Ani. Dulu beliau pernah bekerja di sini. Kalian pasti kenal, kan?" Ketiganya serentak mengangguk, lalu ekspresi ceria mereka berubah menjadi muram. "Turut berduka cita ya, Mbak. Kami juga merasa kehilangan Mbak Ani," kata Nindi penuh simpati. Zaina hanya mengangguk, meskipun hatinya ingin menangis. Namun, ia berusaha menampilkan wajah tegar. "Mbak Ani itu orangnya baik banget, masakannya juga enak sekali," ujar Sinta mengenang. Zaina terkekeh kecil. "Terima kasih atas kenangannya," jawabnya lirih. "Jadi, Mbak ke sini mau jadi mbak ndalem, ya?" tanya Zora, penasaran. "Ya, kira-kira begitu," jawab Zaina singkat. Tak lama, mereka tiba di depan sebuah rumah besar. "Mbak, ini sudah sampai. Semoga betah, ya. Kami tinggal dulu, mau siap-siap untuk sholat Ashar," kata Nindi sambil tersenyum. "Terima kasih," ujar Zaina. "Na'am, Mbak." Setelah mereka pergi, Zaina mengetuk pintu rumah itu sembari mengucapkan salam. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan seorang pemuda dengan baju koko tampak berdiri di sana. Ia sepertinya hendak pergi ke masjid. "Wa'alaikumussalam. Ada perlu apa ya, Mbak?" tanyanya sopan. Zaina sempat gugup sejenak sebelum menjawab, "Saya ingin bertemu dengan Bu Nyai." "Masuk saja, Mbak. Umi ada di dalam. Saya panggilkan dulu," ujar pemuda itu, mempersilakan Zaina masuk. Zaina duduk di kursi empuk yang berderet di ruang tamu. Pandangannya terpaku pada foto-foto besar yang tergantung di dinding, memperlihatkan berbagai momen keluarga pesantren. Tak lama, seorang wanita paruh baya muncul dengan senyum hangat di wajahnya, diikuti pemuda tadi di belakangnya. "Ada keperluan apa ya, nak, menemui saya?" tanya wanita itu, yang tak lain adalah Umi Khadijah. Zaina segera berdiri dan memperkenalkan diri. "Perkenalkan, saya Zaina, keponakan dari Tante Ani," ujarnya dengan nada lembut. Mata Umi Khadijah membesar, ekspresinya berubah dari bingung menjadi penuh haru. "Subhanallah, kamu Zaina? Keponakan Mbak Ani?" Zaina mengangguk sambil tersenyum. "Nak, turut berduka cita, ya. Maaf sekali, kemarin Umi tidak bisa datang untuk ziarah," ujar Umi Khadijah penuh rasa bersalah. "Tidak apa-apa, Nyai," balas Zaina sopan. "Saya sudah tahu alasan kedatanganmu ke sini. Umi akan menerima kamu dengan senang hati." Zaina mencoba membuka mulut, "Tante Ani...," "Iya, Nak. Tante kamu menitipkan kamu ke sini. Semoga kamu bisa merasa nyaman," jawab Umi Khadijah lembut. Pemuda di belakang Umi menyela dengan suara pelan. "Keponakannya Mbak Ani, ya, Umi?" "Iya, Le. Ini keponakannya Mbak Ani," balas Umi. Umi memperkenalkan pemuda itu kepada Zaina. "Nak Zaina, kenalkan ini Athar, anak bungsu Umi." "Salam kenal, Mbak Zaina," ujar Athar sopan sambil merapatkan kedua tangannya, memberi salam ala Islam. Zaina membalas salam itu dengan gerakan yang sama. "Salam kenal juga." Setelah itu, Umi Khadijah melanjutkan, "Zaina, koper dan tasmu biarkan di sini dulu. Kita sholat Ashar berjamaah bersama, ya." "Nah, ini dapur kotor kita. Zaina," ujar Aliyah, senior mbak ndalem, sambil melangkah memasuki dapur. Zaina menatap sekeliling, matanya menyapu setiap sudut dapur yang luas. Ada tungku tradisional yang berdiri kokoh di satu sisi, ditemani lima kompor gas yang berderet rapi di sisi lainnya. Aroma bumbu masakan menguar, menciptakan suasana hangat khas dapur pesantren. Beberapa mbak ndalem yang tengah sibuk memasak menoleh dan tersenyum pada Zaina. "Zaina, keponakannya Mbak Ani, ya?" tanya seorang mbak ndalem bertubuh sedikit gempal, wajahnya ramah. "Iya, benar," jawab Zaina, sambil mengangguk dan tersenyum. "Kenalin, aku Yaya," perempuan itu mengulurkan tangan. Zaina menyambut jabatan tangannya dengan sopan. "Senang bertemu denganmu, Mbak Yaya." "Selamat bergabung, Zaina," suara lain terdengar serempak dari beberapa mbak ndalem yang lain. Senyuman mereka menyambut Zaina dengan kehangatan. Aliyah menoleh pada Zaina. "Zaina, kamu bisa mulai belajar sekarang. Malam ini kita masak untuk makan malam sekitar jam delapan." Kemudian Aliyah melirik Yaya. "Yaya, tolong bantu Zaina, ya. Aku harus pergi dulu untuk mengecek santriwati." "Siap, Mbak," jawab Yaya, mengangguk penuh semangat. "Terima kasih, Mbak," ucap Zaina sopan sebelum Aliyah meninggalkan dapur. Yaya menepuk bahu Zaina ringan. "Oke, Zaina, ayo mulai. Kamu bantu kupas bawang putih dan bawang merah dulu, ya. Di sini bawang itu musuh utama kita." Zaina terkekeh kecil. "Baik, Mbak." Saat Zaina mulai bekerja, beberapa mbak ndalem tampak menyambutnya dengan senang hati. Namun, di sudut lain, beberapa yang lain hanya memandang dengan tatapan dingin, tanpa sepatah kata. Zaina mencoba mengabaikan rasa canggung itu. Ia tahu, tidak semua orang akan langsung menerima kehadirannya, dan itu tidak apa-apa. Yang penting, ia bertekad untuk melakukan yang terbaik di tempat baru ini. **** Tak terasa, sudah lima hari Zaina tinggal di pesantren ini. Ia merasa bersyukur karena orang-orang di sini sangat ramah dan baik, terutama Bu Nyai yang penuh kasih. Kehangatan mereka sedikit demi sedikit mengisi kekosongan hatinya, menambal luka akibat kehilangan yang terus berulang dalam hidupnya. Zaina mengucap syukur kepada Allah. Ternyata di balik kesedihannya, ada hikmah besar yang menunggunya. Di pesantren ini, ia tidak hanya bekerja sebagai mbak ndalem, tetapi juga berkesempatan memperdalam ilmu agama. Kebiasaan yang sebelumnya jarang ia lakukan, seperti membaca Al-Qur'an, kini menjadi rutinitas harian. Lingkungan yang penuh kebaikan ini benar-benar membawa pengaruh positif. Selepas Isya, Zaina sedang khusyuk membaca Al-Qur'an di kamarnya. Suaranya lembut mengalun, hingga akhirnya ia menutup tilawah dengan kalimat, "Shadaqallahul 'azim." Dengan hati tenang, ia menaruh kitab itu di meja rias. Duduk di depan cermin, ia menatap bayangannya. Wajahnya polos tanpa riasan, namun tetap memancarkan kecantikan alami. Mukena masih membalut tubuhnya yang mungil, menambah kesan teduh pada wajahnya. "Zaina, ngelamun aja!" suara Yaya tiba-tiba mengagetkannya. "Ya ampun, Yaya! Aku kaget," ujar Zaina sambil menoleh cepat. Yaya terkekeh kecil. "Kenapa bengong di depan kaca? Jangan-jangan kamu terpesona sama wajah natural dan cantikmu sendiri, ya?" godanya, sambil menaruh barang-barang belanjaan di meja. Zaina tersenyum tipis, tak menanggapi ledekan itu. Ia bangkit dari kursinya dan mulai melepas mukena, menggantinya dengan kerudung instan yang lebih santai. "Oh iya, Zaina. Besok kita masak pagi-pagi. Katanya mau ada tamu," ujar Yaya, yang kini sibuk menulis daftar belanja di buku kecilnya. Mukenanya bahkan belum sempat dilepas. "Tamu penting, ya?" tanya Zaina, penasaran. "Sepertinya sih begitu," jawab Yaya, tanpa mengalihkan pandangannya dari catatannya. Zaina menghela napas ringan, lalu meregangkan tubuhnya. "Kalau gitu, aku tidur duluan, ya. Kamu jangan tidur terlalu malam, Yaya." "Siap, bidadari. Selamat malam," balas Yaya dengan canda ringan, membuat Zaina tersenyum sebelum merebahkan diri di ranjang.Setelah sholat subuh, para mbak ndalem yang bertugas di dapur segera sibuk memasak. Zaina kebagian tugas menyiapkan ayam bumbu bali dan tempe kering. Meski baru beberapa hari tinggal di pesantren, Zaina sudah menunjukkan kemampuan memasaknya yang luar biasa—tak mengherankan, karena sejak remaja ia sering membantu Tante Ani di dapur. Waktu terus berjalan, kini jam menunjukkan pukul enam pagi. Aroma harum dari masakan memenuhi dapur. "Hm, bumbu balinya wangi banget," komentar Aliyah sambil menghirup aroma dari wajan. "Jadi inget masakannya mbak Ani," tambah Aliyah, senyumnya penuh nostalgia. Zaina tersenyum kecil, merasa tersentuh dengan pujian itu. "Awalnya aku kira kamu gak bisa masak, Zaina. Eh, ternyata jago banget!" ujar Yaya, sambil mengacungkan jempol. Zaina terkekeh pelan. "Setelah tante keluar dari pesantren ini, beliau buka usaha katering. Mau gak mau aku harus bantuin. Dari situ deh aku belajar masak." Semua yang ada di dapur mengangguk paham. Di sudut lain, H
"Assalamualaikum, boleh Umi masuk?" tanya Umi Khadijah sambil mengetuk pintu kamar Arkana. "Waalaikumsalam, boleh Umi," jawab Arkana. Ia segera berdiri dari kursinya dan melepas kacamata yang sedang dipakainya. Umi Khadijah masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi tempat tidur Arkana. "Ada apa ya, Umi?" tanya Arkana sambil ikut duduk di sampingnya. "Gak ada apa-apa, cuma Umi kok rasanya sudah lama banget gak denger curhatan kamu," ujar Umi Khadijah dengan nada lembut. Arkana tersenyum kecil. "Mau curhat apa, Umi? Arkana gak ada masalah kok," balasnya santai. "Jadi kalau ada masalah saja kamu baru mau cerita sama Umi?" Umi Khadijah berpura-pura cemberut, memasang wajah seolah kecewa. Arkana terkekeh melihat tingkah Uminya. Meski sudah berumur, sikap Umi Khadijah sering mengingatkan Arkana pada anak-anak. Abi memang sering berkata kalau istrinya punya jiwa muda yang tak pernah pudar. "Gimana villa kamu di Bali?" tanya Umi, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Alhamdulillah,
"Motornya kenapa lagi, Gus?" tanya seorang pria dengan baju penuh noda oli. Arkana tersenyum tipis. "Gak ada apa-apa. Saya cuma mampir, lihat-lihat bengkel kalian," jawabnya santai. Gilang, mengangguk. "Oh, saya kira ada masalah. Alhamdulillah, bengkel lagi ramai gus, banyak servis hari ini." "Baguslah, sukses terus buat kalian," ujar Arkana, tulus mendoakan. "Semua ini juga berkat Gus Arkana," timpal Saka, salah satu mekanik lainnya. Arkana menggeleng ringan. "Saya cuma perantara. Rezeki itu datangnya dari Allah. Selama kalian gak ninggalin ibadah, insyaAllah rezeki pasti selalu ada," ujarnya dengan nada lembut namun penuh keyakinan. Kelima pria di bengkel itu menghentikan sejenak aktivitas mereka. Mereka tahu betul, tanpa Arkana, mungkin hidup mereka masih berantakan. Dulu, mereka adalah anak punk yang hidup di jalanan, mengamen untuk bertahan hidup. Setiap kali bertemu Arkana di lampu merah, pria itu selalu mengingatkan mereka untuk sholat. Awalnya mereka kesal, mengan
Athar langsung tertawa penuh kemenangan. "Wah, Mas Arkana main rahasia-rahasiaan nih, Umi! Ayo telpon Abi! Pasti dari Jakarta langsung pesen tiket pulang kalau dengar ini." Umi ikut tersenyum geli. "Iya, sopo toh, Le? Umi penasaran." Arkana terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ning Syifa, Umi." **** "Za, tolong ambilin piring di gudang," perintah Hana dengan nada mendesak. Zaina yang sedang merapikan meja melirik tumpukan piring di atasnya. "Bukannya piringnya masih banyak? Lihat tuh," ujarnya heran. "Udah, cepetan! Keburu anak-anak datang semua," kata Hana, menyembunyikan senyum liciknya. Zaina mendengus kesal, tapi tetap menurut. Sementara itu, Hana memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan rencananya. Di dalam gudang, Zaina mengamati sekeliling, mencari piring yang disebut Hana. Namun, yang ada hanya karung beras, bahan baku dapur, dan beberapa peralatan lama. Sementara itu, Arkana masuk ke gudang, entah untuk mencari apa. Zaina yang masih sibuk mencari tida
"Zaina ke mana yah?" gumam Yaya pelan, rasa khawatir semakin menjalari hatinya. Setelah sholat tahajud, Yaya langsung keluar kamar, menunggu Zaina yang entah pergi ke mana. Atau jangan-jangan… tadi malam dia tidak pulang ke kamar? Yaya benar-benar tidak tahu. Selepas makan malam, ia langsung tertidur. Namun, sebelum itu, ia sempat melihat Zaina berbicara dengan Hana. Pikirannya terus berputar hingga suara langkah kaki membuatnya menoleh. "Aya? Ngapain kamu di sini?" suara Aliyah terdengar pelan saat ia keluar dari kamar. "Mbak Al, Zaina gak ada," ujar Yaya panik. Aliyah berjalan mendekat, mencoba menenangkan. "Mungkin dia ke kamar mandi," tebaknya. Yaya menggeleng cepat, matanya masih menatap lorong pesantren yang sepi. "Dia gak pulang, Mbak, dari semalam." Aliyah mulai serius. "Kamu yakin?" Yaya mengangguk. "Kemarin aku masih lihat dia ngobrol sama Hana sebelum makan malam. Setelah itu, aku gak tahu. Aku langsung balik ke kamar dan ketiduran." Aliyah berpikir seje
"Zaina pasti setuju." Suara berat itu membuat Arkana tersentak. Ia menoleh dan mendapati Kyai Ghifari sudah berdiri di ambang pintu dapur. Dengan langkah mantap, pria paruh baya itu berjalan menuju meja makan dan duduk di sana. "Apa salahnya jika kamu menikah dengannya? Dia gadis baik-baik," lanjut Kyai Ghifari. Umi Khadijah segera menyodorkan secangkir teh yang sedari tadi sudah disiapkannya. Ia lalu ikut duduk di sebelah suaminya, sementara Arkana tetap berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi penuh perlawanan. "Abi, kami tidak saling mencintai," ujar Arkana berusaha menekan emosinya. "Dia hanya membantu di pesantren Abi sementara Arkana di sini sebagai Gus. Apa Abi tidak berpikir bahwa ini akan menyulitkan kami berdua?" Kyai Ghifari menyesap tehnya dengan tenang, sebelum menatap putranya dengan penuh kewibawaan. "Semua manusia sama saja, Nak. Jika kalian tidak saling cinta, maka berusahalah. Cinta itu akan datang jika kalian membiasakan diri. Abi dan Umi dulu juga tidak s
Pagi ini, kondisi Zaina sudah jauh lebih baik. Ia memutuskan kembali membantu di dapur seperti biasanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari berbagai hal yang menekan batinnya. "Caca, biar aku saja yang menghaluskan bumbu ini. Kamu bantu mereka, ya," ujar Zaina, melirik sekilas ke arah beberapa mbak dapur yang sedang berkumpul dengan Hana. Tatapan mereka begitu menusuk, penuh dengan sindiran yang jelas ditujukan padanya. Caca menatap Zaina ragu. "Mbak gak apa-apa? Ini banyak bumbu yang harus diulek. Mbak kan baru sembuh," ujarnya khawatir. Zaina mengangguk, tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja." Caca menyerah, lalu menyerahkan cobek ke Zaina sebelum akhirnya bergabung dengan Hana dan yang lainnya. Namun, baru saja ia mendekat, bisikan sinis mulai terdengar. "Kamu gak takut deket-deket sama dia?" ujar Firda dengan nada mengejek. "Udah deh, kalau kalian ghibah terus, masakannya gak selesai-selesai," sela Caca, mulai kesal dengan sikap mereka. Sejak tadi, mereka lebih sibuk
Beberapa menit kemudian, Hana datang dengan wajah tak senang. "Kenapa kamu ngasih makanan lagi ke anak-anak? Tadi dia sudah makan. Ck, kalau gini yang lain gak kebagian dong," ujarnya dengan nada ketus. Zaina menghela napas, berusaha tetap sabar. "Cuman sedikit, Han. Lagian, ini juga masih banyak," jawabnya tenang. Hana mendengus. "Lain kali jangan kayak gitu. mentang-mentang mau menikah sama gus Arkana kamu jadi seenaknya," ujarnya sebelum pergi. Zaina hanya bisa beristighfar. Setelah memastikan semua santri sudah mendapat jatah sarapan, Zaina mulai membereskan baskom-baskom yang sudah kosong. Namun, tiba-tiba ia merasa seperti sedang diperhatikan. Ketika ia menoleh, matanya langsung bertemu dengan sosok yang berdiri tidak jauh darinya. Arkana. Sejak kejadian di gudang, ini pertama kalinya mereka bertemu langsung. Jantung Zaina berdetak lebih cepat. Ia merasa bersalah, pasti Arkana sangat marah padanya. Tatapan mereka bertahan lebih lama dari seharusnya, hingga akhirnya
Zaina menatapnya skeptis. "Rara pasti nangis kalau sama kamu, Mas," ucapnya penuh keyakinan. Arkana menoleh ke Rara. "Iya, Ra?" tanyanya mencoba menantang. Seakan mengerti, bayi mungil itu langsung mengangguk. Zaina tertawa kecil, "Lucu banget ya, Mas, Rara ini." Arkana tersenyum, "Kalau kamu suka anak kecil, gimana kalau kita bikin satu sendiri?" tanyanya santai, menatap Zaina dengan ekspresi penuh arti.Mendengar ucapan Arkana, pipi Zaina sempat memerah karena canggung. Namun, ia buru-buru menormalkan ekspresinya. "Udah ah, jangan ngomong yang aneh-aneh," ucapnya, lalu melangkah lebih cepat.Di dalam hatinya, Zaina mencoba meyakinkan diri. "Arkana sudah punya perasaan sama perempuan lain sebelum aku. Kata-katanya tadi pasti cuma kebetulan."Namun, langkahnya terhenti saat suara Arkana kembali terdengar."Aneh apanya? Kita ini suami istri, kan? Kamu nggak mau melahirkan anak untuk saya?" tanyanya, terdengar santai namun penuh makna.Zaina langsung berbalik, menatap Arkana tajam.
"Kenapa? Kok kayak lagi ada masalah besar gitu?" ujar Adam begitu masuk ke ruangan Arkana. Arkana yang sempat tersentak langsung berpura-pura sibuk, memainkan pulpen di tangannya seolah sedang berpikir keras tentang pekerjaannya. "Cerita, bro. Kalau ada masalah," lanjut Adam sambil menjatuhkan tubuhnya ke kursi di depan meja Arkana. Ia memutar-mutar kursinya dengan santai, menatap sahabatnya yang tampak lebih pendiam dari biasanya. Arkana menghela napas sebelum akhirnya bertanya, "Indah pernah ngejauhin lo tiba-tiba gak?" Adam mengernyit, berpikir sejenak. "Selama ini sih nggak pernah," jawabnya, lalu menyandarkan punggungnya. "Tapi kalau lagi ngambek sih iya." Arkana mengetukkan pulpennya ke meja, lalu menatap Adam dengan serius. "Cewek biasanya ngambek gara-gara apa sih?" Adam menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, mencoba mengingat pengalaman pribadinya. "Cemburu. Atau nggak, karena gue kurang peka." Arkana mengangguk pelan. Adam memperhatikan ekspresi sahabatnya la
Arkana yang mendengar segera berlari ke dapur dengan wajah panik. "Kenapa, Za?" tanyanya cemas, langsung meraih tangan Zaina untuk memastikan lukanya. Namun, Zaina buru-buru menepis tangannya dan segera membasuh luka itu dengan air. "Kamu gak papa?" suara Arkana terdengar lembut, penuh kekhawatiran. Zaina tak menjawab. Sayatan ini memang kecil, tapi rasa perihnya seakan menusuk lebih dalam dari sekadar luka fisik. Gadis itu hanya diam, berjalan ke meja makan lalu duduk dengan tatapan kosong. Arkana pun mengikuti, tanpa suara, sebelum akhirnya mengambil segelas air dan menyodorkannya pada Zaina. "Minum dulu," ujarnya pelan. Zaina menerima gelas itu dan meneguknya tanpa banyak kata. "Aku ambilkan plester, ya?" tawar Arkana. "Tidak usah, Mas. Ini hanya luka kecil." Zaina menolak dengan suara yang nyaris datar. Ia kembali bangkit dan berjalan ke dapur, melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Arkana menghela napas, tapi tetap mengikuti Zaina. "Biar aku aja yang mas
Arkana menyandarkan tubuhnya. "Kos yang gue kelola selama ini gak jalan sebagus villa. Gue mikir, daripada terus bertahan dengan kos yang sepi peminat, kenapa gak kita ubah jadi villa baru?" Adam tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Itu bisa jadi ide bagus, sih. Tapi lo yakin bisa bersaing sama villa lain? udah banyak Villa ternama disini, termasuk Aruna Hills ini, tapi kalau lo bikin villa baru, lo harus bangun branding dari awal." Arkana mengangguk. "Makanya gue mau bikin konsep yang beda. Sesuatu yang unik, yang gak cuma tempat nginep, tapi juga experience." Adam terkekeh. "Lo kayaknya udah mikirin ini matang-matang, ya?" "Gue gak mau ambil risiko kalau gak yakin," ujar Arkana. "Makanya gue tanya lo, menurut lo ide ini worth it atau enggak?" Adam menyandarkan punggungnya, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Kalau ada konsep kuat, promosi jalan, dan marketnya jelas, gue rasa bisa sukses. Tapi lo butuh strategi yang lebih dari sekadar ubah kos jadi villa." Arkana
Sinta mengangkat alis, menunggu lanjutan kalimatnya. "...dari gula," lanjut Athar cepat sebelum yang lain sempat menggoda. Zora dan Nindi langsung mendesah kecewa. "Ih, kirain mau gombal!" Abid hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Athar gombal? Kayaknya dunia belum siap buat itu," celetuknya. Sinta mendengus kecil lalu mengambil satu potong mangga dan menggigitnya dengan puas. Tiba-tiba Athar menoleh ke arah Sinta. "Eh, kamu anak mana sih?" tanyanya santai. Sinta refleks menoleh, sedikit heran dengan pertanyaan mendadak itu. "Jombang, Gus," jawabnya sambil tetap melahap mangganya. Athar mengangguk-angguk pelan, tampak berpikir sejenak. "Kita gak ditanya, Gus?" protes Nindi berharap mendapatkan perhatian yang sama. Athar melirik sekilas. "Surabaya, kan?" tanyanya dengan wajah datar. Nindi menghela napas panjang, lalu menepuk dahinya sendiri. "Yaelah, Thar. Udah gak seru," gumamnya. Zora yang sejak tadi memperhatikan interaksi mereka tiba-tiba menyeringai. "Kayaknya
"Terserah," jawab Arkana dengan nada lembut, membuat Zaina menoleh dan mengerutkan dahi. "Mas ini, semuanya terserah," gumamnya pelan sambil akhirnya memilihkan produk untuk suaminya. Setelah merasa semua belanjaan sudah lengkap, mereka berjalan menuju kasir. Namun, saat melewati bagian buah-buahan, Zaina tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Mas!" serunya spontan, membuat Arkana sedikit kaget. "Kenapa?" tanya Arkana heran. "Untung aja aku ingat, kita belum beli buah," ujar Zaina. "Gapapa kan, Mas?" Arkana menoleh ke bagian buah-buahan dan mengangguk. "Gapapa, kamu mau buah apa?" tanyanya. "Mangga, kayaknya enak sih, Mas." Zaina menatap tumpukan mangga berwarna kuning kemerahan yang tampak segar dan menggoda. "Apel juga mau, jeruk juga, anggur juga... Eh, gapapa kan, Mas?" tanya Zaina sedikit ragu, takut belanjaannya terlalu banyak. Arkana hanya tersenyum melihat ekspresi istrinya. "Gapapa, Za. Pilih aja sesukamu." Mendengar itu, Zaina tersenyum girang dan mulai m
Pagi ini, Zaina dan Arkana sudah siap untuk berangkat ke Bandung. Sebelum pergi, Zaina menyempatkan diri untuk berpamitan dengan teman-temannya di dapur pesantren. "Udah siap, Za?" suara Arkana terdengar dari pintu kamar. Pria itu mengenakan kemeja rapi dipadukan dengan sarung. Zaina menoleh, mengangguk, lalu menutup kopernya. Arkana dengan sigap membantunya membawa koper ke luar. Di ruang makan, Khadijah sedang duduk sambil menyeruput teh hangat. Saat melihat keduanya, ia langsung bertanya, "Udah siap?" "Iya, Umi. Kami terbang pukul sembilan," jawab Arkana. "Hati-hati ya, Nak. Kalian diantar Pak Harto, kan?" tanya Khadijah, memastikan. Zaina mengangguk, sementara Arkana sudah keluar lebih dulu untuk memasukkan koper ke bagasi mobil. Zaina dan Khadijah berjalan beriringan menuju halaman. Sepanjang jalan, Khadijah menggenggam tangan menantunya erat, seolah ingin menyampaikan banyak hal tanpa kata-kata. "Umi, kita pamit ya. Umi jaga diri baik-baik," ujar Zaina lembut.
Suasana semakin canggung. Yanti terperangah, sementara Bu Linda dan Bu Umi hanya bisa saling pandang, tidak menyangka pertemuan ini akan berujung seperti ini. "Zaina, kita pulang," ucap Khadijah akhirnya, berdiri dari tempat duduknya. Zaina ikut berdiri, mengangguk sopan pada para ibu-ibu yang masih duduk. "Permisi, Bu. Assalamualaikum," ucapnya dengan senyum yang dipaksakan. "Waalaikumsalam," jawab Bu Linda dan Bu Umi hampir bersamaan, masih menatap Khadijah tidak enak juga dengan kejadian tadi. **** Setelah makan siang bersama teman-teman Umi Khadijah, Arkana datang menjemput Zaina. Namun, Umi Khadijah tidak ikut pulang bersama mereka, karena ia harus singgah terlebih dahulu ke toko busananya. Sebelum keluar dari mobil, Umi menatap lembut menantunya. "Zaina, yang tadi jangan dipikirkan, ya. Umi minta maaf kalau kamu tersinggung dengan perkataan teman Umi," ucapnya dengan nada penuh kasih. Zaina tersenyum kecil, berusaha terlihat baik-baik saja meski hatinya masih teras
Athar tersenyum tipis melihat tingkah temannya. Namun, seketika itu juga pikirannya kembali pada satu hal yang belakangan ini sulit ia lupakan. "Kayaknya aku harus cepet-cepet move on deh dari Mbak Zaina. Masa gue gini-gini aja terus sih? Ini juga kenapa sukanya sama yang lebih tua? Bikin ribet aja." Ia mengusap wajahnya, merasa kesal dengan diri sendiri. Tanpa berpikir panjang, Athar berdiri dan berjalan ke luar asrama. Entah mau ke mana, yang jelas ia butuh udara segar. **** "Pakai lauk apa, Gus?" tanya Zaina sambil menatap suaminya. Arkana yang sedang menuangkan air ke gelasnya menoleh sebentar. "Ayam sama telur aja," jawabnya santai. Zaina mengangguk lalu dengan cekatan mengambilkan makanan untuk suaminya. Dari seberang meja, Khadijah dan Ghifari memperhatikan pasangan baru itu dengan senyum penuh makna. Tak lama kemudian, Zaina menyodorkan piring berisi lauk pilihan Arkana. "Terima kasih," ujar Arkana singkat. Zaina hanya mengangguk, sementara Khadijah yang seda