Share

Bab 2: Pertemuan

Penulis: Narra Azahra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-21 19:49:50

Di halaman pesantren, Zaina kini berdiri dengan gamis abu-abu yang menjuntai rapi, dilengkapi hijab segi empat yang menutupi mahkotanya. Di tangannya tergenggam sebuah koper dan tas ransel besar. Rasa gugup menyelimuti dirinya, membayangkan bagaimana cara menjelaskan bahwa ia tiba-tiba saja datang untuk menjadi bagian dari mbak dapur di pesantren ini.

Langkahnya perlahan menapaki halaman, matanya menangkap pemandangan santriwan dan santriwati yang sibuk berlalu-lalang. Beberapa di antara mereka berhenti sejenak, menatap Zaina penuh rasa penasaran.

"Santriwati baru, ya?" bisik seorang santriwati yang sedang menyapu halaman asrama.

Teman-temannya mendekat, ikut mengamati. "Kayaknya sih. Aduh, cantik banget lagi," ujar salah satu dari mereka.

Ketika melewati mereka, Zaina menyunggingkan senyum sopan. "Maaf, bolehkah saya minta tolong diantar ke rumah ndalem?" tanyanya lembut meskipun tahu lawan bicaranya mungkin lebih muda.

Ketiga santriwati itu saling pandang, lalu mengangguk penuh semangat. "Oh, boleh, Mbak. Ayo, kami antar," ujar salah satu, yang bernama Sinta.

Saat berjalan bersama, rasa penasaran mereka pun mencuat. "Mbak ini santriwati baru, ya?" tanya Sinta.

Zaina menggeleng.

"Lah, terus ke sini buat apa? Jangan-jangan Mbak ini kerabatnya Bu Nyai sama Pak Kyai?" timpal Zora dengan mata berbinar.

Zaina tersenyum kecil mendengar dugaan itu. "Penampilan saya seperti ini kalian pikir saya kerabat mereka?" ujarnya ringan.

Ketiga gadis itu terdiam bingung. "Sebenarnya, saya ini keponakan dari Tante Ani. Dulu beliau pernah bekerja di sini. Kalian pasti kenal, kan?"

Ketiganya serentak mengangguk, lalu ekspresi ceria mereka berubah menjadi muram. "Turut berduka cita ya, Mbak. Kami juga merasa kehilangan Mbak Ani," kata Nindi penuh simpati.

Zaina hanya mengangguk, meskipun hatinya ingin menangis. Namun, ia berusaha menampilkan wajah tegar.

"Mbak Ani itu orangnya baik banget, masakannya juga enak sekali," ujar Sinta mengenang.

Zaina terkekeh kecil. "Terima kasih atas kenangannya," jawabnya lirih.

"Jadi, Mbak ke sini mau jadi mbak ndalem, ya?" tanya Zora, penasaran.

"Ya, kira-kira begitu," jawab Zaina singkat.

Tak lama, mereka tiba di depan sebuah rumah besar. "Mbak, ini sudah sampai. Semoga betah, ya. Kami tinggal dulu, mau siap-siap untuk sholat Ashar," kata Nindi sambil tersenyum.

"Terima kasih," ujar Zaina.

"Na'am, Mbak."

Setelah mereka pergi, Zaina mengetuk pintu rumah itu sembari mengucapkan salam. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan seorang pemuda dengan baju koko tampak berdiri di sana. Ia sepertinya hendak pergi ke masjid.

"Wa'alaikumussalam. Ada perlu apa ya, Mbak?" tanyanya sopan.

Zaina sempat gugup sejenak sebelum menjawab, "Saya ingin bertemu dengan Bu Nyai."

"Masuk saja, Mbak. Umi ada di dalam. Saya panggilkan dulu," ujar pemuda itu, mempersilakan Zaina masuk.

Zaina duduk di kursi empuk yang berderet di ruang tamu. Pandangannya terpaku pada foto-foto besar yang tergantung di dinding, memperlihatkan berbagai momen keluarga pesantren.

Tak lama, seorang wanita paruh baya muncul dengan senyum hangat di wajahnya, diikuti pemuda tadi di belakangnya. "Ada keperluan apa ya, nak, menemui saya?" tanya wanita itu, yang tak lain adalah Umi Khadijah.

Zaina segera berdiri dan memperkenalkan diri. "Perkenalkan, saya Zaina, keponakan dari Tante Ani," ujarnya dengan nada lembut.

Mata Umi Khadijah membesar, ekspresinya berubah dari bingung menjadi penuh haru. "Subhanallah, kamu Zaina? Keponakan Mbak Ani?"

Zaina mengangguk sambil tersenyum.

"Nak, turut berduka cita, ya. Maaf sekali, kemarin Umi tidak bisa datang untuk ziarah," ujar Umi Khadijah penuh rasa bersalah.

"Tidak apa-apa, Nyai," balas Zaina sopan.

"Saya sudah tahu alasan kedatanganmu ke sini. Umi akan menerima kamu dengan senang hati."

Zaina mencoba membuka mulut, "Tante Ani...,"

"Iya, Nak. Tante kamu menitipkan kamu ke sini. Semoga kamu bisa merasa nyaman," jawab Umi Khadijah lembut.

Pemuda di belakang Umi menyela dengan suara pelan. "Keponakannya Mbak Ani, ya, Umi?"

"Iya, Le. Ini keponakannya Mbak Ani," balas Umi.

Umi memperkenalkan pemuda itu kepada Zaina. "Nak Zaina, kenalkan ini Athar, anak bungsu Umi."

"Salam kenal, Mbak Zaina," ujar Athar sopan sambil merapatkan kedua tangannya, memberi salam ala Islam.

Zaina membalas salam itu dengan gerakan yang sama. "Salam kenal juga."

Setelah itu, Umi Khadijah melanjutkan, "Zaina, koper dan tasmu biarkan di sini dulu. Kita sholat Ashar berjamaah bersama, ya."

"Nah, ini dapur kotor kita. Zaina," ujar Aliyah, senior mbak ndalem, sambil melangkah memasuki dapur.

Zaina menatap sekeliling, matanya menyapu setiap sudut dapur yang luas. Ada tungku tradisional yang berdiri kokoh di satu sisi, ditemani lima kompor gas yang berderet rapi di sisi lainnya. Aroma bumbu masakan menguar, menciptakan suasana hangat khas dapur pesantren.

Beberapa mbak ndalem yang tengah sibuk memasak menoleh dan tersenyum pada Zaina.

"Zaina, keponakannya Mbak Ani, ya?" tanya seorang mbak ndalem bertubuh sedikit gempal, wajahnya ramah.

"Iya, benar," jawab Zaina, sambil mengangguk dan tersenyum.

"Kenalin, aku Yaya," perempuan itu mengulurkan tangan.

Zaina menyambut jabatan tangannya dengan sopan. "Senang bertemu denganmu, Mbak Yaya."

"Selamat bergabung, Zaina," suara lain terdengar serempak dari beberapa mbak ndalem yang lain. Senyuman mereka menyambut Zaina dengan kehangatan.

Aliyah menoleh pada Zaina. "Zaina, kamu bisa mulai belajar sekarang. Malam ini kita masak untuk makan malam sekitar jam delapan."

Kemudian Aliyah melirik Yaya. "Yaya, tolong bantu Zaina, ya. Aku harus pergi dulu untuk mengecek santriwati."

"Siap, Mbak," jawab Yaya, mengangguk penuh semangat.

"Terima kasih, Mbak," ucap Zaina sopan sebelum Aliyah meninggalkan dapur.

Yaya menepuk bahu Zaina ringan. "Oke, Zaina, ayo mulai. Kamu bantu kupas bawang putih dan bawang merah dulu, ya. Di sini bawang itu musuh utama kita."

Zaina terkekeh kecil. "Baik, Mbak."

Saat Zaina mulai bekerja, beberapa mbak ndalem tampak menyambutnya dengan senang hati. Namun, di sudut lain, beberapa yang lain hanya memandang dengan tatapan dingin, tanpa sepatah kata.

Zaina mencoba mengabaikan rasa canggung itu. Ia tahu, tidak semua orang akan langsung menerima kehadirannya, dan itu tidak apa-apa. Yang penting, ia bertekad untuk melakukan yang terbaik di tempat baru ini.

****

Tak terasa, sudah lima hari Zaina tinggal di pesantren ini. Ia merasa bersyukur karena orang-orang di sini sangat ramah dan baik, terutama Bu Nyai yang penuh kasih. Kehangatan mereka sedikit demi sedikit mengisi kekosongan hatinya, menambal luka akibat kehilangan yang terus berulang dalam hidupnya.

Zaina mengucap syukur kepada Allah. Ternyata di balik kesedihannya, ada hikmah besar yang menunggunya. Di pesantren ini, ia tidak hanya bekerja sebagai mbak ndalem, tetapi juga berkesempatan memperdalam ilmu agama. Kebiasaan yang sebelumnya jarang ia lakukan, seperti membaca Al-Qur'an, kini menjadi rutinitas harian. Lingkungan yang penuh kebaikan ini benar-benar membawa pengaruh positif.

Selepas Isya, Zaina sedang khusyuk membaca Al-Qur'an di kamarnya. Suaranya lembut mengalun, hingga akhirnya ia menutup tilawah dengan kalimat, "Shadaqallahul 'azim."

Dengan hati tenang, ia menaruh kitab itu di meja rias. Duduk di depan cermin, ia menatap bayangannya. Wajahnya polos tanpa riasan, namun tetap memancarkan kecantikan alami. Mukena masih membalut tubuhnya yang mungil, menambah kesan teduh pada wajahnya.

"Zaina, ngelamun aja!" suara Yaya tiba-tiba mengagetkannya.

"Ya ampun, Yaya! Aku kaget," ujar Zaina sambil menoleh cepat.

Yaya terkekeh kecil. "Kenapa bengong di depan kaca? Jangan-jangan kamu terpesona sama wajah natural dan cantikmu sendiri, ya?" godanya, sambil menaruh barang-barang belanjaan di meja.

Zaina tersenyum tipis, tak menanggapi ledekan itu. Ia bangkit dari kursinya dan mulai melepas mukena, menggantinya dengan kerudung instan yang lebih santai.

"Oh iya, Zaina. Besok kita masak pagi-pagi. Katanya mau ada tamu," ujar Yaya, yang kini sibuk menulis daftar belanja di buku kecilnya. Mukenanya bahkan belum sempat dilepas.

"Tamu penting, ya?" tanya Zaina, penasaran.

"Sepertinya sih begitu," jawab Yaya, tanpa mengalihkan pandangannya dari catatannya.

Zaina menghela napas ringan, lalu meregangkan tubuhnya. "Kalau gitu, aku tidur duluan, ya. Kamu jangan tidur terlalu malam, Yaya."

"Siap, bidadari. Selamat malam," balas Yaya dengan canda ringan, membuat Zaina tersenyum sebelum merebahkan diri di ranjang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 3

    Setelah sholat subuh, para mbak ndalem yang bertugas di dapur segera sibuk memasak. Zaina kebagian tugas menyiapkan ayam bumbu bali dan tempe kering. Meski baru beberapa hari tinggal di pesantren, Zaina sudah menunjukkan kemampuan memasaknya yang luar biasa—tak mengherankan, karena sejak remaja ia sering membantu Tante Ani di dapur. Waktu terus berjalan, kini jam menunjukkan pukul enam pagi. Aroma harum dari masakan memenuhi dapur. "Hm, bumbu balinya wangi banget," komentar Aliyah sambil menghirup aroma dari wajan. "Jadi inget masakannya mbak Ani," tambah Aliyah, senyumnya penuh nostalgia. Zaina tersenyum kecil, merasa tersentuh dengan pujian itu. "Awalnya aku kira kamu gak bisa masak, Zaina. Eh, ternyata jago banget!" ujar Yaya, sambil mengacungkan jempol. Zaina terkekeh pelan. "Setelah tante keluar dari pesantren ini, beliau buka usaha katering. Mau gak mau aku harus bantuin. Dari situ deh aku belajar masak." Semua yang ada di dapur mengangguk paham. Di sudut lain, H

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-30
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 4

    "Assalamualaikum, boleh Umi masuk?" tanya Umi Khadijah sambil mengetuk pintu kamar Arkana. "Waalaikumsalam, boleh Umi," jawab Arkana. Ia segera berdiri dari kursinya dan melepas kacamata yang sedang dipakainya. Umi Khadijah masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi tempat tidur Arkana. "Ada apa ya, Umi?" tanya Arkana sambil ikut duduk di sampingnya. "Gak ada apa-apa, cuma Umi kok rasanya sudah lama banget gak denger curhatan kamu," ujar Umi Khadijah dengan nada lembut. Arkana tersenyum kecil. "Mau curhat apa, Umi? Arkana gak ada masalah kok," balasnya santai. "Jadi kalau ada masalah saja kamu baru mau cerita sama Umi?" Umi Khadijah berpura-pura cemberut, memasang wajah seolah kecewa. Arkana terkekeh melihat tingkah Uminya. Meski sudah berumur, sikap Umi Khadijah sering mengingatkan Arkana pada anak-anak. Abi memang sering berkata kalau istrinya punya jiwa muda yang tak pernah pudar. "Gimana villa kamu di Bali?" tanya Umi, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Alhamdulillah,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-01
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 5

    "Motornya kenapa lagi, Gus?" tanya seorang pria dengan baju penuh noda oli. Arkana tersenyum tipis. "Gak ada apa-apa. Saya cuma mampir, lihat-lihat bengkel kalian," jawabnya santai. Gilang, mengangguk. "Oh, saya kira ada masalah. Alhamdulillah, bengkel lagi ramai gus, banyak servis hari ini." "Baguslah, sukses terus buat kalian," ujar Arkana, tulus mendoakan. "Semua ini juga berkat Gus Arkana," timpal Saka, salah satu mekanik lainnya. Arkana menggeleng ringan. "Saya cuma perantara. Rezeki itu datangnya dari Allah. Selama kalian gak ninggalin ibadah, insyaAllah rezeki pasti selalu ada," ujarnya dengan nada lembut namun penuh keyakinan. Kelima pria di bengkel itu menghentikan sejenak aktivitas mereka. Mereka tahu betul, tanpa Arkana, mungkin hidup mereka masih berantakan. Dulu, mereka adalah anak punk yang hidup di jalanan, mengamen untuk bertahan hidup. Setiap kali bertemu Arkana di lampu merah, pria itu selalu mengingatkan mereka untuk sholat. Awalnya mereka kesal, mengan

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 6

    Athar langsung tertawa penuh kemenangan. "Wah, Mas Arkana main rahasia-rahasiaan nih, Umi! Ayo telpon Abi! Pasti dari Jakarta langsung pesen tiket pulang kalau dengar ini." Umi ikut tersenyum geli. "Iya, sopo toh, Le? Umi penasaran." Arkana terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ning Syifa, Umi." **** "Za, tolong ambilin piring di gudang," perintah Hana dengan nada mendesak. Zaina yang sedang merapikan meja melirik tumpukan piring di atasnya. "Bukannya piringnya masih banyak? Lihat tuh," ujarnya heran. "Udah, cepetan! Keburu anak-anak datang semua," kata Hana, menyembunyikan senyum liciknya. Zaina mendengus kesal, tapi tetap menurut. Sementara itu, Hana memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan rencananya. Di dalam gudang, Zaina mengamati sekeliling, mencari piring yang disebut Hana. Namun, yang ada hanya karung beras, bahan baku dapur, dan beberapa peralatan lama. Sementara itu, Arkana masuk ke gudang, entah untuk mencari apa. Zaina yang masih sibuk mencari tida

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 7

    "Zaina ke mana yah?" gumam Yaya pelan, rasa khawatir semakin menjalari hatinya. Setelah sholat tahajud, Yaya langsung keluar kamar, menunggu Zaina yang entah pergi ke mana. Atau jangan-jangan… tadi malam dia tidak pulang ke kamar? Yaya benar-benar tidak tahu. Selepas makan malam, ia langsung tertidur. Namun, sebelum itu, ia sempat melihat Zaina berbicara dengan Hana. Pikirannya terus berputar hingga suara langkah kaki membuatnya menoleh. "Aya? Ngapain kamu di sini?" suara Aliyah terdengar pelan saat ia keluar dari kamar. "Mbak Al, Zaina gak ada," ujar Yaya panik. Aliyah berjalan mendekat, mencoba menenangkan. "Mungkin dia ke kamar mandi," tebaknya. Yaya menggeleng cepat, matanya masih menatap lorong pesantren yang sepi. "Dia gak pulang, Mbak, dari semalam." Aliyah mulai serius. "Kamu yakin?" Yaya mengangguk. "Kemarin aku masih lihat dia ngobrol sama Hana sebelum makan malam. Setelah itu, aku gak tahu. Aku langsung balik ke kamar dan ketiduran." Aliyah berpikir seje

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-10
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 8

    "Zaina pasti setuju." Suara berat itu membuat Arkana tersentak. Ia menoleh dan mendapati Kyai Ghifari sudah berdiri di ambang pintu dapur. Dengan langkah mantap, pria paruh baya itu berjalan menuju meja makan dan duduk di sana. "Apa salahnya jika kamu menikah dengannya? Dia gadis baik-baik," lanjut Kyai Ghifari. Umi Khadijah segera menyodorkan secangkir teh yang sedari tadi sudah disiapkannya. Ia lalu ikut duduk di sebelah suaminya, sementara Arkana tetap berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi penuh perlawanan. "Abi, kami tidak saling mencintai," ujar Arkana berusaha menekan emosinya. "Dia hanya membantu di pesantren Abi sementara Arkana di sini sebagai Gus. Apa Abi tidak berpikir bahwa ini akan menyulitkan kami berdua?" Kyai Ghifari menyesap tehnya dengan tenang, sebelum menatap putranya dengan penuh kewibawaan. "Semua manusia sama saja, Nak. Jika kalian tidak saling cinta, maka berusahalah. Cinta itu akan datang jika kalian membiasakan diri. Abi dan Umi dulu juga tidak s

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-12
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 9

    Pagi ini, kondisi Zaina sudah jauh lebih baik. Ia memutuskan kembali membantu di dapur seperti biasanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari berbagai hal yang menekan batinnya. "Caca, biar aku saja yang menghaluskan bumbu ini. Kamu bantu mereka, ya," ujar Zaina, melirik sekilas ke arah beberapa mbak dapur yang sedang berkumpul dengan Hana. Tatapan mereka begitu menusuk, penuh dengan sindiran yang jelas ditujukan padanya. Caca menatap Zaina ragu. "Mbak gak apa-apa? Ini banyak bumbu yang harus diulek. Mbak kan baru sembuh," ujarnya khawatir. Zaina mengangguk, tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja." Caca menyerah, lalu menyerahkan cobek ke Zaina sebelum akhirnya bergabung dengan Hana dan yang lainnya. Namun, baru saja ia mendekat, bisikan sinis mulai terdengar. "Kamu gak takut deket-deket sama dia?" ujar Firda dengan nada mengejek. "Udah deh, kalau kalian ghibah terus, masakannya gak selesai-selesai," sela Caca, mulai kesal dengan sikap mereka. Sejak tadi, mereka lebih sibuk

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 10

    Beberapa menit kemudian, Hana datang dengan wajah tak senang. "Kenapa kamu ngasih makanan lagi ke anak-anak? Tadi dia sudah makan. Ck, kalau gini yang lain gak kebagian dong," ujarnya dengan nada ketus. Zaina menghela napas, berusaha tetap sabar. "Cuman sedikit, Han. Lagian, ini juga masih banyak," jawabnya tenang. Hana mendengus. "Lain kali jangan kayak gitu. mentang-mentang mau menikah sama gus Arkana kamu jadi seenaknya," ujarnya sebelum pergi. Zaina hanya bisa beristighfar. Setelah memastikan semua santri sudah mendapat jatah sarapan, Zaina mulai membereskan baskom-baskom yang sudah kosong. Namun, tiba-tiba ia merasa seperti sedang diperhatikan. Ketika ia menoleh, matanya langsung bertemu dengan sosok yang berdiri tidak jauh darinya. Arkana. Sejak kejadian di gudang, ini pertama kalinya mereka bertemu langsung. Jantung Zaina berdetak lebih cepat. Ia merasa bersalah, pasti Arkana sangat marah padanya. Tatapan mereka bertahan lebih lama dari seharusnya, hingga akhirnya

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-16

Bab terbaru

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 65

    Pagi itu, suasana rumah Abah Gusti masih lengang. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan cangkir teh di meja makan. Syifa tampak mondar-mandir di dapur, mencoba bersikap tenang. Tapi sejak beberapa hari ini, wajahnya selalu terlihat cemas. Matanya sembab, dan tubuhnya pun lebih lemah dari biasanya. Abah Gusti hendak ke kamar mandi, seperti biasa, tapi langkahnya terhenti di depan tempat cucian. Matanya menangkap sesuatu—bungkusan kecil putih dengan garis merah yang masih terlihat jelas. Ia memungutnya dengan tangan gemetar. Seketika dadanya bergemuruh. “Tespek.” Gusti berdiri di tempat, napasnya memburu. Ada dentuman kuat di dadanya antara amarah dan kecewa. Ia menggenggam alat itu dengan keras lalu berjalan ke arah dapur. “Syifa!” suaranya menggelegar. Syifa yang tengah menuang teh hampir menjatuhkan cangkir. Ia menoleh cepat. “Iya, Bah?” “Apa ini?” tanya Abah Gusti dingin, menunjukkan benda yang membuat tubuh Syifa langsung lemas. Syifa terdiam. Matanya mulai

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 64

    "Halo," ucapnya pelan, nyaris berbisik, seolah takut jika suaranya terlalu keras akan membuat semuanya runtuh. Di seberang, suara Arkana terdengar rendah dan hati-hati. "Kamu belum tidur?" "Belum, akhir-akhir ini agak susah tidur," jawab Syifa, mencoba terdengar biasa. Padahal dadanya sesak, dan matanya terasa panas. "Kamu baik-baik aja?" tanya Arkana lagi, kali ini terdengar lebih lembut atau mungkin cemas. Syifa menunduk. Ada jeda yang lama sebelum ia menjawab. "Masih berusaha buat baik-baik aja." Hening menyelinap di antara mereka. Lalu suara Arkana kembali terdengar, lebih pelan. "Kamu gak cerita ke siapa-siapa, kan?" "Belum," jawab Syifa cepat, seperti refleks. Ia menarik napas panjang, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. "Kalau aku cerita sekarang... aku takut semuanya jadi makin kacau." "Syifa." Arkana seperti menahan sesuatu di ujung suaranya. "Kamu gak bisa terus begini. Kamu gak harus hadapi semua sendiri." "Itu kenapa aku hubungin kamu waktu

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 63

    Arkana baru saja pulang. Jam menunjukkan pukul sebelas malam lebih. Ia melangkah pelan masuk kamar, dan mendapati Zaina sudah berbaring di ranjang tampak tertidur. Namun, ia tak benar-benar terlelap. Dengan gerakan hati-hati, Arkana meletakkan tas kecilnya di sofa, mengganti bajunya dengan pakaian rumah, lalu mengambil wudhu. Rasa lelah tampak membekas di wajahnya, tapi ada beban lain yang lebih besar yang ia bawa malam itu. Ia naik ke atas ranjang perlahan, berusaha agar tidak mengganggu Zaina. Ia menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, lalu menggenggam ponselnya jempolnya sibuk mengetik sesuatu. Matanya fokus, seperti sedang membalas chat seseorang yang penting. Zaina, yang sedari tadi hanya memejamkan mata, kini membalikkan tubuhnya perlahan, menatap suaminya. "Belum tidur?" tanya Arkana saat menyadari gerakan Zaina. Suaranya terdengar pelan. Zaina menggeleng. Ia lalu bangun perlahan, menopang tubuhnya yang kini terasa semakin berat karena usia kandungan yang sudah

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 62

    Langkah kaki Zaina melambat ketika keluar dari area kedatangan bandara. Perutnya yang membuncit membuatnya harus berhati-hati, namun bukan itu yang membuat gerakannya terasa berat. Matanya terus menatap dua orang di depannya suaminya dan Syifa. Dari tadi, Zaina tak mendengar satu pun suara tawa keluar dari mulut mereka. Tapi anehnya, kedekatan itu justru terasa lebih dalam daripada sekadar candaan atau gurauan. Mereka seperti dua orang yang menyimpan rahasia besar, saling paham dalam diam. Dan di tengah itu, Zaina merasa seperti bayangan, ada tapi tak dianggap. “Mas…” ucapnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Tangan Zaina terulur mengelus perutnya. Ia menunduk, mencoba menelan rasa perih yang mulai naik ke tenggorokan. Matanya basah, tapi ia cepat-cepat mengedip agar air mata itu tak jatuh. Tidak sekarang. Tidak di depan mereka. Setibanya di parkiran, Arkana hanya mengangguk ketika Zaina bilang ingin duduk di kursi belakang. Syifa juga tak menolak ketika duduk di sampin

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 61

    Zaina berjalan mondar-mandir di ruang tengah rumah mereka. Sesekali tangannya mengelus perut yang membuncit, mencoba menenangkan diri dengan merasakan gerakan kecil dari bayi di dalam sana. Tapi kegelisahannya tak kunjung reda. Sudah hampir dua jam sejak Arkana pamit untuk menemui Syifa, tapi hingga kini belum kembali. Ponselnya sempat beberapa kali dia cek, berharap ada pesan masuk atau panggilan. Namun tak ada. Saat mencoba menghubungi nomor suaminya, hanya suara operator yang menjawab. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.” Zaina menghela napas panjang, duduk perlahan di sofa sambil mengusap perutnya pelan. “Mas Arkana ke mana sih, nggak biasanya sampai selama ini. Aku tahu Syifa udah minta maaf dan sadar, tapi dia masih suka sama Mas Arkana. Jangan-jangan…” Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk yang mulai menumpuk di benaknya. “Mas, kamu tuh kenapa sih nggak kabarin? Apa aku salah udah izinin kamu ketemu Syifa?” gumamnya lirih, penuh k

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 60

    Hujan baru saja reda ketika mobil Arkana berhenti di depan rumah mereka. Udara malam terasa lembab, membawa bau tanah basah yang menyegarkan. Zaina turun lebih dulu, dibantu Arkana yang langsung membukakan pintu mobil. Ia menggandeng tangan istrinya masuk rumah, penuh hati-hati seperti membawa kaca yang mudah pecah. Zaina langsung menuju kamar dan mengganti bajunya dengan piyama bermotif bunga kecil, sementara Arkana menunaikan salat Isya’ sendirian. Suara lembut lantunannya mengisi ruangan, membuat hati Zaina yang sedang duduk di pinggir ranjang ikut tenang. Selesai mengucap salam, Arkana melipat sajadahnya, lalu mendekat ke ranjang. Ia tidak langsung naik, melainkan duduk bersila di lantai, menempelkan telinganya ke perut Zaina dengan senyum penuh harap. “Assalamu’alaikum, dedek,” bisiknya pelan, lalu mencium perut Zaina yang kini makin membuncit. “Malam ini, Abi mau cerita ya.” Zaina tertawa kecil, mengusap rambut Arkana yang menempel di perutnya. “Cerita apa, Abi?” Ark

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 59

    Zaina duduk di lantai ruang tamu, mengenakan daster longgar warna biru muda serta kerudung instan. Di pangkuannya, Zaina menguncir rambut Rara putri kecil Indah. Gadis kecil itu anteng sedang asyik memainkan boneka kecilnya. Tangannya yang mungil sesekali menarik mainan yang lain, sehingga membuat Zaina mendengus. karena Rara yang tiba-tiba bergerak membuat kunciran itu tidak rapih “Raraaa, pelan dong,” keluh Zaina sambil membenahi rambut Rara yang mulai berantakan. Indah muncul dari dapur membawa dua gelas teh hangat. Ia duduk di sebelah Zaina sambil mengamati tingkah putrinya yang semakin lengket sejak Zaina datang. "Gimana agak susah kan?" Tanya Indah. Zaina meringis, "Dikit mbak, tapi tadi Rara anteng kok. iya kan Ra?" Rara mengangguk seolah mengerti, masih dipangkuan Zaina. “Kayaknya Rara milih tantenya daripada mamanya sendiri deh,” celetuk Indah sambil menyodorkan teh. “Kalau Rara rambutnya aku kuncir selalu gak mau, Za.” Zaina tertawa kecil, menerima teh itu. “An

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 58

    Suara jarum jam berdetak pelan dan desau angin luar jendela yang menemani. Zaina mendadak bangun, matanya terbuka lebar, napasnya ngos-ngosan seolah baru lari jauh. Tangannya refleks memegangi perutnya yang mulai membulat. Hatinya sesak. Matanya berkaca. Arkana yang tidur di sebelahnya pelan-pelan membuka mata, merasa ada yang aneh. Ia menoleh, melihat istrinya duduk di ranjang sambil menunduk. “Sayang,” suaranya parau dan lembut, “kenapa?” Zaina tidak langsung menjawab. Bibirnya bergetar, jari-jarinya mengusap lembut perutnya yang hangat. Ia tahu Arkana pasti khawatir, tapi untuk beberapa detik, ia hanya diam. “Zaina,” ulang Arkana, kini duduk tegak dan meraih bahu Zaina pelan. “Kenapa? Kamu mimpi buruk?” Zaina mengangguk pelan. “Tapi aku gak mau kamu nanya-nanya tentang itu,” katanya lirih, nyaris seperti bisikan. “Aku takut, makin kepikiran.” Arkana menatapnya penuh tanya, tapi memilih diam. Ia tahu kapan harus mendesak dan kapan harus memberi ruang. Beberapa detik he

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 57

    “Usia kehamilan sudah memasuki trimester kedua. Artinya, Ibu akan mulai lebih sering merasa pergerakan janin ya. Dan mulai saat ini, konsumsi gizi makin harus dijaga. Oh ya, Bapak, kalau bisa Ibu diajak jalan pagi tiap hari, ya.” Arkana mengangguk mantap. “Siap, Bu. Nanti saya yang ngingetin.” Bu Hesti kemudian tersenyum tipis, lalu seperti teringat sesuatu, ia bertanya halus, “Ngomong-ngomong, selama hamil masih berhubungan suami istri kan ya, Bu Zaina?” Zaina langsung salah tingkah, pipinya memerah. Arkana pun tersedak pelan dan pura-pura batuk. “H-hehe iya, Bu,” jawab Zaina lirih. Bu Hesti tertawa kecil. “Tenang, itu wajar kok. Selama tidak ada keluhan seperti kontraksi, perdarahan, atau keluhan nyeri setelahnya, itu tidak masalah. Tapi tetap ya, semua harus atas kenyamanan ibu. Jangan dipaksa.” Zaina dan Arkana hanya saling lirik dengan canggung. Lalu keluar dari ruangan sambil menahan senyum malu. Di parkiran mobil, Zaina duduk dulu sebelum masuk ke dalam. Ia menata

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status