Share

Bab 2: Pertemuan

Author: Narra Azahra
last update Last Updated: 2025-01-21 19:49:50

Di halaman pesantren, Zaina kini berdiri dengan gamis abu-abu yang menjuntai rapi, dilengkapi hijab segi empat yang menutupi mahkotanya. Di tangannya tergenggam sebuah koper dan tas ransel besar. Rasa gugup menyelimuti dirinya, membayangkan bagaimana cara menjelaskan bahwa ia tiba-tiba saja datang untuk menjadi bagian dari mbak dapur di pesantren ini.

Langkahnya perlahan menapaki halaman, matanya menangkap pemandangan santriwan dan santriwati yang sibuk berlalu-lalang. Beberapa di antara mereka berhenti sejenak, menatap Zaina penuh rasa penasaran.

"Santriwati baru, ya?" bisik seorang santriwati yang sedang menyapu halaman asrama.

Teman-temannya mendekat, ikut mengamati. "Kayaknya sih. Aduh, cantik banget lagi," ujar salah satu dari mereka.

Ketika melewati mereka, Zaina menyunggingkan senyum sopan. "Maaf, bolehkah saya minta tolong diantar ke rumah ndalem?" tanyanya lembut meskipun tahu lawan bicaranya mungkin lebih muda.

Ketiga santriwati itu saling pandang, lalu mengangguk penuh semangat. "Oh, boleh, Mbak. Ayo, kami antar," ujar salah satu, yang bernama Sinta.

Saat berjalan bersama, rasa penasaran mereka pun mencuat. "Mbak ini santriwati baru, ya?" tanya Sinta.

Zaina menggeleng.

"Lah, terus ke sini buat apa? Jangan-jangan Mbak ini kerabatnya Bu Nyai sama Pak Kyai?" timpal Zora dengan mata berbinar.

Zaina tersenyum kecil mendengar dugaan itu. "Penampilan saya seperti ini kalian pikir saya kerabat mereka?" ujarnya ringan.

Ketiga gadis itu terdiam bingung. "Sebenarnya, saya ini keponakan dari Tante Ani. Dulu beliau pernah bekerja di sini. Kalian pasti kenal, kan?"

Ketiganya serentak mengangguk, lalu ekspresi ceria mereka berubah menjadi muram. "Turut berduka cita ya, Mbak. Kami juga merasa kehilangan Mbak Ani," kata Nindi penuh simpati.

Zaina hanya mengangguk, meskipun hatinya ingin menangis. Namun, ia berusaha menampilkan wajah tegar.

"Mbak Ani itu orangnya baik banget, masakannya juga enak sekali," ujar Sinta mengenang.

Zaina terkekeh kecil. "Terima kasih atas kenangannya," jawabnya lirih.

"Jadi, Mbak ke sini mau jadi mbak ndalem, ya?" tanya Zora, penasaran.

"Ya, kira-kira begitu," jawab Zaina singkat.

Tak lama, mereka tiba di depan sebuah rumah besar. "Mbak, ini sudah sampai. Semoga betah, ya. Kami tinggal dulu, mau siap-siap untuk sholat Ashar," kata Nindi sambil tersenyum.

"Terima kasih," ujar Zaina.

"Na'am, Mbak."

Setelah mereka pergi, Zaina mengetuk pintu rumah itu sembari mengucapkan salam. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan seorang pemuda dengan baju koko tampak berdiri di sana. Ia sepertinya hendak pergi ke masjid.

"Wa'alaikumussalam. Ada perlu apa ya, Mbak?" tanyanya sopan.

Zaina sempat gugup sejenak sebelum menjawab, "Saya ingin bertemu dengan Bu Nyai."

"Masuk saja, Mbak. Umi ada di dalam. Saya panggilkan dulu," ujar pemuda itu, mempersilakan Zaina masuk.

Zaina duduk di kursi empuk yang berderet di ruang tamu. Pandangannya terpaku pada foto-foto besar yang tergantung di dinding, memperlihatkan berbagai momen keluarga pesantren.

Tak lama, seorang wanita paruh baya muncul dengan senyum hangat di wajahnya, diikuti pemuda tadi di belakangnya. "Ada keperluan apa ya, nak, menemui saya?" tanya wanita itu, yang tak lain adalah Umi Khadijah.

Zaina segera berdiri dan memperkenalkan diri. "Perkenalkan, saya Zaina, keponakan dari Tante Ani," ujarnya dengan nada lembut.

Mata Umi Khadijah membesar, ekspresinya berubah dari bingung menjadi penuh haru. "Subhanallah, kamu Zaina? Keponakan Mbak Ani?"

Zaina mengangguk sambil tersenyum.

"Nak, turut berduka cita, ya. Maaf sekali, kemarin Umi tidak bisa datang untuk ziarah," ujar Umi Khadijah penuh rasa bersalah.

"Tidak apa-apa, Nyai," balas Zaina sopan.

"Saya sudah tahu alasan kedatanganmu ke sini. Umi akan menerima kamu dengan senang hati."

Zaina mencoba membuka mulut, "Tante Ani...,"

"Iya, Nak. Tante kamu menitipkan kamu ke sini. Semoga kamu bisa merasa nyaman," jawab Umi Khadijah lembut.

Pemuda di belakang Umi menyela dengan suara pelan. "Keponakannya Mbak Ani, ya, Umi?"

"Iya, Le. Ini keponakannya Mbak Ani," balas Umi.

Umi memperkenalkan pemuda itu kepada Zaina. "Nak Zaina, kenalkan ini Athar, anak bungsu Umi."

"Salam kenal, Mbak Zaina," ujar Athar sopan sambil merapatkan kedua tangannya, memberi salam ala Islam.

Zaina membalas salam itu dengan gerakan yang sama. "Salam kenal juga."

Setelah itu, Umi Khadijah melanjutkan, "Zaina, koper dan tasmu biarkan di sini dulu. Kita sholat Ashar berjamaah bersama, ya."

"Nah, ini dapur kotor kita. Zaina," ujar Aliyah, senior mbak ndalem, sambil melangkah memasuki dapur.

Zaina menatap sekeliling, matanya menyapu setiap sudut dapur yang luas. Ada tungku tradisional yang berdiri kokoh di satu sisi, ditemani lima kompor gas yang berderet rapi di sisi lainnya. Aroma bumbu masakan menguar, menciptakan suasana hangat khas dapur pesantren.

Beberapa mbak ndalem yang tengah sibuk memasak menoleh dan tersenyum pada Zaina.

"Zaina, keponakannya Mbak Ani, ya?" tanya seorang mbak ndalem bertubuh sedikit gempal, wajahnya ramah.

"Iya, benar," jawab Zaina, sambil mengangguk dan tersenyum.

"Kenalin, aku Yaya," perempuan itu mengulurkan tangan.

Zaina menyambut jabatan tangannya dengan sopan. "Senang bertemu denganmu, Mbak Yaya."

"Selamat bergabung, Zaina," suara lain terdengar serempak dari beberapa mbak ndalem yang lain. Senyuman mereka menyambut Zaina dengan kehangatan.

Aliyah menoleh pada Zaina. "Zaina, kamu bisa mulai belajar sekarang. Malam ini kita masak untuk makan malam sekitar jam delapan."

Kemudian Aliyah melirik Yaya. "Yaya, tolong bantu Zaina, ya. Aku harus pergi dulu untuk mengecek santriwati."

"Siap, Mbak," jawab Yaya, mengangguk penuh semangat.

"Terima kasih, Mbak," ucap Zaina sopan sebelum Aliyah meninggalkan dapur.

Yaya menepuk bahu Zaina ringan. "Oke, Zaina, ayo mulai. Kamu bantu kupas bawang putih dan bawang merah dulu, ya. Di sini bawang itu musuh utama kita."

Zaina terkekeh kecil. "Baik, Mbak."

Saat Zaina mulai bekerja, beberapa mbak ndalem tampak menyambutnya dengan senang hati. Namun, di sudut lain, beberapa yang lain hanya memandang dengan tatapan dingin, tanpa sepatah kata.

Zaina mencoba mengabaikan rasa canggung itu. Ia tahu, tidak semua orang akan langsung menerima kehadirannya, dan itu tidak apa-apa. Yang penting, ia bertekad untuk melakukan yang terbaik di tempat baru ini.

****

Tak terasa, sudah lima hari Zaina tinggal di pesantren ini. Ia merasa bersyukur karena orang-orang di sini sangat ramah dan baik, terutama Bu Nyai yang penuh kasih. Kehangatan mereka sedikit demi sedikit mengisi kekosongan hatinya, menambal luka akibat kehilangan yang terus berulang dalam hidupnya.

Zaina mengucap syukur kepada Allah. Ternyata di balik kesedihannya, ada hikmah besar yang menunggunya. Di pesantren ini, ia tidak hanya bekerja sebagai mbak ndalem, tetapi juga berkesempatan memperdalam ilmu agama. Kebiasaan yang sebelumnya jarang ia lakukan, seperti membaca Al-Qur'an, kini menjadi rutinitas harian. Lingkungan yang penuh kebaikan ini benar-benar membawa pengaruh positif.

Selepas Isya, Zaina sedang khusyuk membaca Al-Qur'an di kamarnya. Suaranya lembut mengalun, hingga akhirnya ia menutup tilawah dengan kalimat, "Shadaqallahul 'azim."

Dengan hati tenang, ia menaruh kitab itu di meja rias. Duduk di depan cermin, ia menatap bayangannya. Wajahnya polos tanpa riasan, namun tetap memancarkan kecantikan alami. Mukena masih membalut tubuhnya yang mungil, menambah kesan teduh pada wajahnya.

"Zaina, ngelamun aja!" suara Yaya tiba-tiba mengagetkannya.

"Ya ampun, Yaya! Aku kaget," ujar Zaina sambil menoleh cepat.

Yaya terkekeh kecil. "Kenapa bengong di depan kaca? Jangan-jangan kamu terpesona sama wajah natural dan cantikmu sendiri, ya?" godanya, sambil menaruh barang-barang belanjaan di meja.

Zaina tersenyum tipis, tak menanggapi ledekan itu. Ia bangkit dari kursinya dan mulai melepas mukena, menggantinya dengan kerudung instan yang lebih santai.

"Oh iya, Zaina. Besok kita masak pagi-pagi. Katanya mau ada tamu," ujar Yaya, yang kini sibuk menulis daftar belanja di buku kecilnya. Mukenanya bahkan belum sempat dilepas.

"Tamu penting, ya?" tanya Zaina, penasaran.

"Sepertinya sih begitu," jawab Yaya, tanpa mengalihkan pandangannya dari catatannya.

Zaina menghela napas ringan, lalu meregangkan tubuhnya. "Kalau gitu, aku tidur duluan, ya. Kamu jangan tidur terlalu malam, Yaya."

"Siap, bidadari. Selamat malam," balas Yaya dengan canda ringan, membuat Zaina tersenyum sebelum merebahkan diri di ranjang.

Related chapters

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 3

    Setelah sholat subuh, para mbak ndalem yang bertugas di dapur segera sibuk memasak. Zaina kebagian tugas menyiapkan ayam bumbu bali dan tempe kering. Meski baru beberapa hari tinggal di pesantren, Zaina sudah menunjukkan kemampuan memasaknya yang luar biasa—tak mengherankan, karena sejak remaja ia sering membantu Tante Ani di dapur. Waktu terus berjalan, kini jam menunjukkan pukul enam pagi. Aroma harum dari masakan memenuhi dapur. "Hm, bumbu balinya wangi banget," komentar Aliyah sambil menghirup aroma dari wajan. "Jadi inget masakannya mbak Ani," tambah Aliyah, senyumnya penuh nostalgia. Zaina tersenyum kecil, merasa tersentuh dengan pujian itu. "Awalnya aku kira kamu gak bisa masak, Zaina. Eh, ternyata jago banget!" ujar Yaya, sambil mengacungkan jempol. Zaina terkekeh pelan. "Setelah tante keluar dari pesantren ini, beliau buka usaha katering. Mau gak mau aku harus bantuin. Dari situ deh aku belajar masak." Semua yang ada di dapur mengangguk paham. Di sudut lain, H

    Last Updated : 2025-01-30
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 4

    "Assalamualaikum, boleh Umi masuk?" tanya Umi Khadijah sambil mengetuk pintu kamar Arkana. "Waalaikumsalam, boleh Umi," jawab Arkana. Ia segera berdiri dari kursinya dan melepas kacamata yang sedang dipakainya. Umi Khadijah masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi tempat tidur Arkana. "Ada apa ya, Umi?" tanya Arkana sambil ikut duduk di sampingnya. "Gak ada apa-apa, cuma Umi kok rasanya sudah lama banget gak denger curhatan kamu," ujar Umi Khadijah dengan nada lembut. Arkana tersenyum kecil. "Mau curhat apa, Umi? Arkana gak ada masalah kok," balasnya santai. "Jadi kalau ada masalah saja kamu baru mau cerita sama Umi?" Umi Khadijah berpura-pura cemberut, memasang wajah seolah kecewa. Arkana terkekeh melihat tingkah Uminya. Meski sudah berumur, sikap Umi Khadijah sering mengingatkan Arkana pada anak-anak. Abi memang sering berkata kalau istrinya punya jiwa muda yang tak pernah pudar. "Gimana villa kamu di Bali?" tanya Umi, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Alhamdulillah,

    Last Updated : 2025-02-01
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   bab 5

    "Motornya kenapa lagi, Gus?" tanya seorang pria dengan baju penuh noda oli. Arkana tersenyum tipis. "Gak ada apa-apa. Saya cuma mampir, lihat-lihat bengkel kalian," jawabnya santai. Gilang, mengangguk. "Oh, saya kira ada masalah. Alhamdulillah, bengkel lagi ramai gus, banyak servis hari ini." "Baguslah, sukses terus buat kalian," ujar Arkana, tulus mendoakan. "Semua ini juga berkat Gus Arkana," timpal Saka, salah satu mekanik lainnya. Arkana menggeleng ringan. "Saya cuma perantara. Rezeki itu datangnya dari Allah. Selama kalian gak ninggalin ibadah, insyaAllah rezeki pasti selalu ada," ujarnya dengan nada lembut namun penuh keyakinan. Kelima pria di bengkel itu menghentikan sejenak aktivitas mereka. Mereka tahu betul, tanpa Arkana, mungkin hidup mereka masih berantakan. Dulu, mereka adalah anak punk yang hidup di jalanan, mengamen untuk bertahan hidup. Setiap kali bertemu Arkana di lampu merah, pria itu selalu mengingatkan mereka untuk sholat. Awalnya mereka kesal, menga

    Last Updated : 2025-02-03
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   bab 6

    Athar langsung tertawa penuh kemenangan. "Wah, Mas Arkana main rahasia-rahasiaan nih, Umi! Ayo telpon Abi! Pasti dari Yaman langsung pesen tiket pulang kalau dengar ini." Umi ikut tersenyum geli. "Iya, sopo toh, Le? Umi penasaran." Arkana terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ning Syifa, Umi." **** "Za, tolong ambilin piring di gudang," perintah Hana dengan nada mendesak. Zaina yang sedang merapikan meja melirik tumpukan piring di atasnya. "Bukannya piringnya masih banyak? Lihat tuh," ujarnya heran. "Udah, cepetan! Keburu anak-anak datang semua," kata Hana, menyembunyikan senyum liciknya. Zaina mendengus kesal, tapi tetap menurut. Sementara itu, Hana memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan rencananya. Di dalam gudang, Zaina mengamati sekeliling, mencari piring yang disebut Hana. Namun, yang ada hanya karung beras, bahan baku dapur, dan beberapa peralatan lama. Sementara itu, Arkana masuk ke gudang, entah untuk mencari apa. Zaina yang masih sibuk mencari tidak

    Last Updated : 2025-02-03
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 1: Kehilangan

    Zaina Qiana Farahah, seorang gadis berusia 23 tahun yang telah kehilangan kedua orangtuanya sejak usia 12 tahun, ia tinggal bersama tantenya, Ani. Zaina membantu Ani mengelola usaha catering kecil, sekaligus bekerja sebagai barista di malam hari. Semua itu dilakukannya demi membantu biaya pengobatan Ani yang tengah berjuang melawan kanker hati. Setiap malam, setelah menyelesaikan pekerjaannya di catering, Zaina bersiap untuk pergi ke kafe tempatnya bekerja. "Mau berangkat, nduk?" Tanya Ani dengan suara lembut, menatap Zaina yang sedang menyusun tasnya. Zaina tersenyum tipis, meskipun ada lelah yang tergambar di matanya. "Tante hati-hati di rumah ya, nanti jam 10 Zaina pulang." Jawabnya, mencoba meyakinkan Ani, meski hati kecilnya tak tenang. "Ada yang lebih penting dari kerja, lho, nduk. Kamu pasti capek banget setelah bantuin pesanan nasi kotak hari ini." Ani menggenggam tangan Zaina, mencoba mengungkapkan rasa khawatirnya. Zaina menggelengkan kepala, duduk di meja makan d

    Last Updated : 2025-01-20

Latest chapter

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   bab 6

    Athar langsung tertawa penuh kemenangan. "Wah, Mas Arkana main rahasia-rahasiaan nih, Umi! Ayo telpon Abi! Pasti dari Yaman langsung pesen tiket pulang kalau dengar ini." Umi ikut tersenyum geli. "Iya, sopo toh, Le? Umi penasaran." Arkana terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ning Syifa, Umi." **** "Za, tolong ambilin piring di gudang," perintah Hana dengan nada mendesak. Zaina yang sedang merapikan meja melirik tumpukan piring di atasnya. "Bukannya piringnya masih banyak? Lihat tuh," ujarnya heran. "Udah, cepetan! Keburu anak-anak datang semua," kata Hana, menyembunyikan senyum liciknya. Zaina mendengus kesal, tapi tetap menurut. Sementara itu, Hana memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan rencananya. Di dalam gudang, Zaina mengamati sekeliling, mencari piring yang disebut Hana. Namun, yang ada hanya karung beras, bahan baku dapur, dan beberapa peralatan lama. Sementara itu, Arkana masuk ke gudang, entah untuk mencari apa. Zaina yang masih sibuk mencari tidak

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   bab 5

    "Motornya kenapa lagi, Gus?" tanya seorang pria dengan baju penuh noda oli. Arkana tersenyum tipis. "Gak ada apa-apa. Saya cuma mampir, lihat-lihat bengkel kalian," jawabnya santai. Gilang, mengangguk. "Oh, saya kira ada masalah. Alhamdulillah, bengkel lagi ramai gus, banyak servis hari ini." "Baguslah, sukses terus buat kalian," ujar Arkana, tulus mendoakan. "Semua ini juga berkat Gus Arkana," timpal Saka, salah satu mekanik lainnya. Arkana menggeleng ringan. "Saya cuma perantara. Rezeki itu datangnya dari Allah. Selama kalian gak ninggalin ibadah, insyaAllah rezeki pasti selalu ada," ujarnya dengan nada lembut namun penuh keyakinan. Kelima pria di bengkel itu menghentikan sejenak aktivitas mereka. Mereka tahu betul, tanpa Arkana, mungkin hidup mereka masih berantakan. Dulu, mereka adalah anak punk yang hidup di jalanan, mengamen untuk bertahan hidup. Setiap kali bertemu Arkana di lampu merah, pria itu selalu mengingatkan mereka untuk sholat. Awalnya mereka kesal, menga

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 4

    "Assalamualaikum, boleh Umi masuk?" tanya Umi Khadijah sambil mengetuk pintu kamar Arkana. "Waalaikumsalam, boleh Umi," jawab Arkana. Ia segera berdiri dari kursinya dan melepas kacamata yang sedang dipakainya. Umi Khadijah masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi tempat tidur Arkana. "Ada apa ya, Umi?" tanya Arkana sambil ikut duduk di sampingnya. "Gak ada apa-apa, cuma Umi kok rasanya sudah lama banget gak denger curhatan kamu," ujar Umi Khadijah dengan nada lembut. Arkana tersenyum kecil. "Mau curhat apa, Umi? Arkana gak ada masalah kok," balasnya santai. "Jadi kalau ada masalah saja kamu baru mau cerita sama Umi?" Umi Khadijah berpura-pura cemberut, memasang wajah seolah kecewa. Arkana terkekeh melihat tingkah Uminya. Meski sudah berumur, sikap Umi Khadijah sering mengingatkan Arkana pada anak-anak. Abi memang sering berkata kalau istrinya punya jiwa muda yang tak pernah pudar. "Gimana villa kamu di Bali?" tanya Umi, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Alhamdulillah,

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 3

    Setelah sholat subuh, para mbak ndalem yang bertugas di dapur segera sibuk memasak. Zaina kebagian tugas menyiapkan ayam bumbu bali dan tempe kering. Meski baru beberapa hari tinggal di pesantren, Zaina sudah menunjukkan kemampuan memasaknya yang luar biasa—tak mengherankan, karena sejak remaja ia sering membantu Tante Ani di dapur. Waktu terus berjalan, kini jam menunjukkan pukul enam pagi. Aroma harum dari masakan memenuhi dapur. "Hm, bumbu balinya wangi banget," komentar Aliyah sambil menghirup aroma dari wajan. "Jadi inget masakannya mbak Ani," tambah Aliyah, senyumnya penuh nostalgia. Zaina tersenyum kecil, merasa tersentuh dengan pujian itu. "Awalnya aku kira kamu gak bisa masak, Zaina. Eh, ternyata jago banget!" ujar Yaya, sambil mengacungkan jempol. Zaina terkekeh pelan. "Setelah tante keluar dari pesantren ini, beliau buka usaha katering. Mau gak mau aku harus bantuin. Dari situ deh aku belajar masak." Semua yang ada di dapur mengangguk paham. Di sudut lain, H

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 2: Pertemuan

    Di halaman pesantren, Zaina kini berdiri dengan gamis abu-abu yang menjuntai rapi, dilengkapi hijab segi empat yang menutupi mahkotanya. Di tangannya tergenggam sebuah koper dan tas ransel besar. Rasa gugup menyelimuti dirinya, membayangkan bagaimana cara menjelaskan bahwa ia tiba-tiba saja datang untuk menjadi bagian dari mbak dapur di pesantren ini. Langkahnya perlahan menapaki halaman, matanya menangkap pemandangan santriwan dan santriwati yang sibuk berlalu-lalang. Beberapa di antara mereka berhenti sejenak, menatap Zaina penuh rasa penasaran. "Santriwati baru, ya?" bisik seorang santriwati yang sedang menyapu halaman asrama. Teman-temannya mendekat, ikut mengamati. "Kayaknya sih. Aduh, cantik banget lagi," ujar salah satu dari mereka. Ketika melewati mereka, Zaina menyunggingkan senyum sopan. "Maaf, bolehkah saya minta tolong diantar ke rumah ndalem?" tanyanya lembut meskipun tahu lawan bicaranya mungkin lebih muda. Ketiga santriwati itu saling pandang, lalu mengangguk

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 1: Kehilangan

    Zaina Qiana Farahah, seorang gadis berusia 23 tahun yang telah kehilangan kedua orangtuanya sejak usia 12 tahun, ia tinggal bersama tantenya, Ani. Zaina membantu Ani mengelola usaha catering kecil, sekaligus bekerja sebagai barista di malam hari. Semua itu dilakukannya demi membantu biaya pengobatan Ani yang tengah berjuang melawan kanker hati. Setiap malam, setelah menyelesaikan pekerjaannya di catering, Zaina bersiap untuk pergi ke kafe tempatnya bekerja. "Mau berangkat, nduk?" Tanya Ani dengan suara lembut, menatap Zaina yang sedang menyusun tasnya. Zaina tersenyum tipis, meskipun ada lelah yang tergambar di matanya. "Tante hati-hati di rumah ya, nanti jam 10 Zaina pulang." Jawabnya, mencoba meyakinkan Ani, meski hati kecilnya tak tenang. "Ada yang lebih penting dari kerja, lho, nduk. Kamu pasti capek banget setelah bantuin pesanan nasi kotak hari ini." Ani menggenggam tangan Zaina, mencoba mengungkapkan rasa khawatirnya. Zaina menggelengkan kepala, duduk di meja makan d

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status