Share

MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN
MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN
Penulis: Narra Azahra

Bab 1: Kehilangan

Penulis: Narra Azahra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-20 12:21:08

Zaina Qiana Farahah, seorang gadis berusia 23 tahun yang telah kehilangan kedua orangtuanya sejak usia 12 tahun, ia tinggal bersama tantenya, Ani. Zaina membantu Ani mengelola usaha catering kecil, sekaligus bekerja sebagai barista di malam hari. Semua itu dilakukannya demi membantu biaya pengobatan Ani yang tengah berjuang melawan kanker hati.

Setiap malam, setelah menyelesaikan pekerjaannya di catering, Zaina bersiap untuk pergi ke kafe tempatnya bekerja.

"Mau berangkat, nduk?" Tanya Ani dengan suara lembut, menatap Zaina yang sedang menyusun tasnya.

Zaina tersenyum tipis, meskipun ada lelah yang tergambar di matanya. "Tante hati-hati di rumah ya, nanti jam 10 Zaina pulang." Jawabnya, mencoba meyakinkan Ani, meski hati kecilnya tak tenang.

"Ada yang lebih penting dari kerja, lho, nduk. Kamu pasti capek banget setelah bantuin pesanan nasi kotak hari ini." Ani menggenggam tangan Zaina, mencoba mengungkapkan rasa khawatirnya.

Zaina menggelengkan kepala, duduk di meja makan dan menggenggam tangan Ani dengan lembut. "Gak ada kata capek di dalam diri Zaina, tante. Semua yang aku lakukan demi kesehatan tante."

Ani tersenyum, meskipun sorot matanya menyimpan kesedihan. "Nduk, tante bisa pergi kapan saja jika Allah berkehendak."

Zaina menatapnya bingung. "Tante ngomongnya kok gitu?"

"Aku udah gak punya siapa-siapa di sini. Tante harus temenin Zaina selamanya." lanjut Zaina menunduk, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang.

Ani memegang kedua tangan Zaina dengan erat, menghela napas panjang. "Nduk, nanti kalau tante sudah pergi... kamu jual rumah tante ini. Pergi ke pesantren Darul Hikmah, tempat tante dulu bekerja. Amankan sertifikat rumah orang tua kamu, jangan sampai suami tante merebut semuanya dari kamu."

Zaina terdiam. Suasana tiba-tiba terasa sangat berat. "Tante..."

"Tante ingin kamu aman, nduk. Jangan biarkan apa pun merusak hidupmu. Janji ya, setelah semuanya selesai, kamu harus pergi ke pesantren." Ani menatap Zaina dalam-dalam, penuh harap.

Zaina memandang Ani dengan mata yang berkaca-kaca. "Tante jangan ngomong gitu, tante harus tetap kuat. Aku nggak tahu harus gimana kalau tante nggak ada."

Ani tersenyum tipis, meski ada kesedihan yang terpendam di matanya. "Kamu bisa, Zaina. Tante yakin itu. Kamu akan aman di sana. Jangan khawatirkan apa pun."

Zaina menunduk, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Tante, harus ada disamping Zaina selamanya."

Ani membelai rambut Zaina dengan lembut, memberikan kenyamanan di tengah kepedihan yang dirasakan. "Tante akan selalu ada di hatimu, nduk. Jangan pernah lupakan itu. Allah akan selalu menjaga kamu."

****

"Zaina, yang tabah ya," ujar seorang tetangga, mencoba menguatkan.

Zaina hanya menatap kosong ke arah jenazah Ani. Hatinya terasa berat. Ternyata, ucapan Ani malam itu bukan sekadar kata-kata tantenya memang sudah merasa ajalnya mendekat. Kini, Zaina hanya bisa menangis, merasakan kepergian orang yang paling ia sayangi.

"Zaina, jenazah tantemu akan segera dishalatkan. Ayo, ambil wudu dulu, Nak," ucap seorang ibu yang berdiri di dekatnya. Namun, Zaina tetap diam, terpaku di tempat.

"Biarkan dia tenang dulu, Bu. Dia pasti masih syok," sahut seorang ibu berbadan gemuk, yang lalu mendekati Zaina dan memeluknya dengan penuh empati.

Setelah beberapa saat, Zaina tersadar dan berkata lirih, "Bu, saya mau wudu." Ibu itu mengangguk, lalu membimbing Zaina ke kamar mandi.

Dengan hati yang berantakan, Zaina berdiri di barisan shalat untuk mengantarkan tantenya ke peristirahatan terakhir. Dalam setiap gerakan shalatnya, air mata terus mengalir, membasahi wajahnya. Saat salam terakhir, hatinya terasa hampa, seolah sebagian dirinya ikut pergi bersama tantenya.

Setelah prosesi shalat, Zaina memutuskan untuk tetap tinggal di rumah. Dia tak sanggup melihat jenazah Ani dimasukkan ke liang lahat. Di rumah, beberapa ibu-ibu tetangga berkumpul menemaninya.

"Kasihan sekali Ani. Bahkan di saat-saat terakhirnya, suaminya tidak datang. Apa tidak malu sebagai laki-laki?" bisik salah seorang ibu.

"Bu, jangan bicara seperti itu," tegur yang lain, meskipun nada suaranya tak sepenuhnya menyalahkan.

Di pojok ruangan, Zaina terduduk lemah. Bayangan tantenya yang tersenyum terus terputar di pikirannya, membuat rasa kehilangan itu semakin terasa nyata.

Ibu Zila, wanita berbadan gemuk tadi, menghampiri Zaina sambil membawa segelas air putih. "Zaina, minum ini dulu, Nak."

Zaina menerimanya dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Bu."

"Zaina," ucap Zila lembut, "lebih baik kamu baca Yasin sebanyak-banyaknya. Itu akan membantu menenangkan hatimu, dan semoga tante kamu juga tenang di alam sana."

Zaina mengangguk. Kata-kata itu masuk ke dalam hatinya. Ia menyadari, menangisi kepergian Ani tak akan membawa kebaikan. Dengan perlahan, ia bergabung bersama ibu-ibu lainnya untuk membaca Yasin.

Namun, suasana tenang itu mendadak buyar ketika suara lantang seorang pria menggema di dalam rumah. "Zaina! Serahkan sertifikat rumah Ani dan rumah orang tuamu sekarang juga!"

Semua mata serentak tertuju ke arah pintu. Di sana, berdiri seorang pria paruh baya bertubuh kekar dengan tatapan penuh keserakahan.

Zaina terperanjat. Ia berdiri perlahan, menghampiri pria itu. "Paman, tante baru saja meninggal. Tidak bisakah paman menunggu?"

"Gue gak peduli! Gue mau semua sertifikat itu sekarang juga!" bentak Surya, pamannya, dengan nada penuh ancaman.

Ibu Zila dan Desi, sahabat Ani, langsung berdiri, menahan amarah mereka. "Heh, Surya! Rumah ini dibeli dari hasil kerja keras Ani. Semuanya hak milik Zaina sekarang!" ucap Zila dengan tegas.

Desi, yang tak bisa lagi menahan emosinya, menyahut. "Suami macam apa kamu ini? Kerjanya cuma ngabisin uang istri! Bahkan sekarang, di hari kematiannya, yang kamu pikirin cuma harta? Ingat dosa, Surya!"

Surya mendengus kasar. "Ini bukan urusan lo semua. Ini masalah keluarga. Zaina, cepat kasih gue sertifikat itu!"

Zaina menggeleng, suaranya gemetar. "Gak bisa, Paman."

"Surya, mending lo pergi sebelum gue telepon polisi," ancam Zila sambil melipat tangan di dada.

"Silakan! Gue gak takut!" Surya membalas dengan penuh kesombongan.

Desi, yang sudah habis kesabarannya, langsung meraih gagang sapu yang ada di dekatnya. Tanpa pikir panjang, ia menghantamkannya ke tubuh Surya.

"Aduh! Wanita gila!" Surya berteriak kesakitan sambil menghindar, namun Desi terus menyerangnya.

"Pergi kamu!" bentak Desi sambil terus memukulkan sapu.

Surya akhirnya mundur, mengusap lengannya yang terasa sakit. "Oke, gue pergi. Tapi gue bakal balik lagi, Zaina! Ingat itu!"

Surya keluar dengan penuh kemarahan, sementara Desi berdiri dengan sapu di tangannya, napasnya tersengal.

"Dasar laki-laki gak tahu malu!" gerutu Desi sambil menatap pintu.

Zaina memandang Desi dan Zila, air mata mengalir di pipinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian menghadapi semua ini.

****

Malam itu hujan turun deras, mengguyur seluruh penjuru Jawa bagian Timur. Zaina duduk di lantai kamarnya, memasukkan pakaian ke dalam koper dengan hati yang berat. Esok pagi, ia akan pergi ke pesantren, memenuhi janji terakhir kepada tantenya.

Tangannya menggenggam erat sertifikat rumah yang sejak tadi tergeletak di atas meja. Rumah ini akan ia jual kepada Bu Desi. Sementara rumah orang tuanya akan tetap ia pertahankan. Sebenarnya, menjual rumah ini adalah hal yang ingin ia lupakan, tapi ini permintaan terakhir dari tantenya dan Zaina tidak sanggup mengingkarinya.

Hasil penjualan rumah sebagian akan ia sumbangkan ke panti asuhan. Sisanya akan ia tabung untuk keperluan mendesak. Semua ini ia lakukan demi menghormati wanita yang telah merawat dan menyayanginya selama bertahun-tahun.

Di depan cermin, Zaina berdiri dengan rambut panjangnya yang tergerai. Ia belum mengenakan hijab, sesuatu yang mungkin harus ia biasakan di pesantren nanti.

"Tinggal di pesantren... tiba-tiba sekali. Apa aku bisa beradaptasi? Mereka semua pasti jauh lebih paham agama daripada aku," gumamnya pada bayangan di cermin, rasa khawatir terlihat jelas di matanya.

Zaina menarik napas panjang, berusaha menguatkan dirinya. "Bismillah. Ayah, Ibu, Tante... doakan Zaina, ya. Semoga aku bisa menjalani ini semua dengan kuat."

Dengan ucapan itu, ia kembali beres-beres, mencoba menenangkan diri di tengah suara hujan yang terus mengguyur di luar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 2: Pertemuan

    Di halaman pesantren, Zaina kini berdiri dengan gamis abu-abu yang menjuntai rapi, dilengkapi hijab segi empat yang menutupi mahkotanya. Di tangannya tergenggam sebuah koper dan tas ransel besar. Rasa gugup menyelimuti dirinya, membayangkan bagaimana cara menjelaskan bahwa ia tiba-tiba saja datang untuk menjadi bagian dari mbak dapur di pesantren ini. Langkahnya perlahan menapaki halaman, matanya menangkap pemandangan santriwan dan santriwati yang sibuk berlalu-lalang. Beberapa di antara mereka berhenti sejenak, menatap Zaina penuh rasa penasaran. "Santriwati baru, ya?" bisik seorang santriwati yang sedang menyapu halaman asrama. Teman-temannya mendekat, ikut mengamati. "Kayaknya sih. Aduh, cantik banget lagi," ujar salah satu dari mereka. Ketika melewati mereka, Zaina menyunggingkan senyum sopan. "Maaf, bolehkah saya minta tolong diantar ke rumah ndalem?" tanyanya lembut meskipun tahu lawan bicaranya mungkin lebih muda. Ketiga santriwati itu saling pandang, lalu mengangguk

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-21
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 3

    Setelah sholat subuh, para mbak ndalem yang bertugas di dapur segera sibuk memasak. Zaina kebagian tugas menyiapkan ayam bumbu bali dan tempe kering. Meski baru beberapa hari tinggal di pesantren, Zaina sudah menunjukkan kemampuan memasaknya yang luar biasa—tak mengherankan, karena sejak remaja ia sering membantu Tante Ani di dapur. Waktu terus berjalan, kini jam menunjukkan pukul enam pagi. Aroma harum dari masakan memenuhi dapur. "Hm, bumbu balinya wangi banget," komentar Aliyah sambil menghirup aroma dari wajan. "Jadi inget masakannya mbak Ani," tambah Aliyah, senyumnya penuh nostalgia. Zaina tersenyum kecil, merasa tersentuh dengan pujian itu. "Awalnya aku kira kamu gak bisa masak, Zaina. Eh, ternyata jago banget!" ujar Yaya, sambil mengacungkan jempol. Zaina terkekeh pelan. "Setelah tante keluar dari pesantren ini, beliau buka usaha katering. Mau gak mau aku harus bantuin. Dari situ deh aku belajar masak." Semua yang ada di dapur mengangguk paham. Di sudut lain, H

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-30
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 4

    "Assalamualaikum, boleh Umi masuk?" tanya Umi Khadijah sambil mengetuk pintu kamar Arkana. "Waalaikumsalam, boleh Umi," jawab Arkana. Ia segera berdiri dari kursinya dan melepas kacamata yang sedang dipakainya. Umi Khadijah masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi tempat tidur Arkana. "Ada apa ya, Umi?" tanya Arkana sambil ikut duduk di sampingnya. "Gak ada apa-apa, cuma Umi kok rasanya sudah lama banget gak denger curhatan kamu," ujar Umi Khadijah dengan nada lembut. Arkana tersenyum kecil. "Mau curhat apa, Umi? Arkana gak ada masalah kok," balasnya santai. "Jadi kalau ada masalah saja kamu baru mau cerita sama Umi?" Umi Khadijah berpura-pura cemberut, memasang wajah seolah kecewa. Arkana terkekeh melihat tingkah Uminya. Meski sudah berumur, sikap Umi Khadijah sering mengingatkan Arkana pada anak-anak. Abi memang sering berkata kalau istrinya punya jiwa muda yang tak pernah pudar. "Gimana villa kamu di Bali?" tanya Umi, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Alhamdulillah,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-01
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 5

    "Motornya kenapa lagi, Gus?" tanya seorang pria dengan baju penuh noda oli. Arkana tersenyum tipis. "Gak ada apa-apa. Saya cuma mampir, lihat-lihat bengkel kalian," jawabnya santai. Gilang, mengangguk. "Oh, saya kira ada masalah. Alhamdulillah, bengkel lagi ramai gus, banyak servis hari ini." "Baguslah, sukses terus buat kalian," ujar Arkana, tulus mendoakan. "Semua ini juga berkat Gus Arkana," timpal Saka, salah satu mekanik lainnya. Arkana menggeleng ringan. "Saya cuma perantara. Rezeki itu datangnya dari Allah. Selama kalian gak ninggalin ibadah, insyaAllah rezeki pasti selalu ada," ujarnya dengan nada lembut namun penuh keyakinan. Kelima pria di bengkel itu menghentikan sejenak aktivitas mereka. Mereka tahu betul, tanpa Arkana, mungkin hidup mereka masih berantakan. Dulu, mereka adalah anak punk yang hidup di jalanan, mengamen untuk bertahan hidup. Setiap kali bertemu Arkana di lampu merah, pria itu selalu mengingatkan mereka untuk sholat. Awalnya mereka kesal, mengan

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 6

    Athar langsung tertawa penuh kemenangan. "Wah, Mas Arkana main rahasia-rahasiaan nih, Umi! Ayo telpon Abi! Pasti dari Jakarta langsung pesen tiket pulang kalau dengar ini." Umi ikut tersenyum geli. "Iya, sopo toh, Le? Umi penasaran." Arkana terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ning Syifa, Umi." **** "Za, tolong ambilin piring di gudang," perintah Hana dengan nada mendesak. Zaina yang sedang merapikan meja melirik tumpukan piring di atasnya. "Bukannya piringnya masih banyak? Lihat tuh," ujarnya heran. "Udah, cepetan! Keburu anak-anak datang semua," kata Hana, menyembunyikan senyum liciknya. Zaina mendengus kesal, tapi tetap menurut. Sementara itu, Hana memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan rencananya. Di dalam gudang, Zaina mengamati sekeliling, mencari piring yang disebut Hana. Namun, yang ada hanya karung beras, bahan baku dapur, dan beberapa peralatan lama. Sementara itu, Arkana masuk ke gudang, entah untuk mencari apa. Zaina yang masih sibuk mencari tida

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 7

    "Zaina ke mana yah?" gumam Yaya pelan, rasa khawatir semakin menjalari hatinya. Setelah sholat tahajud, Yaya langsung keluar kamar, menunggu Zaina yang entah pergi ke mana. Atau jangan-jangan… tadi malam dia tidak pulang ke kamar? Yaya benar-benar tidak tahu. Selepas makan malam, ia langsung tertidur. Namun, sebelum itu, ia sempat melihat Zaina berbicara dengan Hana. Pikirannya terus berputar hingga suara langkah kaki membuatnya menoleh. "Aya? Ngapain kamu di sini?" suara Aliyah terdengar pelan saat ia keluar dari kamar. "Mbak Al, Zaina gak ada," ujar Yaya panik. Aliyah berjalan mendekat, mencoba menenangkan. "Mungkin dia ke kamar mandi," tebaknya. Yaya menggeleng cepat, matanya masih menatap lorong pesantren yang sepi. "Dia gak pulang, Mbak, dari semalam." Aliyah mulai serius. "Kamu yakin?" Yaya mengangguk. "Kemarin aku masih lihat dia ngobrol sama Hana sebelum makan malam. Setelah itu, aku gak tahu. Aku langsung balik ke kamar dan ketiduran." Aliyah berpikir seje

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-10
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 8

    "Zaina pasti setuju." Suara berat itu membuat Arkana tersentak. Ia menoleh dan mendapati Kyai Ghifari sudah berdiri di ambang pintu dapur. Dengan langkah mantap, pria paruh baya itu berjalan menuju meja makan dan duduk di sana. "Apa salahnya jika kamu menikah dengannya? Dia gadis baik-baik," lanjut Kyai Ghifari. Umi Khadijah segera menyodorkan secangkir teh yang sedari tadi sudah disiapkannya. Ia lalu ikut duduk di sebelah suaminya, sementara Arkana tetap berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi penuh perlawanan. "Abi, kami tidak saling mencintai," ujar Arkana berusaha menekan emosinya. "Dia hanya membantu di pesantren Abi sementara Arkana di sini sebagai Gus. Apa Abi tidak berpikir bahwa ini akan menyulitkan kami berdua?" Kyai Ghifari menyesap tehnya dengan tenang, sebelum menatap putranya dengan penuh kewibawaan. "Semua manusia sama saja, Nak. Jika kalian tidak saling cinta, maka berusahalah. Cinta itu akan datang jika kalian membiasakan diri. Abi dan Umi dulu juga tidak s

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-12
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 9

    Pagi ini, kondisi Zaina sudah jauh lebih baik. Ia memutuskan kembali membantu di dapur seperti biasanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari berbagai hal yang menekan batinnya. "Caca, biar aku saja yang menghaluskan bumbu ini. Kamu bantu mereka, ya," ujar Zaina, melirik sekilas ke arah beberapa mbak dapur yang sedang berkumpul dengan Hana. Tatapan mereka begitu menusuk, penuh dengan sindiran yang jelas ditujukan padanya. Caca menatap Zaina ragu. "Mbak gak apa-apa? Ini banyak bumbu yang harus diulek. Mbak kan baru sembuh," ujarnya khawatir. Zaina mengangguk, tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja." Caca menyerah, lalu menyerahkan cobek ke Zaina sebelum akhirnya bergabung dengan Hana dan yang lainnya. Namun, baru saja ia mendekat, bisikan sinis mulai terdengar. "Kamu gak takut deket-deket sama dia?" ujar Firda dengan nada mengejek. "Udah deh, kalau kalian ghibah terus, masakannya gak selesai-selesai," sela Caca, mulai kesal dengan sikap mereka. Sejak tadi, mereka lebih sibuk

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14

Bab terbaru

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 65

    Pagi itu, suasana rumah Abah Gusti masih lengang. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan cangkir teh di meja makan. Syifa tampak mondar-mandir di dapur, mencoba bersikap tenang. Tapi sejak beberapa hari ini, wajahnya selalu terlihat cemas. Matanya sembab, dan tubuhnya pun lebih lemah dari biasanya. Abah Gusti hendak ke kamar mandi, seperti biasa, tapi langkahnya terhenti di depan tempat cucian. Matanya menangkap sesuatu—bungkusan kecil putih dengan garis merah yang masih terlihat jelas. Ia memungutnya dengan tangan gemetar. Seketika dadanya bergemuruh. “Tespek.” Gusti berdiri di tempat, napasnya memburu. Ada dentuman kuat di dadanya antara amarah dan kecewa. Ia menggenggam alat itu dengan keras lalu berjalan ke arah dapur. “Syifa!” suaranya menggelegar. Syifa yang tengah menuang teh hampir menjatuhkan cangkir. Ia menoleh cepat. “Iya, Bah?” “Apa ini?” tanya Abah Gusti dingin, menunjukkan benda yang membuat tubuh Syifa langsung lemas. Syifa terdiam. Matanya mulai

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 64

    "Halo," ucapnya pelan, nyaris berbisik, seolah takut jika suaranya terlalu keras akan membuat semuanya runtuh. Di seberang, suara Arkana terdengar rendah dan hati-hati. "Kamu belum tidur?" "Belum, akhir-akhir ini agak susah tidur," jawab Syifa, mencoba terdengar biasa. Padahal dadanya sesak, dan matanya terasa panas. "Kamu baik-baik aja?" tanya Arkana lagi, kali ini terdengar lebih lembut atau mungkin cemas. Syifa menunduk. Ada jeda yang lama sebelum ia menjawab. "Masih berusaha buat baik-baik aja." Hening menyelinap di antara mereka. Lalu suara Arkana kembali terdengar, lebih pelan. "Kamu gak cerita ke siapa-siapa, kan?" "Belum," jawab Syifa cepat, seperti refleks. Ia menarik napas panjang, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. "Kalau aku cerita sekarang... aku takut semuanya jadi makin kacau." "Syifa." Arkana seperti menahan sesuatu di ujung suaranya. "Kamu gak bisa terus begini. Kamu gak harus hadapi semua sendiri." "Itu kenapa aku hubungin kamu waktu

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 63

    Arkana baru saja pulang. Jam menunjukkan pukul sebelas malam lebih. Ia melangkah pelan masuk kamar, dan mendapati Zaina sudah berbaring di ranjang tampak tertidur. Namun, ia tak benar-benar terlelap. Dengan gerakan hati-hati, Arkana meletakkan tas kecilnya di sofa, mengganti bajunya dengan pakaian rumah, lalu mengambil wudhu. Rasa lelah tampak membekas di wajahnya, tapi ada beban lain yang lebih besar yang ia bawa malam itu. Ia naik ke atas ranjang perlahan, berusaha agar tidak mengganggu Zaina. Ia menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, lalu menggenggam ponselnya jempolnya sibuk mengetik sesuatu. Matanya fokus, seperti sedang membalas chat seseorang yang penting. Zaina, yang sedari tadi hanya memejamkan mata, kini membalikkan tubuhnya perlahan, menatap suaminya. "Belum tidur?" tanya Arkana saat menyadari gerakan Zaina. Suaranya terdengar pelan. Zaina menggeleng. Ia lalu bangun perlahan, menopang tubuhnya yang kini terasa semakin berat karena usia kandungan yang sudah

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 62

    Langkah kaki Zaina melambat ketika keluar dari area kedatangan bandara. Perutnya yang membuncit membuatnya harus berhati-hati, namun bukan itu yang membuat gerakannya terasa berat. Matanya terus menatap dua orang di depannya suaminya dan Syifa. Dari tadi, Zaina tak mendengar satu pun suara tawa keluar dari mulut mereka. Tapi anehnya, kedekatan itu justru terasa lebih dalam daripada sekadar candaan atau gurauan. Mereka seperti dua orang yang menyimpan rahasia besar, saling paham dalam diam. Dan di tengah itu, Zaina merasa seperti bayangan, ada tapi tak dianggap. “Mas…” ucapnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Tangan Zaina terulur mengelus perutnya. Ia menunduk, mencoba menelan rasa perih yang mulai naik ke tenggorokan. Matanya basah, tapi ia cepat-cepat mengedip agar air mata itu tak jatuh. Tidak sekarang. Tidak di depan mereka. Setibanya di parkiran, Arkana hanya mengangguk ketika Zaina bilang ingin duduk di kursi belakang. Syifa juga tak menolak ketika duduk di sampin

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 61

    Zaina berjalan mondar-mandir di ruang tengah rumah mereka. Sesekali tangannya mengelus perut yang membuncit, mencoba menenangkan diri dengan merasakan gerakan kecil dari bayi di dalam sana. Tapi kegelisahannya tak kunjung reda. Sudah hampir dua jam sejak Arkana pamit untuk menemui Syifa, tapi hingga kini belum kembali. Ponselnya sempat beberapa kali dia cek, berharap ada pesan masuk atau panggilan. Namun tak ada. Saat mencoba menghubungi nomor suaminya, hanya suara operator yang menjawab. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.” Zaina menghela napas panjang, duduk perlahan di sofa sambil mengusap perutnya pelan. “Mas Arkana ke mana sih, nggak biasanya sampai selama ini. Aku tahu Syifa udah minta maaf dan sadar, tapi dia masih suka sama Mas Arkana. Jangan-jangan…” Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk yang mulai menumpuk di benaknya. “Mas, kamu tuh kenapa sih nggak kabarin? Apa aku salah udah izinin kamu ketemu Syifa?” gumamnya lirih, penuh k

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 60

    Hujan baru saja reda ketika mobil Arkana berhenti di depan rumah mereka. Udara malam terasa lembab, membawa bau tanah basah yang menyegarkan. Zaina turun lebih dulu, dibantu Arkana yang langsung membukakan pintu mobil. Ia menggandeng tangan istrinya masuk rumah, penuh hati-hati seperti membawa kaca yang mudah pecah. Zaina langsung menuju kamar dan mengganti bajunya dengan piyama bermotif bunga kecil, sementara Arkana menunaikan salat Isya’ sendirian. Suara lembut lantunannya mengisi ruangan, membuat hati Zaina yang sedang duduk di pinggir ranjang ikut tenang. Selesai mengucap salam, Arkana melipat sajadahnya, lalu mendekat ke ranjang. Ia tidak langsung naik, melainkan duduk bersila di lantai, menempelkan telinganya ke perut Zaina dengan senyum penuh harap. “Assalamu’alaikum, dedek,” bisiknya pelan, lalu mencium perut Zaina yang kini makin membuncit. “Malam ini, Abi mau cerita ya.” Zaina tertawa kecil, mengusap rambut Arkana yang menempel di perutnya. “Cerita apa, Abi?” Ark

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 59

    Zaina duduk di lantai ruang tamu, mengenakan daster longgar warna biru muda serta kerudung instan. Di pangkuannya, Zaina menguncir rambut Rara putri kecil Indah. Gadis kecil itu anteng sedang asyik memainkan boneka kecilnya. Tangannya yang mungil sesekali menarik mainan yang lain, sehingga membuat Zaina mendengus. karena Rara yang tiba-tiba bergerak membuat kunciran itu tidak rapih “Raraaa, pelan dong,” keluh Zaina sambil membenahi rambut Rara yang mulai berantakan. Indah muncul dari dapur membawa dua gelas teh hangat. Ia duduk di sebelah Zaina sambil mengamati tingkah putrinya yang semakin lengket sejak Zaina datang. "Gimana agak susah kan?" Tanya Indah. Zaina meringis, "Dikit mbak, tapi tadi Rara anteng kok. iya kan Ra?" Rara mengangguk seolah mengerti, masih dipangkuan Zaina. “Kayaknya Rara milih tantenya daripada mamanya sendiri deh,” celetuk Indah sambil menyodorkan teh. “Kalau Rara rambutnya aku kuncir selalu gak mau, Za.” Zaina tertawa kecil, menerima teh itu. “An

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 58

    Suara jarum jam berdetak pelan dan desau angin luar jendela yang menemani. Zaina mendadak bangun, matanya terbuka lebar, napasnya ngos-ngosan seolah baru lari jauh. Tangannya refleks memegangi perutnya yang mulai membulat. Hatinya sesak. Matanya berkaca. Arkana yang tidur di sebelahnya pelan-pelan membuka mata, merasa ada yang aneh. Ia menoleh, melihat istrinya duduk di ranjang sambil menunduk. “Sayang,” suaranya parau dan lembut, “kenapa?” Zaina tidak langsung menjawab. Bibirnya bergetar, jari-jarinya mengusap lembut perutnya yang hangat. Ia tahu Arkana pasti khawatir, tapi untuk beberapa detik, ia hanya diam. “Zaina,” ulang Arkana, kini duduk tegak dan meraih bahu Zaina pelan. “Kenapa? Kamu mimpi buruk?” Zaina mengangguk pelan. “Tapi aku gak mau kamu nanya-nanya tentang itu,” katanya lirih, nyaris seperti bisikan. “Aku takut, makin kepikiran.” Arkana menatapnya penuh tanya, tapi memilih diam. Ia tahu kapan harus mendesak dan kapan harus memberi ruang. Beberapa detik he

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 57

    “Usia kehamilan sudah memasuki trimester kedua. Artinya, Ibu akan mulai lebih sering merasa pergerakan janin ya. Dan mulai saat ini, konsumsi gizi makin harus dijaga. Oh ya, Bapak, kalau bisa Ibu diajak jalan pagi tiap hari, ya.” Arkana mengangguk mantap. “Siap, Bu. Nanti saya yang ngingetin.” Bu Hesti kemudian tersenyum tipis, lalu seperti teringat sesuatu, ia bertanya halus, “Ngomong-ngomong, selama hamil masih berhubungan suami istri kan ya, Bu Zaina?” Zaina langsung salah tingkah, pipinya memerah. Arkana pun tersedak pelan dan pura-pura batuk. “H-hehe iya, Bu,” jawab Zaina lirih. Bu Hesti tertawa kecil. “Tenang, itu wajar kok. Selama tidak ada keluhan seperti kontraksi, perdarahan, atau keluhan nyeri setelahnya, itu tidak masalah. Tapi tetap ya, semua harus atas kenyamanan ibu. Jangan dipaksa.” Zaina dan Arkana hanya saling lirik dengan canggung. Lalu keluar dari ruangan sambil menahan senyum malu. Di parkiran mobil, Zaina duduk dulu sebelum masuk ke dalam. Ia menata

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status