"Zaina ke mana yah?" gumam Yaya pelan, rasa khawatir semakin menjalari hatinya.
Setelah sholat tahajud, Yaya langsung keluar kamar, menunggu Zaina yang entah pergi ke mana. Atau jangan-jangan… tadi malam dia tidak pulang ke kamar? Yaya benar-benar tidak tahu. Selepas makan malam, ia langsung tertidur. Namun, sebelum itu, ia sempat melihat Zaina berbicara dengan Hana. Pikirannya terus berputar hingga suara langkah kaki membuatnya menoleh. "Aya? Ngapain kamu di sini?" suara Aliyah terdengar pelan saat ia keluar dari kamar. "Mbak Al, Zaina gak ada," ujar Yaya panik. Aliyah berjalan mendekat, mencoba menenangkan. "Mungkin dia ke kamar mandi," tebaknya. Yaya menggeleng cepat, matanya masih menatap lorong pesantren yang sepi. "Dia gak pulang, Mbak, dari semalam." Aliyah mulai serius. "Kamu yakin?" Yaya mengangguk. "Kemarin aku masih lihat dia ngobrol sama Hana sebelum makan malam. Setelah itu, aku gak tahu. Aku langsung balik ke kamar dan ketiduran." Aliyah berpikir sejenak. "Oke, kamu tenang dulu. Aku coba tanyakan ke Hana." Aliyah berbalik, masuk kembali ke dalam kamarnya yang kebetulan satu kamar dengan Hana. Di dalam, Hana sedang asyik bermain ponsel. Aliyah berjalan mendekat lalu bertanya dengan nada santai, "Hana, kemarin Yaya lihat kamu sama Zaina sebelum makan malam. Kamu tahu dia ke mana? Soalnya dia gak pulang semalam." Mendengar pertanyaan itu, Hana langsung terdiam. Sekilas, wajahnya tampak panik, tapi ia buru-buru menetralkan ekspresinya. "Aku gak tahu apa-apa, Mbak," ujarnya dengan suara dibuat setenang mungkin. "Seingatku, terakhir dia ambil piring di gudang." Aliyah mengamati raut wajah Hana dengan seksama. Ada sesuatu yang aneh, tapi ia memilih untuk tidak langsung menuduh. "Baiklah, setelah sholat subuh, kita cari Zaina sama-sama," ujarnya sebelum berbalik meninggalkan kamar. Begitu Aliyah pergi, Hana menghela napas lega. Namun, senyum sinis terukir di wajahnya. "Seharusnya tadi aku gak bilang kalau terakhir dia di gudang," gumamnya pelan. "Biarin aja dia membusuk di dalam sana." **** "Astaghfirullahaladzim," ujar Adam, salah satu mas ndalem, saat matanya menangkap pemandangan tak terduga di dalam gudang. Di belakangnya, Kyai Ghifari, Umi Khadijah, serta Aliyah dan Yaya ikut terperanjat. Mereka spontan beristighfar, sementara Umi Khadijah menggeleng, kaget bukan main. Bagaimana tidak? Zaina tertidur dengan kepalanya bersandar pada dada bidang Arkana. Wajah Kyai Ghifari langsung menegang. Dengan langkah cepat, ia mendekati putra sulungnya dan menepuk bahunya keras, membangunkannya. "Apa yang kalian lakukan di dalam sini?" suaranya menggelegar, membuat semua orang menahan napas. Arkana tersentak bangun, matanya masih sedikit mengantuk. Begitu menyadari situasi yang ada, ia langsung terduduk tegak, sementara Zaina ikut tersadar dan buru-buru menjauh. "Abi, ini bukan seperti yang Abi bayangkan!" Arkana berusaha menjelaskan, tatapannya penuh ketegangan. Namun, Zaina hanya bisa menunduk lemah. Ia ingin menjelaskan, tetapi tatapan mereka semua seolah menghakiminya. Seakan dirinya adalah seseorang yang tak pantas dipercaya. Apalagi sekarang, bukan hanya Kyai dan Umi yang menyaksikan, tetapi juga Adam, Aliyah, Yaya, beberapa mbak ndalem, dan—yang paling membuatnya ingin menangis—Hana. "Kami terkunci di dalam gudang, Abi," jelas Arkana tegas. Kyai Ghifari menatap tajam. "Lalu kenapa kalian bisa dalam posisi seperti tadi? Arkana, kamu saya didik untuk menghormati perempuan. Saya merasa gagal sebagai ayah!" "Abi, lampu gudang padam tadi malam," Arkana mencoba bersabar. "Zaina trauma dengan kegelapan. Saya hanya mencoba menenangkan." Zaina mengepalkan tangannya erat. Malam itu memang berat baginya. Ingatan mengerikan tentang perampokan yang menewaskan kedua orang tua dan kakaknya menyerang seperti gelombang besar. Ia bahkan tak sadar kapan dirinya pingsan, apalagi bagaimana bisa bersandar pada Arkana. "Kalian harus menikah!" suara Kyai Ghifari memutus perdebatan. Zaina terbelalak, sementara Arkana mengepalkan rahangnya. "Abi, jangan ambil keputusan sepihak seperti ini," Umi Khadijah mencoba menengahi. Zaina buru-buru menggeleng, suaranya bergetar. "Pak Kyai, ini semua salah paham. Gus Arkana hanya membantu saya. Dan soal saya tertidur tadi… itu benar-benar di luar kendali kami." Yaya yang sejak tadi hanya berdiri dalam diam akhirnya melangkah maju. Ia menepuk pundak Zaina lembut, memberikan dukungan. "Aku percaya sama kamu," bisiknya pelan. Arkana menatap sang ayah dengan penuh harap. "Abi, tolong dengarkan. Ini hanya kesalahpahaman. Saya sama sekali tidak berbuat macam-macam!" Namun, Kyai Ghifari tak mau lagi mendengar alasan. "Keputusan Abi sudah bulat. Kalian harus menikah," putusnya sebelum berbalik meninggalkan gudang. Umi Khadijah menghela napas berat, menatap putranya sesaat sebelum menyusul suaminya pergi. Di belakang, bisik-bisik mulai terdengar. "Aku gak nyangka, ternyata begitu kelakuan Zaina…" suara lirih seorang mbak ndalem menusuk telinga gadis itu. "Jangan langsung menuduh. Bisa jadi yang dijelaskan tadi benar," sahut yang lain. "Tapi kamu lihat sendiri kan? Dia tidur di dada Gus Arkana! Apa itu kurang jelas? Jalang sekali!" Hana yang sejak tadi berdiri di antara mereka mengepalkan tangannya erat. Dadanya bergemuruh dengan rasa kesal dan cemburu. "Kenapa semuanya jadi begini? Kalau tahu begini, lebih baik aku saja yang terkunci di dalam gudang!" geramnya dalam hati. **** "Umi percaya sama Arkana, kan?" tanya Arkana dengan suara sarat ketakutan. Ia berdiri di dekat meja dapur, memperhatikan Umi Khadijah yang sibuk mencuci piring. Hatinya gelisah. Jika keputusan ini benar-benar dilaksanakan, maka seluruh hidupnya akan berubah dalam sekejap. Umi Khadijah menoleh sekilas sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. "Umi percaya," jawabnya tenang. "Tapi yang dikatakan Abi sepertinya lebih baik untuk kalian." "Lebih baik bagaimana, Umi?" suara Arkana meninggi, matanya dipenuhi keputusasaan. "Sudah jelas ini bukan kesalahan. Arkana tidak melakukan zina, Arkana hanya membantu menenangkan gadis itu. Tidak perlu sampai menikah. Lagi pula, Umi tahu siapa yang ada di hati Arkana!" Khadijah menghela napas, lalu mulai mengeringkan tangannya dengan kain lap. Sejak pagi hingga malam, putranya terus berusaha meyakinkannya agar pernikahan itu dibatalkan. "Umi tidak bisa menyangkal lagi, Nak. Jika itu sudah perintah Abi," jawabnya dengan suara lembut namun tegas. Arkana mengepalkan tangannya. "Umi, ini menyangkut masa depan Arkana! Aku yakin gadis itu juga pasti tidak akan setuju." "Zaina pasti setuju.""Zaina pasti setuju." Suara berat itu membuat Arkana tersentak. Ia menoleh dan mendapati Kyai Ghifari sudah berdiri di ambang pintu dapur. Dengan langkah mantap, pria paruh baya itu berjalan menuju meja makan dan duduk di sana. "Apa salahnya jika kamu menikah dengannya? Dia gadis baik-baik," lanjut Kyai Ghifari. Umi Khadijah segera menyodorkan secangkir teh yang sedari tadi sudah disiapkannya. Ia lalu ikut duduk di sebelah suaminya, sementara Arkana tetap berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi penuh perlawanan. "Abi, kami tidak saling mencintai," ujar Arkana berusaha menekan emosinya. "Dia hanya membantu di pesantren Abi sementara Arkana di sini sebagai Gus. Apa Abi tidak berpikir bahwa ini akan menyulitkan kami berdua?" Kyai Ghifari menyesap tehnya dengan tenang, sebelum menatap putranya dengan penuh kewibawaan. "Semua manusia sama saja, Nak. Jika kalian tidak saling cinta, maka berusahalah. Cinta itu akan datang jika kalian membiasakan diri. Abi dan Umi dulu juga tidak s
Pagi ini, kondisi Zaina sudah jauh lebih baik. Ia memutuskan kembali membantu di dapur seperti biasanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari berbagai hal yang menekan batinnya. "Caca, biar aku saja yang menghaluskan bumbu ini. Kamu bantu mereka, ya," ujar Zaina, melirik sekilas ke arah beberapa mbak dapur yang sedang berkumpul dengan Hana. Tatapan mereka begitu menusuk, penuh dengan sindiran yang jelas ditujukan padanya. Caca menatap Zaina ragu. "Mbak gak apa-apa? Ini banyak bumbu yang harus diulek. Mbak kan baru sembuh," ujarnya khawatir. Zaina mengangguk, tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja." Caca menyerah, lalu menyerahkan cobek ke Zaina sebelum akhirnya bergabung dengan Hana dan yang lainnya. Namun, baru saja ia mendekat, bisikan sinis mulai terdengar. "Kamu gak takut deket-deket sama dia?" ujar Firda dengan nada mengejek. "Udah deh, kalau kalian ghibah terus, masakannya gak selesai-selesai," sela Caca, mulai kesal dengan sikap mereka. Sejak tadi, mereka lebih sibuk
Beberapa menit kemudian, Hana datang dengan wajah tak senang. "Kenapa kamu ngasih makanan lagi ke anak-anak? Tadi dia sudah makan. Ck, kalau gini yang lain gak kebagian dong," ujarnya dengan nada ketus. Zaina menghela napas, berusaha tetap sabar. "Cuman sedikit, Han. Lagian, ini juga masih banyak," jawabnya tenang. Hana mendengus. "Lain kali jangan kayak gitu. mentang-mentang mau menikah sama gus Arkana kamu jadi seenaknya," ujarnya sebelum pergi. Zaina hanya bisa beristighfar. Setelah memastikan semua santri sudah mendapat jatah sarapan, Zaina mulai membereskan baskom-baskom yang sudah kosong. Namun, tiba-tiba ia merasa seperti sedang diperhatikan. Ketika ia menoleh, matanya langsung bertemu dengan sosok yang berdiri tidak jauh darinya. Arkana. Sejak kejadian di gudang, ini pertama kalinya mereka bertemu langsung. Jantung Zaina berdetak lebih cepat. Ia merasa bersalah, pasti Arkana sangat marah padanya. Tatapan mereka bertahan lebih lama dari seharusnya, hingga akhirnya
Setelah selesai merapikan tempat tidur, ia beralih ke almari, menata beberapa baju yang berantakan. Saat merapikan salah satu sudut, matanya menangkap sebuah bingkai foto. Foto keluarganya. Zaina tersenyum dan mengambilnya. Perlahan, ia melangkah ke jendela, membiarkan pandangannya menembus pemandangan malam yang tenang. Bulan bersinar begitu terang, meski hanya sedikit bintang yang menemani. Lagi-lagi, ia tersenyum saat angin malam menerpa wajahnya dengan lembut. "Itu pasti kalian, kan? Kalian menyapa Zaina," bisiknya, menatap foto dalam genggamannya. Tangannya mengelus pinggiran bingkai dengan hati-hati. "Zaina akan segera menikah. Pasti kalian kaget." Ia terkikik kecil. "Zaina juga kaget... ini tiba-tiba banget." Zaina menggigit bibirnya, menahan perasaan yang bercampur aduk di dadanya. "Zaina menikah sama Gus Arkana..." katanya pelan. Begitu kalimat itu meluncur dari bibirnya, perasaan hangat menjalar di dalam hatinya. Entah mengapa, menyebut nama pria itu sekarang t
Arkana terdiam sejenak, mencerna kata-kata mereka. "That's an interesting perspective," gumamnya. Mr. Johnson tertawa kecil. "Well, saya sudah cukup tua untuk memahami hal itu." Percakapan mereka akhirnya kembali ke topik utama. Setelah beberapa pertimbangan akhir, Mr. Johnson akhirnya setuju untuk menyewa vila Arkana dalam jangka panjang. Sebuah kesepakatan besar yang akan semakin memperkuat reputasi bisnisnya. **** Senja di Bali selalu memberikan ketenangan. Langit yang mulai merona keemasan, debur ombak yang menyapa pasir putih, dan angin sepoi-sepoi yang membelai wajah. Arkana duduk sendiri di sudut sebuah kafe pinggir pantai, menyesap kopi hitam yang kini mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, membawanya ke berbagai ingatan yang tak bisa ia lepaskan begitu saja. Di hadapannya, sepasang suami istri lanjut usia tengah menikmati hidangan mereka. Arkana tidak sengaja memperhatikan mereka—betapa sederhana, tapi penuh makna cara mereka berinteraksi. Si wanita menyuapi
Khadijah berjalan menuju almari kayu besar, tangannya sibuk mencari sesuatu di dalamnya. Sementara itu, Zaina duduk di tepi ranjang, bola matanya menelusuri setiap sudut kamar yang terasa begitu luas dan nyaman. "Nah, ini dia," ujar Khadijah setelah menemukan sesuatu. Wanita itu membawa sebuah kotak merah beludru dan duduk di samping Zaina. Dengan perlahan, ia membuka kotak itu, memperlihatkan isi di dalamnya. Zaina terpaku. Di dalam kotak itu terdapat satu set perhiasan emas sebuah kalung dengan ukiran halus, sepasang anting, sebuah gelang, dan sebuah cincin dengan permata kecil di tengahnya. Semuanya tampak begitu berharga. “Ini perhiasan turun-temurun dari keluarga kami,” ucap Khadijah dengan lembut. “Karena kamu adalah menantu pertama dalam keluarga ini, umi serahkan ini untukmu.” Zaina menelan ludah. Ia tidak menyangka akan menerima sesuatu yang begitu berharga. "Umi, ini terlalu banyak. Zaina merasa tidak pantas menyimpan perhiasan ini," ucapnya, menolak dengan sop
Siang itu, Zaina baru saja selesai membantu di dapur pesantren ketika langkahnya dihentikan oleh suara sinis yang sudah tak asing di telinganya. Hana menatap Zaina dengan sinis, tangannya bersedekap di depan dada. "Lihat saja, baru mau jadi menantu Kyai Ghifari saja sudah besar kepala," ujarnya dengan nada tajam. Zaina yang sejak tadi berusaha diam, akhirnya mendongak, menatap Hana dengan mata tajam. "Kamu bilang aku besar kepala?" suaranya tenang, tapi penuh tekanan. "Memang benar, kan?" Hana mendengus, "Jangan kira semua orang di sini senang dengan pernikahanmu, Zaina. Aku yakin, kalau bukan karena belas kasihan, Gus Arkana nggak akan pernah memilih kamu." Ucapan itu menampar harga diri Zaina. Tapi alih-alih marah, gadis itu justru tersenyum miring. "Belas kasihan, ya?" Zaina melipat tangannya. "Seperti belas kasihan yang aku berikan ke kamu waktu aku diam saja soal kejadian di gudang?" Warna wajah Hana langsung berubah. "Apa maksudmu?" Zaina mendekat selangkah. "Aku dia
"Bener, nanti kalau Arkana sudah cocok sama masakanmu, dia pasti nggak bakalan makan di luar lagi. Percaya sama Umi," tambah Khadijah sambil tersenyum penuh arti. Zaina hanya tersenyum tipis, sementara Arkana meliriknya sekilas sebelum kembali fokus pada makanannya. Entah kenapa, ucapan uminya barusan terasa begitu nyata di telinganya. Athar menundukkan kepalanya lebih dalam, menyembunyikan ekspresi yang sulit ia kendalikan. Bagaimana bisa seseorang yang diam-diam kau cintai justru menikah dengan kakakmu sendiri? Namun, ia harus menerima kenyataan. Karena seberapa besar pun perasaannya, ia tidak punya hak untuk mengubah takdir. Suasana yang hangat itu mendadak sedikit berubah ketika Ghifari membuka topik baru. "Ngomong-ngomong, soal wali nikah Zaina nanti..." ujar Ghifari, meletakkan sendoknya perlahan. Semua mata langsung tertuju padanya. Zaina ikut menunduk. Ia tahu ini pasti akan dibahas cepat atau lambat. "Keluarganya yang tersisa hanya suami Ani, tapi..." Ghifari me
Zaina menatapnya skeptis. "Rara pasti nangis kalau sama kamu, Mas," ucapnya penuh keyakinan. Arkana menoleh ke Rara. "Iya, Ra?" tanyanya mencoba menantang. Seakan mengerti, bayi mungil itu langsung mengangguk. Zaina tertawa kecil, "Lucu banget ya, Mas, Rara ini." Arkana tersenyum, "Kalau kamu suka anak kecil, gimana kalau kita bikin satu sendiri?" tanyanya santai, menatap Zaina dengan ekspresi penuh arti.Mendengar ucapan Arkana, pipi Zaina sempat memerah karena canggung. Namun, ia buru-buru menormalkan ekspresinya. "Udah ah, jangan ngomong yang aneh-aneh," ucapnya, lalu melangkah lebih cepat.Di dalam hatinya, Zaina mencoba meyakinkan diri. "Arkana sudah punya perasaan sama perempuan lain sebelum aku. Kata-katanya tadi pasti cuma kebetulan."Namun, langkahnya terhenti saat suara Arkana kembali terdengar."Aneh apanya? Kita ini suami istri, kan? Kamu nggak mau melahirkan anak untuk saya?" tanyanya, terdengar santai namun penuh makna.Zaina langsung berbalik, menatap Arkana tajam.
"Kenapa? Kok kayak lagi ada masalah besar gitu?" ujar Adam begitu masuk ke ruangan Arkana. Arkana yang sempat tersentak langsung berpura-pura sibuk, memainkan pulpen di tangannya seolah sedang berpikir keras tentang pekerjaannya. "Cerita, bro. Kalau ada masalah," lanjut Adam sambil menjatuhkan tubuhnya ke kursi di depan meja Arkana. Ia memutar-mutar kursinya dengan santai, menatap sahabatnya yang tampak lebih pendiam dari biasanya. Arkana menghela napas sebelum akhirnya bertanya, "Indah pernah ngejauhin lo tiba-tiba gak?" Adam mengernyit, berpikir sejenak. "Selama ini sih nggak pernah," jawabnya, lalu menyandarkan punggungnya. "Tapi kalau lagi ngambek sih iya." Arkana mengetukkan pulpennya ke meja, lalu menatap Adam dengan serius. "Cewek biasanya ngambek gara-gara apa sih?" Adam menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, mencoba mengingat pengalaman pribadinya. "Cemburu. Atau nggak, karena gue kurang peka." Arkana mengangguk pelan. Adam memperhatikan ekspresi sahabatnya la
Arkana yang mendengar segera berlari ke dapur dengan wajah panik. "Kenapa, Za?" tanyanya cemas, langsung meraih tangan Zaina untuk memastikan lukanya. Namun, Zaina buru-buru menepis tangannya dan segera membasuh luka itu dengan air. "Kamu gak papa?" suara Arkana terdengar lembut, penuh kekhawatiran. Zaina tak menjawab. Sayatan ini memang kecil, tapi rasa perihnya seakan menusuk lebih dalam dari sekadar luka fisik. Gadis itu hanya diam, berjalan ke meja makan lalu duduk dengan tatapan kosong. Arkana pun mengikuti, tanpa suara, sebelum akhirnya mengambil segelas air dan menyodorkannya pada Zaina. "Minum dulu," ujarnya pelan. Zaina menerima gelas itu dan meneguknya tanpa banyak kata. "Aku ambilkan plester, ya?" tawar Arkana. "Tidak usah, Mas. Ini hanya luka kecil." Zaina menolak dengan suara yang nyaris datar. Ia kembali bangkit dan berjalan ke dapur, melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Arkana menghela napas, tapi tetap mengikuti Zaina. "Biar aku aja yang mas
Arkana menyandarkan tubuhnya. "Kos yang gue kelola selama ini gak jalan sebagus villa. Gue mikir, daripada terus bertahan dengan kos yang sepi peminat, kenapa gak kita ubah jadi villa baru?" Adam tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Itu bisa jadi ide bagus, sih. Tapi lo yakin bisa bersaing sama villa lain? udah banyak Villa ternama disini, termasuk Aruna Hills ini, tapi kalau lo bikin villa baru, lo harus bangun branding dari awal." Arkana mengangguk. "Makanya gue mau bikin konsep yang beda. Sesuatu yang unik, yang gak cuma tempat nginep, tapi juga experience." Adam terkekeh. "Lo kayaknya udah mikirin ini matang-matang, ya?" "Gue gak mau ambil risiko kalau gak yakin," ujar Arkana. "Makanya gue tanya lo, menurut lo ide ini worth it atau enggak?" Adam menyandarkan punggungnya, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Kalau ada konsep kuat, promosi jalan, dan marketnya jelas, gue rasa bisa sukses. Tapi lo butuh strategi yang lebih dari sekadar ubah kos jadi villa." Arkana
Sinta mengangkat alis, menunggu lanjutan kalimatnya. "...dari gula," lanjut Athar cepat sebelum yang lain sempat menggoda. Zora dan Nindi langsung mendesah kecewa. "Ih, kirain mau gombal!" Abid hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Athar gombal? Kayaknya dunia belum siap buat itu," celetuknya. Sinta mendengus kecil lalu mengambil satu potong mangga dan menggigitnya dengan puas. Tiba-tiba Athar menoleh ke arah Sinta. "Eh, kamu anak mana sih?" tanyanya santai. Sinta refleks menoleh, sedikit heran dengan pertanyaan mendadak itu. "Jombang, Gus," jawabnya sambil tetap melahap mangganya. Athar mengangguk-angguk pelan, tampak berpikir sejenak. "Kita gak ditanya, Gus?" protes Nindi berharap mendapatkan perhatian yang sama. Athar melirik sekilas. "Surabaya, kan?" tanyanya dengan wajah datar. Nindi menghela napas panjang, lalu menepuk dahinya sendiri. "Yaelah, Thar. Udah gak seru," gumamnya. Zora yang sejak tadi memperhatikan interaksi mereka tiba-tiba menyeringai. "Kayaknya
"Terserah," jawab Arkana dengan nada lembut, membuat Zaina menoleh dan mengerutkan dahi. "Mas ini, semuanya terserah," gumamnya pelan sambil akhirnya memilihkan produk untuk suaminya. Setelah merasa semua belanjaan sudah lengkap, mereka berjalan menuju kasir. Namun, saat melewati bagian buah-buahan, Zaina tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Mas!" serunya spontan, membuat Arkana sedikit kaget. "Kenapa?" tanya Arkana heran. "Untung aja aku ingat, kita belum beli buah," ujar Zaina. "Gapapa kan, Mas?" Arkana menoleh ke bagian buah-buahan dan mengangguk. "Gapapa, kamu mau buah apa?" tanyanya. "Mangga, kayaknya enak sih, Mas." Zaina menatap tumpukan mangga berwarna kuning kemerahan yang tampak segar dan menggoda. "Apel juga mau, jeruk juga, anggur juga... Eh, gapapa kan, Mas?" tanya Zaina sedikit ragu, takut belanjaannya terlalu banyak. Arkana hanya tersenyum melihat ekspresi istrinya. "Gapapa, Za. Pilih aja sesukamu." Mendengar itu, Zaina tersenyum girang dan mulai m
Pagi ini, Zaina dan Arkana sudah siap untuk berangkat ke Bandung. Sebelum pergi, Zaina menyempatkan diri untuk berpamitan dengan teman-temannya di dapur pesantren. "Udah siap, Za?" suara Arkana terdengar dari pintu kamar. Pria itu mengenakan kemeja rapi dipadukan dengan sarung. Zaina menoleh, mengangguk, lalu menutup kopernya. Arkana dengan sigap membantunya membawa koper ke luar. Di ruang makan, Khadijah sedang duduk sambil menyeruput teh hangat. Saat melihat keduanya, ia langsung bertanya, "Udah siap?" "Iya, Umi. Kami terbang pukul sembilan," jawab Arkana. "Hati-hati ya, Nak. Kalian diantar Pak Harto, kan?" tanya Khadijah, memastikan. Zaina mengangguk, sementara Arkana sudah keluar lebih dulu untuk memasukkan koper ke bagasi mobil. Zaina dan Khadijah berjalan beriringan menuju halaman. Sepanjang jalan, Khadijah menggenggam tangan menantunya erat, seolah ingin menyampaikan banyak hal tanpa kata-kata. "Umi, kita pamit ya. Umi jaga diri baik-baik," ujar Zaina lembut.
Suasana semakin canggung. Yanti terperangah, sementara Bu Linda dan Bu Umi hanya bisa saling pandang, tidak menyangka pertemuan ini akan berujung seperti ini. "Zaina, kita pulang," ucap Khadijah akhirnya, berdiri dari tempat duduknya. Zaina ikut berdiri, mengangguk sopan pada para ibu-ibu yang masih duduk. "Permisi, Bu. Assalamualaikum," ucapnya dengan senyum yang dipaksakan. "Waalaikumsalam," jawab Bu Linda dan Bu Umi hampir bersamaan, masih menatap Khadijah tidak enak juga dengan kejadian tadi. **** Setelah makan siang bersama teman-teman Umi Khadijah, Arkana datang menjemput Zaina. Namun, Umi Khadijah tidak ikut pulang bersama mereka, karena ia harus singgah terlebih dahulu ke toko busananya. Sebelum keluar dari mobil, Umi menatap lembut menantunya. "Zaina, yang tadi jangan dipikirkan, ya. Umi minta maaf kalau kamu tersinggung dengan perkataan teman Umi," ucapnya dengan nada penuh kasih. Zaina tersenyum kecil, berusaha terlihat baik-baik saja meski hatinya masih teras
Athar tersenyum tipis melihat tingkah temannya. Namun, seketika itu juga pikirannya kembali pada satu hal yang belakangan ini sulit ia lupakan. "Kayaknya aku harus cepet-cepet move on deh dari Mbak Zaina. Masa gue gini-gini aja terus sih? Ini juga kenapa sukanya sama yang lebih tua? Bikin ribet aja." Ia mengusap wajahnya, merasa kesal dengan diri sendiri. Tanpa berpikir panjang, Athar berdiri dan berjalan ke luar asrama. Entah mau ke mana, yang jelas ia butuh udara segar. **** "Pakai lauk apa, Gus?" tanya Zaina sambil menatap suaminya. Arkana yang sedang menuangkan air ke gelasnya menoleh sebentar. "Ayam sama telur aja," jawabnya santai. Zaina mengangguk lalu dengan cekatan mengambilkan makanan untuk suaminya. Dari seberang meja, Khadijah dan Ghifari memperhatikan pasangan baru itu dengan senyum penuh makna. Tak lama kemudian, Zaina menyodorkan piring berisi lauk pilihan Arkana. "Terima kasih," ujar Arkana singkat. Zaina hanya mengangguk, sementara Khadijah yang seda