Share

Bab 6

Author: Narra Azahra
last update Last Updated: 2025-02-03 17:11:05

Athar langsung tertawa penuh kemenangan. "Wah, Mas Arkana main rahasia-rahasiaan nih, Umi! Ayo telpon Abi! Pasti dari Jakarta langsung pesen tiket pulang kalau dengar ini."

Umi ikut tersenyum geli. "Iya, sopo toh, Le? Umi penasaran."

Arkana terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ning Syifa, Umi."

****

"Za, tolong ambilin piring di gudang," perintah Hana dengan nada mendesak.

Zaina yang sedang merapikan meja melirik tumpukan piring di atasnya. "Bukannya piringnya masih banyak? Lihat tuh," ujarnya heran.

"Udah, cepetan! Keburu anak-anak datang semua," kata Hana, menyembunyikan senyum liciknya.

Zaina mendengus kesal, tapi tetap menurut. Sementara itu, Hana memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan rencananya.

Di dalam gudang, Zaina mengamati sekeliling, mencari piring yang disebut Hana. Namun, yang ada hanya karung beras, bahan baku dapur, dan beberapa peralatan lama.

Sementara itu, Arkana masuk ke gudang, entah untuk mencari apa. Zaina yang masih sibuk mencari tidak terlalu memedulikannya.

"Hana, piringnya di mana?" tanya Zaina ketika melihat gadis itu masih berdiri di luar gudang.

"Ya cari aja sampai dapat," jawab Hana santai.

Zaina berdecak kesal. "Nyuruh-nyuruh doang, bantuin enggak," gerutunya.

Begitu melihat kesempatan, Hana langsung menutup pintu gudang dengan cepat dan menguncinya dari luar.

"Rasain lo! Mampus!" bisiknya puas, lalu pergi tanpa menyadari bahwa ada orang lain di dalam selain Zaina.

Zaina yang mendengar suara pintu ditutup langsung berbalik dan mencoba membukanya. Namun, sia-sia.

"Hana! Kurang ajar banget sih itu anak! Sudah kuduga, emang dasar gak punya akhlak!" geramnya sambil menggedor-gedor pintu.

Arkana yang semula sibuk mencari peralatan untuk servis sepeda akhirnya terganggu oleh suara teriakan Zaina.

"Kenapa?" tanyanya santai, masih tidak menyadari situasi.

"Ada yang ngunci dari luar, Gus!" seru Zaina, mulai panik.

Arkana mendekat, menghela napas pendek. "Gak mungkin. Pasti cuma ditutup doang," ujarnya mencoba menenangkan.

"Saya lihat sendiri kok! Coba aja buka kalau gak percaya!" tantang Zaina.

Dengan sedikit ragu, Arkana maju dan mencoba membuka pintu. Benar saja, terkunci.

Ia merogoh saku celananya, hendak mengambil ponsel, tapi baru sadar bahwa ia sedang mengenakan sarung. Lagi pula, tadi ia baru saja pulang dari masjid dan tidak membawa apa pun.

"Kamu bawa handphone?" tanyanya.

Zaina menggeleng lemah.

"Astaghfirullah, lalu kita gimana? Udah malam, loh," desah Arkana.

"Mana bisa kita nunggu sampai pagi berduaan begini. Yang ada malah difitnah," lanjutnya.

"Ya udah, coba Gus gedor-gedor terus teriak. Siapa tahu ada yang dengar," usul Zaina.

Arkana menggeleng. "Gak bakal kedengaran, Zaina. Ini ruangan kedap suara."

Zaina menghela napas pasrah. "Ya gimana lagi kalau gak nunggu sampai pagi? Gini deh, kalau Gus takut fitnah, saya di ujung sana, Gus di ujung sana. Udah, kan?" katanya santai.

Arkana sempat tidak percaya mendengar perkataan gadis itu. Bisa-bisanya ia bersikap setenang ini.

Akhirnya, keduanya duduk di tempat masing-masing, saling menjaga jarak. Suasana menjadi hening, hanya sesekali terdengar helaan napas mereka.

Tiba-tiba, Arkana berbicara, suaranya terdengar pelan, "Turut berdukacita, Zaina."

Zaina menoleh cepat, sedikit terkejut. "Udah lama, Gus. Saya aja sampai lupa," ujarnya, nada suaranya melemah di akhir kalimat.

Arkana mengangguk pelan. "Kamu kerja di coffee shop sebelum ke pesantren, kan?" tanyanya.

Zaina menatapnya heran. "Gus kok bisa tahu?"

"Saya pernah ke kafe tempat kamu kerja. Udah lama sih, mungkin kamu lupa."

Zaina mencoba mengingat, tapi masih samar.

"Waktu itu ada pelanggan yang mabuk. Kamu dengan berani mengusir mereka demi kenyamanan pelanggan lain. Kamu berani banget. Mereka preman, tapi kamu gak takut sama sekali."

Zaina tersenyum kecil, mengingat kejadian itu. "Udah biasa, Gus. Mereka sering kayak gitu."

Arkana menatapnya dalam diam sebelum bertanya lagi, "Tapi kenapa kalau sama Hana kamu diam aja? Padahal dia sering semena-mena sama kamu."

Zaina mengangkat bahu. "Biarin aja, Gus. Kalau saya lawan, udah pasti tiap hari kita ribut. Malu, Gus, saya anggota baru di pesantren ini, masa mau bikin masalah?"

Mendengar jawaban itu, Arkana tersenyum kecil, entah kenapa merasa sedikit kagum.

Malam semakin larut. Mungkin sekarang sudah menunjukkan pukul sembilan. Namun, tak lama kemudian, lampu gudang tiba-tiba padam.

"Gus?" panggil Zaina, suaranya terdengar gemetar. "Masih ada di sana, kan?"

"Iya, saya masih di sini," jawab Arkana santai.

"Gus, tolong dong ke sini. Saya takut," suara Zaina mulai terdengar panik.

Arkana mendengus pelan. "Udah, kamu di situ aja. Di sini gak ada apa-apa."

Namun, Zaina tidak menjawab lagi.

Arkana mengerutkan dahi, merasa aneh dengan keheningan itu. "Zaina?" panggilnya, tapi tetap tidak ada jawaban.

Merasa khawatir, Arkana berusaha meraba-raba dalam kegelapan, mencari keberadaan Zaina. Setelah beberapa saat, akhirnya tangannya menyentuh sesuatu.

"Zaina?" ulangnya, kali ini lebih cemas.

Gadis itu tergeletak di lantai, tubuhnya gemetar hebat. Arkana langsung berjongkok, mencoba membangunkannya.

"Zaina, aku izin menyentuh kamu ya," gumamnya lirih sebelum meletakkan kepala Zaina di pangkuannya.

Tangannya menepuk pelan pipi gadis itu, berusaha menyadarkannya. Beberapa saat kemudian, Zaina mulai sadar. Namun, yang membuat Arkana terkejut adalah tiba-tiba gadis itu menangis dan langsung merangkulnya erat.

Arkana membeku.

"Zaina, kamu kenapa?" tanyanya, merasa ada yang tidak beres.

Zaina tidak menjawab, hanya semakin erat memeluk Arkana, bahunya terguncang oleh tangis tertahan.

"Zaina, ngomong ke saya. Ada apa?" ulang Arkana, suaranya lebih lembut.

Perlahan, di antara isakannya, Zaina berbisik, "Saya takut, Gus... gelap, suara-suara itu datang lagi..."

Arkana terdiam.

Tiba-tiba, ia tersadar. Ini bukan hanya soal terkunci di gudang. Ada sesuatu yang lebih besar.

"Suara apa?" tanyanya hati-hati.

Zaina menggigit bibirnya, matanya menerawang dalam kegelapan. "Malam itu... mereka masuk rumah saya... suara kaca pecah, jeritan bunda, teriakan ayah dan abang..." Suaranya semakin parau. "Saya bersembunyi, Gus. Saya gak bisa bantu mereka... Saya cuma bisa dengar suara mereka dibunuh satu per satu..."

Arkana membatu.

Zaina menangis semakin kencang, genggamannya pada Arkana semakin erat.

Arkana tak berkata apa-apa. Ia hanya menepuk pelan punggung gadis itu, membiarkannya meluapkan segalanya.

Setidaknya, untuk malam ini, ia bisa menjadi tempat Zaina bersandar.

Related chapters

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 7

    "Zaina ke mana yah?" gumam Yaya pelan, rasa khawatir semakin menjalari hatinya. Setelah sholat tahajud, Yaya langsung keluar kamar, menunggu Zaina yang entah pergi ke mana. Atau jangan-jangan… tadi malam dia tidak pulang ke kamar? Yaya benar-benar tidak tahu. Selepas makan malam, ia langsung tertidur. Namun, sebelum itu, ia sempat melihat Zaina berbicara dengan Hana. Pikirannya terus berputar hingga suara langkah kaki membuatnya menoleh. "Aya? Ngapain kamu di sini?" suara Aliyah terdengar pelan saat ia keluar dari kamar. "Mbak Al, Zaina gak ada," ujar Yaya panik. Aliyah berjalan mendekat, mencoba menenangkan. "Mungkin dia ke kamar mandi," tebaknya. Yaya menggeleng cepat, matanya masih menatap lorong pesantren yang sepi. "Dia gak pulang, Mbak, dari semalam." Aliyah mulai serius. "Kamu yakin?" Yaya mengangguk. "Kemarin aku masih lihat dia ngobrol sama Hana sebelum makan malam. Setelah itu, aku gak tahu. Aku langsung balik ke kamar dan ketiduran." Aliyah berpikir seje

    Last Updated : 2025-02-10
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 8

    "Zaina pasti setuju." Suara berat itu membuat Arkana tersentak. Ia menoleh dan mendapati Kyai Ghifari sudah berdiri di ambang pintu dapur. Dengan langkah mantap, pria paruh baya itu berjalan menuju meja makan dan duduk di sana. "Apa salahnya jika kamu menikah dengannya? Dia gadis baik-baik," lanjut Kyai Ghifari. Umi Khadijah segera menyodorkan secangkir teh yang sedari tadi sudah disiapkannya. Ia lalu ikut duduk di sebelah suaminya, sementara Arkana tetap berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi penuh perlawanan. "Abi, kami tidak saling mencintai," ujar Arkana berusaha menekan emosinya. "Dia hanya membantu di pesantren Abi sementara Arkana di sini sebagai Gus. Apa Abi tidak berpikir bahwa ini akan menyulitkan kami berdua?" Kyai Ghifari menyesap tehnya dengan tenang, sebelum menatap putranya dengan penuh kewibawaan. "Semua manusia sama saja, Nak. Jika kalian tidak saling cinta, maka berusahalah. Cinta itu akan datang jika kalian membiasakan diri. Abi dan Umi dulu juga tidak s

    Last Updated : 2025-02-12
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 9

    Pagi ini, kondisi Zaina sudah jauh lebih baik. Ia memutuskan kembali membantu di dapur seperti biasanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari berbagai hal yang menekan batinnya. "Caca, biar aku saja yang menghaluskan bumbu ini. Kamu bantu mereka, ya," ujar Zaina, melirik sekilas ke arah beberapa mbak dapur yang sedang berkumpul dengan Hana. Tatapan mereka begitu menusuk, penuh dengan sindiran yang jelas ditujukan padanya. Caca menatap Zaina ragu. "Mbak gak apa-apa? Ini banyak bumbu yang harus diulek. Mbak kan baru sembuh," ujarnya khawatir. Zaina mengangguk, tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja." Caca menyerah, lalu menyerahkan cobek ke Zaina sebelum akhirnya bergabung dengan Hana dan yang lainnya. Namun, baru saja ia mendekat, bisikan sinis mulai terdengar. "Kamu gak takut deket-deket sama dia?" ujar Firda dengan nada mengejek. "Udah deh, kalau kalian ghibah terus, masakannya gak selesai-selesai," sela Caca, mulai kesal dengan sikap mereka. Sejak tadi, mereka lebih sibuk

    Last Updated : 2025-02-14
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 10

    Beberapa menit kemudian, Hana datang dengan wajah tak senang. "Kenapa kamu ngasih makanan lagi ke anak-anak? Tadi dia sudah makan. Ck, kalau gini yang lain gak kebagian dong," ujarnya dengan nada ketus. Zaina menghela napas, berusaha tetap sabar. "Cuman sedikit, Han. Lagian, ini juga masih banyak," jawabnya tenang. Hana mendengus. "Lain kali jangan kayak gitu. mentang-mentang mau menikah sama gus Arkana kamu jadi seenaknya," ujarnya sebelum pergi. Zaina hanya bisa beristighfar. Setelah memastikan semua santri sudah mendapat jatah sarapan, Zaina mulai membereskan baskom-baskom yang sudah kosong. Namun, tiba-tiba ia merasa seperti sedang diperhatikan. Ketika ia menoleh, matanya langsung bertemu dengan sosok yang berdiri tidak jauh darinya. Arkana. Sejak kejadian di gudang, ini pertama kalinya mereka bertemu langsung. Jantung Zaina berdetak lebih cepat. Ia merasa bersalah, pasti Arkana sangat marah padanya. Tatapan mereka bertahan lebih lama dari seharusnya, hingga akhirnya

    Last Updated : 2025-02-16
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 11

    Setelah selesai merapikan tempat tidur, ia beralih ke almari, menata beberapa baju yang berantakan. Saat merapikan salah satu sudut, matanya menangkap sebuah bingkai foto. Foto keluarganya. Zaina tersenyum dan mengambilnya. Perlahan, ia melangkah ke jendela, membiarkan pandangannya menembus pemandangan malam yang tenang. Bulan bersinar begitu terang, meski hanya sedikit bintang yang menemani. Lagi-lagi, ia tersenyum saat angin malam menerpa wajahnya dengan lembut. "Itu pasti kalian, kan? Kalian menyapa Zaina," bisiknya, menatap foto dalam genggamannya. Tangannya mengelus pinggiran bingkai dengan hati-hati. "Zaina akan segera menikah. Pasti kalian kaget." Ia terkikik kecil. "Zaina juga kaget... ini tiba-tiba banget." Zaina menggigit bibirnya, menahan perasaan yang bercampur aduk di dadanya. "Zaina menikah sama Gus Arkana..." katanya pelan. Begitu kalimat itu meluncur dari bibirnya, perasaan hangat menjalar di dalam hatinya. Entah mengapa, menyebut nama pria itu sekarang t

    Last Updated : 2025-02-17
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 12

    Arkana terdiam sejenak, mencerna kata-kata mereka. "That's an interesting perspective," gumamnya. Mr. Johnson tertawa kecil. "Well, saya sudah cukup tua untuk memahami hal itu." Percakapan mereka akhirnya kembali ke topik utama. Setelah beberapa pertimbangan akhir, Mr. Johnson akhirnya setuju untuk menyewa vila Arkana dalam jangka panjang. Sebuah kesepakatan besar yang akan semakin memperkuat reputasi bisnisnya. **** Senja di Bali selalu memberikan ketenangan. Langit yang mulai merona keemasan, debur ombak yang menyapa pasir putih, dan angin sepoi-sepoi yang membelai wajah. Arkana duduk sendiri di sudut sebuah kafe pinggir pantai, menyesap kopi hitam yang kini mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, membawanya ke berbagai ingatan yang tak bisa ia lepaskan begitu saja. Di hadapannya, sepasang suami istri lanjut usia tengah menikmati hidangan mereka. Arkana tidak sengaja memperhatikan mereka—betapa sederhana, tapi penuh makna cara mereka berinteraksi. Si wanita menyuapi

    Last Updated : 2025-02-18
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 13

    Khadijah berjalan menuju almari kayu besar, tangannya sibuk mencari sesuatu di dalamnya. Sementara itu, Zaina duduk di tepi ranjang, bola matanya menelusuri setiap sudut kamar yang terasa begitu luas dan nyaman. "Nah, ini dia," ujar Khadijah setelah menemukan sesuatu. Wanita itu membawa sebuah kotak merah beludru dan duduk di samping Zaina. Dengan perlahan, ia membuka kotak itu, memperlihatkan isi di dalamnya. Zaina terpaku. Di dalam kotak itu terdapat satu set perhiasan emas sebuah kalung dengan ukiran halus, sepasang anting, sebuah gelang, dan sebuah cincin dengan permata kecil di tengahnya. Semuanya tampak begitu berharga. “Ini perhiasan turun-temurun dari keluarga kami,” ucap Khadijah dengan lembut. “Karena kamu adalah menantu pertama dalam keluarga ini, umi serahkan ini untukmu.” Zaina menelan ludah. Ia tidak menyangka akan menerima sesuatu yang begitu berharga. "Umi, ini terlalu banyak. Zaina merasa tidak pantas menyimpan perhiasan ini," ucapnya, menolak dengan sop

    Last Updated : 2025-02-20
  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 14

    Siang itu, Zaina baru saja selesai membantu di dapur pesantren ketika langkahnya dihentikan oleh suara sinis yang sudah tak asing di telinganya. Hana menatap Zaina dengan sinis, tangannya bersedekap di depan dada. "Lihat saja, baru mau jadi menantu Kyai Ghifari saja sudah besar kepala," ujarnya dengan nada tajam. Zaina yang sejak tadi berusaha diam, akhirnya mendongak, menatap Hana dengan mata tajam. "Kamu bilang aku besar kepala?" suaranya tenang, tapi penuh tekanan. "Memang benar, kan?" Hana mendengus, "Jangan kira semua orang di sini senang dengan pernikahanmu, Zaina. Aku yakin, kalau bukan karena belas kasihan, Gus Arkana nggak akan pernah memilih kamu." Ucapan itu menampar harga diri Zaina. Tapi alih-alih marah, gadis itu justru tersenyum miring. "Belas kasihan, ya?" Zaina melipat tangannya. "Seperti belas kasihan yang aku berikan ke kamu waktu aku diam saja soal kejadian di gudang?" Warna wajah Hana langsung berubah. "Apa maksudmu?" Zaina mendekat selangkah. "Aku dia

    Last Updated : 2025-02-21

Latest chapter

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 27

    Zaina menatapnya skeptis. "Rara pasti nangis kalau sama kamu, Mas," ucapnya penuh keyakinan. Arkana menoleh ke Rara. "Iya, Ra?" tanyanya mencoba menantang. Seakan mengerti, bayi mungil itu langsung mengangguk. Zaina tertawa kecil, "Lucu banget ya, Mas, Rara ini." Arkana tersenyum, "Kalau kamu suka anak kecil, gimana kalau kita bikin satu sendiri?" tanyanya santai, menatap Zaina dengan ekspresi penuh arti.Mendengar ucapan Arkana, pipi Zaina sempat memerah karena canggung. Namun, ia buru-buru menormalkan ekspresinya. "Udah ah, jangan ngomong yang aneh-aneh," ucapnya, lalu melangkah lebih cepat.Di dalam hatinya, Zaina mencoba meyakinkan diri. "Arkana sudah punya perasaan sama perempuan lain sebelum aku. Kata-katanya tadi pasti cuma kebetulan."Namun, langkahnya terhenti saat suara Arkana kembali terdengar."Aneh apanya? Kita ini suami istri, kan? Kamu nggak mau melahirkan anak untuk saya?" tanyanya, terdengar santai namun penuh makna.Zaina langsung berbalik, menatap Arkana tajam.

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 26

    "Kenapa? Kok kayak lagi ada masalah besar gitu?" ujar Adam begitu masuk ke ruangan Arkana. Arkana yang sempat tersentak langsung berpura-pura sibuk, memainkan pulpen di tangannya seolah sedang berpikir keras tentang pekerjaannya. "Cerita, bro. Kalau ada masalah," lanjut Adam sambil menjatuhkan tubuhnya ke kursi di depan meja Arkana. Ia memutar-mutar kursinya dengan santai, menatap sahabatnya yang tampak lebih pendiam dari biasanya. Arkana menghela napas sebelum akhirnya bertanya, "Indah pernah ngejauhin lo tiba-tiba gak?" Adam mengernyit, berpikir sejenak. "Selama ini sih nggak pernah," jawabnya, lalu menyandarkan punggungnya. "Tapi kalau lagi ngambek sih iya." Arkana mengetukkan pulpennya ke meja, lalu menatap Adam dengan serius. "Cewek biasanya ngambek gara-gara apa sih?" Adam menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, mencoba mengingat pengalaman pribadinya. "Cemburu. Atau nggak, karena gue kurang peka." Arkana mengangguk pelan. Adam memperhatikan ekspresi sahabatnya la

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 25

    Arkana yang mendengar segera berlari ke dapur dengan wajah panik. "Kenapa, Za?" tanyanya cemas, langsung meraih tangan Zaina untuk memastikan lukanya. Namun, Zaina buru-buru menepis tangannya dan segera membasuh luka itu dengan air. "Kamu gak papa?" suara Arkana terdengar lembut, penuh kekhawatiran. Zaina tak menjawab. Sayatan ini memang kecil, tapi rasa perihnya seakan menusuk lebih dalam dari sekadar luka fisik. Gadis itu hanya diam, berjalan ke meja makan lalu duduk dengan tatapan kosong. Arkana pun mengikuti, tanpa suara, sebelum akhirnya mengambil segelas air dan menyodorkannya pada Zaina. "Minum dulu," ujarnya pelan. Zaina menerima gelas itu dan meneguknya tanpa banyak kata. "Aku ambilkan plester, ya?" tawar Arkana. "Tidak usah, Mas. Ini hanya luka kecil." Zaina menolak dengan suara yang nyaris datar. Ia kembali bangkit dan berjalan ke dapur, melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Arkana menghela napas, tapi tetap mengikuti Zaina. "Biar aku aja yang mas

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 24

    Arkana menyandarkan tubuhnya. "Kos yang gue kelola selama ini gak jalan sebagus villa. Gue mikir, daripada terus bertahan dengan kos yang sepi peminat, kenapa gak kita ubah jadi villa baru?" Adam tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Itu bisa jadi ide bagus, sih. Tapi lo yakin bisa bersaing sama villa lain? udah banyak Villa ternama disini, termasuk Aruna Hills ini, tapi kalau lo bikin villa baru, lo harus bangun branding dari awal." Arkana mengangguk. "Makanya gue mau bikin konsep yang beda. Sesuatu yang unik, yang gak cuma tempat nginep, tapi juga experience." Adam terkekeh. "Lo kayaknya udah mikirin ini matang-matang, ya?" "Gue gak mau ambil risiko kalau gak yakin," ujar Arkana. "Makanya gue tanya lo, menurut lo ide ini worth it atau enggak?" Adam menyandarkan punggungnya, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Kalau ada konsep kuat, promosi jalan, dan marketnya jelas, gue rasa bisa sukses. Tapi lo butuh strategi yang lebih dari sekadar ubah kos jadi villa." Arkana

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 23

    Sinta mengangkat alis, menunggu lanjutan kalimatnya. "...dari gula," lanjut Athar cepat sebelum yang lain sempat menggoda. Zora dan Nindi langsung mendesah kecewa. "Ih, kirain mau gombal!" Abid hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Athar gombal? Kayaknya dunia belum siap buat itu," celetuknya. Sinta mendengus kecil lalu mengambil satu potong mangga dan menggigitnya dengan puas. Tiba-tiba Athar menoleh ke arah Sinta. "Eh, kamu anak mana sih?" tanyanya santai. Sinta refleks menoleh, sedikit heran dengan pertanyaan mendadak itu. "Jombang, Gus," jawabnya sambil tetap melahap mangganya. Athar mengangguk-angguk pelan, tampak berpikir sejenak. "Kita gak ditanya, Gus?" protes Nindi berharap mendapatkan perhatian yang sama. Athar melirik sekilas. "Surabaya, kan?" tanyanya dengan wajah datar. Nindi menghela napas panjang, lalu menepuk dahinya sendiri. "Yaelah, Thar. Udah gak seru," gumamnya. Zora yang sejak tadi memperhatikan interaksi mereka tiba-tiba menyeringai. "Kayaknya

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 22

    "Terserah," jawab Arkana dengan nada lembut, membuat Zaina menoleh dan mengerutkan dahi. "Mas ini, semuanya terserah," gumamnya pelan sambil akhirnya memilihkan produk untuk suaminya. Setelah merasa semua belanjaan sudah lengkap, mereka berjalan menuju kasir. Namun, saat melewati bagian buah-buahan, Zaina tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Mas!" serunya spontan, membuat Arkana sedikit kaget. "Kenapa?" tanya Arkana heran. "Untung aja aku ingat, kita belum beli buah," ujar Zaina. "Gapapa kan, Mas?" Arkana menoleh ke bagian buah-buahan dan mengangguk. "Gapapa, kamu mau buah apa?" tanyanya. "Mangga, kayaknya enak sih, Mas." Zaina menatap tumpukan mangga berwarna kuning kemerahan yang tampak segar dan menggoda. "Apel juga mau, jeruk juga, anggur juga... Eh, gapapa kan, Mas?" tanya Zaina sedikit ragu, takut belanjaannya terlalu banyak. Arkana hanya tersenyum melihat ekspresi istrinya. "Gapapa, Za. Pilih aja sesukamu." Mendengar itu, Zaina tersenyum girang dan mulai m

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 21

    Pagi ini, Zaina dan Arkana sudah siap untuk berangkat ke Bandung. Sebelum pergi, Zaina menyempatkan diri untuk berpamitan dengan teman-temannya di dapur pesantren. "Udah siap, Za?" suara Arkana terdengar dari pintu kamar. Pria itu mengenakan kemeja rapi dipadukan dengan sarung. Zaina menoleh, mengangguk, lalu menutup kopernya. Arkana dengan sigap membantunya membawa koper ke luar. Di ruang makan, Khadijah sedang duduk sambil menyeruput teh hangat. Saat melihat keduanya, ia langsung bertanya, "Udah siap?" "Iya, Umi. Kami terbang pukul sembilan," jawab Arkana. "Hati-hati ya, Nak. Kalian diantar Pak Harto, kan?" tanya Khadijah, memastikan. Zaina mengangguk, sementara Arkana sudah keluar lebih dulu untuk memasukkan koper ke bagasi mobil. Zaina dan Khadijah berjalan beriringan menuju halaman. Sepanjang jalan, Khadijah menggenggam tangan menantunya erat, seolah ingin menyampaikan banyak hal tanpa kata-kata. "Umi, kita pamit ya. Umi jaga diri baik-baik," ujar Zaina lembut.

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 20

    Suasana semakin canggung. Yanti terperangah, sementara Bu Linda dan Bu Umi hanya bisa saling pandang, tidak menyangka pertemuan ini akan berujung seperti ini. "Zaina, kita pulang," ucap Khadijah akhirnya, berdiri dari tempat duduknya. Zaina ikut berdiri, mengangguk sopan pada para ibu-ibu yang masih duduk. "Permisi, Bu. Assalamualaikum," ucapnya dengan senyum yang dipaksakan. "Waalaikumsalam," jawab Bu Linda dan Bu Umi hampir bersamaan, masih menatap Khadijah tidak enak juga dengan kejadian tadi. **** Setelah makan siang bersama teman-teman Umi Khadijah, Arkana datang menjemput Zaina. Namun, Umi Khadijah tidak ikut pulang bersama mereka, karena ia harus singgah terlebih dahulu ke toko busananya. Sebelum keluar dari mobil, Umi menatap lembut menantunya. "Zaina, yang tadi jangan dipikirkan, ya. Umi minta maaf kalau kamu tersinggung dengan perkataan teman Umi," ucapnya dengan nada penuh kasih. Zaina tersenyum kecil, berusaha terlihat baik-baik saja meski hatinya masih teras

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 19

    Athar tersenyum tipis melihat tingkah temannya. Namun, seketika itu juga pikirannya kembali pada satu hal yang belakangan ini sulit ia lupakan. "Kayaknya aku harus cepet-cepet move on deh dari Mbak Zaina. Masa gue gini-gini aja terus sih? Ini juga kenapa sukanya sama yang lebih tua? Bikin ribet aja." Ia mengusap wajahnya, merasa kesal dengan diri sendiri. Tanpa berpikir panjang, Athar berdiri dan berjalan ke luar asrama. Entah mau ke mana, yang jelas ia butuh udara segar. **** "Pakai lauk apa, Gus?" tanya Zaina sambil menatap suaminya. Arkana yang sedang menuangkan air ke gelasnya menoleh sebentar. "Ayam sama telur aja," jawabnya santai. Zaina mengangguk lalu dengan cekatan mengambilkan makanan untuk suaminya. Dari seberang meja, Khadijah dan Ghifari memperhatikan pasangan baru itu dengan senyum penuh makna. Tak lama kemudian, Zaina menyodorkan piring berisi lauk pilihan Arkana. "Terima kasih," ujar Arkana singkat. Zaina hanya mengangguk, sementara Khadijah yang seda

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status