Rara memilih untuk bungkam lagi setelah mereka melanjutkan perjalanan. Masih ada sekitar 90 menit ke depan yang harus ia lalui bersama kecanggungan ini. Ryu tampak angkuh menyetir, mulutnya terkunci, kacamata hitam bertengger nyaman di hidung mancung sampai langitnya, menggantikan kacamata andalan berlensa bening andalannya sehari-hari.
"Saya boleh tanya yang sedikit pribadi nggak Pak?" tanya Rara tak tahan juga terdiam tanpa berbuat apa-apa, sementara kepalanya akan mudah pusing jika terus melihat layar ponsel. "Enggak." Singkat, padat dan menyebalkan. Begitulah Ryu dikenal oleh para karyawan. "Ya Allah Pak, baru juga nawaitu sayanya," ujar Rara diam-diam mencibir. "Saya nggak suka ditanya-tanya. Males nyari jawabannya," tandas Ryu. "Kan Bapak belom tau saya mau nanya apa, kenapa udah males aja? Aneh ih Bapak nih," ucap Rara dengan logat Banjar-nya yang khas dan menjadi candu di telinga Ryu. "Emang mau nanya apaan?" gumam Ryu. "Bakalan dijawab nggak tapinya?" Ryu mengedikkan bahu, "Tergantung," ujarnya pura-pura tak acuh padahal sebenarnya ia cukup penasaran. "Soal gelang," Rara mencoba melirik Ryu, menunggu reaksi si tampan. Namun Ryu bergeming, sibuk menatap jalanan di depan. "Bapak kan bisa pake gelang yang merk LV misalnya kayak artis-artis gitu, secara Pak Ryu barang mahal begitu nggak susah belinya. Kenapa harus gelang kayu gaharu?" cerocosnya. Ryu tak langsung menanggapi rasa penasaran Rara. Ia tampak masih fokus menyetir, sesekali matanya mengedip dalam frekuensi lambat, semakin membuat Rara gemas. Sesaat ia menarik napas panjang sebelum kemudian berdehem kecil. "Rahasia," kata Ryu mengecewakan. "Hash, saya kira bakalan dapet jawaban panjang lebar yang menyentuh dan romantis gitu ah si Bapak," dengusnya. "Kenapa kamu jadi ngurusin style saya?" tanya Ryu. "Bukan ngurusin Pak, saya tanya aja. Soalnya nggak lazim gitu Pak. Ada gelang kayu gaharu bersanding sama jam tangan ratusan juta punya Pak Ryu itu," tunjuk Rara pada jam tangan Bell & Rose yang melingkar di pergelangan tangan Ryu. "Mana ada ratusan juta," desis Ryu menyungging senyum. "Saya tau merk ya, Pak, meskipun saya nggak kuat beli yang sebegitu bagus," sambar Rara. "Tapi gelang buatan saya, itu gelang termahal di dunia," katanya bangga. "Bisa gitu?" "Bisa Pak. Saya cari bahannya sendiri. Gaharu, kayu surgawi, kayu dewa termahal di dunia. Dan saya bikinnya dengan hati, tulus banget." "Orang yang mau beli nggak peduli soal begitu," ujar Ryu. "Saya nggak jual gelang buatan saya, Pak GM," debat Rara. "Terus kenapa kamu ngasih ke saya? Sengaja buatin?" pancing Ryu. Ia tertarik juga untuk mengobrol lebih banyak. "Iya. Kasian soalnya, masa Pak Bos pake gelang jelek padahal jam tangannya mahal," sindir Rara telak. "Sialan!" celetuk Ryu tertampar ucapan Rara. "Gelang itu menyimpan dunia saya," ungkapnya tanpa diminta, tiba-tiba. "Sangat berarti ya Pak?" Ryu mengangguk, mata kosongnya menerawang truk tangki Crude Palm Oil yang menunggu untuk didahului, "Ada hati saya di sana," lirihnya. Rara tertegun. Ia tidak menyangka bahwa pancingan dangkalnya akan membawa situasi canggung sedalam ini. Bagaimanapun, ini kali pertama ia melihat Ryu sangat melankolis, tidak galak dan di dalam pandangannya, Ryu terlihat lelah entah karena apa. "Itu gelang couple pasti," tebak Rara. "Kalau Bapak mau, nanti kasih ke saya, biar saya ganti talinya aja, maniknya saya pasang lagi," tambahnya. "Nggak perlu, saya udah buang gelang lama itu, sekarang udah nggak penting lagi. Saya nggak mau ngasih kamu lebih banyak kesempatan buat ngehina saya karena saya pake gelang jelek," tolak Ryu. "Ih," Rara terbahak, "Bapak kok mikirnya gitu," kekehnya ketahuan berniat nakal. "Saya selangkah lebih maju dari yang kamu pikirin!" desis Ryu, tersenyum lagi. "Bapak! Tolong jangan banyak-banyak senyum, serem saya jadinya kalau Pak Ryu senyam-senyum gitu, nggak bagus buat kesehatan jantung, Pak!" protes Rara. "Sejak kapan senyum bisa bikin jantungan?" "Jantung saya Bapak, bukan jantung situ," dumal Rara. Ryu menoleh ke arah Rara kikuk. Beruntung yang ditolehnya ternyata benar-benar sepolos pantat bayi. "Heran, Pak Ryu ini niru siapa ya? Nggak ada miripnya sama Pak Rain dan Bu Mika sifatnya," gumamnya bermonolog. "Saya masih denger ya, Azura," sahut Ryu geleng-geleng kepala. "Bapak ikut siapa sih Pak sifatnya? Pak, galak-galak ke karyawan itu nggak ada gunanya lho Pak!" "Cerewet ke atasan juga nggak ada gunanya." "Duh, dibales ulun (Banjar: aku)," Rara nyengir. "Saya ini nggak cerewet Pak. Cuma ngajak ngobrol biar sayanya nggak ngantuk. Kalau saya ketiduran kan gawat. Bisa dibuang di semak-semak saya sama Pak Ryu," keluhnya. "Saya nggak setega itu. Paling saya titipin ke truk yang bawa janjangan, biar diolah bareng limbah sekalian," kata Ryu menahan tawa. "Saya lebih cantik dari janjangan ya Pak!" "Iya saya tau, kamu cantik sejak dulu," ucap Ryu tanpa sadar, kelepasan. Baru setelah dua detik ia tertegun sendirian dengan tatapan penasaran dari Rara di seberang. ###"Beneran tau Pak? Serius?" sorak Rara senang, sepolos itu pikirannya hingga ia tak mau tahu tentang ucapan mengejutkan dari Ryu barusan. "Mending kamu tidur aja, biar saya konsentrasi nyetir," jakun Ryu naik-turun menandakan ia gugup saat berucap, masih berusaha menata hati. "Nanti saya dibilang nggak tau diri. Atasan nyetir sayanya, guring (Banjar: tidur)," Rara meringis geli. "Ketimbang kamu ganggu konsentrasi saya nyetir. Udah berisik, pertanyaannya nggak berfaedah, nggak berbobot." "Tapi kan saya jadi tau kalau Pak Ryu sebenernya suka cerita, rajin senyum pula." Ryu mendesah, "Kamu sarapan apa pagi ini? Kenapa ngocehnya overdosis gini?" tanyanya. "Tadi makan snack aja sih Pak, tapi emang ada jagungnya," Rara terbahak. "Ya Tuhan," desis Ryu. "Baeknya pake kesempatan buat tidur. Nanti kalau udah sampe Sampit, saya nggak akan ngelepasin kamu!" ujarnya lagi. "Bapak!" Rara spontan menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "jangan bikin gosip yang kesebar di kebun jad
"Kamu tolong minta orang hotel untuk bersihin kamar saya," ujar Ryu pada Rara yang tertatih mengejar langkah lebarnya. "Layanan kamar ya Pak?" tanya Rara memastikan. Ryu mengangguk, "Pastiin pas kita balik ke sini, kamar saya sudah dibersihkan!" ucapnya. "Siap Pak!" sahut Rara reflek mengangkat tangannya memberi hormat, mencipta ekspresi jijik dari Ryu. "Sebentar saya ke resepsionisnya Pak," tambahnya buru-buru berlalu dari hadapan Ryu. Meninggalkan Ryu yang memilih duduk di sofa tunggu, Rara mendekat ke meja resepsionis. Langkahnya tampak ringan, wajahnya ceria, seakan tanpa beban. "Azura ketua OSIS kita!" sambut seorang resepsionis yang berdiri paling tengah, senyumnya tak ramah, cenderung meremehkan. Dahi Rara mengerut, mengingat lagi, siapa gerangan sosok ini. Lantas, senyumnya melebar saat potongan memori masa SMP-nya melintas di kepala. "Yanda anak 9A ya!" tebak Rara. "Ih, inget yaa?" tukas perempuan bernama Yanda yang bekerja menjadi staf hotel itu. "Nggak bener dong ka
"Jangan mikir macem-macem cuma karena saya bilang ke temen kamu soal kamu yang sangat memuaskan saya!" pesan Ryu sebelum ia turun dari mobil, setelah terjebak dalam kediaman yang panjang sepanjang perjalanan. "Saya anggap Bapak muji cara kerja saya yang sangat memuaskan, begitu Pak?" sahut Rara mengekor langkah Ryu masuk ke dalam rumah makan di pinggir sungai Mentaya itu. Ryu hanya menoleh tanpa menjawab, ia memilih mengitarkan pandangan, mencari kolega perusahaan yang sudah menunggu di sudut rumah makan. Suasana pinggiran Sungai Mentaya yang cukup ramai kelotok menyeberang dan lewatnya kapal-kapal tongkang mencipta vibes syahdu yang manis. "Mas Ryu!" sapa lelaki paruh baya berwajah oriental yang langsung berdiri menyambut. "Sudah pesan makanan, semuanya?" sapa Ryu sambil menyalami kelima lelaki yang kompak berdiri untuk menyapanya. "Maaf telat," tambahnya. "It's okay!" balas Mister Singh, lelaki berperawakan tinggi, berwajah India tapi asli dari Malaysia. "Senang lah punya pers
Rara menghela napas panjang, untung saja, dalam ketidaksadarannya Ryu memiliki asisten lain seperti Jefri yang siap sedia mengantarkannya dan menggantikannya menyetir selama di Sampit. Setidaknya jika dalam kondisi darurat seperti ini, Rara yang tidak bisa menyetir bisa mengandalkan Jefri. Setelah bertemu dengan para kolega sore tadi di sebuah rumah makan yang menyediakan hidangan laut, Ryu sempoyongan bak orang mabuk. Dalihnya yang bersikap menghormati para kolega dengan memakan kerang hijau sebagai hidangan ternyata berujung petaka. Sejak kecil perut Ryu memang sensitif. Ia tidak bisa memakan hidangan laut yang tidak diolah dengan baik dan benar, terutama kerang hijau berbumbu padang tersebut. "Makasih ya Mas Jefri udah bantu aku bawa Pak Ryu sampai hotel," ucap Rara sambil sempoyongan memapah tubuh tinggi tegap Ryu. "Nggak pa-pa, nanti kalau memang butuh sesuatu, atau kondisi Bapak parah, bisa hubungi telepon kantor atau hubungi saya aja Mbak," balas Jefri baik hati. "Siap Mas,
"Ehem," Rara tertegun. Bagaimana tidak? Ryu memiliki tubuh atletis menawan, tersembunyi di balik kemeja putihnya. Ini godaan dan Rara berusaha untuk mengendalikan dirinya sendiri. "Saya bersihkan dulu ya Pak, ada yang kotor sampe ke perut ternyata. Banyak kali muntahnya Pak Ryu ini," ujarnya mengalihkan perhatiannya sendiri dari bidang 'abs' Ryu yang melambai-lambai memikat itu, pun dengan tato di bawah tulang selangka kanannya yang entah bertuliskan apa."Kamu mau saya muntah lagi? Bantu aja nggak usah banyak protes," ucap Ryu sembari mengurut pelipisnya dengan tangan kiri."Kan saya ngasih tau, Bapak," ujar Rara membasahi bibirnya. 'Godaan Ra, godaan. Jangan sampe dia makin tantrum gegara kamu cerewetin!'"Nggak perlu, saya udah kenyang," lirih Ryu. "Lagian saya lebih suka tempe daripada tahu," tukasnya ambigu."Ya Allah," keluh Rara spontan. "Awas ya Bapak tantrum lagi kayak tadi di tempat makan, saya balik ke kamar beneran!" ancamnya gemas."Heh!" Ryu langsung menegakkan kepalanya
Rara membasahi bibirnya berulang kali, tatapannya mengarah pada kaki meja seberang ia duduk. Sang ibu tiri beserta Yanda langsung diusir oleh Ryu, tanpa babibu dengan pernyataan mengejutkan sang GM. Situasi itulah yang membuat Rara sangat syok dan sebenarnya sangat butuh penjelasan."Bapak pasti lagi nge-prank semua orang termasuk saya. Atau, masih mabok kerang kan ya Pak?" celetuk Rara akhirnya angkat bicara."Semua kalimat yang keluar dari mulut saya, pasti saya pertanggungjawabkan!" sahut Ryu sambil memegangi keningnya. Ia sendiri sedang limbung sekarang, bingung harus menyesali ucapannya atau membiarkan semua terjadi tanpa perlu memberi penjelasan pada perempuan di depannya."Pak! Bapak baru aja bilang kalau kita mau nikah lho Pak! Tadi itu ibu tiri saya!" desah Rara gemas."Saya nggak punya urusan sama ibu tiri kamu dan temen kamu itu. Tapi, tuduhan mereka ke saya yang bilang kamu saya jadiin simpanan dan pemuas nafsu, itu keterlaluan! Punya
"Saya memang gila tapi nggak mau bunuh diri juga kali Pak!" sungut Rara ketus. "Semoga nggak ada kabar apa-apa yang kesebar di kebun pas kita pulang nanti," doanya. "Kenapa sih? Nggak cukup dengan mengontrol seluruh hidup kamu, kamu juga takut ibu tiri kamu itu bakalan menyebar rumor soal kita? Kamu takut dibilang jadi simpanan GM?" gumam Ryu bingung. "Bukan, bukan kayak gitu yang saya takutin. Saya takut orang-orang berpikir kalau Bapak serius mau nikahin saya. Bagi ibu tiri saya, punya menantu sekelas GM seperti Pak Ryu adalah ladang subur yang nggak bisa ditolak. Dia bakalan berusaha keras membuat itu terwujud termasuk mempengaruhi ayah saya seperti sebelum-sebelumnya." "Azura," Ryu mengembus napas kasar lantas berkacak pinggang, "kenapa kamu takut banget beneran jadi nikah sama saya? Itu nggak akan terjadi. Persoalan dampak celetukan saya tadi, biar saya sendiri yang atasi." "Iya saya tau Bapak ... tapi kan saya juga di
Setelah mengusir Rara dari kamarnya karena kelepasan bicaranya semalam, Ryu sengaja tidak mengganggu Rara sampai pagi harinya. Ia biarkan sang asisten menikmati istirahatnya dalam rasa penasaran. "Jadwal kita cuma ke kantor perwakilan hari ini, Pak," sambut Rara begitu Ryu keluar dari kamarnya sudah dengan pakaian rapi. "Kita ke citymall setelahnya," ucap Ryu singkat. "Bapak mau belanja?" "Mandi," balas Ryu asal. "Hah? Emang bisa ya Pak mandi di sana?" gumam Rara polos sekali, susah payah ia imbangi langkah lebar Ryu yang sudah mendahuluinya. Langkah Ryu terhenti seketika, dihelanya napas panjang, "Tidur di sana juga boleh kalau kamu mau," tandasnya gemas. "Oh," Rara manggut-manggut. "Saya tidur di sini aja deh kalau Bapak tidur di citymall, n
Ryu beranjak ke dapur, mengambilkan permintaan istrinya. Ia kembali sambil membawa kotak obat milik Rara. "Diminum obatnya ya," pinta Ryu. Rara tak menolak, ia teguk air putih yang Ryu bawakan, juga ia telan obat yang Luna resepkan. Rasa sesak masih kuat menghimpit dadanya, marah dan kecewa pada sang ayah masih terus menghantui pikirannya. "Mas, boleh ajak aku ke Jakarta?" celetuk Rara tiba-tiba, menatap suaminya dengan sorot memohon. "Boleh, aku emang ada rencana ajak kamu ke sana." "Dalam waktu dekat, besok atau lusa," tuntut Rara. "Hem?" kedua alis Ryu bertaut. "Kamu kangen sama Mama?" candanya. "Aku pengin melarikan diri dari sini dulu. Liat pohon sawit di sana-sini, dadaku kayak dihimpit excavator, sesak Mas." "Ya oke, nanti kuurus kerjaan di kebun dulu sama yang laen. Kuusahain secepatnya kita ke Jakarta," putus Ryu berjanji.
Ryu menyesap rokoknya dalam-dalam, tatapannya tak beralih dari gelas es kopinya yang tinggal menyisakan jelaga. Di seberangnya, Rara juga memilih untuk diam, tangannya sibuk mengaduk-aduk es teh miliknya dengan sedotan, minuman yang warnanya sudah memutih karena esnya mencair. Sedangkan Pak Darwis diminta Rara pulang lebih dulu, Rara tidak ingin hatinya tambah kalut dan sakit hati. "Hatiku berusaha memahami kalau apa yang Ayah lakuin itu sebenernya karena Ayah nggak mau liat aku menderita karena dihina," sebut Rara setelah berdiam lama. "Tapi aku yakin, Ibuk pasti mempengaruhi Ayah biar berani begitu. Sejauh Ayah menikah sama Bunda, aku tau Ayah nggak pernah gegabah begitu, Mas," ungkapnya. "Kalau kami laporin Bu Endah waktu itu sebagai percobaan pembunuhan, Ayah bakalan keseret juga karena Ayah yang nyediain air itu," desah Ryu menjentik abu rokoknya di asbak. "Dan kalau Ayah kena persoalan hukum, kamu nggak punya pegangan. Keluargaku masih orang asing waktu itu, keluarga Bundamu
"Iyah," ucap Rara mantap. "Kayaknya Ayah udah sampe," bisiknya melihat ada sebuah motor yang terparkir di mana nomor polisinya sangat familiar. Beriringan, Ryu dan Rara masuk ke dalam rumah makan setelah mencari tempat parkir yang teduh lebih dulu. Nampak Pak Darwis berdiri untuk menyambut, ada rindu di mata tuanya yang sendu. Senyum simpul Pak Darwis terkembang, ia datang sendirian. "Rara," ucap Pak Darwis spontan memeluk anak perempuan tercintanya. "Ayah udah pesen minum?" tanya Rara setelah melepas pelukannya. "Udah, kalian udah pesen makanannya juga ya?" tanya Pak Darwis balik. "Sudah Yah, tadi lewat WA," Ryu yang menjawab sembari menyodorkan minuman yang dibawakan seorang pelayan. "Aku udah inget semuanya, Yah," ungkap Rara tanpa basa-basi. "Semuanya, nggak ada yang terlewatkan," sebutnya. Pak Darwis terpana. Ia yang semula siap meneguk teh manisnya, memilih meletakkan kemba
"Alhamdulillah Rara," Luna meremas lembut kedua sisi pundak Rara. "Makasih udah berjuang bareng kita," ucapnya. "Makasih juga Dokter Luna, Dokter yang selalu sabar dampingi saya," jawab Rara mematri senyum cantiknya. "Apa ke depannya ada kemungkinan saya bakalan lupa sama kenangan saya lagi, Dok?" tanyanya. Luna menoleh Ryu dulu sebelum menjawab pertanyaan Rara. Ryu hanya mengangguk dengan senyum simpul yang menghiasi wajah setampan dewanya. Semua pengobatan Rara termasuk penyembuhan kejiwaannya Ryu serahkan sepenuhnya pada Luna. "Semua itu tergantung sama diri kamu sendiri, Rara. Tapi kalau kamu sekuat ini, saya yakin kamu bakalan baik-baik aja. Ada keluhan lain nggak?" tanya Luna sambil kembali duduk lagi di kursinya. "Masih suka sesak dada saya kalau secara nggak sengaja saya keinget kejadian itu. Kepala tiba-tiba pusing, kayak saya jadi menggigil ketakutan, panik gitu, Dok," sebut Rara. "Nggak pa-pa. Kamu penyintas PTSD, wajar masih ada gejala begitu. Tapi perkembangan kamu
Keduanya lantas bangkit, mereka keluar dari kamar beriringan, Ryu merangkul pundak istrinya mesra. Melihat atmosfer itu, Susi terpaku takjub. Ditatapnya Rara dan Ryu bergantian, tak percaya bahwa Rara akan dengan santainya menerima perlakuan manis sang suami. "Mbak Rara, udah enakan?" tanya Susi reflek mengambilkan piring untuk Rara. "Nggak saya suapin di kamar?" tawarnya. "Aku mau disuapin suamiku, Mbak," kata Rara nyengir. "Hah?" Susi terpana. "Bu GM udah inget saya, Mbak," ucap Ryu. "Tolong ambilin obatnya Azura aja ya Mbak, di kamar, saya lupa bawa karena saking senengnya," pintanya. "Ehm, iya Pak, siap," sahut Susi tergagap tapi tetap bergegas beranjak ke kamar Ryu. "Makasih kalian, orang-orang hebat yang dikasih banyak kesabaran buat ngehadapin kegilaanku," desis Rara sambil menatap punggung Susi yang berjalan ke kamarnya. "Ini bukti kalau setelah hujan badai halilintar, T
"Mas," bisik Rara, ia usap punggung Ryu yang masih memeluknya erat. "Mas Ryu," panggilnya lembut. "Inget aku? Inget suamimu?" tanya Ryu masih terlihat gugup, ia lepas pelukannya. Rara nampak membasahi bibirnya, "Aku nggak lupa rasanya," bisiknya seraya meraba bibir. "Maafin aku Mas, maaf aku lupain Mas segitu gampangnya," katanya. "Enggak, nggak pa-pa," balas Ryu menggeleng-geleng. Ia kecup mesra kening istrinya, "makasih Azura," tukasnya. "Semua udah terkumpul Mas, semua kepingan ingatanku yang hilang, puzzle di kepalaku udah tersusun rapi," aku Rara. "Azura," lirih Ryu menundukkan kepala. "Istriku," desahnya penuh rasa syukur. "Mas nangis?" tanya Rara menaikkan pandangan suaminya dengan menangkup rahang Ryu. "Jangan nangis," pintanya. "Aku lega, lega banget." "Maafin aku ya Mas. Maaf karena udah bikin Mas secapek ini. Aku tau seminggu belakangan ini aku ngrepotin banget kan Mas? Aku teriak-teriak histeris, nggak mau dipegang Mas Ryu, maafin aku ya Mas." "Aku masih belom pe
"Aku emang punya mimpi untuk bisa hidup normal sebelum memutuskan untuk memilih mati. Tapi mimpi seindah ini, apa boleh aku minta selamanya aja terjadi? Aku nggak boleh bangun kan?" gumam Rara. Ryu meraih jemari Rara, dibawanya agar bisa menyentuh pipinya. Senyum Ryu melebar, sebelah tangannya yang lain meraba kepala Rara, mengusapnya penuh cinta. "Apa kamu nggak bisa ngerasain kalau ini nyata? Aku nyata, Azura. Suamimu, Ryu Raiden Dhananjaya, orang yang selama 10 tahun belakangan ini cuma ngeliat ke kamu aja, cinta sama kamu," terang Ryu tak lagi memikirkan resiko akibat kalimatnya. Benar kata Luna, Rara masih tetap tenang, tidak histeris atau menolak fakta yang Ryu ungkapkan. Senyum Rara justru terkembang, ia sendiri yang menangkup kedua pipi Ryu tanpa ragu. "Kamu suamiku? Kenapa aku nggak punya ingatan sedikitpun tentang kamu kalau kamu emang nyata? Dari dunia mana kamu berasal? Dunia Rara yang berantakan?" desis Rara bingung, matanya berkaca-kaca. "Dari dunia Lembayung Azura
"Ini kemajuan, Ryu," ucap Luna tersenyum lega. "Tapi dia lupa semuanya tentang pernikahan kami, Mbak," tandas Ryu tak mengerti. Ditolehnya Rara yang tengah tertidur pulas, kelelahan. "Dia bisa nerima kenyataan yang kamu kasih tau, soal Bu Endah, soal status kamu, itu adalah momen baru yang jadi bukti kalau emosinya berkembang, dia membentuk pertahanan yang udah bagus banget. Kepingan kenangan yang dia blokir karena dia trauma, lama-lama bisa dia terima tanpa harus bikin pertahanan apa-apa," terang Luna. Ryu mengurut tengkuknya, sebenarnya ia tak berharap apapun lagi setelah tahu bahwa Rara justru melupakan seluruh kenangan mereka. Namun, jika bagi Rara melupakannya berarti sebuah kemajuan dari pertahanan dirinya, Ryu tidak punya pilihan kecuali menerimanya. Bukankah semua yang ia lakukan untuk sang istri adalah demi kesembuhan? "Mbak, dia bisa hidup normal lagi kan meski dia punya semua kenangan menyakitkan dan mengingatnya?" tanya Ryu. Luna mengangguk, "Rara bakalan lebih resist
"Aku nggak ngerti," lirih Rara, tatapannya nanar ke arah jalanan di luar sana di mana pintu utama memang sudah sengaja dibuka oleh Susi. "Aku nggak ngerti," ucapnya lagi, memegangi kepalanya. "Kepalaku sakit," rintihnya tiba-tiba menangis, kesulitan bernapas. Cepat-cepat Ryu membopong istrinya. Namun, bukannya dibawa masuk ke dalam kamar, Ryu justru membawa istrinya keluar rumah menuju dermaga kecil di dekat guest house. Beruntung ini adalah akhir pekan, tetangga sekitar banyak yang sudah turun ke Sampit sore kemarin. Jadi, suasana di sekitar rumah Ryu cukup sepi dan Rara tak mendapat banyak perhatian. Air danau yang sedikit surut juga membuat tak banyak pencari ikan mendatangi sekitar guest house. "Yang tenang ya, kamu nggak harus memaksa diri kamu, Azura," ucap Ryu menurunkan Rara di ujung dermaga. Ia ikut duduk di lantainya sambil memeluk sang istri. "Liat, duniamu luas Azura, kamu nggak boleh terjebak sama masa lalu gila yang nggak perlu kamu inget," ujarnya. Rara masih ber