"Beneran tau Pak? Serius?" sorak Rara senang, sepolos itu pikirannya hingga ia tak mau tahu tentang ucapan mengejutkan dari Ryu barusan.
"Mending kamu tidur aja, biar saya konsentrasi nyetir," jakun Ryu naik-turun menandakan ia gugup saat berucap, masih berusaha menata hati. "Nanti saya dibilang nggak tau diri. Atasan nyetir sayanya, guring (Banjar: tidur)," Rara meringis geli. "Ketimbang kamu ganggu konsentrasi saya nyetir. Udah berisik, pertanyaannya nggak berfaedah, nggak berbobot." "Tapi kan saya jadi tau kalau Pak Ryu sebenernya suka cerita, rajin senyum pula." Ryu mendesah, "Kamu sarapan apa pagi ini? Kenapa ngocehnya overdosis gini?" tanyanya. "Tadi makan snack aja sih Pak, tapi emang ada jagungnya," Rara terbahak. "Ya Tuhan," desis Ryu. "Baeknya pake kesempatan buat tidur. Nanti kalau udah sampe Sampit, saya nggak akan ngelepasin kamu!" ujarnya lagi. "Bapak!" Rara spontan menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "jangan bikin gosip yang kesebar di kebun jadi kenyataan ya! Kok ngeri gini ya saya," tukasnya berjenggit. Alis Ryu bertaut, "Emang gosip apaan?" "Masa Pak Ryu nggak pernah denger? Serius?" Ryu berdecak, "Saya nggak ada waktu buat hal useless begituan, ngapain juga saya ngurusin gosip, waktu saya udah habis buat ngurus kerjaan. Menurutmu sepenting apa gosip itu sampe saya wajib tau, hem?" Rara meringis, "Hehe, maksud saya kan seenggaknya Bapak sempet nggak sengaja denger pas di kantin atau di mana gitu. Katanya saya ini pernah tidur sama Bapak. Makanya saya nurut pol sama Bapak. Ibarat disuruh renang di storage tank pabrik sama Bapak juga saya rela. Begitu kata mereka," katanya. "Siapa yang bilang begitu? Suruh ketemu saya nanti! Sembarangan!" "Emang Bapak mau ngapain? Mau negur orang itu ya Pak?" Seringai Ryu muncul, "Saya suruh mikir-mikir lagi kalau ngomong. Ngapain saya tidur sama janjangan!" kekehnya. "Lagian, nggak boleh masukin janjangan ke dalam storage tank yang udah steril. Masa kamu nggak paham itu." "Eh, kok saya merasa terhina ya jadinya? Ini konsepnya Bapak ngatain saya ya? Iya kan Pak? Ihh," Rara merengut. "Kalau kamu nggak ngerasa begitu, nggak perlu dipikirin. Itu maksud saya, jadilah orang yang masa bodoh sama hal-hal nggak penting, fokus aja sama kerjaan yang saya kasih, abaikan gosip murahan nggak jelas itu." "Nggak bisa kalau saya mau cuek gitu aja Pak. Apalagi saya udah ditolong banyak sama keluarga Pak Ryu. Bu Mika yang baiknya kayak malaikat, sama Pak Rain yang macho-nya sebanyak air di Danau Sembuluh," kata Rara konyol. Bukannya menanggapi pujian Rara atas kedua orang tuanya, Ryu justru menyungging senyum misterius. Rara hanya tidak tahu seberapa besar Ryu menjaga dan melindunginya. "Bapak juga udah baik mau jadiin saya PA padahal saya nggak lewat jalur rekruitmen yang sesuai standar HRD," tambah Rara. "Meskipun Pak Ryu galaknya ngadi-ngadi sih." "Jangan tumbang cuma karena omongan orang," ucap Ryu serius sekali. "Orang tua saya nolong kamu bukan buat ngeliat kamu melempem denger gosip yang nggak jelas. Suatu saat, kamu bakalan tau kenapa mereka bikin gosip begitu." "Hah? Maksudnya Pak?" "Nggak maksud." "Apa ini soal ingatan saya yang ilang karena kecelakaan ya Pak?" tanya Rara tiba-tiba. Ryu mengangguk, "Cepet inget ya, Azura," gumamnya seraya membelokkan mobilnya masuk ke pusat kota Sampit. ### -janjangan: limbah yang dihasilkan dari pengolahan tandan buah segar kelapa sawit, yang seringkali dibiarkan atau dibakar. -Storage tank: adalah tangki penyimpanan minyak sawit mentah."Kamu tolong minta orang hotel untuk bersihin kamar saya," ujar Ryu pada Rara yang tertatih mengejar langkah lebarnya. "Layanan kamar ya Pak?" tanya Rara memastikan. Ryu mengangguk, "Pastiin pas kita balik ke sini, kamar saya sudah dibersihkan!" ucapnya. "Siap Pak!" sahut Rara reflek mengangkat tangannya memberi hormat, mencipta ekspresi jijik dari Ryu. "Sebentar saya ke resepsionisnya Pak," tambahnya buru-buru berlalu dari hadapan Ryu. Meninggalkan Ryu yang memilih duduk di sofa tunggu, Rara mendekat ke meja resepsionis. Langkahnya tampak ringan, wajahnya ceria, seakan tanpa beban. "Azura ketua OSIS kita!" sambut seorang resepsionis yang berdiri paling tengah, senyumnya tak ramah, cenderung meremehkan. Dahi Rara mengerut, mengingat lagi, siapa gerangan sosok ini. Lantas, senyumnya melebar saat potongan memori masa SMP-nya melintas di kepala. "Yanda anak 9A ya!" tebak Rara. "Ih, inget yaa?" tukas perempuan bernama Yanda yang bekerja menjadi staf hotel itu. "Nggak bener dong ka
"Jangan mikir macem-macem cuma karena saya bilang ke temen kamu soal kamu yang sangat memuaskan saya!" pesan Ryu sebelum ia turun dari mobil, setelah terjebak dalam kediaman yang panjang sepanjang perjalanan. "Saya anggap Bapak muji cara kerja saya yang sangat memuaskan, begitu Pak?" sahut Rara mengekor langkah Ryu masuk ke dalam rumah makan di pinggir sungai Mentaya itu. Ryu hanya menoleh tanpa menjawab, ia memilih mengitarkan pandangan, mencari kolega perusahaan yang sudah menunggu di sudut rumah makan. Suasana pinggiran Sungai Mentaya yang cukup ramai kelotok menyeberang dan lewatnya kapal-kapal tongkang mencipta vibes syahdu yang manis. "Mas Ryu!" sapa lelaki paruh baya berwajah oriental yang langsung berdiri menyambut. "Sudah pesan makanan, semuanya?" sapa Ryu sambil menyalami kelima lelaki yang kompak berdiri untuk menyapanya. "Maaf telat," tambahnya. "It's okay!" balas Mister Singh, lelaki berperawakan tinggi, berwajah India tapi asli dari Malaysia. "Senang lah punya pers
Rara menghela napas panjang, untung saja, dalam ketidaksadarannya Ryu memiliki asisten lain seperti Jefri yang siap sedia mengantarkannya dan menggantikannya menyetir selama di Sampit. Setidaknya jika dalam kondisi darurat seperti ini, Rara yang tidak bisa menyetir bisa mengandalkan Jefri. Setelah bertemu dengan para kolega sore tadi di sebuah rumah makan yang menyediakan hidangan laut, Ryu sempoyongan bak orang mabuk. Dalihnya yang bersikap menghormati para kolega dengan memakan kerang hijau sebagai hidangan ternyata berujung petaka. Sejak kecil perut Ryu memang sensitif. Ia tidak bisa memakan hidangan laut yang tidak diolah dengan baik dan benar, terutama kerang hijau berbumbu padang tersebut. "Makasih ya Mas Jefri udah bantu aku bawa Pak Ryu sampai hotel," ucap Rara sambil sempoyongan memapah tubuh tinggi tegap Ryu. "Nggak pa-pa, nanti kalau memang butuh sesuatu, atau kondisi Bapak parah, bisa hubungi telepon kantor atau hubungi saya aja Mbak," balas Jefri baik hati. "Siap Mas,
Mewarisi perusahaan yang dikelola oleh keluarga besar Dhanapati, Ryu Raiden Dhananjaya harus berakhir di dalam perkebunan sawit rimbun Kalimantan Tengah yang jauh dari keramaian dua bulan belakangan ini. Bagaimanapun, ia sulung dari pasangan Gentala Rainer Dhanapati, pengusaha perkebunan kelapa sawit tersohor dan Mika Hayu Lyana Indrajaya—pewaris perusahaan rokok terbesar di Jawa. Jadi, mau tidak mau, Ryu harus rela melanjutkan bisnis keluarga demi membuktikan kualitas dan kemampuannya dan hidup menepi dari hiruk-pikuk perkotaan. "AZURA!!" Satu detik. Dua detik. Tiga detik. "AZURA!!" "Inggih Bapak (Banjar: Iya, Bapak), maaf Pak, saya baru kembali dari kantin," ucap Rara, begitu Lembayung Azura Arunika akrab dipanggil. Ia menyembulkan kepalanya di pintu ruangan sang bos, tersenyum cantik. "Ngapain di kantin?" tanya Ryu, lelaki berparas rupawan dengan perangai 'buta hejo' kata para karyawannya ini. "Maaf, ini jam makan siang kan Pak?" Rara meringis polos. "Sejak kapan kamu
"Kita ke Simpang, Pak?" tanya Rara kaget saat Ryu membelokkan mobilnya menembus jalan poros menuju portal utama perusahaan.Lokasi pabrik kelapa sawit di mana perusahaan yang dipimpin Ryu beroperasi memang berada di tengah jantung kebun kelapa sawit. Akses menuju perusahaan harus melewati portal utama perusahaan yang letaknya di pinggir jalan lintas kabupaten di Kalimantan Tengah. Jalan poros adalah satu dari beberapa jalur penghubung perusahaan dengan dunia di luar perkebunan yang dibangun perusahaan untuk mobilitas kendaraan pengangkut CPO. "Hem," Ryu menggumam. "Pasti telat balik kantor kan Pak?" "Kenapa emangnya? Saya yang punya perusahaan, siapa yang berani negur saya?" tantang Ryu. "Bukannya perusahaan masih atas nama Pak Rain ya Pak?" sangkal Rara menggemaskan. Ryu mendengus kasar, "Kamu mau ngajak saya berdebat?" geramnya. "Hah? Mana saya berani Pak," balas Rara nyengir. "Jangan banyak protes makanya!" sungut Ryu galak. "Saya nggak protes Pak, nanya aja kok
Rara memilih untuk bungkam lagi setelah mereka melanjutkan perjalanan. Masih ada sekitar 90 menit ke depan yang harus ia lalui bersama kecanggungan ini. Ryu tampak angkuh menyetir, mulutnya terkunci, kacamata hitam bertengger nyaman di hidung mancung sampai langitnya, menggantikan kacamata andalan berlensa bening andalannya sehari-hari. "Saya boleh tanya yang sedikit pribadi nggak Pak?" tanya Rara tak tahan juga terdiam tanpa berbuat apa-apa, sementara kepalanya akan mudah pusing jika terus melihat layar ponsel. "Enggak." Singkat, padat dan menyebalkan. Begitulah Ryu dikenal oleh para karyawan. "Ya Allah Pak, baru juga nawaitu sayanya," ujar Rara diam-diam mencibir. "Saya nggak suka ditanya-tanya. Males nyari jawabannya," tandas Ryu. "Kan Bapak belom tau saya mau nanya apa, kenapa udah males aja? Aneh ih Bapak nih," ucap Rara dengan logat Banjar-nya yang khas dan menjadi candu di telinga Ryu. "Emang mau nanya apaan?" gumam Ryu. "Bakalan dijawab nggak tapinya?" Ryu mengedikkan
Rara menghela napas panjang, untung saja, dalam ketidaksadarannya Ryu memiliki asisten lain seperti Jefri yang siap sedia mengantarkannya dan menggantikannya menyetir selama di Sampit. Setidaknya jika dalam kondisi darurat seperti ini, Rara yang tidak bisa menyetir bisa mengandalkan Jefri. Setelah bertemu dengan para kolega sore tadi di sebuah rumah makan yang menyediakan hidangan laut, Ryu sempoyongan bak orang mabuk. Dalihnya yang bersikap menghormati para kolega dengan memakan kerang hijau sebagai hidangan ternyata berujung petaka. Sejak kecil perut Ryu memang sensitif. Ia tidak bisa memakan hidangan laut yang tidak diolah dengan baik dan benar, terutama kerang hijau berbumbu padang tersebut. "Makasih ya Mas Jefri udah bantu aku bawa Pak Ryu sampai hotel," ucap Rara sambil sempoyongan memapah tubuh tinggi tegap Ryu. "Nggak pa-pa, nanti kalau memang butuh sesuatu, atau kondisi Bapak parah, bisa hubungi telepon kantor atau hubungi saya aja Mbak," balas Jefri baik hati. "Siap Mas,
"Jangan mikir macem-macem cuma karena saya bilang ke temen kamu soal kamu yang sangat memuaskan saya!" pesan Ryu sebelum ia turun dari mobil, setelah terjebak dalam kediaman yang panjang sepanjang perjalanan. "Saya anggap Bapak muji cara kerja saya yang sangat memuaskan, begitu Pak?" sahut Rara mengekor langkah Ryu masuk ke dalam rumah makan di pinggir sungai Mentaya itu. Ryu hanya menoleh tanpa menjawab, ia memilih mengitarkan pandangan, mencari kolega perusahaan yang sudah menunggu di sudut rumah makan. Suasana pinggiran Sungai Mentaya yang cukup ramai kelotok menyeberang dan lewatnya kapal-kapal tongkang mencipta vibes syahdu yang manis. "Mas Ryu!" sapa lelaki paruh baya berwajah oriental yang langsung berdiri menyambut. "Sudah pesan makanan, semuanya?" sapa Ryu sambil menyalami kelima lelaki yang kompak berdiri untuk menyapanya. "Maaf telat," tambahnya. "It's okay!" balas Mister Singh, lelaki berperawakan tinggi, berwajah India tapi asli dari Malaysia. "Senang lah punya pers
"Kamu tolong minta orang hotel untuk bersihin kamar saya," ujar Ryu pada Rara yang tertatih mengejar langkah lebarnya. "Layanan kamar ya Pak?" tanya Rara memastikan. Ryu mengangguk, "Pastiin pas kita balik ke sini, kamar saya sudah dibersihkan!" ucapnya. "Siap Pak!" sahut Rara reflek mengangkat tangannya memberi hormat, mencipta ekspresi jijik dari Ryu. "Sebentar saya ke resepsionisnya Pak," tambahnya buru-buru berlalu dari hadapan Ryu. Meninggalkan Ryu yang memilih duduk di sofa tunggu, Rara mendekat ke meja resepsionis. Langkahnya tampak ringan, wajahnya ceria, seakan tanpa beban. "Azura ketua OSIS kita!" sambut seorang resepsionis yang berdiri paling tengah, senyumnya tak ramah, cenderung meremehkan. Dahi Rara mengerut, mengingat lagi, siapa gerangan sosok ini. Lantas, senyumnya melebar saat potongan memori masa SMP-nya melintas di kepala. "Yanda anak 9A ya!" tebak Rara. "Ih, inget yaa?" tukas perempuan bernama Yanda yang bekerja menjadi staf hotel itu. "Nggak bener dong ka
"Beneran tau Pak? Serius?" sorak Rara senang, sepolos itu pikirannya hingga ia tak mau tahu tentang ucapan mengejutkan dari Ryu barusan. "Mending kamu tidur aja, biar saya konsentrasi nyetir," jakun Ryu naik-turun menandakan ia gugup saat berucap, masih berusaha menata hati. "Nanti saya dibilang nggak tau diri. Atasan nyetir sayanya, guring (Banjar: tidur)," Rara meringis geli. "Ketimbang kamu ganggu konsentrasi saya nyetir. Udah berisik, pertanyaannya nggak berfaedah, nggak berbobot." "Tapi kan saya jadi tau kalau Pak Ryu sebenernya suka cerita, rajin senyum pula." Ryu mendesah, "Kamu sarapan apa pagi ini? Kenapa ngocehnya overdosis gini?" tanyanya. "Tadi makan snack aja sih Pak, tapi emang ada jagungnya," Rara terbahak. "Ya Tuhan," desis Ryu. "Baeknya pake kesempatan buat tidur. Nanti kalau udah sampe Sampit, saya nggak akan ngelepasin kamu!" ujarnya lagi. "Bapak!" Rara spontan menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "jangan bikin gosip yang kesebar di kebun jad
Rara memilih untuk bungkam lagi setelah mereka melanjutkan perjalanan. Masih ada sekitar 90 menit ke depan yang harus ia lalui bersama kecanggungan ini. Ryu tampak angkuh menyetir, mulutnya terkunci, kacamata hitam bertengger nyaman di hidung mancung sampai langitnya, menggantikan kacamata andalan berlensa bening andalannya sehari-hari. "Saya boleh tanya yang sedikit pribadi nggak Pak?" tanya Rara tak tahan juga terdiam tanpa berbuat apa-apa, sementara kepalanya akan mudah pusing jika terus melihat layar ponsel. "Enggak." Singkat, padat dan menyebalkan. Begitulah Ryu dikenal oleh para karyawan. "Ya Allah Pak, baru juga nawaitu sayanya," ujar Rara diam-diam mencibir. "Saya nggak suka ditanya-tanya. Males nyari jawabannya," tandas Ryu. "Kan Bapak belom tau saya mau nanya apa, kenapa udah males aja? Aneh ih Bapak nih," ucap Rara dengan logat Banjar-nya yang khas dan menjadi candu di telinga Ryu. "Emang mau nanya apaan?" gumam Ryu. "Bakalan dijawab nggak tapinya?" Ryu mengedikkan
"Kita ke Simpang, Pak?" tanya Rara kaget saat Ryu membelokkan mobilnya menembus jalan poros menuju portal utama perusahaan.Lokasi pabrik kelapa sawit di mana perusahaan yang dipimpin Ryu beroperasi memang berada di tengah jantung kebun kelapa sawit. Akses menuju perusahaan harus melewati portal utama perusahaan yang letaknya di pinggir jalan lintas kabupaten di Kalimantan Tengah. Jalan poros adalah satu dari beberapa jalur penghubung perusahaan dengan dunia di luar perkebunan yang dibangun perusahaan untuk mobilitas kendaraan pengangkut CPO. "Hem," Ryu menggumam. "Pasti telat balik kantor kan Pak?" "Kenapa emangnya? Saya yang punya perusahaan, siapa yang berani negur saya?" tantang Ryu. "Bukannya perusahaan masih atas nama Pak Rain ya Pak?" sangkal Rara menggemaskan. Ryu mendengus kasar, "Kamu mau ngajak saya berdebat?" geramnya. "Hah? Mana saya berani Pak," balas Rara nyengir. "Jangan banyak protes makanya!" sungut Ryu galak. "Saya nggak protes Pak, nanya aja kok
Mewarisi perusahaan yang dikelola oleh keluarga besar Dhanapati, Ryu Raiden Dhananjaya harus berakhir di dalam perkebunan sawit rimbun Kalimantan Tengah yang jauh dari keramaian dua bulan belakangan ini. Bagaimanapun, ia sulung dari pasangan Gentala Rainer Dhanapati, pengusaha perkebunan kelapa sawit tersohor dan Mika Hayu Lyana Indrajaya—pewaris perusahaan rokok terbesar di Jawa. Jadi, mau tidak mau, Ryu harus rela melanjutkan bisnis keluarga demi membuktikan kualitas dan kemampuannya dan hidup menepi dari hiruk-pikuk perkotaan. "AZURA!!" Satu detik. Dua detik. Tiga detik. "AZURA!!" "Inggih Bapak (Banjar: Iya, Bapak), maaf Pak, saya baru kembali dari kantin," ucap Rara, begitu Lembayung Azura Arunika akrab dipanggil. Ia menyembulkan kepalanya di pintu ruangan sang bos, tersenyum cantik. "Ngapain di kantin?" tanya Ryu, lelaki berparas rupawan dengan perangai 'buta hejo' kata para karyawannya ini. "Maaf, ini jam makan siang kan Pak?" Rara meringis polos. "Sejak kapan kamu