"Baru tadi pagi ja, kaget juga aku nah. Tapi belum banyak yang komentar, maklum masih jam kerja kan, jadi belom banyak yang buka grup. Selamat ya Dek," ungkap Lia tulus. "Hah? I, iya, Kak," kata Rara reflek, ia manggut-manggut ragu. "Selamat repot, undangannya harus sampe aku juga ya," ujar Lia membuat syarat. "Keluar dulu," pamitnya seraya melambai, meninggalkan Rara yang kebingungan. Sepeninggal Lia pergi keluar ruangan, Rara meraup wajahnya berkali-kali, menjambak rambutnya sendiri. Kegalauan kembali menyelimuti seisi kepalanya. Bersamaan dengan itu, Ryu keluar dari dalam ruangan Gunawan, wajahnya selalu dingin tanpa ekspresi. "Kita ke citymall," putus Ryu tanpa menatap wajah bingung Rara. "Bapak nggak ikut grup karyawan pabrik?" tanya Rara sembari mengimbangi langkah Ryu menuju parkir mobil. "Kenapa? Berita soal saya yang mau meni
"Saya nggak minta kamu diem, tapi malah kamunya diem, aneh," kritik Ryu. Pasalnya, sejak pulang dari kunjungan ke citymall sore kemarin, Rara memilih membisu, berbicara sekenanya. "Saya pusing banget, Pak," balas Rara singkat. Ryu tampak menghela napas, "Masih soal yang heboh di grup WA? Perlu saya komentar untuk klarifikasi?" tawarnya merasa tak nyaman juga jika Rara mendiamkannya seperti ini. "Bapak mau komentar yang gimana? Nanti kalau makin parah rumornya gimana?" sambut Rara panik. "Kalau gitu, saya bersikap masa bodoh aja ya?" "Bukannya biasanya gitu ya Pak?" tembak Rara menohok. "Ya?" Ryu menoleh, mau tidak mau, spontan ia menarik kaki dari pedal gasnya hingga laju mobil yang tengah dalam perjalanan menuju ke kebun itu melambat. "Seharusnya Bapak bisa bersikap masa bodoh sejak awal. Sekarang udah kepalang basah dan ayah saya juga udah denger soal rumor itu. Dan Pak Ryu tau
Hening. "Orang-orang tipe kayak temen dan ibu tiri kamu itu nggak akan cukup ngedenger penjelasan kenapa kamu ada di kamar saya malam kemaren. Mereka perlu dikasih pelajaran biar nggak terus berusaha memojokkan kamu, juga memukul telak harga diri saya. Oke, soal menikahi kamu, itu memang spontan keluar dari mulut saya, tapi saya sudah bilang akan bertanggungjawab atas apa yang saya ucapkan. Saya pantang menarik kata-kata saya, Azura." "Pak Ryu, Bapak tau kenapa saya cerita soal kehidupan saya? Saya ini rumit lho Pak. Saya bukan tipe alpha woman, independent apalagi." Ryu tak langsung memberi tanggapan, ia melepas kacamata hitamnya dan memilih untuk menatap Rara tajam, "Saya nggak peduli dengan latarbelakang kamu, masa bodoh dengan itu!" tegasnya. "Saya tau Pak Ryu bakalan jawab begitu. Tapi tolong Pak, jangan dengan menikah. Jangan menjerumuskan diri Bapak sendiri!" pinta Rara. "
Setelah Ryu dan Rara kembali ke kebun dan bekerja di keesokan harinya, rumor pernikahan yang sebelumnya menyebar kencang melalui pesan grup itu perlahan meredup. Rara setidaknya bisa lebih tenang bekerja, meski beberapa kali ia harus menemui pandangan iri dari banyak karyawan perusahaan yang lain. Ini membuat Rara sadar bahwa ada untungnya Ryu melarangnya untuk bergaul dan menimbrung sesama karyawan di jam istirahat siang, meskipun sebenarnya ada maksud yang lebih khusus dari itu. "Boleh saya tanya hal pribadi, Pak?" ucap Rara disela perjalanan pulang dari mendampingi Ryu mengunjungi anak perusahaan, Mina Utama. "Silahkan," balas Ryu singkat. Ia memilih fokus menatap layar ponselnya. "Nanti saja," ujar Rara lagi, urung bertanya karena ia tidak mau sopir pribadi yang tengah mengantar mereka ikut mendengar pertanyaannya. Ryu hanya mengedikkan bahunya sebagai tanggapan, tampak tak peduli meski Rara urung bertanya sekalipun. Se
"Pa, Ma!" sapa Ryu sesaat setelah pintu ruangan terbuka dan Rain serta Mika nampak sudah duduk di sofa tamunya. "Abang!" sambut Mika, nyonya cantik yang selalu perhatian pada Rara melebihi pada anaknya. Ia peluk Ryu erat, melepas rindu. "Gimana Mina?" tembak Rain tanpa basa-basi. Ia adu kepalan tangan dari Ryu dengan kepalan tangannya pula sebagai bentuk sapaan yang sangat 'laki.' "Sejauh ini aman, Bos. Cuma ada beberapa wilayah kebun yang dua bulan lagi musti di re-plant," jawab Ryu. "Eh, Rara!" Mika mengintip di antara dua tubuh tinggi menjulang suami dan putranya, menyapa Rara. "Sini, sayang!" pintanya. Rara bergerak, ia menyeruak dua lelaki di depan Mika, lantas memeluk Mika dengan senyum yang ambigu. Jelas terlihat bahwa ia cukup khawatir akan diserang dan dicecar oleh Mika karena rumor yang beredar. "Kami ke sini karena Papamu katanya pengin ke Tanjung Puting. Ini cuma mampir kok," terang
Ryu mengembuskan asap rokoknya ke udara, membuatnya berbentuk lingkaran kecil-kecil yang cantik. Terhitung sudah 3 batang rokok ia habiskan tanpa bicara apa-apa sementara Rara sesekali di sebelahnya mengusap air mata. "Gimana saya bisa menghindar lagi kalau Ibu sudah minta ketemu ayah saya besok sore, Pak," lirih Rara tersendat. Ryu tak langsung memberi tanggapan, jemarinya asik menjentik abu rokok ke asbak kantin yang sedikit menghitam pinggirannya itu. Ya, meski beberapa karyawan lain tampak menatap aneh pada keduanya, baik Rara maupun Ryu tak memiliki pilihan tempat lain untuk bicara berdua karena Mika dan Rain masih ada di ruang manager. "Sejak ayah kamu pensiun, informasi cuma beliau dapet dari ibu tiri kamu kan?" tanya Ryu. "Menurut saya, beliau belum denger soal ini," tambahnya. "Terus kalau nanti Ayah ketemu Bu Mika dan Pak Rain, apa nggak bakalan denger juga? Pak Ryu pikir B
"Azura," desah Ryu merasa bersalah. "Saya hanya akan menginjak-injak ibu tiri kamu, bukan kamu!" tegasnya meralat. "Maaf Pak, saya mau ketemu temen saya dulu," tunjuk Rara pada Arum, seorang guru yayasan yang nampak berjalan ke arahnya. "Boleh?" tanyanya. "Silakan, ini masih jam makan siang," ucap Ryu, ia memilih untuk pergi ke lain meja, menjauh dari Rara dan sahabatnya. Tampak Arum mengangguk sopan ke arah Ryu, melempar senyum. Seperti biasa, Ryu cukup mengedikkan dagunya sebagai balasan, sudah sangat dihafal oleh orang-orang di sekitarnya. Sang GM mungkin cukup penasaran dengan obrolan asistennya itu, tapi ia berusaha terlihat tak terlalu peduli. "Nggak ngasih tau kalau kamu lagi ngobrol sama si Tantrum," ujar Arum setengah berbisik, takut Ryu bisa mendengarnya. "Kami habis ketemu Pak Rain sama Bu Mika, ngobrolin soal nikah lagi," jawab Rara mengurut keningnya frustasi. "Seri
Ryu menyesap kopi susu buatan Rara yang sengaja dihidangkan oleh sang asisten sebagai suguhan. Matanya terpejam sebentar, semanis dan seharum itu mahakarya Rara di kopi miliknya. Malam sudah hampir bertamu, mengganti senja yang kembali ke peraduannya saat Ryu datang mengantar Rara pulang ke rumahnya di kampung Borneo Capital. "Rara nggak ngasih kabar kalau Bapak mau datang, jadi kami nggak persiapan apa-apa ini Pak," ucap Darwis sangat hormat, ia tahu Ryu adalah anak tampan Rain yang kini menjabat sebagai General Manager di Agrorei Palm Oil Company. "Nggak pa-pa, saya sengaja datang mendadak," balas Ryu tenang. "Silakan Pak, dinikmati yang ada, kebetulan tadi saya habis menjala, ini ikannya masih segar," tawar Darwis ramah. "Masih banyak ikan di danau sekarang Pak?" tanya Ryu setelah mengangguk dan dengan senang hati menerima uluran piring dari Rara. "Ya walau kecil-kecil kayak ini, lumayan Pak kalau untuk ko
"Mas nggak di rumah nggak di kebun, sama isi kamarnya, minimalis banget," ujar Rara. "Tapi nyaman deh," pujinya. "Udah selesai obrolan lelakinya?""Udah," jawab Ryu. "Ngerokok doang tadi tu," urainya."Opabro galak ya?""Tau aja panggilan Opabro," kekeh Ryu."Raya yang ngasih tau.""Opa seru kok, tenang aja," ujar Ryu."Aku pernah diceritain sama Raya soal Opa J, kisahnya Mama Mika pas hamil Mas.""Emang drama banget kisah cintanya Papa sama Mama. Mereka sama-sama anak orang kaya, jadi emang dramatis banget, nggak klise sama sekali. Asal kamu tau, Azura, aku ini anak di luar nikah. Mama hamil aku sebelom dinikahin sama Papa," cerita Ryu."Jadi, itulah kenapa Mas kasian sama aku?""Mana mungkin alasannya itu. Ya oke, kisahku emang cukup menyentuh. Tapi kenapa aku cuma ngeliat ke kamu, seorang Lembayung Azura Arunika adalah karena peletmu!" gemas Ryu menyentil hidung istrinya iseng."Apaan ih, ak
"Rara!!" sambut Mika bersemangat, ia peluk menantunya itu erat sekali. "Selamat datang di Jakarta ya, Sayang," ucapnya senang."Makasih Ma, seneng banget akhirnya bisa kesampean maen ke Jakarta," balas Rara tak kalah cerianya. Beruntung karena ia menjadi cinta pertama putra mahkota keluarga kaya raya ini."Maaf ya Mama nggak bisa ikut jemput ke bandara, yayasan lagi banyak kerjaan ini," sebut Mika. "Istirahat ya, kamar Ryu di atas, paling pojok," tunjuknya ke deretan kamar di lantai dua."Nanti aja ke kamarnya nunggu Mas Ryu, Ma," kata Rara."Ke mana Ray, si abang?" Mika menoleh anak gadisnya."Ngobrol sama Papabro sama Opabro di samping tuh," jawab Raya. "Mau kuanter ke kamar dulu apa Mbak?" tawarnya. "Mereka bertiga kalau udah ketemu suka lama ngobrolnya," tandasnya."Aku belom pernah ketemu Opa," gumam Rara lirih."Ah," mata Mika membola. "Iya, ya. Nanti kalau makan malem kita kenalin secara resmi. Tenang, Opa nggak galak," kekehnya."Yuk Mbak, kuanter ke kamar dulu," ajak Raya mer
Ryu beranjak ke dapur, mengambilkan permintaan istrinya. Ia kembali sambil membawa kotak obat milik Rara. "Diminum obatnya ya," pinta Ryu. Rara tak menolak, ia teguk air putih yang Ryu bawakan, juga ia telan obat yang Luna resepkan. Rasa sesak masih kuat menghimpit dadanya, marah dan kecewa pada sang ayah masih terus menghantui pikirannya. "Mas, boleh ajak aku ke Jakarta?" celetuk Rara tiba-tiba, menatap suaminya dengan sorot memohon. "Boleh, aku emang ada rencana ajak kamu ke sana." "Dalam waktu dekat, besok atau lusa," tuntut Rara. "Hem?" kedua alis Ryu bertaut. "Kamu kangen sama Mama?" candanya. "Aku pengin melarikan diri dari sini dulu. Liat pohon sawit di sana-sini, dadaku kayak dihimpit excavator, sesak Mas." "Ya oke, nanti kuurus kerjaan di kebun dulu sama yang laen. Kuusahain secepatnya kita ke Jakarta," putus Ryu berjanji.
Ryu menyesap rokoknya dalam-dalam, tatapannya tak beralih dari gelas es kopinya yang tinggal menyisakan jelaga. Di seberangnya, Rara juga memilih untuk diam, tangannya sibuk mengaduk-aduk es teh miliknya dengan sedotan, minuman yang warnanya sudah memutih karena esnya mencair. Sedangkan Pak Darwis diminta Rara pulang lebih dulu, Rara tidak ingin hatinya tambah kalut dan sakit hati. "Hatiku berusaha memahami kalau apa yang Ayah lakuin itu sebenernya karena Ayah nggak mau liat aku menderita karena dihina," sebut Rara setelah berdiam lama. "Tapi aku yakin, Ibuk pasti mempengaruhi Ayah biar berani begitu. Sejauh Ayah menikah sama Bunda, aku tau Ayah nggak pernah gegabah begitu, Mas," ungkapnya. "Kalau kami laporin Bu Endah waktu itu sebagai percobaan pembunuhan, Ayah bakalan keseret juga karena Ayah yang nyediain air itu," desah Ryu menjentik abu rokoknya di asbak. "Dan kalau Ayah kena persoalan hukum, kamu nggak punya pegangan. Keluargaku masih orang asing waktu itu, keluarga Bundamu
"Iyah," ucap Rara mantap. "Kayaknya Ayah udah sampe," bisiknya melihat ada sebuah motor yang terparkir di mana nomor polisinya sangat familiar. Beriringan, Ryu dan Rara masuk ke dalam rumah makan setelah mencari tempat parkir yang teduh lebih dulu. Nampak Pak Darwis berdiri untuk menyambut, ada rindu di mata tuanya yang sendu. Senyum simpul Pak Darwis terkembang, ia datang sendirian. "Rara," ucap Pak Darwis spontan memeluk anak perempuan tercintanya. "Ayah udah pesen minum?" tanya Rara setelah melepas pelukannya. "Udah, kalian udah pesen makanannya juga ya?" tanya Pak Darwis balik. "Sudah Yah, tadi lewat WA," Ryu yang menjawab sembari menyodorkan minuman yang dibawakan seorang pelayan. "Aku udah inget semuanya, Yah," ungkap Rara tanpa basa-basi. "Semuanya, nggak ada yang terlewatkan," sebutnya. Pak Darwis terpana. Ia yang semula siap meneguk teh manisnya, memilih meletakkan kemba
"Alhamdulillah Rara," Luna meremas lembut kedua sisi pundak Rara. "Makasih udah berjuang bareng kita," ucapnya. "Makasih juga Dokter Luna, Dokter yang selalu sabar dampingi saya," jawab Rara mematri senyum cantiknya. "Apa ke depannya ada kemungkinan saya bakalan lupa sama kenangan saya lagi, Dok?" tanyanya. Luna menoleh Ryu dulu sebelum menjawab pertanyaan Rara. Ryu hanya mengangguk dengan senyum simpul yang menghiasi wajah setampan dewanya. Semua pengobatan Rara termasuk penyembuhan kejiwaannya Ryu serahkan sepenuhnya pada Luna. "Semua itu tergantung sama diri kamu sendiri, Rara. Tapi kalau kamu sekuat ini, saya yakin kamu bakalan baik-baik aja. Ada keluhan lain nggak?" tanya Luna sambil kembali duduk lagi di kursinya. "Masih suka sesak dada saya kalau secara nggak sengaja saya keinget kejadian itu. Kepala tiba-tiba pusing, kayak saya jadi menggigil ketakutan, panik gitu, Dok," sebut Rara. "Nggak pa-pa. Kamu penyintas PTSD, wajar masih ada gejala begitu. Tapi perkembangan kamu
Keduanya lantas bangkit, mereka keluar dari kamar beriringan, Ryu merangkul pundak istrinya mesra. Melihat atmosfer itu, Susi terpaku takjub. Ditatapnya Rara dan Ryu bergantian, tak percaya bahwa Rara akan dengan santainya menerima perlakuan manis sang suami. "Mbak Rara, udah enakan?" tanya Susi reflek mengambilkan piring untuk Rara. "Nggak saya suapin di kamar?" tawarnya. "Aku mau disuapin suamiku, Mbak," kata Rara nyengir. "Hah?" Susi terpana. "Bu GM udah inget saya, Mbak," ucap Ryu. "Tolong ambilin obatnya Azura aja ya Mbak, di kamar, saya lupa bawa karena saking senengnya," pintanya. "Ehm, iya Pak, siap," sahut Susi tergagap tapi tetap bergegas beranjak ke kamar Ryu. "Makasih kalian, orang-orang hebat yang dikasih banyak kesabaran buat ngehadapin kegilaanku," desis Rara sambil menatap punggung Susi yang berjalan ke kamarnya. "Ini bukti kalau setelah hujan badai halilintar, T
"Mas," bisik Rara, ia usap punggung Ryu yang masih memeluknya erat. "Mas Ryu," panggilnya lembut. "Inget aku? Inget suamimu?" tanya Ryu masih terlihat gugup, ia lepas pelukannya. Rara nampak membasahi bibirnya, "Aku nggak lupa rasanya," bisiknya seraya meraba bibir. "Maafin aku Mas, maaf aku lupain Mas segitu gampangnya," katanya. "Enggak, nggak pa-pa," balas Ryu menggeleng-geleng. Ia kecup mesra kening istrinya, "makasih Azura," tukasnya. "Semua udah terkumpul Mas, semua kepingan ingatanku yang hilang, puzzle di kepalaku udah tersusun rapi," aku Rara. "Azura," lirih Ryu menundukkan kepala. "Istriku," desahnya penuh rasa syukur. "Mas nangis?" tanya Rara menaikkan pandangan suaminya dengan menangkup rahang Ryu. "Jangan nangis," pintanya. "Aku lega, lega banget." "Maafin aku ya Mas. Maaf karena udah bikin Mas secapek ini. Aku tau seminggu belakangan ini aku ngrepotin banget kan Mas? Aku teriak-teriak histeris, nggak mau dipegang Mas Ryu, maafin aku ya Mas." "Aku masih belom pe
"Aku emang punya mimpi untuk bisa hidup normal sebelum memutuskan untuk memilih mati. Tapi mimpi seindah ini, apa boleh aku minta selamanya aja terjadi? Aku nggak boleh bangun kan?" gumam Rara. Ryu meraih jemari Rara, dibawanya agar bisa menyentuh pipinya. Senyum Ryu melebar, sebelah tangannya yang lain meraba kepala Rara, mengusapnya penuh cinta. "Apa kamu nggak bisa ngerasain kalau ini nyata? Aku nyata, Azura. Suamimu, Ryu Raiden Dhananjaya, orang yang selama 10 tahun belakangan ini cuma ngeliat ke kamu aja, cinta sama kamu," terang Ryu tak lagi memikirkan resiko akibat kalimatnya. Benar kata Luna, Rara masih tetap tenang, tidak histeris atau menolak fakta yang Ryu ungkapkan. Senyum Rara justru terkembang, ia sendiri yang menangkup kedua pipi Ryu tanpa ragu. "Kamu suamiku? Kenapa aku nggak punya ingatan sedikitpun tentang kamu kalau kamu emang nyata? Dari dunia mana kamu berasal? Dunia Rara yang berantakan?" desis Rara bingung, matanya berkaca-kaca. "Dari dunia Lembayung Azura