Kisah tentang penyesalan Devanagari yang beberapa tahun lalu menodai gadis pujaan hatinya. Setelah menikah dan memiliki istri Devanagari tak kunjung diberi momongan. istrinya Zahira malah keguguran untuk yang ketiga kalinya. Setelah beberapa tahun Sarah gadis yang duku Devanagari nodai bekerja di rumah orang tuanya sebagai pengasuh keponakannya. Akankah trauma masa lalu Sarah bisa sembuh? sedangkan ada rahasia besar bahwa Devanagari saat itu meninggalkan benih di rahim Sarah? Bagaimana kisah selanjutnya baca terus ya kak?
view more"Gadis yang bernama Sarah itu sudah tidak ada di sini dan sekarang saya tidak tahu keberadaannya."
Dada Devan mendadak sesak, bagaimana caranya ia meminta maaf jika gadis itu selama ini menghilang, sudah beberapa kali Devan mencari namun tetap gadis itu menghilang bagai ditelan Bumi. Terakhir Devan mendapatkan alamat rumahnya yang baru pun para tetangganya tak tahu keberadaan gadis itu. "Ibu yakin tak mengenalnya?" tanyanya lagi. "Tidak karena saya membeli rumah ini juga lantaran Pak RT." Jelas wanita paruh baya itu. "Ibu tak pernah melihatnya?" Devan menunjukkan sebuah foto lawas. Foto gadis itu di masa lalu. Terlihat wajah Ibu itu berubah, sepertinya tak sanggup membuka mulut. Wanita paruh baya itu menatap Devan dengan ekspresi bersalah. Terlihat dari arah jalan ada laki-laki paruh baya itu berjalan mendekati Devan san Ibu itu. "Maaf, Ibu ngak tahu." Kata Ibu itu. "Pak RT, ini ada yang mencari seseorang." Wanita paruh baya itu memanggil Pak RT yang kebetulan lewat depan rumahnya. Laki-laki itu menatap Devan sebentar lalu mengela napas. "Mencari siapa Bu?" tanya Pak RT. "Namanya Sarah. Dia temanku dulu, Pak." Sahut Devan. "Sarah. Teman?" tanya Pak RT sedikit gelisah. "Iya Pak dulu saya teman kuliahnya." Devan kembali mengela napas sebelum bertanya dengan suara pelan, Namun, semua harus tetap dibuka agar Devan tahu bagaimana kabar gadis yang tersimpan selama belasan tahun. Sebuah sudut kelam dari hidup gadis yang ia renggut kesuciannya. Ingin sekali, Devan minta maaf karena kesalahannya di masa lampau. "Kamu yakin? Dia temanmu?" tanya Pak RT menatap ke arah Devan curiga. Devan pun tak juga menyerah. "Ya Pak." Pak RT menatapnya curiga. "Bapak mengenalnya? Sekarang dimana Sarah?" tanya Devan yang sebenarnya sudah memenuhi kepala Devan karena ingin menemui gadis itu. Wajah laki-laki itu mengeruh. "Sarah sudah meninggal." "Innalillahi wainnailaihi roji'un." G i l a! Ingin rasanya Devan ingin berteriak. Menumpahkan semua emosi yang berkecamuk dalam hati. Kaget, itu yang Devan rasakan. Tubuhnya bergetar tak percaya dengan apa yang ia dengar dari Pak RT itu. "Kapan, Pak?" tanya Devan dengan suara masih bergetar. "Gadis itu meninggal sekitar sepuluh tahun yang lalu." Devan menutup mulut dengan kedua tangan. Jadi, akhir kisah gadis yang ia nodai meninggal apa ia bun-uh diri lagi? Bagaimana bisa ia bisa seberengsek itu dulu? "Sarah sakit dia apa, Pak?'' "Bapak kurang tahu. Yang Bapak tau dia depresi." Devan tak percaya."Lalu keluarganya?" tanyanya lagi. "Setelah kejadian itu Ayahnya menjual rumah ini dan pindah entah kemana?'' Devan menghela napas berat dengan wajah tampak mendung. Menunjukkan kalau semua itu tak pernah mudah baginya. Dan bagaimana bisa ia menghancurkan hidup gadis itu. "Meninggal." Devan nampak shok. Pak RT itu mulai melanjutkan ceritanya, "hidup Sarah hancur karena sering menangis dikamar. Sepertinya Sarah mengalami depresi dan ketakutan yang tak biasa." Air mata tak tertahan lagi. Kehancuran hidup Sarah ada di fase yang pernah tak pernah Devan jalani. Namun, membayangkan jika Sarah tak mudah menjalani hidup setelah perbuatan kejinya itu. Betapa besar harga yang harus dibayar oleh Sarah. Apalagi dalam usia semuda itu ketika teman-teman seusianya sedang menikmati indahnya masa muda, kuliah, bertemu dengan orang-orang baru, tetapi Sarah harus menjalani hal seberat itu. Memikirkan semua itu, membuat Devan berdenyut nyeri. Dosa yang ia perbuat, tetapi kenapa Sarah yang harus menanggung kematian? Dan ketika Sarah berjuang sendirian justru Devan sedang menikmati kuliah dan bisa menikah ? Bebas bergaul tanpa ada beban moral dan rasa bersalah yang harus ditanggung? "Hingga Ayahnya pun ikut meninggal karena kehilangan Sarah." Lanjut Pak RT. Devan mengusap wajahnya yang penuh keringat dingin. Betapa penyesalan ini membu-nuhnya setiap detik. "Sarah itu dulu gadis yang cerdas. Dia pernah bercerita kalau ingin menjadi dokter. Tapi sayang kisah hidupnya tragis." Devan lah yang membuat semuanya kandas. Setelah menodainya dan meninggalkan Sarah sendirian, dia keluar kota dan meninggalkan Sarah. Masa lalu Devan memang sekelam itu. Devan tahu diri kalau sebenarnya ia tak pantas bahagia. Tapi sungguh, pernikahannya dengan Zahira tak kunjung di beri momongan. "Baik saya permisi, Pak, Bu." "Ya. Ohya Mas ini dari mana ya?" "Saya dari Jakarta, Pak." "Oh." "Apa saya bisa melihat makamnya Sarah, Pak?" Pak RT terdiam sebentar. "Tidak bisa." "Kenapa, Pak?" "Karena Anda bukan saudaranya." "Tapi, Pak." Pak RT itu diam dan akhirnya pergi meninggalkan Devan dengan sejuta kekecewaan dan keingintahuannya. Tidak ingin berlarut-larut dalam pikiran sesal Devan pamit dan memilih kembali ke kota dengan mobilnya. *** Setelah selesai mencari keberadaan Sarah, Devan masuk ke mobil. Bersandar di jok belakang, memikirkan kembali kehidupannya yang akhir-akhir ini begitu berat. Hingga akhirnya keadaan memaksa Devan untuk mengambil keputusan mencarai keberadaan Sarah wanita yang pernah ia hancurkan masa remajanya. Pak supir menjalankan mobilnya kini Devan bersandar pada jok mobil dan bayang-bayang akan perlakuannya pada Sarah kembali mencuat bak sebuah kamuflase yang terus menghantuinya. Sarah menghapus air matanya perlahan, matanya sudah sangat merah dan bengkak, tidak percaya kalau Devan sudah melakukannya. Terasa sentuhan pelan dari belakang punggungnya, Sarah jelas tahu siapa yang tengah menyentuhnya. Walau sentuhannya terasa begitu lembut, tapi hati Sarah masih terasa begitu sakit setelah mendapat perlakuan kurang ajar dari Devan. "Jangan menyentuhku …," teriak Sarah keras. Sarah menepis sentuhan dari Devan dan mundur serta menutupi tubuhnya dengan selimut tidak ingin berada di dekat laki-laki itu, air matanya masih terus meluncur tidak terkondisi berbanding terbalik dengan keinginannya. "Maafkan aku …," balas Devan dengan pelan. Pria itu benar-benar kelepasan tadi karena telah mabuk, cemburu dan pusing semua jadi satu. Tanpa menggubris saat Sarah berontak, teriak dan menolak Devan seperti kesetanan melucuti pakaiannya dan menodai gadis itu "Aku benar-benar minta maaf," ucap Devan lagi."Ya Zahira pelakunya."Devan mencoba menjelaskan, tetapi mengherankan karena saat menjawab tak sedikit pun ia berani menatap Sarah."Astagfirullah jadi?''Devan diam. "Mas!""Iya dia." Sarah bahkan tak tahu jika suaminya Devan menyembunyikan sesuatu yang mungkin bisa membuat Sarah marah. "Kenapa, Mas tak memberitahu aku?" Sarah sungguh tak ingin berprasangka buruk, tetapi ia seorang wanita. Ekspresi sangat bersalah jelas ia tunjukkan, matanya masih belum berani menatap mata Sarah. "Aku tak ingin kamu kepikiran."Sarah diam."Maaf Sayang.""Apa menurut, Mas aku tak bisa dipercaya?" cecar Sarah bertubi-tubi."Sayang bukan begitu.""Aku tidak paham apa yang ada di pikiranmu. Kenapa menyembunyikan sesuatu yang penting begini?""Maaf, Sayang," ujar Devan. "Bukan masalah minta maaf, Mas. Tapi lihat ini kelewatan. Astaga? Dia hampir mencelakai kita semua lo. Pantasnya dia dipenjara kan?""Iya sih tapi belom punya bukti. Lagian hembus yang beredar saat kecelakaan dia hampir kritis.""Mas
"Bunda lihatlah Kak Shaka teleponan sama seorang wanita." Adu Raiyan pada sang Bunda. Sarah tersenyum. "Masa? Benar itu Shaka?" tanya Sarah penasaran karena selama ini Shaka begitu rapat menyimpan teman wanitanya. "Tidak ada. Orang ini teman mengajar aku Bunda. Adek saja yang kepo," jawabannya seraya menunduk. "Itung-itungan buat semangatin kalau ngajar kan, Mas.""Apaan ngak ngak ngak.""Dih. Cakep tau itu fotonya." Goda adiknya Raiyan. Shaka merasa malu. "Adek." Shaka kembali menggendong adik perempuannya Syena. Sarah menggelengkan kepala, "sudah-sudah mungkin Kakak kamu ingin fokus mengajar Raiyan."Raiyan tergelak, jalan pikiran kakaknya Shaka memang lain dari yang lain. Baginya itu sangat menghibur karena ia tipe pendiam, "Ide bagus. Tapi jangan kelamaan jomblo Mas." Godanya seraya menemani Syema bermain. "Raiy sudah jangan ganggu Kakakmu, lihatlah mukanya merah itu." Kata Sarah tersenyum. "Iya iya, Bunda."Shaka menguncir rambut adiknya. ''Bunda Syena dan Syema sudah maka
Devan mengisap dalam-dalam rokoknya, lalu mengembuskannya pelan. Ia menatap istrinya lama. Tatapan mata itu yang dulu selalu berhasil meluluhkan Devan, hingga Devan kalah berulang kali. "Minumlah, Mas!" Sarah membawakan secangkir kopi panas untuk suaminya. "Ya.""Bagaimana tangannya masih linu?'' tanya Sarah pada suaminya lagi. "Lumayan sih."Sarah menggeleng. "Jadi hari ini terakhir kontrol?''"Ya Sayang. Alhamdulillah pen sudah dilepas semua normal tinggal pemulihan saja.''"Alhamdulillah kalau begitu." Sarah duduk didekat suaminya. "Kamu tidak mencintaiku lagi?" Sarah tertawa keras hingga air mata menghentikannya. "Mas."Kekhawatiran berlebih pada sesuatu yang belum terjadi, kerap menimbulkan ketakutan tak beralasan, karena usai jatuh beberapa tahun lalu Devan harus terapi karena tangannya cidera akibat menghindari mobil yang mengarah ke pada dirinya. Sarah mendorong pelan dadanya untuk melepaskan diri dari pelukannya. Tersenyum kaku saat melihat tatapannya yang seolah menunt
Tangan Zahira mengusap cepat air yang tersisa di mata dan pipi. Ia lantas mengulas sebuah senyum, senyum yang bisa Zahira pastikan hanya sebuah kamuflase. Ya, hanya untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Padahal, gurat kesedihan dan kecewa terlihat jelas di wajahnya."Pagi Sayang.""Pagi, Ma.""Bagaimana semalam tidurnya nyenyak?""Eumm.""Syukurlah. Kita lalui ini sama-sama," ucap Mamanya seraya menariknya dalam pelukan. Zahira tahu Mamanya bermaksud menghiburnya, tetapi yang terjadi ia malah kembali menangis, hingga terisak-isak di pelukannya. "Sudah, jangan nangis lagi. Hanya kamu satu-satunya harta Mama.''"Kenapa pas kecelakaan aku tak mati saja, Mama. Kenapa harus Joy?" "Hus. Jangan bicara begitu, mungkin Allah punya rencana lain untukmu, Nak."Zahira terdiam. "Sabar ya."Sang Ibu mendorong kursi Zahira ke dekat sofa. "Tapi aku bukan wanita sempurna aku cacat, Mama."''Kamu masih punya Mama. Tenanglah.''Zahira menggelengkan kepala. "Tidak, aku kesepian, Ma.""Sudah, ja
Sekarang apa yang bisa Zahira lakukan selain menjalani hidup tanpa arti, mungkin itu karmanya karena sikap jahatnya selama ini padanya. Mata kini terpejam, segera kembali terbuka ketika mobil sepertinya sudah berhenti di depan rumah. Zahira menyusuri halaman rumah di dorong dengan kursi roda, oleh bodyguard sekaligus sopir kiriman Papanya tiga tahun lalu. "Deri, apa aku terlalu buruk?" tanyanya tidak sanggup lagi menahan ucapan. Ada yang menekan keras hati di dalam sini, seluruh sendi seakan lepas dari pengait. "Siapa yang bilang, Non?" tanya balik Deri pada majikannya itu. "Aku. Aku bahkan wanita tak berguna juga wanita jahat, aku telah menyakiti banyak orang.""Non semua orang punya masa lalu.""Aku lelah bolak-balik berobat ke Singapore tapi sepertinya tak ada hasil."Deri menatapnya lembut, terlihat dia tersenyum. "Karena bolak-balik itu akan membuat, Non bisa berjalan lagi."Zahira menunduk karena tidak kuasa menahan rasa bersalah, merasa malu telah berbuat semena-mena dengan
Tiga tahun kemudian. Perjalanan pulang dari Singapura terasa panjang dan melelahkan. Bandara Soekarno Hatta yang selalu ramai juga jalanan Jakarta yang padat, menyambut kedatangan Zahira seperti sekarang ini. Sudah hampir satu tahun belakangan ini Sarah mondar-mandir Jakarta-Singapura. Demi pengobatan kakinya yang lumpuh karena tak bisa jalan. Zahira menghela napas panjang. Mematikan layar ponsel dan memasukannya ke tas yang ia kenakan. Di dorong Deri sang bodyguard dengan kursi roda itu membuatnya muak dan putus asa, ia menangis hampir setiap saat. Zahira memejamkan mata lelah dan berat. Teringat terakhir kali mereka bertemu Devan di kantor sehari setelah Zahira mengalami kecelakaan hebat, Karena Zahira ingin menabrak Devan hingga dirinya terbanting sendiri bahkan rekan kerja juga sahabatnya Joy meninggal di tempat. Berdua duduk berdampingan siang itu, Zahira mulai berkeluh kesah. Mulai menyesali diri, mengutuki diri karena kematian Joy sahabatnya. Masih Zahira ingat perkataan Devan
"Sayang sudah siap?'' tanya Devan selesai sarapan. "Sudah, Mas.""Mau diantar ke Apotek apa ke rumah Mama.""Kerumah Mama Lili sebentar boleh gak?""Boleh.""Yakin Mas gak telat.""Enggak Sayang."Sarah tersenyum mencium pipi suaminya. "Makasih Mas.""Sama-sama. Yuk." Devan berjalan membukakan pintu mobil. Kebetulan Raiyan sudah dibawa Bu Selin tadi pagi, kini giliran Sarah ke apotek untuk meninjau ada beberapa obat-obatan datang hari ini. "Kamu suka ini, Sayang?" tanya Devan sembari menyodorkan sebuah cincin ketika mobil belom berjalan. Mata Sarah berbinar. "Ini bagus sekali, Mas! Tapi, ini....""Tapi, kenapa?""Dalam rangka apa memberikan ini?''"Biar aku pasangkan."Ada sebuah rasa haru tersemat dalam hatinya. Lelaki di hadapannya ini memang luar biasa. Selama pernikahan selalu Devan memberikan kejutan-kejutan kecil. "Cantik sekali." Kata Devan seraya tersenyum. Entah mengapa matanya Sarah malah tiba-tiba basah karena terharu. "Sayang, Kamu tidak menyukai cincinnya, atau kek
Selesai mengabari orang tuanya Devan berbelok di sebuah toko bunga. "Silakan, Tuan." Penjual bunga itu tersenyum dengan ramah. "Mau cari buat kekasih?" tanya sang pelayanan itu. "Bukan, istri." Devan menjawab. "Untuk istri bagusnya yang mawar putih, Tuan.""Boleh," balas Devan. Lalu Devan mengambil setangkai mawar putih untuk dibayar setelahnya Devan pergi. Devan tahu Sarah bukan gadis yang menyukai sesuatu yang berlebihan. Pernah memprotes saat Devan terus membelikan buket setiap hari dan Sarah menolaknya saat itu. Setelah itu, Devan tak pernah membelikannya lagi.Devan sangat bersyukur. Kadang, rasanya begitu bangga bisa di beri kesempatan kedua oleh Sarah. Bangga dan Devan tak ingin kehilangan. Berharap hingga menua nanti.Setelah memarkirkan mobil, Devan masuk melangkah menuju kamar mereka. "Sayang belom tidur?""Nggak bisa tidur, aku ingat kejadian tadi pagi saja," jawabnya. Devan tersenyum sekilas. Lalu duduk di kursi di depan Sarah. "Sudah ya. Semuanya baik-baik saja."S
Setelah Devan mendapatkan perawatan di kepalanya, Devan kembali ke runagan IGD mondar-mandir menunggu hasil pemeriksaan Dokter. Setelah tenang ia duduk lantunan do'a terus ia ucapkan memohon kesembuhan untuk istri tercinta. Diiringi air mata, Devan meratap, segala dzikir dan do'a dilafadz. Berharap keajaiban yang selalu diyakininya. Jika hamba meminta, Allah akan mengabulkan.Kali ini Devan panik melihat ke arah kanan ada beberapa pengunjung tertidur di bangku panjang. Devan duduk lalu berdiri mematung, Hati Devan begitu terguncang melihat pemandangan yang ada di depannya saat itu. Betapa tidak istrinya pingsan karena kejadian tadi. Tiba-tiba ponsel Devan berbunyi. "Ya.""Penyebab kebakaran, dugaan sementara oleh pihak Kepolisian korsleting listrik, Den" ''Yakin karena korsleting listrik? Aku minta selidiki lagi.""Baik, Den.""Aku gak mau tahu, cari penyebabnya."Devan mengepalkan tangannya ia ceroboh kenapa bisa ia kecolongan soal ini. Hampir saja nyawa istri dan anaknya terenggut
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments