"Sarah, oh dia baru kemarin datang. Kebetulan Tiara makin bandel jadi adikmu Dea kewalahan. Apalagi kan Dea bantuin kamu kerja. Jadi butuh suster untuk jagain Tiara." "Oh." Devan manggut-manggut ternyata baru kemarin Sarah bekerja di rumah Mamanya. "Cantik dia rajin mama suka. Dan sepertinya Tiara juga nyaman bersamanya." "Semoga saja, Ma." Gejolak bingung terhenti kala Mamanya kembali berbicara. Tidak ingin terlihat tidak sopan, Devan pun menyimak baik-baik ucapan Mamanya. Walaupun itu artinya Devan harus menyingkirkan sejenak tanda tanya yang sebelumnya muncul soal Sarah. Devan berusaha melebarkan bibir guna menciptakan senyum. Rasanya canggung sekali menanyakan soal Sarah lagi. "Wajah kamu agak pucat, Sayang? Kecapekan, ya?" Bu Lili memasang raut khawatir. "Ngak kok, Ma. Aku baik-baik saja." "Baik gimana orang bibir kamu juga kelihatan kering. Kurang minum itu?" "Mama aku baik-baik saja." "Baiklah. Yuk makan." Devan meringis. "Ngak lapar, Ma." "Apa aku minta Bibi untu
Pagi hari selesai Salat Subuh Sarah berjalan ke kamar Tiara dengan menaiki mesin lift besi kotak itu menuju kamar Tiara, karena mereka sudah janjian akan jalan-jalan ke taman komplek dekat rumah tentunya atas ijin Bu Lili juga Dea. "Pagi, Non. Wah sudah siap?'' tanyanya senang. "Sudah dong, Mbak Sarah. Kan kita mau jalan-jalan.""Oke. Sudah Salat?""Sudah.""Oke kita jalan yuk.""Hu um."Mereka berdua berjalan menikmati mentari pagi, kebetulan hari minggu jadi Tiara libur sekolah. Mereka melangkah melewati trotoar di sebelah kiri jalan menuju taman komplek. Suara kicau burung terdengar merdu di pepohonan rindang pinggir jalan. Angin pagi, membuai mereka, tangan Sarah mengandeng Tiara, hingga tak mereka sadari sudah sampai di taman komplek perumahan mewah itu. "Kita sudah sampai, Non."Tiara mengangguk pelan, lalu melepaskan jabatan tangannya. "Eumm pagi ini sejuk aku suka udara pagi Mbak.""Suka?""Banget. Terima kasih sudah mengajak jalan-jalan, Mbak," ucapnya sambil tersenyum"Sa
"Mbak Sarah kenapa?" tanya Tiara. "Ngak apa-apa Non. Hanya masuk angin sedikit.""Mau berhenti dulu atau bagaimana?" tanya Devan. "Ngak usah saya tidak apa-apa, Den.""Minumlah!" Devan memberikan minuman pada Sarah. "Terima kasih."Devan memarkirkan mobilnya di pinggir jalan dan keluar ia berjalan membelikan roti juga teh hangat untuk Sarah. Sarah pindah ke belakang dan Dea yang sekarang pindah ke depan. Devan memberitan roti juga teh hangat untuk Sarah. Tak sengaja Devan menyentuh tangan Sarah. Tangan wanita itu terasa dingin dan gemetar dalam genggaman Devan. Baru kali ini Devan merasa sangat khawatir dan cemas. "Minumlah ini akan menghangatkan tubuhmu."Sarah mengangguk pelan. Dia menarik genggaman Devan.***Tiga puluh puluh menit kemudian mereka memasuki gerbang Villa elite kediaman Pak Adiyasa. Mobil masuk ke halaman sebuah Vila mewah berlantai dua. Devan turun dari mobil, semua mengikuti. Berjalan masuk ke arah bangunan megah itu. Di depan pintu penjagaan seseorang menyapa
Sampai disana wanita petugas medis yang siaga lantas memeriksa Sarah. "Tidak apa-apa, kok, Pak. Sepertinya dia hanya shok saja. Tunggu, sebentar lagi pasti sadar. Bajunya basah di ganti saja.""Terima kasih," ucap Devan lega.Setelah wanita perawat keluar, Devan ikut keluar. Sementara Dea dan Tiara mengambil baju ganti yang dibelikan Devan. Lalu Dea memakaikan kaos dan rok. Selesai Devan ikut masuk. "Bagaimana masih belom siuman?""Belom Mas.""Ini salah aku, bagaimana ini?""Sabar ya sebentar lagi Mbak Sarah bangun."Devan menaruh minyak kayuh putih ditangan kemudian memgusapkan ke tengkuk leher juga hidung Sarah. Di sana, Sarah yang terbaring lemas samar-samar merasakan usapan hangat pada tubuhnya itu. Saat membuka mata Sarah melihat wajah Devan yang cemas. Sarah kaget dan kebingungan ketika tubuhnya sudah berganti pakaian, bahkan diruangan itu hanya ada dirinya dan Devan. Ia meraba seluruh badan dan rambut basahnya. Dan ingat kalau tadi sempat tidak sadarkan diri setelah menolon
Sarah terkejut menatap ke arah Devan tanpa kedip. "Anda ada ... apa, Den?"Hening menyelimuti mereka. "Sarah maaf. Aku tahu kamu belom tidur. Makanya aku bawakan ini makanlah." Tunjuk Devan membawakan satu mangkuk bubur juga susu hangat. Hening, Sarah masih menunduk sementara Devan menatap ke arah dalam kamar. "Kamu demam. Ada kompres itu?" tanyanya yang langsung memegang kening Sarah yang masih demam. "Ini sudah malam, Den. Pergilah." Usir Sarah takut. "Aku tidak akan pergi sebelum kamu makan bubur ini." Ancamnya. Sarah berdecak malas. "Ya. Nanti aku makan Den."Devan tersenyum. "Tidak aku harus memastikan kamu memakannya, sekarang."Lagi-pagi Sarah berdecak malas. Dibuat jengkel oleh ulah Devan. "Astaga, apa maksudnya ini?" tanya Sarah bingung. Devan memaksa. "Makan." "Mulutku pahit, Den." "Aku suapi."Belum sempat Sarah menjawab Devan menarik tangan Sarah menuju kursi membuat Sarah ketakutan. "Ada apa dengan lelaki itu malam-malam gak jelas kelakuannya. Jangan-jangan?" B
Devan masuk ke kamar membawa nampan berisi piring dengan potongan roti isi dan segelas susu. Dia sudah terlihat rapi dalam balutan kaos putih dan celana jeans. Sedangkan Sarah sudah selesai mandi air hangat dan Solat Subuh. "Sudah bangun. Ini sarapannya. Setelah sarapan nanti minum obat," ucapnya mengingatkan. "Den aku bisa sendiri gak usah repot-repot."Devan tak menjawab. Hanya memijat kening pelan dengan mata terpejam. Kemudian ia keluar menutup pintu. Lalu pintu kembali terbuka dan Devan kembali masuk lagi. Sarah tersenyum."Aku tunggu sampai rotinya habis." Ucapnya membuat Sarah kaget. "Den.""Ayo dimakan takutnya ngak kamu makan.""Ya baiklah."Setelah suapan terakhir potongan roti dari tangannya, Devan menyodorkan segelas susu. Sarah menatap wajah Devan lekat. Dia mengalihkan pandangan ke arah gelas susu yang ada di tangan Devan. "Semalam Aden nggak tidur?" tanya Sarah terbata. Karena Devan mengompres dirinya semalaman hingga pagi. Dan sekarang suhu badan Sarah sudah memb
Dea mengerjitkan dahi. "Seingat aku, Mas ngak punya masa lalu. Dan ya satu gadis yang Mas kagumi saat kuliah itu kan? Yang Mas sering cerita.""Emm.""Jadi Mas ketemu gadis itu lagi?"Devan menganggukkan kepala. "Hati-hati. Dari rasa itu bisa jadi terulang kisah cinta yang belum kelar, ingat ya udah ada Mbak Zahira juga," tandas Dea."Hmm."Jemari Devan memainkan bolpoin diatas meja. Kemungkinan bertemu dengan Sarah setiap hari terjadi dan bisa membuat goyah hati Devan."Apa Mas tak bahagia dengan Mbak Zahira?"Devan terdiam. "Jadi masih sama tak ada yang spesial? Masih gadis itu yang ada di hati Mas Dev?""Mau bagaimana lagi, tapi Mama bahagia, kan." Jelas Devan. Dea mendekat memeluk kakaknya erat. Ia tahu bagaimana dulu Devan menolak mati-matian untuk dijodohkan dengan Zahira, namun Mamanya menolak dan tetap keukeuh untuk menjodohkan. Tak lama, telepon dimeja Devan berbunyi membuat Dea memandangnya. "Mbak Zahira. Angkatlah siapa tahu penting, Mas!" "Ya?"Devan mengambil ponsel
"Pertanyaanku kenapa dulu kamu ninggalin aku saat di rumah sakit?"Devan terdiam. Suasana hening. Sarah kembali meminum airnya. Sarah memalingkan wajah. "Kenapa?"Akan tetapi, semakin lama, Sarah tak punya pilihan selain melanjutkan hidup dan membiarkan perasaannya tumbuh sampai ia layu dengan sendirinya. Bukankah daun sesegar apa pun punya masa untuk luruh dan kalah oleh waktu? Devan menarik napas dalam. "Karena dokter akan mengusut dan memenjarakan yang menodaimu. Saat itu aku ketakutan.""Pengecut.""Ya aku memang pengecut."Untuk semua yang telah terjadi di masa lalu, Devan minta maaf? Mengapa baru sekarang? Mengapa tidak dari awal saat Sarah terperosok di titik terendah? "Maaf karena luka itu. Aku tahu kamu depresi karena ulahku.""Ya Aden breng-sek." Kesal Sarah. Ingatan itu lantas kembali ke masa dulu. Devan memaksakan senyum. Tanpa kata-kata, Devan meraih air, lalu menandaskan isinya dalam beberapa teguk. "Ya itu aku."Entah siapa yang harus Sarah salahkan atas apa yang te
Setelah Devan mendapatkan perawatan di kepalanya, Devan kembali ke runagan IGD mondar-mandir menunggu hasil pemeriksaan Dokter. Setelah tenang ia duduk lantunan do'a terus ia ucapkan memohon kesembuhan untuk istri tercinta. Diiringi air mata, Devan meratap, segala dzikir dan do'a dilafadz. Berharap keajaiban yang selalu diyakininya. Jika hamba meminta, Allah akan mengabulkan.Kali ini Devan panik melihat ke arah kanan ada beberapa pengunjung tertidur di bangku panjang. Devan duduk lalu berdiri mematung, Hati Devan begitu terguncang melihat pemandangan yang ada di depannya saat itu. Betapa tidak istrinya pingsan karena kejadian tadi. Tiba-tiba ponsel Devan berbunyi. "Ya.""Penyebab kebakaran, dugaan sementara oleh pihak Kepolisian korsleting listrik, Den" ''Yakin karena korsleting listrik? Aku minta selidiki lagi.""Baik, Den.""Aku gak mau tahu, cari penyebabnya."Devan mengepalkan tangannya ia ceroboh kenapa bisa ia kecolongan soal ini. Hampir saja nyawa istri dan anaknya terenggut
Si Mbok dan si Mbak berlari ke arah kamar Sarah setelah melihat kebakaran dari depan bagian bagasi rumah majikannya. "Kamu cek pintu keluar yang disamping biar aku panggil Non Sarah.''"Baik, Mbok."Wanita muda itu berlari ke arah samping rumah yang masih aman dari kobaran api. "Non Sarah, kebakaran!!" Si Mbok mengedor pintu kamar Sarah. "Non buka pintu, ayo keluar!" Lagi dengan kencang dan panik si Mbok menggedor pintu. Udara sejuk dari pendingin udara berganti jadi panas membara tiba-tiba. Sarah tersentak saat suara teriakan terdengar dari luar rumah memekakkan telinga. Jeritan bersahutan si Mbok dan Mbak itu terus menerus, begitu juga asap menghitam yang memenuhi ruangan. "Non buka pintu!" ucap si Mbok sambil terus batuk-batuk. Sesuatu menyekat pernapasannya. Kian lama rumah kian gelap, anehnya, celah di atas pintu depan rumah memancar cahaya merah yang menyala-nyala. "Ya Mbok.'' Sahut Sarah dari dalam. "Non kebakaran! Ayo cepat.''"Apa. Kebakaran!! Den Dev sudah berangkat?
Harum telur mata sapi semerbak. Wanginya yang khas dan sedap menggelitik hidung dan itu berhasil membuat Devan dan Shaka menelan ludah setelah selesai merapikan tenda untuk bermalam semalam. Devan, beranjak bangun Lantas merenggangkan tubuh sambil berjalan menuju wastafel, hendak mencuci tangan.Devan melihat istrinya muncul dari dapur melalui cermin, ia sedang membawa nampan berisi beberapa piring nasi goreng spesial. Istrinya itu terlihat segar dan berseri wajahnya pun tersenyum. Devan melihat lagi ke arah cermin. Di dalam sana terlihat istrinya itu sedang menyiapkan sarapan. "Sarapan dulu, Mas." Tawarnya. Devan terus memperhatikan istrinya dan terus menatapnya di balik cermin. "Ya." Devan masih menggosok tangan dengan sabun. Devan membilas tangan yang penuh busa dengan air dari kran wastafel. Kemudian mengelapnya dengan handuk kecil dan berjalan mendekati istrinya. "Kayaknya enak nih?''"Pastinya. Sayang Shaka ini sarapannya sudah siap." Panggil Sarah pada putranya. "Ya, Bund
"Mbak?"Sarah tersenyum menyambut pelukan adiknya itu. "Gimana liburannya suka?""Suka banget.""Heleh pengantin baru. Lagian kesel aku ditinggal pergi gak ajak-ajak!" Omel Sarah. "Maaf." Lea mengerutkan pelukannya. "Gimana sehat?"Lea tertawa. "Agak masuk angin sih.""Emm kebanyakan itu." Bisik Sarah pelan nyaris tak terdengar. Lea memukul tangan Sarah. "Mbak." Saga memberikan lima paper bag pada Sarah, "wah banyak sekali, makasih ya.""Ya sama-sama.""Ceritain seru gak di sana?" tanya Sarah. "Seru sekali.""Wah jadi pengen.""Next time kita double date ya." Dengan gerakan santai, Lea kembali duduk dan menyeruput teh bikinan Bibi di hadapannya. Senyum Sarah mengembang. "Gak janji sih. Sebelum Raiyan dewasa.""Ya juga sih.""Kenapa, Mbak nggak cerita kalau Mas Saga orangnya asyik?""Mbak belum sempat ngasih tahu kamu. Mbak sibuk ngurus Mama yang sakit. Sedangkan Mas Dev nggak selalu di rumah. Jadi Mbak yang mondar-mandir ngurus rumah dan menjaga Mama.""Ya juga sih. Makasih suda
Saga benar-benar tidak bisa tidur malam itu. Lea yang telah terlelap akhirnya terbangun juga karena terganggu."Kenapa tadi minum kopi? Jadi enggak bisa tidur, 'kan?" Pria itu duduk tangannya mengelus rambut Lea. "Aku hanya memperhatikan kamu tidur."Lea yang terpejam menahan tawa dan jengkel karena tidurnya terganggu. "Boleh minta tolong Sayang?""Minta tolong apa?""Peluk sebentar."Mata Lea seketika membulat. "Kalau keberatan tidurlah lagi!"Lea bangun kemudian memandang Saga yang tidur terlentang dengan satu lengan menumpang di keningnya. Mata laki-laki itu terpejam."Maaf, mengganggumu malam-malam, aku hanya butuh pelukanmu."Lea menarik napas dalam lalu memeluk suaminya. Lea makin gemetar saat pria itu sangat dekat di depannya. Menyentuh dagunya kemudian mengecup pelan bibirnya. Membuat wanita itu seperti tersengat listrik. Itu ciuman seksi untuknya.Tatapan matanya tidak bisa menyembunyikan apa yang diinginkannya. Lea masih membiarkan, saat pria itu menatap wajah dan menyen
"Kenapa ya Zahira itu gak dapat karma semisal balasan dengan apa yang telah di lakukannya?"Sarah tersenyum memegang tangan Lea. "Allah memperlakukan apa yang Dia kehendaki, dibukakan segala pintu hingga orang tersebut lupa diri. Ya ibaratnya tidak ingat bahwa sesudah panas pasti ada hujan, sesudah lautan tenang gelombang pasti datang. Mereka dibiarkan berbuat maksiat dengan hawa napsunya hingga tersesat jauh. Lalu, siksaan Allah datang.""Jadi?""Jadi istidraj adalah pemberian kesenangan untuk orang-orang yang dimurkai Allah agar mereka terus menerus lalai. Hingga pada suatu ketika semua kesenangan itu dicabut oleh Allah, mereka akan termangu dalam penyesalan yang terlambat."Lea mengangguk. "Oh.""Kamu harus jaga suami kamu jangan sampai Saga jatuh ke tangan wanita itu."Lea memeluk lebih erat dan membenamkan wajahnya pada ceruk di pundak Sarah. "Ya, Mbak. Aku juga mau pamit mau ke Bali""Ya semoga semuanya berjalan lancar.""Aamiin, makasih Mbak.""Eumm."Hubungan manusia memang se
"Nah gitu baru adik Kakak. Tapi kenapa mukanya manyun gitu." Devan mengusap kepala Lea. "Saga kemarin izin sama Papa akan mengajak Lea pindah ke rumahnya.""Apa, Pa?''"Lea dia suamimu. Seharusnya kamu patuh padanya.""Tapi.""Lea belajar jadi istri yang baik. Sudah jangan banyak alasan. Setujui saja permintaan suamimu. Mama gak sabar pengen punya cucu banyak.""Ma ngomong apa sih cucu-cucu?""Ya apa lagi. Itu yang Mama dan Papa inginkan punya banyak cucu."Lea merasa kesal. Ia bangkit lalu pergi. ***Pemandangan malam di gazebo adalah satu-satunya yang bisa menghibur Devan saat ini, setelah sebelumnya mondar-mandir mencari tempat dimana terdapat harum parfum istrinya ya Devan sepertinya begitu kasmaran. Bisa rusak jantungnya kalau harus sendirian tak ada istrinya di rumah. Bukan ngak boleh Sarah nginep di rumah Mamanya bersama kedua anaknya, hanya saja menyesalkan setelah dibuat menunggu selama satu hari dari waktunya di sana. Ya, seharusnya malam ini Sarah sudah pulang ke rumah.
Braghhhh! "Mama." Sarah menjerit saat mengetahui ibu mertuanya pingsan karena melihat Vidio kebenarannya. "Mama. Tolong bantu Mama."Devan, Sando dan Saga langsung membawa tubuh Bu Lili ke dalam dibantu Bu Selin yang menjaganya, memberikan minyak di tengkuk, leher, pelipis juga hidungnya. Sementara di luar keadaan masih memanas. Sarah cemas dengan keadaan ibu mertuanya. "Ma bangunlah, Mama."Bu Lili memegangi kepalanya yang terasa berat. "Sarah ada apa ini kenapa kepalaku sakit sekali.""Mama habis pingsan.""Sarah." Bu Lili memeluk Sarah namun ia melihat Lea. Lea terdiam menjauh dan hanya menatap Mamanya. "Lea mendekatlah."Lea terdiam. "Kau tidak mau mendekati Mama? Mama hanya mau minta maaf.""Sebenarnya apa yang terjadi Ma?" tanya Devan yang baru saja datang. "Bu Santi mengancam. Akan menghancurkan Butik jika Mama tak menyetujui perjodohan Lea untuk putranya.""Astaga harusnya Mama bicara. Ini malah masa depan Lea taruhannya."Bu Lili hanya terdiam karena tak berani menja
Sarah memeluk Lea erat. "Mbak apa aku tak salah dengar?" Mbak dan Mas Devan yang atur semuanya ini?"Sarah mengangguk. "Ya.""Tapi ....""Sudah dia pasti akan menjagamu, tidak seperti Dio itu ya."Lea menggelengkan kepala. "Mbak."Pak Adiyaksa datang. "Sudah ada pembicaraan matang tentang calonmu ini. Jadi jangan membuat ulah yang akan mengacaukan semuanya. Ingat dia akan tulus padamu, dan Papa tak suka lelaki pecundang itu menunjukkan siapa jati dirinya."Lea terdiam. "Dari pada pilihan Mamamu itu. Suka tidak suka. Kamu harus menikah dengan Saga saat ini juga."Lea memeluk Sarah erat seraya menangis. "Cepatlah sebelum semuanya berubah."Lea menganggukkan kepala. "Ya Pa.""Sudah, semua sudah Takdir. Dan kau tahu Saga itu sangat baik. Semoga kamu menjadi wanita terakhirnya ya."Sarah makin mengencangkan pelukannya. "Yuk ke temapat akad aku antarkan."Lea menurut perkataan Kakak iparnya itu. Semua wajah para tamu undangan nampak curiga. Karena tak ada keluarga arakan pengantin Pria