Sarah terkejut menatap ke arah Devan tanpa kedip. "Anda ada ... apa, Den?"Hening menyelimuti mereka. "Sarah maaf. Aku tahu kamu belom tidur. Makanya aku bawakan ini makanlah." Tunjuk Devan membawakan satu mangkuk bubur juga susu hangat. Hening, Sarah masih menunduk sementara Devan menatap ke arah dalam kamar. "Kamu demam. Ada kompres itu?" tanyanya yang langsung memegang kening Sarah yang masih demam. "Ini sudah malam, Den. Pergilah." Usir Sarah takut. "Aku tidak akan pergi sebelum kamu makan bubur ini." Ancamnya. Sarah berdecak malas. "Ya. Nanti aku makan Den."Devan tersenyum. "Tidak aku harus memastikan kamu memakannya, sekarang."Lagi-pagi Sarah berdecak malas. Dibuat jengkel oleh ulah Devan. "Astaga, apa maksudnya ini?" tanya Sarah bingung. Devan memaksa. "Makan." "Mulutku pahit, Den." "Aku suapi."Belum sempat Sarah menjawab Devan menarik tangan Sarah menuju kursi membuat Sarah ketakutan. "Ada apa dengan lelaki itu malam-malam gak jelas kelakuannya. Jangan-jangan?" B
Devan masuk ke kamar membawa nampan berisi piring dengan potongan roti isi dan segelas susu. Dia sudah terlihat rapi dalam balutan kaos putih dan celana jeans. Sedangkan Sarah sudah selesai mandi air hangat dan Solat Subuh. "Sudah bangun. Ini sarapannya. Setelah sarapan nanti minum obat," ucapnya mengingatkan. "Den aku bisa sendiri gak usah repot-repot."Devan tak menjawab. Hanya memijat kening pelan dengan mata terpejam. Kemudian ia keluar menutup pintu. Lalu pintu kembali terbuka dan Devan kembali masuk lagi. Sarah tersenyum."Aku tunggu sampai rotinya habis." Ucapnya membuat Sarah kaget. "Den.""Ayo dimakan takutnya ngak kamu makan.""Ya baiklah."Setelah suapan terakhir potongan roti dari tangannya, Devan menyodorkan segelas susu. Sarah menatap wajah Devan lekat. Dia mengalihkan pandangan ke arah gelas susu yang ada di tangan Devan. "Semalam Aden nggak tidur?" tanya Sarah terbata. Karena Devan mengompres dirinya semalaman hingga pagi. Dan sekarang suhu badan Sarah sudah memb
Dea mengerjitkan dahi. "Seingat aku, Mas ngak punya masa lalu. Dan ya satu gadis yang Mas kagumi saat kuliah itu kan? Yang Mas sering cerita.""Emm.""Jadi Mas ketemu gadis itu lagi?"Devan menganggukkan kepala. "Hati-hati. Dari rasa itu bisa jadi terulang kisah cinta yang belum kelar, ingat ya udah ada Mbak Zahira juga," tandas Dea."Hmm."Jemari Devan memainkan bolpoin diatas meja. Kemungkinan bertemu dengan Sarah setiap hari terjadi dan bisa membuat goyah hati Devan."Apa Mas tak bahagia dengan Mbak Zahira?"Devan terdiam. "Jadi masih sama tak ada yang spesial? Masih gadis itu yang ada di hati Mas Dev?""Mau bagaimana lagi, tapi Mama bahagia, kan." Jelas Devan. Dea mendekat memeluk kakaknya erat. Ia tahu bagaimana dulu Devan menolak mati-matian untuk dijodohkan dengan Zahira, namun Mamanya menolak dan tetap keukeuh untuk menjodohkan. Tak lama, telepon dimeja Devan berbunyi membuat Dea memandangnya. "Mbak Zahira. Angkatlah siapa tahu penting, Mas!" "Ya?"Devan mengambil ponsel
"Gadis yang bernama Sarah itu sudah tidak ada di sini dan sekarang saya tidak tahu keberadaannya."Dada Devan mendadak sesak, bagaimana caranya ia meminta maaf jika gadis itu selama ini menghilang, sudah beberapa kali Devan mencari namun tetap gadis itu menghilang bagai ditelan Bumi. Terakhir Devan mendapatkan alamat rumahnya yang baru pun para tetangganya tak tahu keberadaan gadis itu. "Ibu yakin tak mengenalnya?" tanyanya lagi. "Tidak karena saya membeli rumah ini juga lantaran Pak RT." Jelas wanita paruh baya itu. "Ibu tak pernah melihatnya?"Devan menunjukkan sebuah foto lawas. Foto gadis itu di masa lalu. Terlihat wajah Ibu itu berubah, sepertinya tak sanggup membuka mulut. Wanita paruh baya itu menatap Devan dengan ekspresi bersalah. Terlihat dari arah jalan ada laki-laki paruh baya itu berjalan mendekati Devan san Ibu itu. "Maaf, Ibu ngak tahu." Kata Ibu itu. "Pak RT, ini ada yang mencari seseorang." Wanita paruh baya itu memanggil Pak RT yang kebetulan lewat depan rumahnya
Sarah berbalik menatap nanar Devan dengan mata basahnya, sedangkan Devan mengalihkan pandangan ke bawah tidak sanggup melihat wajah sedih gadis itu yang dia buat jadi seperti itu. "Aku tidak butuh maafmu, kau kejam," lirih Sarah.Sarah menangis berharap jika apa yang baru saja terjadi adalah sebuah mimpi buruk. "Aku … aku khilaf," ucap Devan."Kenapa kau lakukan perbuatan kejam ini? Kenapa?!" Teriak Sarah seraya menangis histris. Devan mencoba meraih tubuh gadis itu, tapi Sarah teriak mundur lagi mengibaskan tangannya menepis gapaian tangan Devan yang ingin memeluknya."Maaf, aku tadi mabuk dan aku, terbawa suasana," ungkapnya menundukkan kepala.Tampaknya Sarah putus asa dengan jawaban yang Devan berikan. "Kau tidak peduli bagaimana kehidupanku setelah ini." Protes Sarah."Lain kali aku tidak akan melakukan lagi, maafkan aku," ucap Devan sepelan mungkin."Hah lucu sekali kau telah memperko-saku, dan kau telah menghancurkan hidupku.""Maaf," ucap Devan menyerah."Pergi!!" Usir Sar
"Istrimu keguguran lagi. Dokter bilang, kandungannya sudah lima minggu. Keguguran karena stres, kelelahan." Mamanya bicara pada Devan yang baru saja datang. Tak ada jawaban. Devan tak merespon perkataan Mamanya. Ia malas melakukan apa pun, termasuk bicara."Maaf, Mas."Devan memeluk istrinya dari belakang saat tengah melamun menatap ke luar jendela. Pandangannya terasa kosong. Lagi Zahira menangis. Devan membalikan tubuhnya menghadapnya. Menghapus air matanya perlahan. Mengecup keningnya lama istrinya terisak lalu memnamkan wajahnya di dada Devan. "Maaf.""Aku juga sedih, Sayang. Sudah jangan nangis lagi.""Mas.""Hmm?""Aku gak bisa memberikan kamu keturunan.""Kita bisa ya." Devan menenangkan istrinya. "Aku ngak yakin. Ini sudah kali ketiga aku keguguran, Mas."Devan menggelengkan kepala. "Kita usaha sama-sama ya."Kehilangan anak ternyata sesakit itu. Devan merutuki kejadian malam itu. Apa itu karmanya telah menyakiti Mia? Entahlah Kali ini perasaan Devan pada istrinya campur ad
Sementara Sarah menyiapkan kebutuhan putranya, karena besok adalah hari keberangkatan putra semata wayangnya menuntut ilmu agama ke pondok sebagai bekalnya kelak. Sarah membuat kue kesukaan putranya selesai ia berjalan ke arah putranya Shaka. "Sudah selesai mengemas, Nak?" Sarah menghampiri putranya yang masih mengemas baju ke dalam tas. Shaka mengangguk. "Bun, inilah yang aku rindu usapan dan perhatian Bunda padaku." Sarah masih mengusap lembut di rambutnya. Rasa sesak menyergap dada Sarah. Terlebih saat melihat putranya meneteskan air mata."Jangan menangis, nanti berat langkahmu pergi ninggalin Bunda." Sarah segera mengusap air matanya dengan tangan. Mereka berpelukan sebentar, lalu melanjutkan lagi merapikan barang bawaan Shaka. Beres satu tas baju dan tiga kardus kecil barang jajanan juga susu renteng telah siap."Oke kita makan malam ya setelah itu kamu istirahat. Bunda tadi belikan baso kesukaan kamu."Shaka tersenyum. "Baik Bunda."Sarah tersenyum mengacak rambut putranya
Sesampainya di rumah Sarah membuka pintu dengan kunci lalu berlari menuju kamar meraih obat dalam tas yang baru saja ia beli dari apotik langganannya, lalu meminumnya dengan segelas air putih. Sarah tidak perlu obat itu lagi, meskipun sebenarnya ia sudah bosan minum obat. Bahkan sudah hampir dua tahun ia tak lagi mengonsumsi obat itu. Namun setelah dengar kabar soal laki-laki itu Sarah jadi ketakutan, Sarah memang depresi tapi tidak gil-a. Sarah sedikit tenang menatap hampa foto Shaka ia memeluknya, tubuhnya rubuh di pembaringan, lalu bangkit lagi duduk di lantai tangannya memeluk lutut, peristiwa kejam itu kembali terbayang dan membuatnya menggigil ketakutan."Sarah kamu dimana, Sarah."Wanita paruh baya itu mendengar isakan dari kamar Sarah. "Kamu kenapa Sarah?" tanya Bibi saat mengunjungi rumah Sarah. Kini Sarah meringkuk dengan tubuh dibasahi keringat.Sarah menggeleng.Bibinya menyentuh kening Sarah yang basah berpeluh. "Aku nggak apa-apa, Bi," ucap Sarah lirih."Kamu kambuh l
Dea mengerjitkan dahi. "Seingat aku, Mas ngak punya masa lalu. Dan ya satu gadis yang Mas kagumi saat kuliah itu kan? Yang Mas sering cerita.""Emm.""Jadi Mas ketemu gadis itu lagi?"Devan menganggukkan kepala. "Hati-hati. Dari rasa itu bisa jadi terulang kisah cinta yang belum kelar, ingat ya udah ada Mbak Zahira juga," tandas Dea."Hmm."Jemari Devan memainkan bolpoin diatas meja. Kemungkinan bertemu dengan Sarah setiap hari terjadi dan bisa membuat goyah hati Devan."Apa Mas tak bahagia dengan Mbak Zahira?"Devan terdiam. "Jadi masih sama tak ada yang spesial? Masih gadis itu yang ada di hati Mas Dev?""Mau bagaimana lagi, tapi Mama bahagia, kan." Jelas Devan. Dea mendekat memeluk kakaknya erat. Ia tahu bagaimana dulu Devan menolak mati-matian untuk dijodohkan dengan Zahira, namun Mamanya menolak dan tetap keukeuh untuk menjodohkan. Tak lama, telepon dimeja Devan berbunyi membuat Dea memandangnya. "Mbak Zahira. Angkatlah siapa tahu penting, Mas!" "Ya?"Devan mengambil ponsel
Devan masuk ke kamar membawa nampan berisi piring dengan potongan roti isi dan segelas susu. Dia sudah terlihat rapi dalam balutan kaos putih dan celana jeans. Sedangkan Sarah sudah selesai mandi air hangat dan Solat Subuh. "Sudah bangun. Ini sarapannya. Setelah sarapan nanti minum obat," ucapnya mengingatkan. "Den aku bisa sendiri gak usah repot-repot."Devan tak menjawab. Hanya memijat kening pelan dengan mata terpejam. Kemudian ia keluar menutup pintu. Lalu pintu kembali terbuka dan Devan kembali masuk lagi. Sarah tersenyum."Aku tunggu sampai rotinya habis." Ucapnya membuat Sarah kaget. "Den.""Ayo dimakan takutnya ngak kamu makan.""Ya baiklah."Setelah suapan terakhir potongan roti dari tangannya, Devan menyodorkan segelas susu. Sarah menatap wajah Devan lekat. Dia mengalihkan pandangan ke arah gelas susu yang ada di tangan Devan. "Semalam Aden nggak tidur?" tanya Sarah terbata. Karena Devan mengompres dirinya semalaman hingga pagi. Dan sekarang suhu badan Sarah sudah memb
Sarah terkejut menatap ke arah Devan tanpa kedip. "Anda ada ... apa, Den?"Hening menyelimuti mereka. "Sarah maaf. Aku tahu kamu belom tidur. Makanya aku bawakan ini makanlah." Tunjuk Devan membawakan satu mangkuk bubur juga susu hangat. Hening, Sarah masih menunduk sementara Devan menatap ke arah dalam kamar. "Kamu demam. Ada kompres itu?" tanyanya yang langsung memegang kening Sarah yang masih demam. "Ini sudah malam, Den. Pergilah." Usir Sarah takut. "Aku tidak akan pergi sebelum kamu makan bubur ini." Ancamnya. Sarah berdecak malas. "Ya. Nanti aku makan Den."Devan tersenyum. "Tidak aku harus memastikan kamu memakannya, sekarang."Lagi-pagi Sarah berdecak malas. Dibuat jengkel oleh ulah Devan. "Astaga, apa maksudnya ini?" tanya Sarah bingung. Devan memaksa. "Makan." "Mulutku pahit, Den." "Aku suapi."Belum sempat Sarah menjawab Devan menarik tangan Sarah menuju kursi membuat Sarah ketakutan. "Ada apa dengan lelaki itu malam-malam gak jelas kelakuannya. Jangan-jangan?" B
Sampai disana wanita petugas medis yang siaga lantas memeriksa Sarah. "Tidak apa-apa, kok, Pak. Sepertinya dia hanya shok saja. Tunggu, sebentar lagi pasti sadar. Bajunya basah di ganti saja.""Terima kasih," ucap Devan lega.Setelah wanita perawat keluar, Devan ikut keluar. Sementara Dea dan Tiara mengambil baju ganti yang dibelikan Devan. Lalu Dea memakaikan kaos dan rok. Selesai Devan ikut masuk. "Bagaimana masih belom siuman?""Belom Mas.""Ini salah aku, bagaimana ini?""Sabar ya sebentar lagi Mbak Sarah bangun."Devan menaruh minyak kayuh putih ditangan kemudian memgusapkan ke tengkuk leher juga hidung Sarah. Di sana, Sarah yang terbaring lemas samar-samar merasakan usapan hangat pada tubuhnya itu. Saat membuka mata Sarah melihat wajah Devan yang cemas. Sarah kaget dan kebingungan ketika tubuhnya sudah berganti pakaian, bahkan diruangan itu hanya ada dirinya dan Devan. Ia meraba seluruh badan dan rambut basahnya. Dan ingat kalau tadi sempat tidak sadarkan diri setelah menolon
"Mbak Sarah kenapa?" tanya Tiara. "Ngak apa-apa Non. Hanya masuk angin sedikit.""Mau berhenti dulu atau bagaimana?" tanya Devan. "Ngak usah saya tidak apa-apa, Den.""Minumlah!" Devan memberikan minuman pada Sarah. "Terima kasih."Devan memarkirkan mobilnya di pinggir jalan dan keluar ia berjalan membelikan roti juga teh hangat untuk Sarah. Sarah pindah ke belakang dan Dea yang sekarang pindah ke depan. Devan memberitan roti juga teh hangat untuk Sarah. Tak sengaja Devan menyentuh tangan Sarah. Tangan wanita itu terasa dingin dan gemetar dalam genggaman Devan. Baru kali ini Devan merasa sangat khawatir dan cemas. "Minumlah ini akan menghangatkan tubuhmu."Sarah mengangguk pelan. Dia menarik genggaman Devan.***Tiga puluh puluh menit kemudian mereka memasuki gerbang Villa elite kediaman Pak Adiyasa. Mobil masuk ke halaman sebuah Vila mewah berlantai dua. Devan turun dari mobil, semua mengikuti. Berjalan masuk ke arah bangunan megah itu. Di depan pintu penjagaan seseorang menyapa
Pagi hari selesai Salat Subuh Sarah berjalan ke kamar Tiara dengan menaiki mesin lift besi kotak itu menuju kamar Tiara, karena mereka sudah janjian akan jalan-jalan ke taman komplek dekat rumah tentunya atas ijin Bu Lili juga Dea. "Pagi, Non. Wah sudah siap?'' tanyanya senang. "Sudah dong, Mbak Sarah. Kan kita mau jalan-jalan.""Oke. Sudah Salat?""Sudah.""Oke kita jalan yuk.""Hu um."Mereka berdua berjalan menikmati mentari pagi, kebetulan hari minggu jadi Tiara libur sekolah. Mereka melangkah melewati trotoar di sebelah kiri jalan menuju taman komplek. Suara kicau burung terdengar merdu di pepohonan rindang pinggir jalan. Angin pagi, membuai mereka, tangan Sarah mengandeng Tiara, hingga tak mereka sadari sudah sampai di taman komplek perumahan mewah itu. "Kita sudah sampai, Non."Tiara mengangguk pelan, lalu melepaskan jabatan tangannya. "Eumm pagi ini sejuk aku suka udara pagi Mbak.""Suka?""Banget. Terima kasih sudah mengajak jalan-jalan, Mbak," ucapnya sambil tersenyum"Sa
"Sarah, oh dia baru kemarin datang. Kebetulan Tiara makin bandel jadi adikmu Dea kewalahan. Apalagi kan Dea bantuin kamu kerja. Jadi butuh suster untuk jagain Tiara." "Oh." Devan manggut-manggut ternyata baru kemarin Sarah bekerja di rumah Mamanya. "Cantik dia rajin mama suka. Dan sepertinya Tiara juga nyaman bersamanya." "Semoga saja, Ma." Gejolak bingung terhenti kala Mamanya kembali berbicara. Tidak ingin terlihat tidak sopan, Devan pun menyimak baik-baik ucapan Mamanya. Walaupun itu artinya Devan harus menyingkirkan sejenak tanda tanya yang sebelumnya muncul soal Sarah. Devan berusaha melebarkan bibir guna menciptakan senyum. Rasanya canggung sekali menanyakan soal Sarah lagi. "Wajah kamu agak pucat, Sayang? Kecapekan, ya?" Bu Lili memasang raut khawatir. "Ngak kok, Ma. Aku baik-baik saja." "Baik gimana orang bibir kamu juga kelihatan kering. Kurang minum itu?" "Mama aku baik-baik saja." "Baiklah. Yuk makan." Devan meringis. "Ngak lapar, Ma." "Apa aku minta Bibi untu
Devan bingung apa benar itu Sarah wanita yang selama ini membuatnya dimabuk asmara. "Dev apa kamu masuk kantor hari ini?" tanya Sang Mama. Devan menggeleng. "Malas, Ma.""Lo kok gitu.""Pengen tidur seharian, Ma."Bu Lili mengangkat bahunya. "Oke. Tapi kamu baik-baik saja kan?""Aku baik, Ma.""Ya syukurlah."Melihat keanehan yang saat ini ditampakkan Sarah, ada rasa tak nyaman yang kemudian mulai menyambangi dada Devan. Debaran itu terasa jauh lebih kuat. Devan berusaha tenang sambil mengatur napas. Begitupun dengan Sarah yang merasa sedikit gemetar karena ketakutan. Mereka berdua saling terdiam saling memandang dengan pikiran berkecamuk."Eh Dev kamu mau kan antar Tiara sebentar, soalnya sopir mau anterin Mama keluar." Pinta sang Mama. Devan menatap Sarah sebentar. "Boleh, Ma."Tiara bersorak. "Asyik, tapi. Mbak Sarah ikut antar, kan?"GlekSarah menunduk. Jemarinya meremas ujung jilbab yang ia pakai. Sejujurnya ia sangat ketakutan. "Boleh. Sarah kamu antar Tiara ya, nanti pulan
Sarah hanya mengangguk dan menundukkan kepala. Sedangkan Devan masih fokus dengan ponselnya. "Devan ini lo kenalin dulu."Devan mendongak."Eh iya Ma."Sarah tersenyum dan menundukkan kepalanya kembali. Sekilas sebelum Sarah berbalik, Devan mendongak menatap wanita itu sesaat Devan membeku ia menemukan sepasang mata wanita itu. Sepasang mata teduh yang sudah membuatnya dulu jatuh hati. Beberapa tahun tak bertemu hampir Devan tidak mengenali. Tubuh kuning langsat itu kini tampak lebih menawan. Dengan hijab hampir Devan tak bisa mengenali wajah wanitanya dulu itu. DegDevan menatapannya masih sama menghanyutkan seperti dulu. Cantik wajahnya tak berubah sama sekali selain wajah yang terlihat sedikit dewasa namun tak mengurangi kecantikannya meskipun dengan dandanan sederhana. Sepersekian detik, mereka saling tatap dan Devan memalingkan wajah. Sedangkan Sarah kembali menunduk. Sampai Sarah menjauh pun, pandangannya tidak berhenti mengejar. Devan membeku Dia tak menyangka jika wanita it