Gadis Kotor"Tolong bantu Devan. Sarah," ucap Bu Lili saat Sarah tiba di hadapannya.Sarah menatap Devan dengan satu alis terangkat. Ada banyak luka di wajahnya ada apa dengan laki-laki itu? "Baik, Nyah." Sarah mengangguk. Masih dengan senyum menggantung di kedua sudut bibirnya. Jawaban Sarah membuat Bu Lili mengembuskan napas lega. Tidak bisakah membawanya ke rumah sakit? Kenapa dia? Tapi hanya luka luar Sarah pun paham jika Devan pasti keukeuh tidak ingin mendapatkan pertolongan dari rumah sakit. Sarah akhirnya tidak boleh diam mematung, karena Devan saat ini membutuhkan pertolongannya. Terlebih mereka semua memaksa Sarah untuk melakukannya. Setidaknya Sarah bisa melakukan pertolongan pertama. Meskipun laki-laki itu yang dulu membuatnya hampir gila karena perbuatannya. "Ambilkan saya kain kasa juga kapas Mbak Sari," kata Sarah sambil mendekati sofa. Dan duduk di samping Devan. Wajah Sarah terlihat biasa saja, karena ia sudah terbiasa menangani seperti itu. Sari memberikan bebera
Devan hanya diam, mungkin mengiyakan. Ia lalu meminum obatnya lalu kembali berbaring. Matanya terpejam entah mungkin karena obat sudah beraksi. Sarah menatap wajah laki-laki itu perasaan aneh apa itu, Sarah tekan dalam-dalam dadanya agar tak terasa sesak. "Jangan pergi," cegahnya, dengan mata terpejam"Apa!""Please temani aku sebentar saja."Sarah duduk canggung di sofa. Ternyata semua tak sesulit yang Sarah bayangkan, mengingat perkataan Devan yang begitu menyakitkan kemarin. Kepala Sarah tiba-tiba begitu berat hingga tak ia sadari Sarah tertidur di kursi kamar Devan. Devan menatap Sarah yang lagi tertidur, wanita itu begitu cantik. "Maaf Den. Saya ketiduran." Kata Sarah yang baru saja bangun. Devan tersenyum. Sarah bangkit dan malu bisa-bisanya ia tertidur. Memeriksa suhu badan Devan yang sudah tak demam lagi, dan menganti infus yang telah habis. Ia hanya diam dan sesekali menatapnya penuh tanya. Lelaki itu memandang Sarah."Sampai kapan impusnya dilepas?""Sampai, Anda benar
"Sarah. Devan sudah minum obat?" tanya Bu Lili membuat mereka berdua menoleh.Mereka berdua pun berhenti berjalan karena ada yang memanggil. "Dev sudah makan Sarah?" tanyanya lagi. Sarah menggeleng. "Masih tidur, Nyah.""Lo, kok. Ini sudah agak siang lo""Gak enak, Nyah. Ada Non Zahira di dalam." Sahut Bibi Nik. Bu Lili tersenyum. "Aku temani ke sana ya."Keduanya saling tatap lalu mengangguk. Mereka lalu mengikuti langkah Bu Lili. Sampailah dikamar mereka melihat Zahira masih memeluk tubuh Devan erat. "Dev. Waktunya minum obat." Sarah masih di depan pintu ia tak berani mendekat. "Maaf aku ketiduran, Ma." Devan mengusap-usap matanya. "Gimana sih, kan waktunya minum obat.""Ya, Ma."Hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Satu detik, dua detik hingga beberapa detik. Sarah beranjak masuk, dan Devan bangkit dari tidurnya. Mereka melangkah beriringan mendekati ranjang besar itu. Di sana, terlihat Zahira dengan senyum manisnya tersenyum sinis kearah Sarah. "Peri
Sarah berhenti dan berbalik menatap Zahira yang terus memojokkannya. "Anda memang benar aku adalah wanita murahan, tapi apa masalah Anda padaku, kenapa begitu khawatirnya sama seorang pembantu?""Kau....""Kenapa, Non. Takut dengan seorang pembantu. Tenanglah selera Den Devan bukanlah seorang pembantu sepertiku."Zahira terdiam, ia kalah telak perkataan Sarah membuatnya tak bisa bicara lagi. "Kasihan mulutnya, Non. Dosa jika terus mengumbar kebencian."Sarah berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Zahira yang masih tak percaya dengan ucapan Sarah. "Hah dia ini pembocat lo, bisa-bisanya bicara seperti itu. Sombong sekali dia." Kesal Zahira membanting pintu. Sarah kesal ia duduk di kursi dapur. Seraya memijit kepalanya. "Jangan di dengarkan dan dimasukkan dalam hati, jika Non Zahira bicara, Sarah." Bibi Nik bicara seraya membersihkan dapur. Sarah terdiam menatap ke arah Bibi lalu menaruh nampan di atas wastafel. "Tapi, Non Zahira keterlaluan, Bi.""Iya, Bibi tahu. Tapi mengalah
"Mbak Sarah." Teriak Tiara mendadak menyadarkan Sarah dari lamunan. Tiara muncul di hadapannya membuat Sarah tersadar dari lamunan. Segera Sarah mengalihkan pandangan ke arah taman sekolah, mengusap air matanya yang mengalir deras di pipi. "Mbak kenapa kok nangis?"Tiara duduk sejajar dengan Sarah. "Tidak hanya rindu kampung halaman.""Oh. Tapi yakin Mbak gak apa-apa?"Sarah masih mengelap pipinya yang basah. "Mau makan di mana?" tanya Sarah tanpa sedikit pun mengalihkan tatapan ke arah Tiara di hadapannya. Tiara mendekat dan berbisik di telinga Sarah. "Pengen ikan bakar."Sarah tertawa pelan. "Tapi kita izin Mama kamu dulu ya.""Kalau gak boleh bagaimana, Mbak?" Sarah tersenyum."Mbak akan rayu, Mama kamu."Tiara tertawa dan mengangguk. "Oke."Sarah alu mengambil ponsel dalam tas menghubungi majikannya. "Halo, Non Dea." Sapa Sarah usai menempelkan ponselnya ke telinga."Iya, Sarah. Ada apa?""Maaf, Non Tiara minta Ikan bakar, Non. Apa boleh mampir ke lesehan?""Boleh Sarah.""Ya
"Apa Sarah?" tanya Sari seperti mendengar sesuatu yang keluar dari mulut Sarah. Sarah terhenyak. "Eh tidak apa-apa, Mbak Sari. "Jangan banyak melamun. Gak bagus lo." Sarah tersenyum. "Iya aku tahu." "Tuh Abang sayurnya udah datang." "Heumm." Sarah membantu Mbak Sari belanja di Mamang sayur depan rumah, netranya tertuju pada sepasang suami istri yang duduk di balkon kamar. Sarah tahu betul siapa wanita yang duduk di dekat Devan itu adalah istrinya. Wanita berambut sebahu itu sedang memeluk erat lelaki di sampingnya. "Sarah kamu kenapa?" tanya Sari lagi saat melihat Sarah bengong. "Enggak kenapa-napa kok, Mbak." Sarah termangu kembali memilih sayuran untuk diambil. "Ada apa lagi, Sarah? Sepertinya kamu memikirkan sesuatu?" tanya Sari penasaran karena sedari tadi Sarah lebih banyak melamun. "Tak apa-apa, Mbak Sari. Ini sudah semua?" tanya Sarah setelah Sari memberi uang pada Mamang sayur. "Iya sudah yuk. Eh sepertinya, Den Dev begitu perhatian denganmu ya, S
Devan meneguk air mineral, lalu botol kembali ditaruh di atas meja. Seraya menunggu Zahira tertidur. Ia lalu bangkit berjalan memeriksa laci meja kecil di samping tempat tidur dan tidak menemukan obat pereda sakit kepala di sana. Devan berjalan ke arah dapur. "Bi, ada obat pereda sakit kepala?""Ada, Den." Bibi Bik memberikan air putih beserta obatnya. "Makasih Bi.""Sama-sama, Den."Kali ini, Devan mengangkat kepalanya agar lebih tinggi, lalu memaksanya menelan obat yang dibantu dengan dorongan air minum. Devan akhirnya menarik napas lega ketika tadi melihat istrinya sudah terlelap. Tahu bisa ia tinggalkan Devan memutuskan keluar kamar. "Mbok bagaimana dengan Sarah?""Bibi gak tahu pas kejadiannya, Den. Bibi hanya dengar dari Sari.""Oh. Zahira memang keterlaluan.""Non Zahira hanya cemburu, Den." Bibi berdecak baru kali ini Bibi bersuara membuat Devan kagetBibi mendekat seraya memeriksa suhu tubuh Devan dan bersukur saat laki-laki ini mulai mengeluarkan keringat. "Masih sakit
Sampai di kamar Devan duduk di sofa, semalaman Devan tidak bisa tidur nyenyak. Wajah polos Sarah semalam begitu menghantui. Mata sayu, bulu mata lentik, hidung bangir dan bibir tipis yang bila tersenyum menciptakan lesung pipit di belahan pipi kirinya. Devan mengambil ponsel di dalam saku celana semalam ia mencuri foto Sarah yang diambil saat ia tertidur, Devan masih menyimpan dalam aplikasi Facebook dan menguncinya khusus. Ada beberapa foto Sarah yang ia sembunyikan di sana. Sengaja, biar tidak ada seorang pun yang tahu selain dirinya. Dari foto dulu saat masih menjadi sahabat. Dan perasaan itu masih kuat menduduki posisi tertinggi di hatinya hingga saat ini. "Mas!'' Panggilan Zahira menyadarkan Devan yang masih melamun. Belum selesai mengenang masa lalu, Zahira sudah memanggilnya. Cepat Devan mematikan ponselnya.Devan tak menjawab. "Mas dengar gak sih aku ngomong.""Hemm.""Semalam, Mas semalam tak tidur di sini?" Devan tak menjawab. "Dari tadi melamun terus. Mikirin wanita kam
Anak kecil itu sangat lihai berbicara, lebih-lebih menjawab segala pertanyaan Lea. Di sisi lain, Shaka tak pernah merasa minder ataupun bersedih. Tawa dan tangis silih berganti memenuhi rumah sederhana itu. Makin jauh waktu melaju, cerita demi cerita makin berdesakan memenuhi ingatan. Meski Sarah telah lama berteman dengan luka, Sarah membesarkan Shaka dengan kasih sayang tanpa seorang Ayah. Dia begitu setia menanggapi setiap tanya dan keluh anak semata wayangnya itu. Belaian, pelukan, dan tindakan. Setiap kata yang keluar dari mulut Shaka ia selalu menjawabnya dengan baik. Baginya, Shaka adalah bentuk anugrah terindah dari Mahakarya Sang Pencipta. Shaka teramat disayangi dan dididik dengan cara yang baik. Jika Shaka melakukan kesalahan, hal pertama yang Sarah lakukan adalah memberitahu secara baik-baik. Baginya, Shaka adalah sebagian dari dirinya. Karena jika Shaka emosi maka akan cepat pula ia meredam emosinya. "Bunda, teman-teman pondok bilang jika, Shaka tak punya, Ayah?" tanyan
Gilang memutar tubuhnya menghadap ke arah Devan menunduk. Dia tersenyum sinis seperti meremehkan Devan."Mau gimana lagi kau tak pernah menganggapnya ada. Dan kau jarang menyentuhnya, kan?" Sahutnya penuh ejekan. Pria itu tertawa lepas. Dia membenarkan ucapan Devan. Devan tertawa sinis. "Haha selama ini aku seperti orang yang bodoh. Kalian berdua membohongiku.""Tidak seperi itu, Mas." Elak Zahira. Devan terlihat gusar. "Zahira, aku talak kamu, mulai hari ini, pernikahan kita telah selesai.""Mas Devan. Kumohon." Zahira hanya bisa memohon dan meremas jemari seiring hati yang tergores luka karena talak itu. Devan pergi dengan amarah, membanting pintu dengan amat keras. Bayangkan saja Zahira bisa selingkuh darinya dan ia tak tahu. Zahira menatap kesal ke arah Gilang kekasih bayangannya itu. "Pergi dari sini. Aku sudah tidak tertarik lagi padamu!" ucapnya pada Gilang. Gilang tertawa dalam hati. "Kenapa Sayang bukanlah itu benar? Aku bahkan disini untukmu." "Aku bilang pergi!" Bent
Kekasih Bayangan "Mari kita lihat, Ma. Siapa yang salah. Sengaja aku menyuruh Pak Di agar memasang CCTV di setiap sudut kamar.""CCTV?""Ya."Semua berkumpul duduk melihat sebelum kejadian Zahira terpeleset jatuh. Terlihat Zahira menyakiti Sarah di ruang tamu membuat semuanya kaget, semua terdiam menatap layar laptop Dea. "Mbak Sari, suruh Sarah bersihin kamar mandi ya.""Tapi, Non.""Gak ada tapi-tapi lakukan perintah saya."Terlihat di CCTV itu Sari merasa gugup dan kesal. "Gimana sih bukannya, Sarah pulang kampung." Gerutunya. Satu hari sebelum kejadian Zahira mengendap-endap membawa minyak ke arah kamar mandinya sendiri, lalu menyiramkan minyak ke kamar mandi itu dan tertawa keras. "Game over. Lihatlah Sarah kau akan dipecat dari rumah suamiku ini." Bisik Zahira yang masih bisa di dengar dilayar laptopSemua terkejut, Bu Lili memegang dadah, ia baru tahu ternyata wanita pilihannya adalah wanita yang sangat jahat berharap apa yang dilihatnya bohong. Kelakuan Zahira diluar bata
Zahira membuka mata perlahan, kepalanya luar biasa sakit dan berdenyut-denyut parah. Seolah ia baru mengalami mimpi yang tak pernah ia rasakan. Sesaat kepalanya melayang-layang. Dan kembali terlelap, lalu bangun lagi dengan kepala yang begitu berat. Beberapa bagian tubuhnya, bahkan sulit untuk bisa digerakkan. Cahaya terang menerangi matanya. sepertinya hanya ada beberapa lubang angin yang bisa ia lihat. Membuat Zahira kesulitan untuk melihat ruangan lebih jauh. Seperti saat ini ia sedang berbaring lemah ada sesuatu yang menyelimuti tubuhnya. Ia ingin bicara namun tak bisa, karena efek dari obat bius masih bekerja. Zahira mendengar suara tangisan yang memegang tangannya. Ia berusaha sedikit membuka mata dan cahaya terang terlihat, suara ibunya terdengar oleh pendengaran. Tenggorokannya terasa kering Zahira mencoba bersuara dengan pelan. "Zahira, sudah bangun, Nak?" sebuah suara meraih pendengarannya, ia berusaha menggerakkan kepala mencoba mencari asal suara. Dan benar wajah Mamany
Sarah berjalan meninggalkan Zahira yang masih menatapnya kesal, Sarah berjalan ke arah depan berpamitan dengan Bibinya. "Salam buat Shaka." Aang Bibi menepuk pundak Sarah pelan. "Nggeh. Saya berangkat dulu Bi." Pamit Aarah sedih. Wanita paruh baya itu tersenyum. "Ya, hati-hati." "Nggeh, Bi." Setengah jam kemudian guncangan yang Sarah rasakan di bahu, saat sebuah tangan membangunkannya. Pak Di membangunkan Sarah. "Sudah sampai, Mbak." "Eh, ya Pak maaf aku ketiduran." Sarah bergegas mengambil tas dan keluar dari mobil. "Ngak apa-apa. Saya duluan kalau begitu, Mbak." Sarah mengangguk. "Iya terimakasih dan hati-hati." "Ngeh, Mbak." Sesaat Sarah tersadar saat melihat Shaka berlari ke arahnya dengan senyuman termanisnya. "Bunda ...!" "Sayang." Shaka hampir saja menangis."Bunda, Shaka kangen!" "Bunda juga, Sayang. Jagoan Bunda ceria sekali." "Ya kan bisa bareng Bunda lagi." Sarah memeluk putranya lama. Betapa ia sangat merindukan putra kesayangannya. "Pulang yuk se
Lima bulan berlalu Sarah menatap cermin rias. Menatap tubuhnya sendiri yang tampak di bayangan kaca. Meraba wajah, kulitnya tampak putih bersih, rambutnya hitam panjang melewati bahu. Semua orang mengakui tubuhnya mendekati kata sempurna. Sarah hanya terpaku karena kecantikannya tak sebaik kisah cintanya. Sarah menguncir rambutnya lalu memakai pashmina dengan pelan berjalan ke arah luar menuju dapur."Sarah."Sarah berhenti dan menoleh. "Nggeh, Bi.""Emm bisa bantu.""Bisa, Bi.""Bawakan kopi ini untuk, Den Devan dan Tuan ya."Glek. Bahkan sudah hampir lima bulan ini Devan dan mereka kembali menjadi seperti orang asing. Devan pun jarang main ke rumah Mamnya ini. "Tapi.""Tolonglah. Bibi harus belanja di depan tuh."Sarah menganggukkan kepala. "Ya, deh."Namun, ada rasa resah yang bersemayam dihati. Kemudian Sarah mengingatkan dirinya bahwa memang sudah seharusnya bisa mulai membiasakan diri. Berjuang untuk dirinya dan juga Shaka putranya. "Sarah, tidak semua orang jahat. Banyak oran
Devan menaruh ponselnya tergeletak di meja kamar ia bangkit dari duduknya dan mengambil baju ganti di lemari. Selesai ia turun duduk disofa seraya menikmati secangkir kopi buatan Bibi Nik. "Sayang!" Bu Lili datang memeluk putranya. Wajahnya terlihat bahagia. "Mama."Wanita cantik di usia yang tidak lagi muda itu tidak menjawab. Dia hanya menggeleng sambil terus memeluk putranya itu. "Mama kapan datang?""Baru saja. Bagaimana keadaan Sarah?"Devan tersenyum. "Baik. Sudah pulang tadi pagi.""Syukurlah.""Mama gantian peluknya." Lea mendengus pelan. Karena wanita cantik itu juga baru pulang kuliah di luar negeri. Yang tentunya juga sangat merindukan sang kakak. Lea adalah adik bungsu Devan yang selama ini kuliah jauh, hampir beberapa tahun mereka tak saling bertemu. Devan tertawa dan melepaskan pelukan sang Mama. "Sini!" Devan tersenyum. Lea berhambur memeluk kakaknya. "Aku rindu, Mas.""Lancar kuliahnya?""Alhamdulillah lancar, hanya ada beberapa yang sulit dimengerti, tapi oke si
"Ya sih tapi aku terlanjur benci sama dia. Dia merebut hati Papa dari Mamaku."Saga membelalakan kwdua matanya. "Why! Sarah menolak, kan?"Zahira terdiam. "Sesuatu yang buruk dari awal, apalagi di lakukan dengan cara kebohongan dan licik akan menghancurkan orang itu sendiri, Zahira." Zahira tersenyum licik. "Baiklah akan aku lakukan sendiri, aku yang akan atur dan aku pastinya nanti Sarah akan di pecat dari rumah mertuaku."Saga menatapnya tajam. "Kau wanita licik. Ingat ya jika terjadi sesuatu dengan Sarah aku tak akan memaafkanmu."Zahira menatap ke arah Saga kesal. "Hah, heran sekali aku apa kelebihan wanita itu hingga semua orang ingin melindunginya.""Karena dia punya hati yang baik.""Bedebah. Aku benci dia.""Semoga alasannya karena kamu telah jatuh cinta pada Devan, bukan karena hal lain juga embel-embel soal Papamu yang bahkan dari awal Sarah sudah menolaknya." Sindirnya. "Tetap saja dia wanita penggoda.""Terserah aku tekankan jangan membuat Sarah terluka. Jika tidak kam
Saga meneliti penampilan Sarah beralih melihat sekilas Devan. Pria itu terlalu tampan untuk menjadi saingannya. Saga merasa kesal karena Sarah tetap memilih dan masih saja percaya dengan Devan lelaki yang jelas-jelas menyakitinya. Begitupun Devan ia tidak nyaman karena kehadiran Saga. Ah, Devan merasa cemburu dan segera menepis pemikiran aneh yang sempat melintas. Mana mungkin Sarah akan menjalin hubungan dengannya? Bahkan setelah beberapa tahun ini Sarah juga masih sendiri. "Saya titip, Sarah. Pastikan dia baik-baik saja, jika tidak aku akan mengambilnya menjauh darimu."Satu alis Devan terangkat. Pria itu memintanya menjaga Sarah? Tanpa pria itu minta pun, tentu saja akan Devan lakukan karena sudah menjadi tugasnya. Lagian pertemanan mereka berdua dulu begitu akrab kenapa Saga berubah menjadi sosok yang menyebalkan. "Kamu tenang saja. Saya akan menjaga Sarah lebih dari menjaga diri saya sendiri."Saga manggut-manggut tak percaya. "Semoga bisa dipercaya ucapanmu."Devan hanya diam.