"Sarah. Devan sudah minum obat?" tanya Bu Lili membuat mereka berdua menoleh.Mereka berdua pun berhenti berjalan karena ada yang memanggil. "Dev sudah makan Sarah?" tanyanya lagi. Sarah menggeleng. "Masih tidur, Nyah.""Lo, kok. Ini sudah agak siang lo""Gak enak, Nyah. Ada Non Zahira di dalam." Sahut Bibi Nik. Bu Lili tersenyum. "Aku temani ke sana ya."Keduanya saling tatap lalu mengangguk. Mereka lalu mengikuti langkah Bu Lili. Sampailah dikamar mereka melihat Zahira masih memeluk tubuh Devan erat. "Dev. Waktunya minum obat." Sarah masih di depan pintu ia tak berani mendekat. "Maaf aku ketiduran, Ma." Devan mengusap-usap matanya. "Gimana sih, kan waktunya minum obat.""Ya, Ma."Hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Satu detik, dua detik hingga beberapa detik. Sarah beranjak masuk, dan Devan bangkit dari tidurnya. Mereka melangkah beriringan mendekati ranjang besar itu. Di sana, terlihat Zahira dengan senyum manisnya tersenyum sinis kearah Sarah. "Peri
Sarah berhenti dan berbalik menatap Zahira yang terus memojokkannya. "Anda memang benar aku adalah wanita murahan, tapi apa masalah Anda padaku, kenapa begitu khawatirnya sama seorang pembantu?""Kau....""Kenapa, Non. Takut dengan seorang pembantu. Tenanglah selera Den Devan bukanlah seorang pembantu sepertiku."Zahira terdiam, ia kalah telak perkataan Sarah membuatnya tak bisa bicara lagi. "Kasihan mulutnya, Non. Dosa jika terus mengumbar kebencian."Sarah berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Zahira yang masih tak percaya dengan ucapan Sarah. "Hah dia ini pembocat lo, bisa-bisanya bicara seperti itu. Sombong sekali dia." Kesal Zahira membanting pintu. Sarah kesal ia duduk di kursi dapur. Seraya memijit kepalanya. "Jangan di dengarkan dan dimasukkan dalam hati, jika Non Zahira bicara, Sarah." Bibi Nik bicara seraya membersihkan dapur. Sarah terdiam menatap ke arah Bibi lalu menaruh nampan di atas wastafel. "Tapi, Non Zahira keterlaluan, Bi.""Iya, Bibi tahu. Tapi mengalah
"Mbak Sarah." Teriak Tiara mendadak menyadarkan Sarah dari lamunan. Tiara muncul di hadapannya membuat Sarah tersadar dari lamunan. Segera Sarah mengalihkan pandangan ke arah taman sekolah, mengusap air matanya yang mengalir deras di pipi. "Mbak kenapa kok nangis?"Tiara duduk sejajar dengan Sarah. "Tidak hanya rindu kampung halaman.""Oh. Tapi yakin Mbak gak apa-apa?"Sarah masih mengelap pipinya yang basah. "Mau makan di mana?" tanya Sarah tanpa sedikit pun mengalihkan tatapan ke arah Tiara di hadapannya. Tiara mendekat dan berbisik di telinga Sarah. "Pengen ikan bakar."Sarah tertawa pelan. "Tapi kita izin Mama kamu dulu ya.""Kalau gak boleh bagaimana, Mbak?" Sarah tersenyum."Mbak akan rayu, Mama kamu."Tiara tertawa dan mengangguk. "Oke."Sarah alu mengambil ponsel dalam tas menghubungi majikannya. "Halo, Non Dea." Sapa Sarah usai menempelkan ponselnya ke telinga."Iya, Sarah. Ada apa?""Maaf, Non Tiara minta Ikan bakar, Non. Apa boleh mampir ke lesehan?""Boleh Sarah.""Ya
"Apa Sarah?" tanya Sari seperti mendengar sesuatu yang keluar dari mulut Sarah. Sarah terhenyak. "Eh tidak apa-apa, Mbak Sari. "Jangan banyak melamun. Gak bagus lo." Sarah tersenyum. "Iya aku tahu." "Tuh Abang sayurnya udah datang." "Heumm." Sarah membantu Mbak Sari belanja di Mamang sayur depan rumah, netranya tertuju pada sepasang suami istri yang duduk di balkon kamar. Sarah tahu betul siapa wanita yang duduk di dekat Devan itu adalah istrinya. Wanita berambut sebahu itu sedang memeluk erat lelaki di sampingnya. "Sarah kamu kenapa?" tanya Sari lagi saat melihat Sarah bengong. "Enggak kenapa-napa kok, Mbak." Sarah termangu kembali memilih sayuran untuk diambil. "Ada apa lagi, Sarah? Sepertinya kamu memikirkan sesuatu?" tanya Sari penasaran karena sedari tadi Sarah lebih banyak melamun. "Tak apa-apa, Mbak Sari. Ini sudah semua?" tanya Sarah setelah Sari memberi uang pada Mamang sayur. "Iya sudah yuk. Eh sepertinya, Den Dev begitu perhatian denganmu ya, S
Devan meneguk air mineral, lalu botol kembali ditaruh di atas meja. Seraya menunggu Zahira tertidur. Ia lalu bangkit berjalan memeriksa laci meja kecil di samping tempat tidur dan tidak menemukan obat pereda sakit kepala di sana. Devan berjalan ke arah dapur. "Bi, ada obat pereda sakit kepala?""Ada, Den." Bibi Bik memberikan air putih beserta obatnya. "Makasih Bi.""Sama-sama, Den."Kali ini, Devan mengangkat kepalanya agar lebih tinggi, lalu memaksanya menelan obat yang dibantu dengan dorongan air minum. Devan akhirnya menarik napas lega ketika tadi melihat istrinya sudah terlelap. Tahu bisa ia tinggalkan Devan memutuskan keluar kamar. "Mbok bagaimana dengan Sarah?""Bibi gak tahu pas kejadiannya, Den. Bibi hanya dengar dari Sari.""Oh. Zahira memang keterlaluan.""Non Zahira hanya cemburu, Den." Bibi berdecak baru kali ini Bibi bersuara membuat Devan kagetBibi mendekat seraya memeriksa suhu tubuh Devan dan bersukur saat laki-laki ini mulai mengeluarkan keringat. "Masih sakit
Sampai di kamar Devan duduk di sofa, semalaman Devan tidak bisa tidur nyenyak. Wajah polos Sarah semalam begitu menghantui. Mata sayu, bulu mata lentik, hidung bangir dan bibir tipis yang bila tersenyum menciptakan lesung pipit di belahan pipi kirinya. Devan mengambil ponsel di dalam saku celana semalam ia mencuri foto Sarah yang diambil saat ia tertidur, Devan masih menyimpan dalam aplikasi Facebook dan menguncinya khusus. Ada beberapa foto Sarah yang ia sembunyikan di sana. Sengaja, biar tidak ada seorang pun yang tahu selain dirinya. Dari foto dulu saat masih menjadi sahabat. Dan perasaan itu masih kuat menduduki posisi tertinggi di hatinya hingga saat ini. "Mas!'' Panggilan Zahira menyadarkan Devan yang masih melamun. Belum selesai mengenang masa lalu, Zahira sudah memanggilnya. Cepat Devan mematikan ponselnya.Devan tak menjawab. "Mas dengar gak sih aku ngomong.""Hemm.""Semalam, Mas semalam tak tidur di sini?" Devan tak menjawab. "Dari tadi melamun terus. Mikirin wanita kam
Sarah ke mini market terdekat. Mendorong pintu kaca memasuki mini market. Membeli roti juga air mineral juga susu pesanan Tiara untuk bekal makan siang. Dia sudah menenteng satu botol air mineral juga beberapa snack."Ada lagi, Mbak?" tanya Mbak kasir seraya menerbitkan senyum ramah."Sudah."Sarah membayarnya dan kembali berjalan ke arah jalan raya berniat ingin menyebrang namun kendaraan masih ramai. Dirasa sudah sepi Sarah menyeberang. Langkahnya hampir sampai di pinggir suara klakson mengagetkannya. Bahkan ia baru mencapai pinggir jalan ketika merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Devan menginjak pedal rem, dengan panik ia melihat seseorang di depan mobilnya sedang terjatuh. "Astaga! Apa itu manusia?" tanya Devan cemas. Devan panik membuka pintu dan berlari ke arah depan, jantungnya naik turun, Usai menarik napas, Devan melihat gadis menunduk dengan memegangi kepalanya ia ketakutan. "Maaf aku tak sengaja, Nona." Kata Devan. Tapi Devan kaget, sepertinya Devan mengenali wan
Sarah menyerahkan roti dan air mineral pesanan Tiara. "Emm, ini pesanan Non Tiara bagimana, Den?""Kamu dimobil saja. Biar aku yang antarkan.""Yakin ngak ngrepotin, Den."Devan tersenyum. "Tidak."Lima menit berlalu, Devan sudah kembali dan mengajak Sarah pulang. Sarah duduk di samping kemudi, Devan memakaikan seatbelt, dada Sarah berdebar kencang saat muka Sarah dan muka Devan hanya berjarak beberapa centi saja. Gugup seketika menyerang tatkala aroma wangi tubuh Sarah tercium oleh penciuman Devan. Wanita itu tak bisa berkutik, tubuhnya mendadak beku. Selesai dengan pelan Devan mundur kemudian memakai seatbelt punyanya sendiri. Lalu hening hanya deru mesin yang terdengar dalam ruangan mobil. Saat di dalam mobil ponsel milik Sarah berdering. "Hallo, Nyonya."''Sarah, maaf jadi saya ada acara dadakan perginya ke rumah Tante Puri kita tunda dulu ya. Aku masih banyak kerjaan.''''Baiklah, Nyonya.''''Kamu naik taksi saja karena Pak Di mengantarkanku, Sarah."''Nggeh, Nyonya.''Bu Lili
"Bunda lihatlah Kak Shaka teleponan sama seorang wanita." Adu Raiyan pada sang Bunda. Sarah tersenyum. "Masa? Benar itu Shaka?" tanya Sarah penasaran karena selama ini Shaka begitu rapat menyimpan teman wanitanya. "Tidak ada. Orang ini teman mengajar aku Bunda. Adek saja yang kepo," jawabannya seraya menunduk. "Itung-itungan buat semangatin kalau ngajar kan, Mas.""Apaan ngak ngak ngak.""Dih. Cakep tau itu fotonya." Goda adiknya Raiyan. Shaka merasa malu. "Adek." Shaka kembali menggendong adik perempuannya Syena. Sarah menggelengkan kepala, "sudah-sudah mungkin Kakak kamu ingin fokus mengajar Raiyan."Raiyan tergelak, jalan pikiran kakaknya Shaka memang lain dari yang lain. Baginya itu sangat menghibur karena ia tipe pendiam, "Ide bagus. Tapi jangan kelamaan jomblo Mas." Godanya seraya menemani Syema bermain. "Raiy sudah jangan ganggu Kakakmu, lihatlah mukanya merah itu." Kata Sarah tersenyum. "Iya iya, Bunda."Shaka menguncir rambut adiknya. ''Bunda Syena dan Syema sudah maka
Devan mengisap dalam-dalam rokoknya, lalu mengembuskannya pelan. Ia menatap istrinya lama. Tatapan mata itu yang dulu selalu berhasil meluluhkan Devan, hingga Devan kalah berulang kali. "Minumlah, Mas!" Sarah membawakan secangkir kopi panas untuk suaminya. "Ya.""Bagaimana tangannya masih linu?'' tanya Sarah pada suaminya lagi. "Lumayan sih."Sarah menggeleng. "Jadi hari ini terakhir kontrol?''"Ya Sayang. Alhamdulillah pen sudah dilepas semua normal tinggal pemulihan saja.''"Alhamdulillah kalau begitu." Sarah duduk didekat suaminya. "Kamu tidak mencintaiku lagi?" Sarah tertawa keras hingga air mata menghentikannya. "Mas."Kekhawatiran berlebih pada sesuatu yang belum terjadi, kerap menimbulkan ketakutan tak beralasan, karena usai jatuh beberapa tahun lalu Devan harus terapi karena tangannya cidera akibat menghindari mobil yang mengarah ke pada dirinya. Sarah mendorong pelan dadanya untuk melepaskan diri dari pelukannya. Tersenyum kaku saat melihat tatapannya yang seolah menunt
Tangan Zahira mengusap cepat air yang tersisa di mata dan pipi. Ia lantas mengulas sebuah senyum, senyum yang bisa Zahira pastikan hanya sebuah kamuflase. Ya, hanya untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Padahal, gurat kesedihan dan kecewa terlihat jelas di wajahnya."Pagi Sayang.""Pagi, Ma.""Bagaimana semalam tidurnya nyenyak?""Eumm.""Syukurlah. Kita lalui ini sama-sama," ucap Mamanya seraya menariknya dalam pelukan. Zahira tahu Mamanya bermaksud menghiburnya, tetapi yang terjadi ia malah kembali menangis, hingga terisak-isak di pelukannya. "Sudah, jangan nangis lagi. Hanya kamu satu-satunya harta Mama.''"Kenapa pas kecelakaan aku tak mati saja, Mama. Kenapa harus Joy?" "Hus. Jangan bicara begitu, mungkin Allah punya rencana lain untukmu, Nak."Zahira terdiam. "Sabar ya."Sang Ibu mendorong kursi Zahira ke dekat sofa. "Tapi aku bukan wanita sempurna aku cacat, Mama."''Kamu masih punya Mama. Tenanglah.''Zahira menggelengkan kepala. "Tidak, aku kesepian, Ma.""Sudah, ja
Sekarang apa yang bisa Zahira lakukan selain menjalani hidup tanpa arti, mungkin itu karmanya karena sikap jahatnya selama ini padanya. Mata kini terpejam, segera kembali terbuka ketika mobil sepertinya sudah berhenti di depan rumah. Zahira menyusuri halaman rumah di dorong dengan kursi roda, oleh bodyguard sekaligus sopir kiriman Papanya tiga tahun lalu. "Deri, apa aku terlalu buruk?" tanyanya tidak sanggup lagi menahan ucapan. Ada yang menekan keras hati di dalam sini, seluruh sendi seakan lepas dari pengait. "Siapa yang bilang, Non?" tanya balik Deri pada majikannya itu. "Aku. Aku bahkan wanita tak berguna juga wanita jahat, aku telah menyakiti banyak orang.""Non semua orang punya masa lalu.""Aku lelah bolak-balik berobat ke Singapore tapi sepertinya tak ada hasil."Deri menatapnya lembut, terlihat dia tersenyum. "Karena bolak-balik itu akan membuat, Non bisa berjalan lagi."Zahira menunduk karena tidak kuasa menahan rasa bersalah, merasa malu telah berbuat semena-mena dengan
Tiga tahun kemudian. Perjalanan pulang dari Singapura terasa panjang dan melelahkan. Bandara Soekarno Hatta yang selalu ramai juga jalanan Jakarta yang padat, menyambut kedatangan Zahira seperti sekarang ini. Sudah hampir satu tahun belakangan ini Sarah mondar-mandir Jakarta-Singapura. Demi pengobatan kakinya yang lumpuh karena tak bisa jalan. Zahira menghela napas panjang. Mematikan layar ponsel dan memasukannya ke tas yang ia kenakan. Di dorong Deri sang bodyguard dengan kursi roda itu membuatnya muak dan putus asa, ia menangis hampir setiap saat. Zahira memejamkan mata lelah dan berat. Teringat terakhir kali mereka bertemu Devan di kantor sehari setelah Zahira mengalami kecelakaan hebat, Karena Zahira ingin menabrak Devan hingga dirinya terbanting sendiri bahkan rekan kerja juga sahabatnya Joy meninggal di tempat. Berdua duduk berdampingan siang itu, Zahira mulai berkeluh kesah. Mulai menyesali diri, mengutuki diri karena kematian Joy sahabatnya. Masih Zahira ingat perkataan Devan
"Sayang sudah siap?'' tanya Devan selesai sarapan. "Sudah, Mas.""Mau diantar ke Apotek apa ke rumah Mama.""Kerumah Mama Lili sebentar boleh gak?""Boleh.""Yakin Mas gak telat.""Enggak Sayang."Sarah tersenyum mencium pipi suaminya. "Makasih Mas.""Sama-sama. Yuk." Devan berjalan membukakan pintu mobil. Kebetulan Raiyan sudah dibawa Bu Selin tadi pagi, kini giliran Sarah ke apotek untuk meninjau ada beberapa obat-obatan datang hari ini. "Kamu suka ini, Sayang?" tanya Devan sembari menyodorkan sebuah cincin ketika mobil belom berjalan. Mata Sarah berbinar. "Ini bagus sekali, Mas! Tapi, ini....""Tapi, kenapa?""Dalam rangka apa memberikan ini?''"Biar aku pasangkan."Ada sebuah rasa haru tersemat dalam hatinya. Lelaki di hadapannya ini memang luar biasa. Selama pernikahan selalu Devan memberikan kejutan-kejutan kecil. "Cantik sekali." Kata Devan seraya tersenyum. Entah mengapa matanya Sarah malah tiba-tiba basah karena terharu. "Sayang, Kamu tidak menyukai cincinnya, atau kek
Selesai mengabari orang tuanya Devan berbelok di sebuah toko bunga. "Silakan, Tuan." Penjual bunga itu tersenyum dengan ramah. "Mau cari buat kekasih?" tanya sang pelayanan itu. "Bukan, istri." Devan menjawab. "Untuk istri bagusnya yang mawar putih, Tuan.""Boleh," balas Devan. Lalu Devan mengambil setangkai mawar putih untuk dibayar setelahnya Devan pergi. Devan tahu Sarah bukan gadis yang menyukai sesuatu yang berlebihan. Pernah memprotes saat Devan terus membelikan buket setiap hari dan Sarah menolaknya saat itu. Setelah itu, Devan tak pernah membelikannya lagi.Devan sangat bersyukur. Kadang, rasanya begitu bangga bisa di beri kesempatan kedua oleh Sarah. Bangga dan Devan tak ingin kehilangan. Berharap hingga menua nanti.Setelah memarkirkan mobil, Devan masuk melangkah menuju kamar mereka. "Sayang belom tidur?""Nggak bisa tidur, aku ingat kejadian tadi pagi saja," jawabnya. Devan tersenyum sekilas. Lalu duduk di kursi di depan Sarah. "Sudah ya. Semuanya baik-baik saja."S
Setelah Devan mendapatkan perawatan di kepalanya, Devan kembali ke runagan IGD mondar-mandir menunggu hasil pemeriksaan Dokter. Setelah tenang ia duduk lantunan do'a terus ia ucapkan memohon kesembuhan untuk istri tercinta. Diiringi air mata, Devan meratap, segala dzikir dan do'a dilafadz. Berharap keajaiban yang selalu diyakininya. Jika hamba meminta, Allah akan mengabulkan.Kali ini Devan panik melihat ke arah kanan ada beberapa pengunjung tertidur di bangku panjang. Devan duduk lalu berdiri mematung, Hati Devan begitu terguncang melihat pemandangan yang ada di depannya saat itu. Betapa tidak istrinya pingsan karena kejadian tadi. Tiba-tiba ponsel Devan berbunyi. "Ya.""Penyebab kebakaran, dugaan sementara oleh pihak Kepolisian korsleting listrik, Den" ''Yakin karena korsleting listrik? Aku minta selidiki lagi.""Baik, Den.""Aku gak mau tahu, cari penyebabnya."Devan mengepalkan tangannya ia ceroboh kenapa bisa ia kecolongan soal ini. Hampir saja nyawa istri dan anaknya terenggut
Si Mbok dan si Mbak berlari ke arah kamar Sarah setelah melihat kebakaran dari depan bagian bagasi rumah majikannya. "Kamu cek pintu keluar yang disamping biar aku panggil Non Sarah.''"Baik, Mbok."Wanita muda itu berlari ke arah samping rumah yang masih aman dari kobaran api. "Non Sarah, kebakaran!!" Si Mbok mengedor pintu kamar Sarah. "Non buka pintu, ayo keluar!" Lagi dengan kencang dan panik si Mbok menggedor pintu. Udara sejuk dari pendingin udara berganti jadi panas membara tiba-tiba. Sarah tersentak saat suara teriakan terdengar dari luar rumah memekakkan telinga. Jeritan bersahutan si Mbok dan Mbak itu terus menerus, begitu juga asap menghitam yang memenuhi ruangan. "Non buka pintu!" ucap si Mbok sambil terus batuk-batuk. Sesuatu menyekat pernapasannya. Kian lama rumah kian gelap, anehnya, celah di atas pintu depan rumah memancar cahaya merah yang menyala-nyala. "Ya Mbok.'' Sahut Sarah dari dalam. "Non kebakaran! Ayo cepat.''"Apa. Kebakaran!! Den Dev sudah berangkat?