Sarah menyerahkan roti dan air mineral pesanan Tiara. "Emm, ini pesanan Non Tiara bagimana, Den?""Kamu dimobil saja. Biar aku yang antarkan.""Yakin ngak ngrepotin, Den."Devan tersenyum. "Tidak."Lima menit berlalu, Devan sudah kembali dan mengajak Sarah pulang. Sarah duduk di samping kemudi, Devan memakaikan seatbelt, dada Sarah berdebar kencang saat muka Sarah dan muka Devan hanya berjarak beberapa centi saja. Gugup seketika menyerang tatkala aroma wangi tubuh Sarah tercium oleh penciuman Devan. Wanita itu tak bisa berkutik, tubuhnya mendadak beku. Selesai dengan pelan Devan mundur kemudian memakai seatbelt punyanya sendiri. Lalu hening hanya deru mesin yang terdengar dalam ruangan mobil. Saat di dalam mobil ponsel milik Sarah berdering. "Hallo, Nyonya."''Sarah, maaf jadi saya ada acara dadakan perginya ke rumah Tante Puri kita tunda dulu ya. Aku masih banyak kerjaan.''''Baiklah, Nyonya.''''Kamu naik taksi saja karena Pak Di mengantarkanku, Sarah."''Nggeh, Nyonya.''Bu Lili
Perempuan berwajah cantik itu masih diam, menatap keluar kaca mobil. Lelehan air mata sesekali meluncur di pipi mulus Sarah karena ia rindu Shaka andai ia tahu tentang ayahnya, andai Shaka ikut dalam satu mobil betapa bahagianya dia. Hanya saja tak ada satu kalimat pun yang keluar dari bibir Sarah ia akan tetap merahasiakannya dari keluarga Devan. Karena Zahira beberapa kali mengalami semacam pendarahan di usia kandungannya yang masih muda. Devan fokus menyetir bicara memang mudah nyatanya menerima kenyataan itu sangatlah sulit. Devan masih menyetir di samping Sarah. Devan memalingkan wajah dari pemandangan menyedihkan di sebelahnya. Alunan lagu cinta luar biasa dari Andmesh Kameleng mengalun begitu romantis dari mobilnya. Wajah Sarah masih setia menandang keluar melihat lalu lalang kendaraan, sesaat Sarah tersadar dan mulai menatap Devan yang terlihat begitu tenang. "Den.""Emm.""Bagaimana dengan jadwal pekerjaan Den Devan yang padat, apakah tak mengganggu?"Devan mengulum senyum.
Malam makin Larut, Devan menyeruput kopi, seraya menatap bintang yang bertebaran di langit, wajahnya mendongak ke atas menatap langit. Dengan sebatang rokok ditangan berkali-kali Devan menghembuskan asap keatas. Ada sesuatu yang hilang di dalam, rasa yang telah Devan tahan begitu lama. Rasa yang kerap ia terhempas oleh kekecewaan atas sikap kebaikan Sarah, ya Devan merindu. Rindu wanita itu. Devan sadar ada Zahira diantara mereka, dan wanita itu sangat berbahaya karena ambisinya yang begitu menginginkannya. Devan ingat jika Zahira mampu membujuk Mama dan Papanya untuk menikahinya meskipun beberapa kali Devan menolaknya. Devan masih mengingat dengan jelas setiap kata yang diucapkan Sarah tadi. "Nggak ada yang baik di dunia ini, Den.""Aku baik, kok."Sarah tertawa. "Siapa?""Aku lah. Aku yang selalu baik dan menyukaimu."Sarah hanya tertawa. Sesaat Devan menyadari bahwa hatinya sudah terbagi dengan Zahira. Entah karena nyaman, atau karena memang perjodohan dari sang Mama. Sedangka
"Apa susahnya, jebak dia buat dia seolah-olah bersalah biar dipecat oleh Lili.""Apa, apa aku tak salah dengar, Ma? Apa itu perlu.""Perlu lah. Itu cara satu-satunya, agar ia tersingkir dari rumah itu. Zahira."Sesaat mereka saling tatap. "Aku terlalu lambat, Mas Devan pernah bilang jika ia jatuh cinta dengan seorang wanita, maka dia akan meninggalkan aku, Ma.""Enak saja dia mau mempermainkan kamu. Gak gak bisa dibiarkan ini.""Aku tak salah duga, Ma. Aku tahu jika Mas Devan orangnya tak mudah jatuh cinta tapi aku merasa beda jika ia menatap pembantu itu.""Secantik apa sih pembantu itu?""Jujur memang cantik sih, kalem lagi. Padahal gak dandan dia.""Jebak dia. Dan kamu akan kembali ke hati Devan lagi, dan kau akan puas jadi satu-satunya milik Devan." Jelas wanita paruh baya itu. "Tak semudah itu, Ma.""Jangan egois, sebelum suamimu benar-benar diambil oleh pembantu itu." Tekannya. "Mama benar.""Makanya semangat."Zahira tersenyum ya bebar ucapan Mamanya semuanya benar. ***Su
"Lepaskan." Dengan kuat Sarah menginjak kaki Devan. "Auhhh.""Sarah." Namun gerakan Sarah lebih cepat dari tangkapan tangan Devan. Sarah mendorong tubuh Devan dengan cepat ia berlari meninggalkan Devan yang baru saja mencium bibirnya lama. Sarah berlari entah kenapa ia tak menolak ciuman itu. Ciuaman yang membuatnya bergetar tak karuan. "Sial."Devan kesal ia gagal meyakinkan Sarah kembali Devan ke lantai bawah seraya duduk di sofa. "Sore Sayang.""Sore, Ma."Bu Lili duduk di samping Devan. "Mana Zahira. Sudah dua hari tak kelihatan?" tanya sang Mama. "Mungkin sedang refresing biar ngak cepat tua, Ma.""Dev."Bu Lili menarik napas. "Mama merasa bersalah sama kamu, sepertinya Mama salah memilih menantu, Dev.""Sudahlah, Ma. Mau bagaimana lagi adanya itu." Devan menimpali. "Harusnya dia lebih menjagamu bukannya malah pergi seenaknya saja begitu. Istri macam apa itu tak bisa merayu hati suaminya.""Ya kan, bebet, bibit, bobotnya tidak menjamin kebahagiaan seseorang. Juga tak bisa m
Pagi hari, fajar mulai muncul dari ufuk timur. Sarah membantu Bibi Nik memasak untuk sarapan, selesai ia bergegas membersihkan diri untuk mengurus Tiara. Juga mengantarnya ke sekolah. Selesai menyuapi Tiara sarapan, Sarah beranjak mengambil sandal jepit juga tas Tiara. Lalu berjalan mendekati Tiara yang sudah menunggunya. "Non, kita berangkat ya?" Tiara mengangguk. "Iya, Mbak.""Bekalnya sudah di masukkan dalam tas?""Sudah, Mbak.""Ok kita berangkat."Tiara tersenyum. "Siap."Saat mereka mau keluar halaman ada mobil berhenti di depan Sarah juga Tiata Tapi sepertinya bukan Pak Di yang menjemput. "Pagi, Sarah. Tiara.""Pagi, Den.""Saya di suruh jemput, katanya Pak Di masih sibuk."Sarah dan Tiara saling tatap. "Beneran, Om?""Iya."Mereka kali ini diantar oleh Reno. Karena Pak Di mengantarkan Bu Lili harus segera berangkat pagi karena ada pertemuan dengan seseorang. "Den Reno Maksih banyak sudah mengantar.""Sama-sama, Sarah."Sarah dan Tiara keluar mobil. Sedangkan mobil Reno ber
Semua yang berada di meja makan sedang menikmati makan siang. Dan Sarah menyuapi Tiara. "Siang semuanya." Zahira datang diantara mereka. "Sudah puas jalan-jalannya?" tanya mertuanya sedikit menekan kalimatnya. "Puas banget Ma. Apalagi pemandangannya bagus banget," jawabnya. Hening, hanya terdengar riuh denting sendok beradu dengan piring. Zahira menatap sinis ke arah Sarah setelahnya ia mencari celah untuk memulai."Jadi aku bawain oleh-oleh udang kesukaan Mama."Bu Lili merasa kesal dengan Zahira dan masih terdiam. "Tumben banget memberi oleh-oleh. Ada sesuatu yang kamu inginkan?" tanya Dea sinis. "Jangan menuduh di depan makanan. Tak baik, Dea." Dea menggeleng. Malas melihat keadaan drama quin lagi. "Asal gak diguna-guna saja tuh udang." Kesal Dea. "Jangan suudzon, Dea."Dea mengulum senyum di balik sendoknya yang terangkat. "Habisnya aneh."Zahira tersenyum jahat. "Ayo Ma dimakan.""Ya." Bu Astuti pun mengambil lalu memakannya. "Ini asli lo dari Singapura, rasanya crispy
"Aden lebih mengenalnya, kan?" Jelas Sarah. Devan terdiam merasa kesal karena Sarah tahu tapi tak menolak. "Kau sangat ceroboh bagaimana jika udang itu membunuhmu?" Sarah hanya tersenyum "Kamu tahu jika Zahira telah kalah satu langkah denganku.""Kalah apanya?" tanya Sarah tak paham. "Kepercayaan keluargaku pada Zahira telah hilang. Meskipun apa yang kau lakukan tadi itu sangat bahaya, Sarah!" Tekan Devan. Sarah hanya tersenyum. "Ini gak lucu. Sarah jangan ulangin lagi.""Sekali-kali biar dia terjebak dengan permainannya sendiri, Den." Jelas Sarah. Mungkin Sarah benar, tapi itu gak lucu. Membuat Devan hampir terkena serangan jantung memikirkannya. "Kau keterlaluan tapi ini nyawamu taruhannya.""Hmm, iya."Senyum yang terukir di bibirnya, entah mengapa terasa bak tikaman yang mampu mengoyak rindu. "Oke, tapi jangan diulang lagi. Tuh mukakmu masih bengkak."Sarah tersenyum. "Ini bisa cepat hilang dengan minum madu, Den.""Benarkah?""Hu um.""Baiklah aku belikan dulu."Sarah men
Anak kecil itu sangat lihai berbicara, lebih-lebih menjawab segala pertanyaan Lea. Di sisi lain, Shaka tak pernah merasa minder ataupun bersedih. Tawa dan tangis silih berganti memenuhi rumah sederhana itu. Makin jauh waktu melaju, cerita demi cerita makin berdesakan memenuhi ingatan. Meski Sarah telah lama berteman dengan luka, Sarah membesarkan Shaka dengan kasih sayang tanpa seorang Ayah. Dia begitu setia menanggapi setiap tanya dan keluh anak semata wayangnya itu. Belaian, pelukan, dan tindakan. Setiap kata yang keluar dari mulut Shaka ia selalu menjawabnya dengan baik. Baginya, Shaka adalah bentuk anugrah terindah dari Mahakarya Sang Pencipta. Shaka teramat disayangi dan dididik dengan cara yang baik. Jika Shaka melakukan kesalahan, hal pertama yang Sarah lakukan adalah memberitahu secara baik-baik. Baginya, Shaka adalah sebagian dari dirinya. Karena jika Shaka emosi maka akan cepat pula ia meredam emosinya. "Bunda, teman-teman pondok bilang jika, Shaka tak punya, Ayah?" tanyan
Gilang memutar tubuhnya menghadap ke arah Devan menunduk. Dia tersenyum sinis seperti meremehkan Devan."Mau gimana lagi kau tak pernah menganggapnya ada. Dan kau jarang menyentuhnya, kan?" Sahutnya penuh ejekan. Pria itu tertawa lepas. Dia membenarkan ucapan Devan. Devan tertawa sinis. "Haha selama ini aku seperti orang yang bodoh. Kalian berdua membohongiku.""Tidak seperi itu, Mas." Elak Zahira. Devan terlihat gusar. "Zahira, aku talak kamu, mulai hari ini, pernikahan kita telah selesai.""Mas Devan. Kumohon." Zahira hanya bisa memohon dan meremas jemari seiring hati yang tergores luka karena talak itu. Devan pergi dengan amarah, membanting pintu dengan amat keras. Bayangkan saja Zahira bisa selingkuh darinya dan ia tak tahu. Zahira menatap kesal ke arah Gilang kekasih bayangannya itu. "Pergi dari sini. Aku sudah tidak tertarik lagi padamu!" ucapnya pada Gilang. Gilang tertawa dalam hati. "Kenapa Sayang bukanlah itu benar? Aku bahkan disini untukmu." "Aku bilang pergi!" Bent
Kekasih Bayangan "Mari kita lihat, Ma. Siapa yang salah. Sengaja aku menyuruh Pak Di agar memasang CCTV di setiap sudut kamar.""CCTV?""Ya."Semua berkumpul duduk melihat sebelum kejadian Zahira terpeleset jatuh. Terlihat Zahira menyakiti Sarah di ruang tamu membuat semuanya kaget, semua terdiam menatap layar laptop Dea. "Mbak Sari, suruh Sarah bersihin kamar mandi ya.""Tapi, Non.""Gak ada tapi-tapi lakukan perintah saya."Terlihat di CCTV itu Sari merasa gugup dan kesal. "Gimana sih bukannya, Sarah pulang kampung." Gerutunya. Satu hari sebelum kejadian Zahira mengendap-endap membawa minyak ke arah kamar mandinya sendiri, lalu menyiramkan minyak ke kamar mandi itu dan tertawa keras. "Game over. Lihatlah Sarah kau akan dipecat dari rumah suamiku ini." Bisik Zahira yang masih bisa di dengar dilayar laptopSemua terkejut, Bu Lili memegang dadah, ia baru tahu ternyata wanita pilihannya adalah wanita yang sangat jahat berharap apa yang dilihatnya bohong. Kelakuan Zahira diluar bata
Zahira membuka mata perlahan, kepalanya luar biasa sakit dan berdenyut-denyut parah. Seolah ia baru mengalami mimpi yang tak pernah ia rasakan. Sesaat kepalanya melayang-layang. Dan kembali terlelap, lalu bangun lagi dengan kepala yang begitu berat. Beberapa bagian tubuhnya, bahkan sulit untuk bisa digerakkan. Cahaya terang menerangi matanya. sepertinya hanya ada beberapa lubang angin yang bisa ia lihat. Membuat Zahira kesulitan untuk melihat ruangan lebih jauh. Seperti saat ini ia sedang berbaring lemah ada sesuatu yang menyelimuti tubuhnya. Ia ingin bicara namun tak bisa, karena efek dari obat bius masih bekerja. Zahira mendengar suara tangisan yang memegang tangannya. Ia berusaha sedikit membuka mata dan cahaya terang terlihat, suara ibunya terdengar oleh pendengaran. Tenggorokannya terasa kering Zahira mencoba bersuara dengan pelan. "Zahira, sudah bangun, Nak?" sebuah suara meraih pendengarannya, ia berusaha menggerakkan kepala mencoba mencari asal suara. Dan benar wajah Mamany
Sarah berjalan meninggalkan Zahira yang masih menatapnya kesal, Sarah berjalan ke arah depan berpamitan dengan Bibinya. "Salam buat Shaka." Aang Bibi menepuk pundak Sarah pelan. "Nggeh. Saya berangkat dulu Bi." Pamit Aarah sedih. Wanita paruh baya itu tersenyum. "Ya, hati-hati." "Nggeh, Bi." Setengah jam kemudian guncangan yang Sarah rasakan di bahu, saat sebuah tangan membangunkannya. Pak Di membangunkan Sarah. "Sudah sampai, Mbak." "Eh, ya Pak maaf aku ketiduran." Sarah bergegas mengambil tas dan keluar dari mobil. "Ngak apa-apa. Saya duluan kalau begitu, Mbak." Sarah mengangguk. "Iya terimakasih dan hati-hati." "Ngeh, Mbak." Sesaat Sarah tersadar saat melihat Shaka berlari ke arahnya dengan senyuman termanisnya. "Bunda ...!" "Sayang." Shaka hampir saja menangis."Bunda, Shaka kangen!" "Bunda juga, Sayang. Jagoan Bunda ceria sekali." "Ya kan bisa bareng Bunda lagi." Sarah memeluk putranya lama. Betapa ia sangat merindukan putra kesayangannya. "Pulang yuk se
Lima bulan berlalu Sarah menatap cermin rias. Menatap tubuhnya sendiri yang tampak di bayangan kaca. Meraba wajah, kulitnya tampak putih bersih, rambutnya hitam panjang melewati bahu. Semua orang mengakui tubuhnya mendekati kata sempurna. Sarah hanya terpaku karena kecantikannya tak sebaik kisah cintanya. Sarah menguncir rambutnya lalu memakai pashmina dengan pelan berjalan ke arah luar menuju dapur."Sarah."Sarah berhenti dan menoleh. "Nggeh, Bi.""Emm bisa bantu.""Bisa, Bi.""Bawakan kopi ini untuk, Den Devan dan Tuan ya."Glek. Bahkan sudah hampir lima bulan ini Devan dan mereka kembali menjadi seperti orang asing. Devan pun jarang main ke rumah Mamnya ini. "Tapi.""Tolonglah. Bibi harus belanja di depan tuh."Sarah menganggukkan kepala. "Ya, deh."Namun, ada rasa resah yang bersemayam dihati. Kemudian Sarah mengingatkan dirinya bahwa memang sudah seharusnya bisa mulai membiasakan diri. Berjuang untuk dirinya dan juga Shaka putranya. "Sarah, tidak semua orang jahat. Banyak oran
Devan menaruh ponselnya tergeletak di meja kamar ia bangkit dari duduknya dan mengambil baju ganti di lemari. Selesai ia turun duduk disofa seraya menikmati secangkir kopi buatan Bibi Nik. "Sayang!" Bu Lili datang memeluk putranya. Wajahnya terlihat bahagia. "Mama."Wanita cantik di usia yang tidak lagi muda itu tidak menjawab. Dia hanya menggeleng sambil terus memeluk putranya itu. "Mama kapan datang?""Baru saja. Bagaimana keadaan Sarah?"Devan tersenyum. "Baik. Sudah pulang tadi pagi.""Syukurlah.""Mama gantian peluknya." Lea mendengus pelan. Karena wanita cantik itu juga baru pulang kuliah di luar negeri. Yang tentunya juga sangat merindukan sang kakak. Lea adalah adik bungsu Devan yang selama ini kuliah jauh, hampir beberapa tahun mereka tak saling bertemu. Devan tertawa dan melepaskan pelukan sang Mama. "Sini!" Devan tersenyum. Lea berhambur memeluk kakaknya. "Aku rindu, Mas.""Lancar kuliahnya?""Alhamdulillah lancar, hanya ada beberapa yang sulit dimengerti, tapi oke si
"Ya sih tapi aku terlanjur benci sama dia. Dia merebut hati Papa dari Mamaku."Saga membelalakan kwdua matanya. "Why! Sarah menolak, kan?"Zahira terdiam. "Sesuatu yang buruk dari awal, apalagi di lakukan dengan cara kebohongan dan licik akan menghancurkan orang itu sendiri, Zahira." Zahira tersenyum licik. "Baiklah akan aku lakukan sendiri, aku yang akan atur dan aku pastinya nanti Sarah akan di pecat dari rumah mertuaku."Saga menatapnya tajam. "Kau wanita licik. Ingat ya jika terjadi sesuatu dengan Sarah aku tak akan memaafkanmu."Zahira menatap ke arah Saga kesal. "Hah, heran sekali aku apa kelebihan wanita itu hingga semua orang ingin melindunginya.""Karena dia punya hati yang baik.""Bedebah. Aku benci dia.""Semoga alasannya karena kamu telah jatuh cinta pada Devan, bukan karena hal lain juga embel-embel soal Papamu yang bahkan dari awal Sarah sudah menolaknya." Sindirnya. "Tetap saja dia wanita penggoda.""Terserah aku tekankan jangan membuat Sarah terluka. Jika tidak kam
Saga meneliti penampilan Sarah beralih melihat sekilas Devan. Pria itu terlalu tampan untuk menjadi saingannya. Saga merasa kesal karena Sarah tetap memilih dan masih saja percaya dengan Devan lelaki yang jelas-jelas menyakitinya. Begitupun Devan ia tidak nyaman karena kehadiran Saga. Ah, Devan merasa cemburu dan segera menepis pemikiran aneh yang sempat melintas. Mana mungkin Sarah akan menjalin hubungan dengannya? Bahkan setelah beberapa tahun ini Sarah juga masih sendiri. "Saya titip, Sarah. Pastikan dia baik-baik saja, jika tidak aku akan mengambilnya menjauh darimu."Satu alis Devan terangkat. Pria itu memintanya menjaga Sarah? Tanpa pria itu minta pun, tentu saja akan Devan lakukan karena sudah menjadi tugasnya. Lagian pertemanan mereka berdua dulu begitu akrab kenapa Saga berubah menjadi sosok yang menyebalkan. "Kamu tenang saja. Saya akan menjaga Sarah lebih dari menjaga diri saya sendiri."Saga manggut-manggut tak percaya. "Semoga bisa dipercaya ucapanmu."Devan hanya diam.