“Kau mau membeli putriku untuk semalam?” ucap pria setengah baya pada temannya di halte bus. “Berapa?” “30 juta.” “Kau gila! Mahal sekali.” pekiknya. Pria itu terkekeh. “Ah, kau tidak tau saja. Dia ini istimewa.” “Apa istimewanya?” “Masih perawan,“ bisiknya. Dijual oleh Ayah angkat, diratukan oleh CEO mesum--Michael, membuat Sahira tak bisa lari kemanapun, sebab Michael tak akan pernah melepaskannya. Bagaimana nasib Sahira ditangan Michael yang mesum sekaligus kejam?
View More“Kau mau membeli putriku untuk semalam?” ucap pria setengah baya pada temannya di halte bus.
“30 juta.” “Kau gila! Mahal sekali.” pekiknya. Pria itu terkekeh. “Ah, kau tidak tau saja. Dia ini istimewa.” “Apa istimewanya?” “Masih perawan,“ bisiknya. “Ah, tidak, itu terlalu mahal.” Protes pria kedua, berniat untuk pergi. “Eitts, janganlah buru-buru begitu. Bagaimana kalau 25 juta?” Pria di depannya tampak menimbang. “Em, 10 juta?” “Cih, itu terlalu murah. Anakku itu berbeda, dia sangat cantik, kulitnya putih, tubuhnya seksi. Rugi sekali aku menjualnya padamu hanya sepuluh juta. Pergilah!” Percakapan dua pria gila wanita tak luput dari pendengaran Michael yang tak jauh dari sana. Seorang CEO ternama di perusahaan 'Horisson Steel' itu hanya berdecih. Mendengar seorang ayah yang tega menjual putrinya sendiri. Namun dia juga penasaran dengan putri yang katanya sangat cantik. Michael akhirnya mendekat ke arah pria tua yang terlihat kesal tersebut. “Em, permisi ... aku tadi tak sengaja mendengar, kalau Anda menawarkan putrimu yang masih perawan, betul?” Pria tua itu menoleh dengan cepat, tampak terkejut dan gugup ketika mendapati seorang pria berpakaian rapi berdiri di depannya. Dengan dasi yang tertata sempurna dan setelan jas mahal, Michael memancarkan aura kekuasaan yang membuat siapa pun yang berhadapan dengannya merasa kecil. “Ssttt, jangan keras-keras,” bisik pria tua itu dengan suara tergagap. Dia mengedarkan pandangan, memastikan tak ada yang memperhatikan. “Iya, apa kau mau?” Michael memasukkan tangan ke dalam saku jasnya, tubuhnya tegap dan matanya tak menunjukkan emosi apa pun. Dia memperhatikan pria itu dari ujung kepala hingga kaki, seolah sedang menilai seseorang yang ingin menjual sesuatu di bawah standar. “Kenapa kau menjual putrimu sendiri?” tanyanya dingin. Pria tua itu tertawa kaku, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Ah, kau tak perlu tahu. Itu urusanku. Jadi, kau tertarik atau tidak? Kalau tidak, jangan buang waktuku.” Michael menyipitkan matanya. “Kau menawarkan manusia seperti barang dagangan di tempat umum. Kau pikir aku tidak akan bertanya?” Dia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, suaranya lebih rendah namun mengancam. “Apa putrimu tahu rencana gilamu ini?” Pria tua itu terdiam. Rahangnya mengeras, dan untuk sesaat, matanya menampakkan sesuatu yang lebih dari sekadar keserakahan—mungkin rasa malu, mungkin kebencian. Tapi ia segera menyembunyikan ekspresi itu dengan tawa canggung lagi. “Dengar, ini bukan urusanmu. Jika kau mau, bayar. Kalau tidak, pergilah.” Michael menarik napas panjang, memperlambat gerakannya dengan sengaja. Dia mengeluarkan ponselnya, lalu menatap pria itu sambil mengetik sesuatu. “Berapa harga terakhir yang kau sebut tadi?” “25 juta. Itu sudah murah. Anak saya ... ah, dia sangat cantik, kulitnya putih, tubuhnya sempurna. Kau tidak akan menyesal.” Michael tersenyum tipis, tapi bukan senyum ramah. Ada sesuatu yang dingin dalam tatapan matanya, seolah dia adalah predator yang mengamati mangsanya. “Kalau begitu, aku bayar dua kali lipat.” Pria tua itu membelalakkan matanya. “Lima puluh juta?” Dia hampir tidak bisa menahan antusiasmenya. Namun, sebelum dia bisa bersorak, Michael menambahkan dengan tenang, “Tapi aku ingin melihat langsung siapa yang kau jual.” Pria tua itu terdiam, wajahnya berubah pucat. Bibirnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata yang keluar. Michael tahu dia telah membuatnya terpojok. Setelah beberapa detik yang penuh ketegangan, pria tua itu akhirnya menghela napas. “Baiklah, kalau kau serius, aku akan menunjukkan padamu. Tapi ingat, kau harus membayar dulu.” Michael mengangguk pelan. “Aku akan membayar, tapi hanya setelah aku yakin kau tidak mencoba menipuku.” Nada suaranya tajam. Pria tua itu mengangguk kecil dan berbalik, melangkah ke sebuah gang kecil di belakang halte. Michael mengikutinya dengan langkah pelan namun penuh kewaspadaan. Setiba di lokasi yang telah disebutkan, pria tua bernama Haidar menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah Michael dan mengisyaratkan dengan tangannya agar pria itu bersembunyi di balik tembok yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri. “Itu dia, Tuan. Putriku,” katanya dengan nada bangga sambil menunjuk ke arah seorang gadis yang berdiri di teras rumah kecil. Michael menoleh dengan rasa penasaran. Namun, begitu matanya menangkap sosok gadis itu, dia tertegun. Gadis yang diperkenalkan sebagai putrinya memiliki wajah yang begitu memikat. Kulitnya putih bersih seperti porselen, rambut hitam panjangnya tergerai rapi, dan tubuhnya terlihat anggun meski dibalut pakaian sederhana. Sorot matanya kosong, seperti seseorang yang telah kehilangan harapan, namun keindahan alami dari wajahnya tetap terpancar. Wanita itu benar-benar cantik. Haidar yang berdiri di sebelahnya memperhatikan ekspresi kagum Michael. Ia menyeringai lebar, puas melihat reaksi pria berpakaian rapi itu. “Bagaimana, cantik, bukan?” tanyanya dengan nada penuh kebanggaan. Michael hanya mengangguk pelan. “Ya, sangat cantik,” jawabnya, suaranya terdengar datar meskipun matanya tidak bisa lepas dari gadis itu. Haidar mendekatkan tubuhnya sedikit pada Michael, lalu melanjutkan dengan nada rendah, “Dia bukan putri kandungku, Tuan. Dia hanya putri angkatku, namanya Sahira. Aku merawatnya sejak kecil. Tapi, ya, hidup ini keras. Aku butuh uang, dan aku memiliki putri yang sangat cantik. Rugi sekali kalau tidak dimanfaatkan. Hahaha.” Michael mengalihkan tatapannya dari Sahira, kini menatap Haidar dengan penuh kebencian yang ia sembunyikan di balik wajahnya yang tetap tenang. “Kenapa kau tega menjualnya?” tanyanya dingin. Haidar hanya tertawa kecil. “Ah, Tuan. Kau tidak akan mengerti. Ini semua soal uang. Lagipula, bukankah aku pemiliknya? Dia tinggal bersamaku, aku yang memberinya makan dan pakaian. Aku yang membesarkannya.” “dan sekarang, aku butuh uang, aku juga memiliki putri yang cantik. Rugi kalau tidak dimanfaatkan,” jawabnya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Michael mengepalkan tangannya di dalam saku jasnya, berusaha menahan amarah yang mulai mendidih. Namun, dia tahu bahwa dia harus tetap tenang jika ingin memastikan keselamatan gadis itu. “Jadi, bagaimana, Tuan? Kau mau atau tidak? Kalau tidak, aku akan mencari pembeli lain,” ancam Haidar dengan nada serakah. Michael menarik napas panjang sebelum menjawab. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Aku akan membayarmu 200 juta. Tapi ada satu syarat ...” Haidar terbelalak mendengar jumlah yang disebutkan. “Dua ratus juta?” ulangnya, seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Baiklah, apa itu, cepat katakan?” Michael menatapnya tajam. “Setelah kau menyerahkan gadis itu padaku, kau harus pergi dan tidak pernah lagi mendekati dia. Kau paham?” Haidar mengangguk cepat. “Tentu saja, Tuan! Aku setuju. Besok aku akan mengantarkannya ke tempatmu.” Michael mengeluarkan kartu namanya dari saku jas dan menyerahkannya pada Haidar. “Ini alamat kantorku. Antarkan dia ke sana besok. Tapi ingat,” ia menambahkan dengan nada mengancam, “jangan coba-coba menipuku.” Haidar menatap kartu itu dengan penuh semangat. “Iya, iya, baiklah. Jadi, kapan Anda akan memberikan uangnya?” tanyanya penuh harap. Michael menyeringai. “Antarkan dulu gadis itu ke tempatku. Ada uang, ada barang. Bukankah begitu?” Haidar tertawa kecil meski wajahnya tampak sedikit kesal. “Benar, benar, Tuan. Baiklah, besok saya akan mengantarkannya. Jangan khawatir!” Michael mengangguk singkat dan melangkah pergi. Dia sangat tidak sabar menunggu besok, menanti sang gadis ke dalam pelukannya.“Mommy!”Michael hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sosok wanita paruh baya berwajah anggun dan penuh wibawa itu berdiri di tengah ruang tamunya, mengenakan mantel wol berwarna krem. Wajahnya berseri-seri, seolah kedatangannya adalah hadiah terbesar yang pernah dia siapkan untuk sang putra.“Hai, sayang. Kenapa wajahmu terkejut begitu? Kau tidak suka Mommy pulang?” tanya Evelyn sambil tersenyum, meski ada sorot tajam tersembunyi di balik matanya.Michael yang semula terkejut mencoba memasang wajah ramah. Dia segera berjalan mendekat dan memeluk ibunya erat-erat.“Tidak, bukan begitu. Aku suka Mommy datang. Tapi kenapa Mommy tidak memberi kabar dulu? Aku pasti menjemput Mommy di bandara.”Evelyn terkekeh kecil, mengelus rambut putranya yang sudah lama tak ia sentuh.“Sengaja, ingin memberimu kejutan.”Namun seiring pelukan mereka mereda, pandangan Evelyn langsung beralih ke arah lain—ke arah seorang wanita muda yang berdiri gugup di sudut ruangan. Sahira. Dengan gaun sederh
Tok! Tok! Tok!Hufftt!Michael menghela napas, meskipun tampak tak terlalu terkejut, segera membuka pintu mobil dan berdiri di samping Sahira, memberi jarak di antara mereka dengan pria misterius yang berdiri di samping mobilnya itu.Pria itu tidak segera berbicara, hanya memandang Michael dengan tatapan tajam. Michael mengernyit, tak mengerti siapa orang ini. Dalam diam, pria itu akhirnya membuka mulut, suaranya dalam dan penuh nada peringatan."Michael .... secepatnya kita perlu bicara."Sahira merasakan ketegangan di udara, tubuhnya sedikit menegang. Ada sesuatu yang tidak beres. Michael menatap pria itu dengan lebih seksama, lalu dengan nada rendah menjawab, "Apa yang kamu inginkan?"Pria itu sedikit tersenyum, tapi senyumnya tidak membuat situasi jadi lebih nyaman. "Kita tidak punya banyak waktu," ucapnya, suara itu terasa mengandung ancaman yang samar. "Ada hal-hal yang sedang bergerak di belakang layar. Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu."“Katakan siapa kau?”Michael men
Michael menarik napas panjang sebelum mempersilahkan seseorang itu untuk masuk."Masuk," perintahnya.Kriet!Pintu terbuka.Tampaklah sosok Lucas berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan rapi seperti biasa, namun ada guratan kegelisahan di wajahnya."Maaf mengganggu," ucap Lucas cepat sambil mengangkat setumpuk dokumen di tangannya. "Ini dokumen penting yang harus kau tandatangani hari ini, Bos."Michael hanya mengerling sekilas ke arah dokumen itu. Ia tidak bergeming, tatapannya masih terkunci pada wajah Sahira yang kini tampak kebingungan. Seolah kehadiran Lucas sama sekali tidak penting baginya."Taruh saja di meja," sahut Michael pendek, suaranya dalam dan malas, seakan Lucas hanyalah suara latar yang mengganggu dunianya bersama Sahira.Lucas mengangkat alis, sedikit geli melihat kelakuan bosnya yang biasanya serius dan tak tersentuh, kini seperti pria kasmaran yang tak mau melepaskan pandangan dari wanitanya.Dengan langkah perlahan, Lucas masuk ke ruangan, berusaha tidak meng
Begitu pintu berat ruang rapat terbuka, semua kepala otomatis menoleh. Puluhan pasang mata, dari para dewan elit hingga penasihat senior, mengamati dengan seksama sosok Michael Nathaniel dan Sahira—atau yang lebih dikenal sebagai Nona Alexa J.—melangkah masuk ke dalam ruangan.Yang membuat mereka semua terdiam bukan hanya karena keterlambatan keduanya, tapi karena caranya mereka masuk dengan bergandengan tangan.Michael berjalan dengan penuh percaya diri, menuntun Sahira di sisinya tanpa sedikit pun ragu, seolah-olah dia ingin seluruh dunia tahu bahwa wanita ini adalah miliknya. Sahira sendiri, walaupun wajahnya tenang, sempat membeku sesaat karena sadar akan semua tatapan tajam yang kini menancap seperti panah ke arahnya.Dengan refleks, Sahira melepaskan tangan Michael begitu mereka hampir mencapai meja besar di tengah ruangan. Gerakannya cepat namun tetap terlihat elegan. Dia tidak ingin memperkeruh suasana yang sudah cukup memanas dengan kemunculan mereka.Bisik-bisik kecil mulai
Pagi hari.Cahaya matahari menembus tirai jendela, menyapu lembut wajah Sahira yang masih terlelap dalam balutan selimut tipis. Silau yang menusuk matanya membuat Sahira menggeliat kecil, sebelum akhirnya kelopak matanya terangkat perlahan. Dia mengerjap beberapa kali, menyesuaikan pandangannya pada cahaya pagi yang memenuhi kamar.Saat hendak bergerak, Sahira merasakan sesuatu yang berat melingkar di pinggangnya. Dia menunduk dan mendapati tangan kekar Michael masih erat memeluk tubuhnya. Sahira tersenyum kecil, mengingat betapa keras kepala pria itu untuk sekadar tidur berdua dengannya semalam.Pelan-pelan, Sahira mencoba melepas pelukan itu tanpa membangunkan Michael. Tapi baru saja ia menggeser diri, tangan Michael malah menariknya kembali, membuat tubuh mereka bertemu rapat dan Sahira jatuh ke dalam pelukannya lagi.“Mau ke mana?” gumam Michael, suaranya berat dan serak khas orang baru bangun tidur.Sahira mendesah, mencoba tidak terjebak dengan kehangatan yang menguar dari tubuh
Berita itu menyebar seperti api membakar ilalang kering—cepat, tak terhentikan, dan mengguncang semua pihak. Pagi hari, semua media nasional menayangkan satu headline yang sama.[Michael Nathaniel, CEO Muda Terkaya Asia, Kecelakaan Maut di Tol Selatan!]Rekaman dari drone polisi memperlihatkan mobil sport hitam mewah yang ringsek tak berbentuk, terguling di samping pembatas jalan, dengan serpihan logam dan kaca berserakan di mana-mana. Wajah Michael tak tampak jelas di dalam video, hanya sosok tubuh tergolek tak sadarkan diri yang segera ditandu ke ambulans.***Di Apartemen.Alexa menjatuhkan gelas kristal yang baru saja hendak dia angkat. Air bening dan pecahan kaca berhamburan di lantai, tapi dia tak peduli. Napasnya memburu, dadanya naik turun seperti baru saja berlari maraton.“Tidak mungkin …,” bisiknya pelan, nyaris tanpa suara.Namun berita itu terpampang nyata di layar televisi 70 inci di hadapannya, dengan gambar close-up wajah Michael dari masa lalu dan laporan live dari
Langit malam memayungi kota dengan kelam yang pekat. Awan gelap menggantung, seolah turut merasakan badai yang sedang berkecamuk di dada Michael. Hujan turun rintik-rintik, membasahi jalanan aspal yang licin dan gelap. Namun tak satu pun dari semua itu mampu meredam amarah dan keputusasaan yang mendidih dalam diri pria itu. Dengan napas memburu, Michael memasuki mobil sport hitamnya. Tangannya gemetar saat memutar kunci, tapi begitu mesin meraung, ia langsung menginjak pedal gas sekuat tenaga. Mobil itu melesat di jalanan, memekikkan suara beringas yang seolah mencerminkan isi kepalanya yang penuh amarah. "Bodoh ... Bodoh ...!" desisnya pada dirinya sendiri. Matanya memerah, bukan hanya karena kelelahan, tapi karena sesak yang menghantam dadanya seperti palu godam. Ucapan Sahira terus terngiang di kepalanya. "Aku menolak lamaranmu ..." Kalimat itu terputar berulang kali, menusuk hatinya seperti belati tumpul. Telepon genggamnya bergetar, berdering tak henti-henti. Nama Lucas
Langit gelap tanpa bintang. Udara malam cukup dingin, namun suasana di sekitar apartemen eksklusif itu tetap tenang. Tidak banyak yang tahu kalau Alexa J, investor terkemuka, tinggal di sana.Semuanya serba rahasia. Termasuk keberadaan seorang pria tak dikenal yang kini berdiri di halaman depan gedung itu … hanya mengenakan jubah mandi hotel, dengan dada terbuka, dan rambut acak-acakan karena angin malam.Tangannya memegang seikat bunga mawar merah. Satu sisi jubahnya melorot, tapi dia tidak peduli.Michael Nathaniel.Dengan mata penuh tekad dan sedikit lingkar hitam karena kurang tidur, ia mendongak ke arah jendela lantai tiga dan mulai berteriak.“Sahira!”Hening. Hanya suara angin dan deru AC luar ruangan.Michael coba lagi. Kali ini lebih keras. “SAHIRA ALEXANDER! AKU TAHU KAU ADA DI DALAM!”Beberapa lampu tetangga menyala. Tirai bergeser. Seekor kucing melompat dari balkon ke balkon. Tapi tidak ada Sahira.Sampai akhirnya …Jendela di lantai tiga terbuka perlahan. Sosok berambut
Keesokan hari.Lorong menuju ruang kerja CEO ALX Group sunyi, hanya diisi suara sepatu hak tinggi Sahira yang menghentak lantai marmer. Wajahnya dingin. Pandangannya tajam. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat sesuatu yang tak pernah dia duga.Michael berdiri di depan pintu ruangannya. Bersama seorang pria dari divisi IT. Di tangan Michael, terlihat amplop cokelat yang baru saja diterima si staf—dengan jelas: uang suap.Sahira tak berkata apa-apa. Ia hanya melangkah cepat, mengambil dokumen dari map yang digenggamnya, lalu ... BRUK!Melemparkannya tepat ke wajah Michael.“Apa-apaan ini?!” Suaranya menggema. Semua staf yang lewat menoleh, hening, menahan napas.Michael menatapnya kaget. “Sahira—”“Kau pikir aku ini apa? Masih pelacur di matamu?!” Suaranya bergetar, penuh kemarahan dan luka.Michael mengangkat tangan. “Itu bukan—dengarkan aku dulu—”“Tidak ada yang perlu didengarkan!” bentak Sahira. “Kau menyuap stafku untuk mengakses ruanganku. Kau melanggar privasi dan integritas
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments