Sahira berdiri canggung di dekat pintu kantin, menatap sejenak ke arah menu yang tertulis di papan besar. Harga makanan di sana membuatnya meneguk ludah. Dia merogoh kantongnya dan memandangi lembaran uang yang tersisa hanya 75 ribu rupiah.
“Uangku cuma segini,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam di tengah keramaian kantin. “Kalau aku boros sekarang, bagaimana dengan seminggu kedepan? Mau makan apa aku.” Dia menghela napas panjang, mencoba mencari solusi. Namun, semakin Sahira berpikir, semakin sadar bahwa pilihan terbaik adalah menahan lapar. Sahira membalikkan badan, bersiap meninggalkan kantin dengan langkah lesu. Namun tak lama kemudian, seseorang tiba-tiba mencekal pergelangan tangannya. “Akhh!” Sahira tersentak. Ia menoleh cepat, dan terkejut mendapati sosok Michael berdiri di sana. “Temani aku makan siang,” ucap Michael singkat. Mata Sahira membulat sempurna. Ia tidak menyangka bosnya yang dingin itu akan muncul di sini, apalagi memintanya menemani makan. “A-apa?” ucapnya tergagap. Michael melepaskan tangannya perlahan, tapi tetap menatap Sahira dengan datar. “Aku tidak suka makan sendirian. Temani aku,” ulangnya dengan nada lebih santai. Sahira menatapnya ragu. “Tapi, Pak, saya—” “Tidak ada tapi,” potong Michael. Dia berbalik tanpa menunggu jawaban, lalu melangkah masuk ke dalam kantin dengan percaya diri. Sahira hanya bisa menghela napas. Tidak ada pilihan lain selain menurut. Dengan langkah pelan, ia mengikuti Michael menuju salah satu meja di sudut kantin yang tampaknya sudah disiapkan untuknya. “Duduk,” ujar Michael sambil menunjuk kursi di depannya. Sahira menurut, hatinya berdebar-debar. Ia merasa semua mata di kantin tertuju padanya, terutama dari para karyawan lain yang tampak berbisik-bisik, mungkin karena heran melihat seorang gadis baru seperti Sahira, bisa duduk bersama bos besar mereka. Michael membuka menu di meja dan menatap Sahira yang tampak kikuk. “Pesan apa saja yang kau mau,” katanya datar. Sahira menelan ludah. “T-tidak usah, Pak. Aku sebenarnya tidak terlalu lapar,” jawabnya, mencoba menolak halus. Namun, perutnya tak bisa diajak kompromi. Kukuruyuk! Michael mengangkat alis, tatapannya tajam. “Aku bilang, pesan apa saja. Itu perintah.” Sahira terdiam, merasa tidak punya pilihan lain. Dengan ragu, dia mengambil menu dan memilih makanan paling sederhana yang ada di daftar. “Saya pesan ini saja, Pak,” ujarnya pelan. Michael mengerutkan kening saat melihat pilihan Sahira. “Hanya itu? Kau tidak mau yang lain?” Sahira menggeleng cepat. “Tidak, Pak. Ini sudah cukup.” Michael memandangnya sejenak, lalu memanggil pelayan untuk mencatat pesanan mereka. Setelah pelayan pergi, suasana menjadi sedikit canggung. “Kau tampak gugup,” kata Michael tiba-tiba, memecah keheningan. Sahira tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Mungkin karena ini pertama kalinya saya makan bersama Bos,” jawabnya jujur. Michael tersenyum samar. “Kau akan terbiasa,” ujarnya singkat, lalu mulai berbicara tentang pekerjaan, mencoba membuat Sahira lebih nyaman. Namun, Michael tetap memperhatikan setiap gerak-gerik Sahira, seperti seorang predator yang mengamati mangsanya. *** Keesokan harinya. Michael duduk di kursinya setelah memastikan meetingnya berjalan lancar. Perasaan lega mengalir, tapi tetap menjaga fokusnya. Dia menekan tombol interkom di meja, memanggil office boy. “Antarkan kopi seperti biasa ke ruanganku,” ucapnya singkat. “Baik, Pak,” jawab suara di seberang. Tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan, dan seorang office boy masuk membawa nampan kecil dengan cangkir kopi panas. Michael hanya mengangguk sebagai tanda terima kasih sambil mengambil cangkir itu. Aroma kopi khas yang kuat langsung memenuhi ruangan, membantunya sedikit rileks setelah pagi yang melelahkan. Ia menyilangkan kaki, memegang cangkir kopi dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya membolak-balik berkas di mejanya. Sesekali, matanya melirik ponsel yang tergeletak di sudut meja. Namun, tak berselang lama ... Tok! Tok! Tok! “Masuk,” ucapnya, tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen. Pintu terbuka. “Selamat pagi, Pak,” suara lembut seorang wanita. Michael menoleh, dengan cangkir kopi masih di tangan. Gadis itu mengenakan rok mini hitam yang memperlihatkan pahanya yang putih mulus, dipadukan dengan blus putih yang ketat menonjolkan lekuk tubuhnya. Sepatu hak tinggi menambah kesan elegan, meskipun wajah polosnya tetap memancarkan kesan lugu. Michael membeku sesaat, kemudian meneguk ludah. Michael hendak menyeruput kopinya. Namun, pandangannya yang terpaku pada Sahira membuatnya kehilangan konsentrasi. Kopi panas yang hampir sampai di bibirnya malah tersedot terlalu cepat, membuatnya tersedak. “Ughk!” Michael mengeluarkan bunyi serak, mencoba menahan batuk. Sialnya lagi, kopi di mulutnya menyembur keluar, mengenai meja, berkas, bahkan celananya sendiri. “Astaga, Pak!” Sahira terkejut, langkahnya maju setengah, tapi dia langsung menghentikan diri saat melihat wajah merah padam Michael yang menatapnya tajam. Michael buru-buru meletakkan cangkir kopinya dan berdiri. Tangannya berusaha menghapus noda kopi yang membasahi celana mahalnya. “Brengsek!” makinya pelan sambil mengumpat dirinya sendiri. Sahira mendekat, berjongkok di depan Michael. “Pak, maafkan aku telah mengejutkan Bapak.” Dia berusaha menghapus noda itu dengan sapu tangan miliknya. “Ah ... Sahira,” desis Michael. Sahira merasa gugup, dan berusaha menghapus nodanya. Tetapi, tetap tak kunjung hilang di celana putih milik Michael. “Stop, jangan sentuh yang itu,” protes Michael. “Aku bilang jangan sentuh!” bentak Michael lagi, kali ini membuat Sahira terkejut. “Ke-kenapa, Pak?” “Itu burung saya!” Hah? Bersambung ....“Itu burung saya!”Hah?“Ah, maaf, Pak. Aku tak tau kalau itu burung Bapak.”Michael memejamkan mata, mencoba tak emosi di depan Sahira.“Keluar!” pintanya.“Tapi, Pak—”“Aku bilang keluar!”Sahira terkejut, dia segera berlari terbirit-birit dari sana.Di dalam ruangan, Michael berdiri mematung. Wajahnya tegang, dan tangannya mencengkeram pinggir meja kerja. Ia menghela napas panjang, mencoba menguasai dirinya. Michael mencoba menahan hasratnya. Dia begitu tersiksa, dengan nafsu yang tiba-tiba saja muncul.“Burung saya?” ulangnya dalam hati, merasa bodoh karena membiarkan kata-kata itu keluar begitu saja.Michael mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berjalan ke kamar mandi kecil di sudut ruangan. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap sensasi dingin itu bisa meredakan emosi dan perasaan campur aduk yang ia rasakan.“Ini semua gara-gara Sahira, dia harus bertanggung jawab!” umpatnya.Setiap kali dia menutup mata, bayangan Sahira dengan rok mini itu kembali memenuhi pikirannya
BRAK!Pintu ruangan terbuka dengan kencang, membuat Michael yang semula fokus pada layar komputer menoleh ke arah sumber suara.Di sana, berdiri Sahira yang wajah merah padam.“Pak Michael, aku mau resign!” ucapnya dengan lantang.Michael terdiam sejenak, seolah berpikir.“Resign?” ulangnya.“Iya.”“Kenapa? Kamu baru bekerja dua hari, sekarang minta resign, apa ada yang salah?”'Tentu saja salah, kau sudah bertindak kurang ajar padaku!' umpat Sahira dalam hati.“Pokoknya aku mau resign Pak, aku nggak betah bekerja di sini.““Baiklah, kalau kamu mau resign.”Hah? Semudah itu?“Iya.” Sahira segera berbalik, berniat pergi dari sana. Tetapi, ucapan Michael menghentikan langkahnya.“Kau pulang sekarang, dan kembali lagi sambil bawa uang sebanyak 500 juta, berikan padaku.”“Apa?!”“Kurang jelas? Pulanglah, dan kembali lagi kemari. Kamu harus memberiku 500 juta karena telah memilih resign.”“Aku sama sekali tak mengerti!”Michael menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan, “Kamu ingat su
“Kau mau membeli putriku untuk semalam?” ucap pria setengah baya pada temannya di halte bus.“30 juta.”“Kau gila! Mahal sekali.” pekiknya.Pria itu terkekeh. “Ah, kau tidak tau saja. Dia ini istimewa.”“Apa istimewanya?”“Masih perawan,“ bisiknya.“Ah, tidak, itu terlalu mahal.” Protes pria kedua, berniat untuk pergi.“Eitts, janganlah buru-buru begitu. Bagaimana kalau 25 juta?”Pria di depannya tampak menimbang. “Em, 10 juta?”“Cih, itu terlalu murah. Anakku itu berbeda, dia sangat cantik, kulitnya putih, tubuhnya seksi. Rugi sekali aku menjualnya padamu hanya sepuluh juta. Pergilah!”Percakapan dua pria gila wanita tak luput dari pendengaran Michael yang tak jauh dari sana. Seorang CEO ternama di perusahaan 'Horisson Steel' itu hanya berdecih. Mendengar seorang ayah yang tega menjual putrinya sendiri.Namun dia juga penasaran dengan putri yang katanya sangat cantik. Michael akhirnya mendekat ke arah pria tua yang terlihat kesal tersebut.“Em, permisi ... aku tadi tak sengaja menden
Haidar terlihat tergesa-gesa di dalam rumah, membuka lemari pakaian dengan tangan terburu-buru, mengacak-acak seluruh isi lemari Sahira. Pakaian-pakaian berwarna cerah dan sederhana itu terserak di lantai.“Di mana pakaian yang bagus?”“Ah, sialan. Gadis itu tak punya satu pun baju yang bagus untuk dipakai.”Sahira, yang berdiri di pintu kamar, tampak bingung dan sedikit cemas melihat tingkah laku ayah angkatnya.“Pak, mau apa? Kenapa lemari Sahira diberantakin?” Sahira bertanya, suaranya pelan, sedikit khawatir dengan tingkah sang ayah pagi ini.Haidar mengangkat wajahnya sejenak, wajahnya terlihat kesal. “Sudah diam, Bapak sedang mencari baju yang pas buat kamu,” jawabnya sedikit kasar. Matanya kembali berkeliling, mencari sesuatu di antara tumpukan baju yang terhampar.Hufftt!'Menyesal aku tak pernah membelikan dia baju.' batinnya.Setiap pakaian yang diambilnya dilihat sejenak, lalu dibuang begitu saja. Sahira hanya berdiri, matanya mengikuti gerakan ayah angkatnya yang tampak ke
Sahira berdiri mematung di dekat pintu ruangan Michael. Matanya terbelalak mendengar permintaan terakhir bos barunya. “Mulai besok, kau harus pakai rok mini.” Kalimat itu menggema dalam pikirannya, membuat wajahnya merah padam antara marah dan malu. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak.“Apa maksudnya, Pak?” Sahira memberanikan diri bertanya, meskipun suaranya terdengar bergetar. “Kenapa saya harus pakai rok mini? Bukankah saya di sini untuk bekerja, bukan ... untuk hal yang aneh-aneh?”Michael menatapnya dengan tenang, tetapi ada kilatan nakal di matanya. Sahira yang berdiri di sana dengan pipi merona dan ekspresi protes justru terlihat begitu menggemaskan bagi Michael. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, melipat kedua tangannya sambil menyunggingkan senyum. “Itu sudah menjadi peraturan di kantor ini,” jawab Michael santai.“Peraturan?” Sahira mengerutkan alisnya, tidak percaya. “Kenapa harus ada peraturan seperti itu?”Michael mengangkat bahu, matanya te
Sahira berdiri kaku di depan pintu, bingung dengan reaksi Michael. “Maaf, Pak?” tanyanya ragu, suaranya hampir tak terdengar.Michael mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Sahira dari kepala hingga kaki. Matanya menilai setiap detail penampilannya. Tidak ada sedikit pun kesan formal, apalagi seksi, seperti yang ia harapkan.“Ini ... ini yang kau pakai untuk bekerja?” ucap Michael, ia mencoba menahan emosinya. “Aku sudah bilang kau harus memakai rok mini, bukan pakaian seperti ini! Rok-mu itu terlalu panjang!”Sahira menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa gugup. “Maaf, Pak,” jawabnya pelan, “tapi aku memang tidak punya pakaian seperti itu di rumah.”Michael memijit pelipisnya, mencoba menenangkan diri. Di satu sisi, ia merasa kesal karena Sahira tidak mengikuti instruksinya. Namun di sisi lain, ia tidak bisa memungkiri bahwa gadis itu tetap terlihat cantik meskipun dengan penampilan sederhana seperti itu.“Dengar,” ucap Michael, suaranya sedikit melunak, “di sini, aku yang me
BRAK!Pintu ruangan terbuka dengan kencang, membuat Michael yang semula fokus pada layar komputer menoleh ke arah sumber suara.Di sana, berdiri Sahira yang wajah merah padam.“Pak Michael, aku mau resign!” ucapnya dengan lantang.Michael terdiam sejenak, seolah berpikir.“Resign?” ulangnya.“Iya.”“Kenapa? Kamu baru bekerja dua hari, sekarang minta resign, apa ada yang salah?”'Tentu saja salah, kau sudah bertindak kurang ajar padaku!' umpat Sahira dalam hati.“Pokoknya aku mau resign Pak, aku nggak betah bekerja di sini.““Baiklah, kalau kamu mau resign.”Hah? Semudah itu?“Iya.” Sahira segera berbalik, berniat pergi dari sana. Tetapi, ucapan Michael menghentikan langkahnya.“Kau pulang sekarang, dan kembali lagi sambil bawa uang sebanyak 500 juta, berikan padaku.”“Apa?!”“Kurang jelas? Pulanglah, dan kembali lagi kemari. Kamu harus memberiku 500 juta karena telah memilih resign.”“Aku sama sekali tak mengerti!”Michael menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan, “Kamu ingat su
“Itu burung saya!”Hah?“Ah, maaf, Pak. Aku tak tau kalau itu burung Bapak.”Michael memejamkan mata, mencoba tak emosi di depan Sahira.“Keluar!” pintanya.“Tapi, Pak—”“Aku bilang keluar!”Sahira terkejut, dia segera berlari terbirit-birit dari sana.Di dalam ruangan, Michael berdiri mematung. Wajahnya tegang, dan tangannya mencengkeram pinggir meja kerja. Ia menghela napas panjang, mencoba menguasai dirinya. Michael mencoba menahan hasratnya. Dia begitu tersiksa, dengan nafsu yang tiba-tiba saja muncul.“Burung saya?” ulangnya dalam hati, merasa bodoh karena membiarkan kata-kata itu keluar begitu saja.Michael mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berjalan ke kamar mandi kecil di sudut ruangan. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap sensasi dingin itu bisa meredakan emosi dan perasaan campur aduk yang ia rasakan.“Ini semua gara-gara Sahira, dia harus bertanggung jawab!” umpatnya.Setiap kali dia menutup mata, bayangan Sahira dengan rok mini itu kembali memenuhi pikirannya
Sahira berdiri canggung di dekat pintu kantin, menatap sejenak ke arah menu yang tertulis di papan besar. Harga makanan di sana membuatnya meneguk ludah. Dia merogoh kantongnya dan memandangi lembaran uang yang tersisa hanya 75 ribu rupiah.“Uangku cuma segini,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam di tengah keramaian kantin. “Kalau aku boros sekarang, bagaimana dengan seminggu kedepan? Mau makan apa aku.”Dia menghela napas panjang, mencoba mencari solusi. Namun, semakin Sahira berpikir, semakin sadar bahwa pilihan terbaik adalah menahan lapar. Sahira membalikkan badan, bersiap meninggalkan kantin dengan langkah lesu. Namun tak lama kemudian, seseorang tiba-tiba mencekal pergelangan tangannya.“Akhh!”Sahira tersentak. Ia menoleh cepat, dan terkejut mendapati sosok Michael berdiri di sana.“Temani aku makan siang,” ucap Michael singkat.Mata Sahira membulat sempurna. Ia tidak menyangka bosnya yang dingin itu akan muncul di sini, apalagi memintanya menemani makan. “A-apa?” ucap
Sahira berdiri kaku di depan pintu, bingung dengan reaksi Michael. “Maaf, Pak?” tanyanya ragu, suaranya hampir tak terdengar.Michael mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Sahira dari kepala hingga kaki. Matanya menilai setiap detail penampilannya. Tidak ada sedikit pun kesan formal, apalagi seksi, seperti yang ia harapkan.“Ini ... ini yang kau pakai untuk bekerja?” ucap Michael, ia mencoba menahan emosinya. “Aku sudah bilang kau harus memakai rok mini, bukan pakaian seperti ini! Rok-mu itu terlalu panjang!”Sahira menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa gugup. “Maaf, Pak,” jawabnya pelan, “tapi aku memang tidak punya pakaian seperti itu di rumah.”Michael memijit pelipisnya, mencoba menenangkan diri. Di satu sisi, ia merasa kesal karena Sahira tidak mengikuti instruksinya. Namun di sisi lain, ia tidak bisa memungkiri bahwa gadis itu tetap terlihat cantik meskipun dengan penampilan sederhana seperti itu.“Dengar,” ucap Michael, suaranya sedikit melunak, “di sini, aku yang me
Sahira berdiri mematung di dekat pintu ruangan Michael. Matanya terbelalak mendengar permintaan terakhir bos barunya. “Mulai besok, kau harus pakai rok mini.” Kalimat itu menggema dalam pikirannya, membuat wajahnya merah padam antara marah dan malu. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak.“Apa maksudnya, Pak?” Sahira memberanikan diri bertanya, meskipun suaranya terdengar bergetar. “Kenapa saya harus pakai rok mini? Bukankah saya di sini untuk bekerja, bukan ... untuk hal yang aneh-aneh?”Michael menatapnya dengan tenang, tetapi ada kilatan nakal di matanya. Sahira yang berdiri di sana dengan pipi merona dan ekspresi protes justru terlihat begitu menggemaskan bagi Michael. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, melipat kedua tangannya sambil menyunggingkan senyum. “Itu sudah menjadi peraturan di kantor ini,” jawab Michael santai.“Peraturan?” Sahira mengerutkan alisnya, tidak percaya. “Kenapa harus ada peraturan seperti itu?”Michael mengangkat bahu, matanya te
Haidar terlihat tergesa-gesa di dalam rumah, membuka lemari pakaian dengan tangan terburu-buru, mengacak-acak seluruh isi lemari Sahira. Pakaian-pakaian berwarna cerah dan sederhana itu terserak di lantai.“Di mana pakaian yang bagus?”“Ah, sialan. Gadis itu tak punya satu pun baju yang bagus untuk dipakai.”Sahira, yang berdiri di pintu kamar, tampak bingung dan sedikit cemas melihat tingkah laku ayah angkatnya.“Pak, mau apa? Kenapa lemari Sahira diberantakin?” Sahira bertanya, suaranya pelan, sedikit khawatir dengan tingkah sang ayah pagi ini.Haidar mengangkat wajahnya sejenak, wajahnya terlihat kesal. “Sudah diam, Bapak sedang mencari baju yang pas buat kamu,” jawabnya sedikit kasar. Matanya kembali berkeliling, mencari sesuatu di antara tumpukan baju yang terhampar.Hufftt!'Menyesal aku tak pernah membelikan dia baju.' batinnya.Setiap pakaian yang diambilnya dilihat sejenak, lalu dibuang begitu saja. Sahira hanya berdiri, matanya mengikuti gerakan ayah angkatnya yang tampak ke
“Kau mau membeli putriku untuk semalam?” ucap pria setengah baya pada temannya di halte bus.“30 juta.”“Kau gila! Mahal sekali.” pekiknya.Pria itu terkekeh. “Ah, kau tidak tau saja. Dia ini istimewa.”“Apa istimewanya?”“Masih perawan,“ bisiknya.“Ah, tidak, itu terlalu mahal.” Protes pria kedua, berniat untuk pergi.“Eitts, janganlah buru-buru begitu. Bagaimana kalau 25 juta?”Pria di depannya tampak menimbang. “Em, 10 juta?”“Cih, itu terlalu murah. Anakku itu berbeda, dia sangat cantik, kulitnya putih, tubuhnya seksi. Rugi sekali aku menjualnya padamu hanya sepuluh juta. Pergilah!”Percakapan dua pria gila wanita tak luput dari pendengaran Michael yang tak jauh dari sana. Seorang CEO ternama di perusahaan 'Horisson Steel' itu hanya berdecih. Mendengar seorang ayah yang tega menjual putrinya sendiri.Namun dia juga penasaran dengan putri yang katanya sangat cantik. Michael akhirnya mendekat ke arah pria tua yang terlihat kesal tersebut.“Em, permisi ... aku tadi tak sengaja menden