Berita itu menyebar seperti api membakar ilalang kering—cepat, tak terhentikan, dan mengguncang semua pihak. Pagi hari, semua media nasional menayangkan satu headline yang sama.[Michael Nathaniel, CEO Muda Terkaya Asia, Kecelakaan Maut di Tol Selatan!]Rekaman dari drone polisi memperlihatkan mobil sport hitam mewah yang ringsek tak berbentuk, terguling di samping pembatas jalan, dengan serpihan logam dan kaca berserakan di mana-mana. Wajah Michael tak tampak jelas di dalam video, hanya sosok tubuh tergolek tak sadarkan diri yang segera ditandu ke ambulans.***Di Apartemen.Alexa menjatuhkan gelas kristal yang baru saja hendak dia angkat. Air bening dan pecahan kaca berhamburan di lantai, tapi dia tak peduli. Napasnya memburu, dadanya naik turun seperti baru saja berlari maraton.“Tidak mungkin …,” bisiknya pelan, nyaris tanpa suara.Namun berita itu terpampang nyata di layar televisi 70 inci di hadapannya, dengan gambar close-up wajah Michael dari masa lalu dan laporan live dari
Pagi hari.Cahaya matahari menembus tirai jendela, menyapu lembut wajah Sahira yang masih terlelap dalam balutan selimut tipis. Silau yang menusuk matanya membuat Sahira menggeliat kecil, sebelum akhirnya kelopak matanya terangkat perlahan. Dia mengerjap beberapa kali, menyesuaikan pandangannya pada cahaya pagi yang memenuhi kamar.Saat hendak bergerak, Sahira merasakan sesuatu yang berat melingkar di pinggangnya. Dia menunduk dan mendapati tangan kekar Michael masih erat memeluk tubuhnya. Sahira tersenyum kecil, mengingat betapa keras kepala pria itu untuk sekadar tidur berdua dengannya semalam.Pelan-pelan, Sahira mencoba melepas pelukan itu tanpa membangunkan Michael. Tapi baru saja ia menggeser diri, tangan Michael malah menariknya kembali, membuat tubuh mereka bertemu rapat dan Sahira jatuh ke dalam pelukannya lagi.“Mau ke mana?” gumam Michael, suaranya berat dan serak khas orang baru bangun tidur.Sahira mendesah, mencoba tidak terjebak dengan kehangatan yang menguar dari tubuh
Begitu pintu berat ruang rapat terbuka, semua kepala otomatis menoleh. Puluhan pasang mata, dari para dewan elit hingga penasihat senior, mengamati dengan seksama sosok Michael Nathaniel dan Sahira—atau yang lebih dikenal sebagai Nona Alexa J.—melangkah masuk ke dalam ruangan.Yang membuat mereka semua terdiam bukan hanya karena keterlambatan keduanya, tapi karena caranya mereka masuk dengan bergandengan tangan.Michael berjalan dengan penuh percaya diri, menuntun Sahira di sisinya tanpa sedikit pun ragu, seolah-olah dia ingin seluruh dunia tahu bahwa wanita ini adalah miliknya. Sahira sendiri, walaupun wajahnya tenang, sempat membeku sesaat karena sadar akan semua tatapan tajam yang kini menancap seperti panah ke arahnya.Dengan refleks, Sahira melepaskan tangan Michael begitu mereka hampir mencapai meja besar di tengah ruangan. Gerakannya cepat namun tetap terlihat elegan. Dia tidak ingin memperkeruh suasana yang sudah cukup memanas dengan kemunculan mereka.Bisik-bisik kecil mulai
“Kau mau membeli putriku untuk semalam?” ucap pria setengah baya pada temannya di halte bus.“30 juta.”“Kau gila! Mahal sekali.” pekiknya.Pria itu terkekeh. “Ah, kau tidak tau saja. Dia ini istimewa.”“Apa istimewanya?”“Masih perawan,“ bisiknya.“Ah, tidak, itu terlalu mahal.” Protes pria kedua, berniat untuk pergi.“Eitts, janganlah buru-buru begitu. Bagaimana kalau 25 juta?”Pria di depannya tampak menimbang. “Em, 10 juta?”“Cih, itu terlalu murah. Anakku itu berbeda, dia sangat cantik, kulitnya putih, tubuhnya seksi. Rugi sekali aku menjualnya padamu hanya sepuluh juta. Pergilah!”Percakapan dua pria gila wanita tak luput dari pendengaran Michael yang tak jauh dari sana. Seorang CEO ternama di perusahaan 'Horisson Steel' itu hanya berdecih. Mendengar seorang ayah yang tega menjual putrinya sendiri.Namun dia juga penasaran dengan putri yang katanya sangat cantik. Michael akhirnya mendekat ke arah pria tua yang terlihat kesal tersebut.“Em, permisi ... aku tadi tak sengaja menden
Haidar terlihat tergesa-gesa di dalam rumah, membuka lemari pakaian dengan tangan terburu-buru, mengacak-acak seluruh isi lemari Sahira. Pakaian-pakaian berwarna cerah dan sederhana itu terserak di lantai.“Di mana pakaian yang bagus?”“Ah, sialan. Gadis itu tak punya satu pun baju yang bagus untuk dipakai.”Sahira, yang berdiri di pintu kamar, tampak bingung dan sedikit cemas melihat tingkah laku ayah angkatnya.“Pak, mau apa? Kenapa lemari Sahira diberantakin?” Sahira bertanya, suaranya pelan, sedikit khawatir dengan tingkah sang ayah pagi ini.Haidar mengangkat wajahnya sejenak, wajahnya terlihat kesal. “Sudah diam, Bapak sedang mencari baju yang pas buat kamu,” jawabnya sedikit kasar. Matanya kembali berkeliling, mencari sesuatu di antara tumpukan baju yang terhampar.Hufftt!'Menyesal aku tak pernah membelikan dia baju.' batinnya.Setiap pakaian yang diambilnya dilihat sejenak, lalu dibuang begitu saja. Sahira hanya berdiri, matanya mengikuti gerakan ayah angkatnya yang tampak ke
Sahira berdiri mematung di dekat pintu ruangan Michael. Matanya terbelalak mendengar permintaan terakhir bos barunya. “Mulai besok, kau harus pakai rok mini.” Kalimat itu menggema dalam pikirannya, membuat wajahnya merah padam antara marah dan malu. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak.“Apa maksudnya, Pak?” Sahira memberanikan diri bertanya, meskipun suaranya terdengar bergetar. “Kenapa saya harus pakai rok mini? Bukankah saya di sini untuk bekerja, bukan ... untuk hal yang aneh-aneh?”Michael menatapnya dengan tenang, tetapi ada kilatan nakal di matanya. Sahira yang berdiri di sana dengan pipi merona dan ekspresi protes justru terlihat begitu menggemaskan bagi Michael. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, melipat kedua tangannya sambil menyunggingkan senyum. “Itu sudah menjadi peraturan di kantor ini,” jawab Michael santai.“Peraturan?” Sahira mengerutkan alisnya, tidak percaya. “Kenapa harus ada peraturan seperti itu?”Michael mengangkat bahu, matanya te
Sahira berdiri kaku di depan pintu, bingung dengan reaksi Michael. “Maaf, Pak?” tanyanya ragu, suaranya hampir tak terdengar.Michael mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Sahira dari kepala hingga kaki. Matanya menilai setiap detail penampilannya. Tidak ada sedikit pun kesan formal, apalagi seksi, seperti yang ia harapkan.“Ini ... ini yang kau pakai untuk bekerja?” ucap Michael, ia mencoba menahan emosinya. “Aku sudah bilang kau harus memakai rok mini, bukan pakaian seperti ini! Rok-mu itu terlalu panjang!”Sahira menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa gugup. “Maaf, Pak,” jawabnya pelan, “tapi aku memang tidak punya pakaian seperti itu di rumah.”Michael memijit pelipisnya, mencoba menenangkan diri. Di satu sisi, ia merasa kesal karena Sahira tidak mengikuti instruksinya. Namun di sisi lain, ia tidak bisa memungkiri bahwa gadis itu tetap terlihat cantik meskipun dengan penampilan sederhana seperti itu.“Dengar,” ucap Michael, suaranya sedikit melunak, “di sini, aku yang me
Sahira berdiri canggung di dekat pintu kantin, menatap sejenak ke arah menu yang tertulis di papan besar. Harga makanan di sana membuatnya meneguk ludah. Dia merogoh kantongnya dan memandangi lembaran uang yang tersisa hanya 75 ribu rupiah.“Uangku cuma segini,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam di tengah keramaian kantin. “Kalau aku boros sekarang, bagaimana dengan seminggu kedepan? Mau makan apa aku.”Dia menghela napas panjang, mencoba mencari solusi. Namun, semakin Sahira berpikir, semakin sadar bahwa pilihan terbaik adalah menahan lapar. Sahira membalikkan badan, bersiap meninggalkan kantin dengan langkah lesu. Namun tak lama kemudian, seseorang tiba-tiba mencekal pergelangan tangannya.“Akhh!”Sahira tersentak. Ia menoleh cepat, dan terkejut mendapati sosok Michael berdiri di sana.“Temani aku makan siang,” ucap Michael singkat.Mata Sahira membulat sempurna. Ia tidak menyangka bosnya yang dingin itu akan muncul di sini, apalagi memintanya menemani makan. “A-apa?” ucap
Begitu pintu berat ruang rapat terbuka, semua kepala otomatis menoleh. Puluhan pasang mata, dari para dewan elit hingga penasihat senior, mengamati dengan seksama sosok Michael Nathaniel dan Sahira—atau yang lebih dikenal sebagai Nona Alexa J.—melangkah masuk ke dalam ruangan.Yang membuat mereka semua terdiam bukan hanya karena keterlambatan keduanya, tapi karena caranya mereka masuk dengan bergandengan tangan.Michael berjalan dengan penuh percaya diri, menuntun Sahira di sisinya tanpa sedikit pun ragu, seolah-olah dia ingin seluruh dunia tahu bahwa wanita ini adalah miliknya. Sahira sendiri, walaupun wajahnya tenang, sempat membeku sesaat karena sadar akan semua tatapan tajam yang kini menancap seperti panah ke arahnya.Dengan refleks, Sahira melepaskan tangan Michael begitu mereka hampir mencapai meja besar di tengah ruangan. Gerakannya cepat namun tetap terlihat elegan. Dia tidak ingin memperkeruh suasana yang sudah cukup memanas dengan kemunculan mereka.Bisik-bisik kecil mulai
Pagi hari.Cahaya matahari menembus tirai jendela, menyapu lembut wajah Sahira yang masih terlelap dalam balutan selimut tipis. Silau yang menusuk matanya membuat Sahira menggeliat kecil, sebelum akhirnya kelopak matanya terangkat perlahan. Dia mengerjap beberapa kali, menyesuaikan pandangannya pada cahaya pagi yang memenuhi kamar.Saat hendak bergerak, Sahira merasakan sesuatu yang berat melingkar di pinggangnya. Dia menunduk dan mendapati tangan kekar Michael masih erat memeluk tubuhnya. Sahira tersenyum kecil, mengingat betapa keras kepala pria itu untuk sekadar tidur berdua dengannya semalam.Pelan-pelan, Sahira mencoba melepas pelukan itu tanpa membangunkan Michael. Tapi baru saja ia menggeser diri, tangan Michael malah menariknya kembali, membuat tubuh mereka bertemu rapat dan Sahira jatuh ke dalam pelukannya lagi.“Mau ke mana?” gumam Michael, suaranya berat dan serak khas orang baru bangun tidur.Sahira mendesah, mencoba tidak terjebak dengan kehangatan yang menguar dari tubuh
Berita itu menyebar seperti api membakar ilalang kering—cepat, tak terhentikan, dan mengguncang semua pihak. Pagi hari, semua media nasional menayangkan satu headline yang sama.[Michael Nathaniel, CEO Muda Terkaya Asia, Kecelakaan Maut di Tol Selatan!]Rekaman dari drone polisi memperlihatkan mobil sport hitam mewah yang ringsek tak berbentuk, terguling di samping pembatas jalan, dengan serpihan logam dan kaca berserakan di mana-mana. Wajah Michael tak tampak jelas di dalam video, hanya sosok tubuh tergolek tak sadarkan diri yang segera ditandu ke ambulans.***Di Apartemen.Alexa menjatuhkan gelas kristal yang baru saja hendak dia angkat. Air bening dan pecahan kaca berhamburan di lantai, tapi dia tak peduli. Napasnya memburu, dadanya naik turun seperti baru saja berlari maraton.“Tidak mungkin …,” bisiknya pelan, nyaris tanpa suara.Namun berita itu terpampang nyata di layar televisi 70 inci di hadapannya, dengan gambar close-up wajah Michael dari masa lalu dan laporan live dari
Langit malam memayungi kota dengan kelam yang pekat. Awan gelap menggantung, seolah turut merasakan badai yang sedang berkecamuk di dada Michael. Hujan turun rintik-rintik, membasahi jalanan aspal yang licin dan gelap. Namun tak satu pun dari semua itu mampu meredam amarah dan keputusasaan yang mendidih dalam diri pria itu. Dengan napas memburu, Michael memasuki mobil sport hitamnya. Tangannya gemetar saat memutar kunci, tapi begitu mesin meraung, ia langsung menginjak pedal gas sekuat tenaga. Mobil itu melesat di jalanan, memekikkan suara beringas yang seolah mencerminkan isi kepalanya yang penuh amarah. "Bodoh ... Bodoh ...!" desisnya pada dirinya sendiri. Matanya memerah, bukan hanya karena kelelahan, tapi karena sesak yang menghantam dadanya seperti palu godam. Ucapan Sahira terus terngiang di kepalanya. "Aku menolak lamaranmu ..." Kalimat itu terputar berulang kali, menusuk hatinya seperti belati tumpul. Telepon genggamnya bergetar, berdering tak henti-henti. Nama Lucas
Langit gelap tanpa bintang. Udara malam cukup dingin, namun suasana di sekitar apartemen eksklusif itu tetap tenang. Tidak banyak yang tahu kalau Alexa J, investor terkemuka, tinggal di sana.Semuanya serba rahasia. Termasuk keberadaan seorang pria tak dikenal yang kini berdiri di halaman depan gedung itu … hanya mengenakan jubah mandi hotel, dengan dada terbuka, dan rambut acak-acakan karena angin malam.Tangannya memegang seikat bunga mawar merah. Satu sisi jubahnya melorot, tapi dia tidak peduli.Michael Nathaniel.Dengan mata penuh tekad dan sedikit lingkar hitam karena kurang tidur, ia mendongak ke arah jendela lantai tiga dan mulai berteriak.“Sahira!”Hening. Hanya suara angin dan deru AC luar ruangan.Michael coba lagi. Kali ini lebih keras. “SAHIRA ALEXANDER! AKU TAHU KAU ADA DI DALAM!”Beberapa lampu tetangga menyala. Tirai bergeser. Seekor kucing melompat dari balkon ke balkon. Tapi tidak ada Sahira.Sampai akhirnya …Jendela di lantai tiga terbuka perlahan. Sosok berambut
Keesokan hari.Lorong menuju ruang kerja CEO ALX Group sunyi, hanya diisi suara sepatu hak tinggi Sahira yang menghentak lantai marmer. Wajahnya dingin. Pandangannya tajam. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat sesuatu yang tak pernah dia duga.Michael berdiri di depan pintu ruangannya. Bersama seorang pria dari divisi IT. Di tangan Michael, terlihat amplop cokelat yang baru saja diterima si staf—dengan jelas: uang suap.Sahira tak berkata apa-apa. Ia hanya melangkah cepat, mengambil dokumen dari map yang digenggamnya, lalu ... BRUK!Melemparkannya tepat ke wajah Michael.“Apa-apaan ini?!” Suaranya menggema. Semua staf yang lewat menoleh, hening, menahan napas.Michael menatapnya kaget. “Sahira—”“Kau pikir aku ini apa? Masih pelacur di matamu?!” Suaranya bergetar, penuh kemarahan dan luka.Michael mengangkat tangan. “Itu bukan—dengarkan aku dulu—”“Tidak ada yang perlu didengarkan!” bentak Sahira. “Kau menyuap stafku untuk mengakses ruanganku. Kau melanggar privasi dan integritas
Michael tidak membuang waktu. Begitu Sahira memberikan batas sepuluh menit, dia langsung bangkit dari kursinya. Tanpa berkata apa pun, dia melangkah ke sisi meja tempat Sahira duduk, lalu berlutut satu lutut di lantai marmer mengilap restoran itu. Beberapa tamu langsung menoleh.“Yang pertama,” bisiknya sambil menatap mata Sahira dari bawah, “aku akan menyingkirkan semua ego dan harga diriku. Aku bukan CEO malam ini. Aku cuma pria yang jatuh cinta. Dan tidak tahu bagaimana caranya berhenti.”Sahira menyipitkan mata, pura-pura tidak terganggu, tetapi tangan yang memegang gelasnya sedikit gemetar.Uh ...Michael mengambil tangan Sahira perlahan, membaliknya, lalu mengecup punggung tangan itu sejenak.Cup!“Yang kedua … aku bersedia menanggung rasa malu, ejekan, bahkan ditertawakan publik, asal kau melihatku sekali lagi dengan mata yang sama seperti dulu.”“Aku ... tidak bisa.”“Kamu pasti bisa sayang.”Tiba-tiba, suasana restoran menjadi hening. Seseorang entah dari mana mengambil pons
Baru saja Sahira mengembuskan napas lega, mencoba menenangkan degup jantungnya yang belum stabil setelah kejadian barusan, ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja.Getarannya memantul di permukaan kayu, menimbulkan bunyi yang cukup nyaring di tengah kesunyian ruangan.Dengan enggan, Sahira meraih ponsel itu, berharap hanya pesan biasa dari tim marketing atau pengingat rapat sore ini. Tapi begitu layarnya menyala, matanya langsung menyipit, rahangnya mengeras.[Michael: Mau makan malam denganku?]Sahira mendengus kesal. “Kurang ajar!” gumamnya sembari melempar ponsel itu kembali ke meja. Perangkat itu memantul ringan lalu mendarat di atas tumpukan kertas, nyaris jatuh ke lantai.Michael benar-benar mencari gara-gara. Seolah kejadian tadi belum cukup mengacaukan pikirannya, kini pria itu mencoba bermain manis dengan nada genit lewat pesan singkat?Dasar pria licik. Menyusup lewat pintu depan, dan sekarang mencoba masuk lewat sisi hati?Sahira berdiri, memijit pelipis dengan tangan kan
Beberapa hari setelah insiden malam kemarin, pagi ini kabar buruk menghantam meja rapat Michael tanpa ampun. Selembar surat elektronik berjudul, [Termination of Partnership Agreement] muncul di inbox-nya, lengkap dengan kop resmi ALX Group. Napasnya tercekat saat ia membaca baris demi barisnya: "With regret, ALX Group hereby terminates all existing contracts and agreements with Horison steel, effective immediately.…" (Dengan penyesalan, ALX Group dengan ini mengakhiri semua kontrak dan perjanjian yang ada dengan Horison Steel, efektif segera.)Michael meneguk kopi hangat yang baru saja disajikan Olivia. Cangkir itu bergetar di tangannya—seolah meniru getaran hebat dalam dadanya. Uhuk!Ia tersedak, menyemburkan beberapa tetes kopi ke meja. Olivia, yang kebetulan berdiri di sampingnya dengan nampan serbet, terkejut.“Maaf, Tuan .…” bisiknya gugup, matanya menatap Michael yang kini wajahnya memerah oleh amarah dan rasa cemas.Michael menepuk meja—suara dentuman menggelegar. “Tidak,” gu