Haidar terlihat tergesa-gesa di dalam rumah, membuka lemari pakaian dengan tangan terburu-buru, mengacak-acak seluruh isi lemari Sahira. Pakaian-pakaian berwarna cerah dan sederhana itu terserak di lantai.
“Di mana pakaian yang bagus?” “Ah, sialan. Gadis itu tak punya satu pun baju yang bagus untuk dipakai.” Sahira, yang berdiri di pintu kamar, tampak bingung dan sedikit cemas melihat tingkah laku ayah angkatnya. “Pak, mau apa? Kenapa lemari Sahira diberantakin?” Sahira bertanya, suaranya pelan, sedikit khawatir dengan tingkah sang ayah pagi ini. Haidar mengangkat wajahnya sejenak, wajahnya terlihat kesal. “Sudah diam, Bapak sedang mencari baju yang pas buat kamu,” jawabnya sedikit kasar. Matanya kembali berkeliling, mencari sesuatu di antara tumpukan baju yang terhampar. Hufftt! 'Menyesal aku tak pernah membelikan dia baju.' batinnya. Setiap pakaian yang diambilnya dilihat sejenak, lalu dibuang begitu saja. Sahira hanya berdiri, matanya mengikuti gerakan ayah angkatnya yang tampak kesal dan frustasi. Semua pakaian yang ada di lemari Sahira adalah pakaian yang sopan, tak ada satupun yang bisa memuaskan hasrat Haidar. Ia mendesah kesal, merasa tidak menemukan apa yang diinginkannya. “Aku takkan membiarkan hari ini gagal, Sahira harus terlihat seksi dimata pria itu.” Setelah beberapa saat, Haidar menemukan pakaian yang sedikit lebih pendek daripada yang lain. Sebuah gaun berwarna merah muda dengan potongan yang cukup pendek di bagian bawah, meskipun tetap sederhana. Senyum kecil terbit di wajahnya, senyum yang penuh makna. Ia mengangkat gaun itu dan dengan cepat memandang Sahira. “Ini, kamu pakai ini!” perintah Haidar sambil menyodorkan gaun itu ke arah Sahira. Tanpa banyak tanya, Sahira menerima gaun itu dengan tangan gemetar. Meskipun hatinya berat, tak ada gunanya menolak. Ayahnya memiliki sifat pemaksa. Dengan langkah pelan, ia mengenakan gaun itu, dan segera keluar dari kamarnya. “Bapak, aku tidak nyaman pakai gaun ini.” Haidar menilai sejenak penampilannya. “Lama-lama juga kamu akan terbiasa,” ucapnya sambil tersenyum puas. Jujur saja, Sahira merasa tak nyaman, apalagi pahanya yang putih mulus terekspos sempurna. Haidar kemudian berjalan cepat ke arah Sahira, menarik paksa tangannya dengan kasar. “Ayo, cepat! Kita pergi sekarang!” katanya dengan nada tegas. Sahira terkejut, dan mencoba memberontak sedikit, namun Haidar menambah kekuatannya, membuatnya tak berdaya. “Bapak mau ke mana? Kenapa aku harus ikut?” Sahira bertanya dengan suara yang bergetar, dia sangat takut. Haidar tidak menanggapi pertanyaan itu. Dengan langkah cepat, ia menarik Sahira keluar dari rumah menuju mobil truk tua miliknya yang sudah berderit karena usia. Sahira tak bisa menghindar, dan tanpa bisa berkata lebih banyak, ia hanya mengikuti langkah Haidar. Keringat dikening Sahira bercucuran, tapi dia tidak punya pilihan selain menurut. “Ya, Tuhan. Mau kemana Bapak membawaku,” batin Sahira. Sahira duduk diam di samping Haidar yang kini sudah berada di belakang kemudi. Suasana dalam truk terasa sunyi, hanya suara mesin yang berderu memenuhi ruang kabin. Sahira menatap ke luar jendela, merenung, tapi pikirannya kacau. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, hanya merasakan ada sesuatu yang sangat salah dengan perjalanan ini. Haidar memegang setir dengan tangan yang kuat, wajahnya terlihat serius, dia menyeringai kecil, seolah semuanya berjalan sesuai rencana. Truk melaju meninggalkan rumah mereka, menuju tempat yang Sahira sendiri tak tahu. *** Di kantor. Suasana di kantor pusat perusahaan 'Horisson Steel' begitu sibuk. Para pegawai lalu-lalang, membawa berkas dan dokumen penting. Di dalam ruangannya yang luas dengan desain modern, Michael sedang berdiri di belakang meja kerjanya, tangannya menunjuk ke arah Lucas, salah satu anak buahnya, dengan ekspresi marah yang membuat siapa pun yang melihatnya merasa gentar. “Lucas!” suara Michael bergema di dalam ruangan. “Apa kau tahu berapa banyak proyek yang hampir gagal karena kecerobohan timmu? Aku tidak membayar kalian untuk mengacaukan pekerjaanku!” Matanya menatap tajam Lucas, yang berdiri kaku di depan bosnya, sambil memegang sebuah berkas yang ia bawa. Wajah Lucas tampak pucat, dan dia hanya bisa menunduk tanpa berani membalas. “Laporan yang kau serahkan ini,” Michael menepuk keras setumpuk dokumen di mejanya, “penuh dengan kesalahan data! Kau pikir ini main-main? Apa kau ingin reputasi perusahaan ini hancur di depan klien?” “S--saya minta maaf, Bos,” Lucas tergagap, mencoba menjelaskan. “Saya akan segera memperbaikinya—” “Tidak ada kata maaf! Aku butuh hasil, Lucas, bukan alasan! Perbaiki sekarang, atau aku akan mencari seseorang yang lebih kompeten dari dirimu!” “Baik, Bos. Takkan kuulangi lagi.” Kriet! Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dengan suara pelan namun cukup menarik perhatian. Semua mata, termasuk mata tajam Michael, langsung tertuju ke arah pintu. Di sana berdiri seorang pria tua bernama Haidar, menggandeng seorang gadis muda yang tampak gugup dan sedikit ketakutan. Gadis itu bersembunyi di balik punggung Haidar, mencoba menghindari tatapan tajam yang dilemparkan Michael. Haidar menunduk sedikit, lalu berujar, “Selamat pagi, Pak. Ini saya, Haidar. Bukankah Bapak berjanji untuk memberikan pekerjaan untuk putriku ini?” Hah? Michael mengangkat alisnya, ekspresi marahnya perlahan berubah menjadi lebih tenang saat melihat Sahira. Senyum simpul perlahan muncul di wajahnya, senyum yang penuh arti. Matanya mengamati Sahira yang berdiri canggung di belakang Haidar, dengan gaun sederhana yang dikenakannya. Gadis itu terlihat seperti rusa kecil yang tersesat di hutan, ketakutan tapi tetap memancarkan kecantikan yang membuat para jantan meneguk ludah. 'Ah gadis itu sangat ... menggairahkan,' batinnya. “Oh, jadi ini putrimu, Pak Haidar?” kata Michael. Ia berjalan perlahan mendekat, matanya tetap tertuju pada Sahira yang semakin menyembunyikan dirinya di balik punggung ayah angkatnya. “Benar, Pak,” jawab Haidar cepat, mencoba menjaga nada sopan. “Seperti yang kita bicarakan kemarin, saya datang membawa Sahira. Dia gadis yang rajin dan akan bekerja keras untuk Bapak.” Michael menatap Haidar sejenak, lalu melirik ke arah Lucas. “Lucas, kau keluar sekarang. Aku akan memanggilmu nanti.” Lucas, tanpa berani membantah, segera mengangguk dan meninggalkan ruangan dengan langkah cepat, lega bisa lolos dari amukan bosnya. Setelah Lucas pergi, Michael kembali ke meja kerjanya dan duduk di kursinya. Ia melambaikan tangan ke arah Haidar dan Sahira. “Duduklah,” ucapnya datar. Haidar segera menarik Sahira untuk duduk di kursi yang berada di depan meja Michael, meski Sahira terlihat enggan. Michael menyilangkan tangannya di dada, menatap Haidar dengan penuh arti. “Aku akan memberikan putrimu pekerjaan, sesuai dengan janjiku kemarin,” gumamnya. “Em, Pak, kalo boleh tau apa pekerjaanku di sini?” Sahira baru berani angkat bicara. Michael terdiam, memikirkan pekerjaan yang pas untuk Sahira. Tak mungkin kan, dia langsung bilang minta ditemenin bobok? “Sekretaris pribadiku.” Sahira mendongak, menatapnya lekat, “Jujur saja, Pak, aku tak punya pengalaman apapun.” “kau tak perlu punya pengalaman, cukup menemaniku tidur! Itu sudah cukup,” ucapnya dalam hati. “Pak?” panggil Sahira, saat tak ada respon dari Michael. “Em, tidak apa-apa. Nanti akan ada staff di sini yang mengajarimu.” “Em, kalau boleh tau, berapa gajinya? Maaf, kalau aku terlalu lancang, mengingat kalau aku tidak punya pengalaman apapun,” ucap Sahira lagi dengan sedikit takut. “20 juta.” “Se--sebulan?” “Iya. Kalo kinerjamu bagus.” Sahira mendekat ke arah Ayahnya. “Pak, ayok kita pulang.” “Lho, kenapa?” “Bos-nya stres. Aku yang tak punya pengalaman apapun digaji segitu, untuk apa orang capek-capek sekolah sampai tinggi. Aku rasa, aku bukan dibayar untuk jadi sekretaris,” bisiknya. Michael terhenyak, niatnya untuk membuat Sahira tergiur malah dikatain stres. Dia segera menarik napas panjang, “Jadi, bagaimana? Mau atau tidak?” “Ya, setuju,” seru Haidar. Dia tak peduli dengan rencana Michael, asalkan uang 200 juta segera jadi miliknya. “Tapi, Pak—” protes Sahira. “Sudah diam!” Michael menyering4i, dia segera menyerahkan surat perjanjian itu pada Sahira. Dengan terpaksa Sahira langsung menandatanganinya tanpa membacanya terlebih dahulu. “Sekarang, kau telah terperangkap gadis cantik.” batin Michael, memandangnya penuh hasrat. “Sudah,” ucap Sahira, menatap Michael dengan mata indahnya. “Bagus, kau bisa langsung bekerja mulai besok. Sekarang pergilah, persiapkan dirimu.” Sahira mengangguk. Dia segera beranjak pergi bersama Haidar. Haidar hanya menurut saja, entah apa yang sedang Michael rencanakan dia tak perduli. Yang dia mau hanya uang dan uang. Setelah ini, dia akan meminta uangnya, lalu pergi. “Tunggu!” Baru sampai pintu, ucapan Michael menghentikan keduanya. “Mulai besok, kau harus pakai rok mini,” sambungnya. APAH? Mata Sahira membulat sempurna. Bersambung ....Sahira berdiri mematung di dekat pintu ruangan Michael. Matanya terbelalak mendengar permintaan terakhir bos barunya. “Mulai besok, kau harus pakai rok mini.” Kalimat itu menggema dalam pikirannya, membuat wajahnya merah padam antara marah dan malu. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak.“Apa maksudnya, Pak?” Sahira memberanikan diri bertanya, meskipun suaranya terdengar bergetar. “Kenapa saya harus pakai rok mini? Bukankah saya di sini untuk bekerja, bukan ... untuk hal yang aneh-aneh?”Michael menatapnya dengan tenang, tetapi ada kilatan nakal di matanya. Sahira yang berdiri di sana dengan pipi merona dan ekspresi protes justru terlihat begitu menggemaskan bagi Michael. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, melipat kedua tangannya sambil menyunggingkan senyum. “Itu sudah menjadi peraturan di kantor ini,” jawab Michael santai.“Peraturan?” Sahira mengerutkan alisnya, tidak percaya. “Kenapa harus ada peraturan seperti itu?”Michael mengangkat bahu, matanya te
Sahira berdiri kaku di depan pintu, bingung dengan reaksi Michael. “Maaf, Pak?” tanyanya ragu, suaranya hampir tak terdengar.Michael mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Sahira dari kepala hingga kaki. Matanya menilai setiap detail penampilannya. Tidak ada sedikit pun kesan formal, apalagi seksi, seperti yang ia harapkan.“Ini ... ini yang kau pakai untuk bekerja?” ucap Michael, ia mencoba menahan emosinya. “Aku sudah bilang kau harus memakai rok mini, bukan pakaian seperti ini! Rok-mu itu terlalu panjang!”Sahira menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa gugup. “Maaf, Pak,” jawabnya pelan, “tapi aku memang tidak punya pakaian seperti itu di rumah.”Michael memijit pelipisnya, mencoba menenangkan diri. Di satu sisi, ia merasa kesal karena Sahira tidak mengikuti instruksinya. Namun di sisi lain, ia tidak bisa memungkiri bahwa gadis itu tetap terlihat cantik meskipun dengan penampilan sederhana seperti itu.“Dengar,” ucap Michael, suaranya sedikit melunak, “di sini, aku yang me
Sahira berdiri canggung di dekat pintu kantin, menatap sejenak ke arah menu yang tertulis di papan besar. Harga makanan di sana membuatnya meneguk ludah. Dia merogoh kantongnya dan memandangi lembaran uang yang tersisa hanya 75 ribu rupiah.“Uangku cuma segini,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam di tengah keramaian kantin. “Kalau aku boros sekarang, bagaimana dengan seminggu kedepan? Mau makan apa aku.”Dia menghela napas panjang, mencoba mencari solusi. Namun, semakin Sahira berpikir, semakin sadar bahwa pilihan terbaik adalah menahan lapar. Sahira membalikkan badan, bersiap meninggalkan kantin dengan langkah lesu. Namun tak lama kemudian, seseorang tiba-tiba mencekal pergelangan tangannya.“Akhh!”Sahira tersentak. Ia menoleh cepat, dan terkejut mendapati sosok Michael berdiri di sana.“Temani aku makan siang,” ucap Michael singkat.Mata Sahira membulat sempurna. Ia tidak menyangka bosnya yang dingin itu akan muncul di sini, apalagi memintanya menemani makan. “A-apa?” ucap
“Itu burung saya!”Hah?“Ah, maaf, Pak. Aku tak tau kalau itu burung Bapak.”Michael memejamkan mata, mencoba tak emosi di depan Sahira.“Keluar!” pintanya.“Tapi, Pak—”“Aku bilang keluar!”Sahira terkejut, dia segera berlari terbirit-birit dari sana.Di dalam ruangan, Michael berdiri mematung. Wajahnya tegang, dan tangannya mencengkeram pinggir meja kerja. Ia menghela napas panjang, mencoba menguasai dirinya. Michael mencoba menahan hasratnya. Dia begitu tersiksa, dengan nafsu yang tiba-tiba saja muncul.“Burung saya?” ulangnya dalam hati, merasa bodoh karena membiarkan kata-kata itu keluar begitu saja.Michael mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berjalan ke kamar mandi kecil di sudut ruangan. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap sensasi dingin itu bisa meredakan emosi dan perasaan campur aduk yang ia rasakan.“Ini semua gara-gara Sahira, dia harus bertanggung jawab!” umpatnya.Setiap kali dia menutup mata, bayangan Sahira dengan rok mini itu kembali memenuhi pikirannya
BRAK!Pintu ruangan terbuka dengan kencang, membuat Michael yang semula fokus pada layar komputer menoleh ke arah sumber suara.Di sana, berdiri Sahira yang wajah merah padam.“Pak Michael, aku mau resign!” ucapnya dengan lantang.Michael terdiam sejenak, seolah berpikir.“Resign?” ulangnya.“Iya.”“Kenapa? Kamu baru bekerja dua hari, sekarang minta resign, apa ada yang salah?”'Tentu saja salah, kau sudah bertindak kurang ajar padaku!' umpat Sahira dalam hati.“Pokoknya aku mau resign Pak, aku nggak betah bekerja di sini.““Baiklah, kalau kamu mau resign.”Hah? Semudah itu?“Iya.” Sahira segera berbalik, berniat pergi dari sana. Tetapi, ucapan Michael menghentikan langkahnya.“Kau pulang sekarang, dan kembali lagi sambil bawa uang sebanyak 500 juta, berikan padaku.”“Apa?!”“Kurang jelas? Pulanglah, dan kembali lagi kemari. Kamu harus memberiku 500 juta karena telah memilih resign.”“Aku sama sekali tak mengerti!”Michael menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan, “Kamu ingat su
“Ah, Pak, lepaskan! Aduh!” Michael tidak menjawab, tapi malah menarik Sahira lebih dekat ke arahnya. Sahira merasa tidak nyaman dan berusaha melepaskan diri, tapi Michael terlalu kuat.“Ah, nikm4t sekali.” pria itu langsung menggesekkan senjata miliknya dengan pant*t bahenol Sahira.Sahira menggigit bibir, kala jemari Michael meremas bulatan indah miliknya.“Pak ... kumohon jangan. Bukankah aku butuh waktu. Jangan sekarang, Pak.”Michael mendesah pelan, napasnya mengenai leher Sahira. Sahira merasa bulu kuduknya berdiri, dia memberontak dan berusaha melepaskan diri dari pelukan Michael.Michael yang tak sabaran segera menurunkan resleting celananya, hal itu membuat Sahira semakin panik.“Ahh, Pak ... jangan Pak, bagaimana kalau ada yang melihat kita!”“Pak!”“Ah, Pak, jangan! Ugh!”Hening.Sahira tertegun, dia segera menoleh ke samping, tak ada siapapun.Hah?Dia tersadar bahwa itu hanya khayalan. Saat ini, dirinya masih berada di ruangan kerja Michael, sendirian. Dia tidak sedang da
Sahira duduk di sudut transportasi umum, uangnya tak cukup untuk memesan taksi. Pagi ini penumpang begitu ramai, membuatnya menjadi canggung.Dan benar saja, tatapan beberapa penumpang yang duduk di sekitarnya membuatnya merasa tidak nyaman. Bisik-bisik pun mulai terdengar.“Lihat, rok sependek itu pagi-pagi. Mau ke mana dia?” seorang wanita tua berbisik pelan tapi sengaja dikeraskan.“Ya ampun, gak takut kedinginan apa?” sahut seorang ibu sambil memeluk anaknya erat, seolah Sahira adalah ancaman.“Zaman sekarang, kok, perempuan makin berani, ya. Mau cari perhatian siapa? Perhatian Bos?” kata seorang pria sambil melirik Sahira dari atas ke bawah.Mendengar itu, Sahira menunduk dalam-dalam, wajahnya memerah karena malu. Dengan cepat, ia meraih jaket di tasnya dan menutupinya ke paha. “Kenapa aku harus pakai rok ini tadi?” gumamnya pelan, hampir menangis.Dia menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan suara-suara di sekitarnya. “Semoga cepat sampai,” batinnya, sambil memandangi jalanan di
Mereka masuk ke dalam gedung rumah sakit. Sesampai di sana, Michael langsung masuk ke dalam ruangan dokter tak perlu mengantri terlalu lama.Sahira yang merasa tak enak pada bagian anu-nya akibat kejadian di dalam taksi tadi, bergegas pamit pada Michael untuk ke toilet. "Pak, aku permisi dulu ke toilet dulu, ya," katanya.Michael mengangguk. Dia mengerti apa yang terjadi pada Sahira. “Pergilah. Aku akan menunggu di sini. Jangan lama-lama."Sahira berjalan menuju toilet, merasa lega bisa melarikan diri sejenak dari Michael yang tiba-tiba berubah menjadi sangat mesum. Dia tidak mengerti apa yang terjadi dengan bosnya itu.Sahira menghela napas, mencoba menetralkan perasaannya. “Ini gila! Bagaimana mungkin aku menikmatinya,” umpatnya sedikit frustrasi.“Aku harus segera melarikan diri sebelum dua minggu. Jangan sampai Pak Michael memperawaniku. Setelah mendapatkan gaji pertamaku, aku akan pergi.”Untung saja Sahira masuk di pertengahan bulan, kemungkinan gajinya dibayar setengah.“10 ju
Deg!Sahira tersentakDarahnya seolah membeku, napasnya tercekat di tenggorokan.“Sergio, lepaskan!” pekiknya spontan, tubuhnya berusaha meronta.Namun, saat ia berbalik dengan panik, matanya justru bertemu dengan sepasang mata tajam milik Michael.Sahira langsung diam. Dadanya masih naik turun akibat keterkejutan barusan.Michael menatapnya dengan sorot serius. “Kenapa kau selalu bereaksi seperti itu?” tanyanya dingin.Sahira menunduk, merasa malu sekaligus lega. “Aku … aku kira Sergio …”Mata Michael langsung berubah lebih gelap. Rahangnya mengeras. “Si4l, dia telah membuatmu trauma,” desisnya pelan.Sahira buru-buru menggeleng. “T-tidak. Aku hanya kaget saja.”Michael menatapnya dalam, lalu menarik napas panjang untuk meredam emosinya. “Aku tidak akan membiarkan dia menyentuhmu lagi,” ucapnya dengan nada tajam.Sahira hanya diam, entah kenapa, hatinya merasa sedikit lebih tenang mendengar kata-kata Michael.Michael kemudian mengalihkan perhatiannya ke wastafel. Ia mendecak pelan. “
Sahira menggigil saat melihat Sergio yang berdiri di ambang pintu.Laki-laki itu sempoyongan, bau alkohol menyengat dari tubuhnya. Matanya sayu, tetapi sorotnya berkilat aneh, gelap, liar, dan mesum“Sahira … aku datang,” gumamnya dengan suara serak, bibirnya melengkung membentuk senyum miring yang membuat bulu kuduk Sahira berdiri.Jantung Sahira berdegup kencang.“Sergio, keluar dari kamarku!” serunya, suaranya bergetar antara marah dan takut.Sergio tertawa kecil. Lalu menutup pintu di belakangnya, membuat ruangan itu semakin terasa sempit dan pengap.“Kau manis sekali … tubuhmu seksi, ah ....” bisiknya, berjalan terhuyung mendekat. “Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.”Sahira mundur, tangannya meremas seprai.“Sergio, kalau kau tidak keluar, aku akan berteriak!”ancamnya.Sergio tidak peduli. Dia terus berjalan, dan akhirnya berdiri di tepi ranjang. “Berteriaklah … aku ingin mendengarnya,” bisiknya, suaranya terdengar menggoda tetapi beracun.Sahira tahu ini berbahaya. Tangannya
Michael duduk di ruang kerjanya, rahangnya mengeras, matanya tajam menatap layar monitor di depannya.Rekaman CCTV di mansionnya terus berulang di layar, menampilkan perbuatan menjijikkan Sergio terhadap Sahira.Tangannya mengepal.Darahnya mendidih.Napasnya memburu, dadanya naik turun dalam amarah yang hampir tak terbendung.Brak!Gelas di tangannya pecah berkeping-keping di lantai, suara nyaringnya menggema di seluruh ruangan.Michael tak peduli.Tatapannya gelap.Dengan langkah cepat, ia keluar dari ruangannya, tubuhnya dipenuhi aura mengerikan.“Sergio!!!” Teriakannya mengguncang seluruh mansion.Hening.Tidak ada jawaban.Para pelayan yang kebetulan melintas langsung merunduk ketakutan, tak berani mendekat saat melihat ekspresi Michael yang sedang marah.Hening semakin panjang tapi akhirnya David muncul, dengan tergesa-gesa."Tuan, Sergio sudah keluar," lapornya cepat.Mata Michael menyala penuh kebencian.Tanpa berpikir dua kali, ia bergegas menuju garasi.Setibanya di sana, Mi
“Jangan berbohong.”Ia tidak bodoh. Ada sesuatu yang terjadi.Tubuh Sahira sedikit gemetar, napasnya masih belum teratur, dan sorot matanya menyiratkan ketegangan yang tidak bisa disembunyikan.“A-aku tidak berbohong.”Tanpa menunggu lebih lama, Michael melangkah mendekat, “Adikku mengganggumu?”Sahira tersentak kecil. Matanya membesar sejenak sebelum dengan cepat menggeleng. “T-tidak, Tuan. Tidak ada yang terjadi.”Michael menatapnya lebih lama, mencoba membaca kebohongan yang begitu jelas di mata wanita itu.Ia menghela napas panjang, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya, mencoba menahan emosi yang mulai menggelegak dalam dadanya.Sergio benar-benar mencari masalah.Namun, melihat Sahira yang tampak begitu tegang, Michael memutuskan untuk tidak mendesaknya sekarang.“Sudah cukup untuk malam ini. Pergilah istirahat,” ucapnya dengan nada lebih lembut.Sahira langsung menggeleng cepat. “Aku belum selesai mencuci piring.”Michael mendesah, mengamati wanita di hadapannya. Mata itu begitu
Sahira berdiri di dapur, jari-jarinya dengan cekatan mengiris bawang di atas talenan kayu. Namun, pikirannya melayang jauh. Hinaan Evelyn masih terngiang di telinganya, dan tatapan tajam Sergio masih terasa menusuk meskipun pria itu sudah tidak ada di dekatnya.Sahira menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi perasaan sesak itu tetap ada.Dia menggigit bibirnya, berusaha keras menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.'Aku harus kuat. Aku harus bertahan.' batinnya.Namun, saat ia menunduk dan melihat bayangannya di permukaan panci yang berkilau, dadanya semakin terasa sesak. Ia mengangkat tangan, menyeka sudut matanya dengan cepat sebelum seseorang melihatnya.Namun terlambat.Sebuah tangan hangat tiba-tiba menyentuh pundaknya dengan lembut. Sahira tersentak, buru-buru menoleh.Michael berdiri di sana, menatapnya dengan sorot mata sendu.Sahira langsung menunduk, menyeka air matanya sekali lagi dengan punggung tangannya. Dia tersenyum kecil, berusaha terlihat tega
Pagi hari ....“Nona ... biar kami saja.”“Tidak usah, biar aku saja. Ini tidak terlalu sulit.”Sahira tampak sibuk di dapur. Tangannya dengan cekatan mengaduk saus kental dalam panci, sesekali ia mencicipinya dengan sendok kecil, memastikan rasanya sempurna.Memasak adalah hobinya sejak kecil. Ada ketenangan yang ia rasakan saat mengolah bahan-bahan menjadi makanan lezat.“Eummh, rasanya pas.”Tanpa ia sadari, sepasang mata tajam tengah mengamatinya. Michael berdiri di ambang pintu, menyandarkan tubuhnya di kusen dengan tangan terlipat di dada. Senyum menggoda tersungging di wajahnya saat melihat kekasihnya tampak begitu serius dengan masakannya.Michael memberi kode pada para pelayan untuk meninggalkan dapur. Mereka menurut dengan cepat tanpa bersuara, meninggalkan Sahira yang masih asyik dengan sausnya.Michael melangkah perlahan, mendekat tanpa suara. Begitu jaraknya cukup dekat, kedua tangannya melingkar di pinggang Sahira dengan erat.Sahira terlonjak kaget. Sendok kecil yang ia
“Siapa kamu?” tanya Evelyn menatap Sahira dengan tajam.“A-aku sekretaris Pak Michael, Nyonya Bos.”“Kenapa kamu tidak menyambutku?” Evelyn merasa terhina saat salah satu pegawai putranya tak menghormati dirinya.“Maaf, Nyonya, tadi aku hanya mengikuti perintah Pak Michael untuk tidak melakukan apapun.”“Wah ... kurang ajar sekali dirimu, ya. Ongkang-ongkang kaki di perusahaan anakku.”Sahira menunduk dalam-dalam. Ia bisa merasakan tatapan tajam Evelyn menelisiknya dari atas hingga bawah, seolah menelanjangi harga dirinya di depan semua orang.Evelyn menyipitkan mata, lalu mendekat selangkah, ekspresi wajahnya berubah seketika—seakan-akan ada sesuatu yang baru ia sadari. Sudut bibirnya melengkung ke atas dalam seringai penuh ejekan.“Kok bisa putraku itu mempekerjakan pembantu menjadi sekretaris?”Hening. Suasana kantor mendadak sunyi, hanya desisan kecil dari beberapa karyawan yang tak bisa menahan keterkejutan mereka.Sahira mengangkat kepala, matanya melebar. “Pembantu?” gumamnya
Sinar matahari yang hangat menembus jendela besar kamar, menyinari wajah Sahira yang masih terlelap dalam pelukan Michael. Pria itu sudah terjaga sejak beberapa menit yang lalu, tetapi dia enggan bergerak. Melihat Sahira tidur dengan wajah damai membuatnya merasa tenang.Namun, akhirnya dia memutuskan untuk membangunkan wanita itu. Dengan lembut, dia menyelipkan jemarinya ke rambut Sahira, menyibakkan beberapa helai yang jatuh ke wajahnya.“Sayang, bangun,” bisiknya.Sahira menggeliat pelan, “Engghh ... aku masih ngantuk, Mike.”“Ya sudah, kalau begitu tidur saja.”Sahira tersenyum, kemudian memejamkan mata kembali. Tak lama kemudian ...“Ughh!“ dia menggigit bibir saat sebuah tangan masuk ke dalam piyamanya.Sahira lekas membuka mata, kemudian menyingkirkan tangan Michael dari anu-nya.“Aku bangun, ternyata ini sudah siang.”“Permisi, Pak ...” Sahira segera menyingkap selimut, dan pergi menuju kamar mandi.Michael terkekeh, melihat wanitanya yang tiba-tiba saja berubah pikiran. Takut
Pintu utama tiba-tiba terbuka dengan kasar.Brakk!!Sahira terlonjak, jantungnya hampir melompat keluar karena terkejut. Michael dengan refleks menariknya ke belakang, bersiap menghadapi siapa pun yang masuk.Namun, yang muncul adalah David, wajahnya terlihat sangat cemas dan napasnya juga memburu.“Boss! Ini gawat!” serunya sambil berjalan cepat ke arah Michael.Michael mengerutkan kening. “Apa yang terjadi?”David melirik sekilas ke arah Sahira, seolah ragu untuk berbicara di depannya.Michael mendesah. “Katakan saja.”“Ada kiriman bom di jalan utama dekat mansion. Kita harus segera bertindak sebelum terlambat!”Deg!Sahira menahan napas, membelalak kaget. “B-Bom?”Michael mengumpat pelan. Rahangnya menegang, lalu menoleh ke arah Sahira yang masih terlihat kebingungan.“Sahira, dengarkan aku baik-baik.” Michael menggenggam bahu gadis itu dengan kedua tangannya. “Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan menangani ini. Tapi aku ingin kamu tetap aman di sini.”Sahira menatapnya dengan cemas