BRAK!
Pintu ruangan terbuka dengan kencang, membuat Michael yang semula fokus pada layar komputer menoleh ke arah sumber suara. Di sana, berdiri Sahira yang wajah merah padam. “Pak Michael, aku mau resign!” ucapnya dengan lantang. Michael terdiam sejenak, seolah berpikir. “Resign?” ulangnya. “Iya.” “Kenapa? Kamu baru bekerja dua hari, sekarang minta resign, apa ada yang salah?” 'Tentu saja salah, kau sudah bertindak kurang ajar padaku!' umpat Sahira dalam hati. “Pokoknya aku mau resign Pak, aku nggak betah bekerja di sini.“ “Baiklah, kalau kamu mau resign.” Hah? Semudah itu? “Iya.” Sahira segera berbalik, berniat pergi dari sana. Tetapi, ucapan Michael menghentikan langkahnya. “Kau pulang sekarang, dan kembali lagi sambil bawa uang sebanyak 500 juta, berikan padaku.” “Apa?!” “Kurang jelas? Pulanglah, dan kembali lagi kemari. Kamu harus memberiku 500 juta karena telah memilih resign.” “Aku sama sekali tak mengerti!” Michael menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan, “Kamu ingat surat perjanjian yang kamu tanda-tangani kemarin?” Sahira mengangguk pelan. “Di sana tertulis bahwa kamu terkontrak seumur hidup denganku. Jika kamu melanggar perjanjian, kamu akan dikenai sanksi sebesar 500 juta.” Sahira terkejut, “Ini gila!” Michael membatin, “Ya, aku tergila-gila padamu.” “Jangan pernah berpikir untuk kabur, atau kau akan dijebloskan ke dalam penjara. Dan dihukum dengan seberat-beratnya.” Michael mencoba menakuti Sahira. Sahira terdiam, lalu bergumam, “Dari mana aku dapatkan uang sebanyak itu? Untuk makan saja aku ngutang. Apa aku harus jual ginjal atau jual kutang? Ah ...!” Sahira mencoba berpikir, tapi tetap saja tak mengubah apapun. Michael tersenyum licik, “Tenang saja, tak perlu panik.” “Bagaimana mungkin aku tak panik. Aku telah di tipu mentah-mentah.” “Kalau kau mau, aku bisa memberikan keringanan padamu, Sahira.” Sahira menatapnya dengan curiga, “Apa itu?” Michael berjalan mendekati Sahira, “Kamu hanya perlu melakukan satu hal untukku.” “Hemm?” Sahira menatapnya lekat, menunggu jawaban. “Kamu harus ... bercinta denganku semalam,” bisiknya. Sahira terkejut dan marah,“Dasar Bos kamvret! Baji-gur!” Michael tertawa kecil. “Jika kamu melakukannya, aku akan mengurangi kontrakmu menjadi setahun. Kamu tidak perlu membayar 500 juta. Dan, aku akan memberikan semua fasilitas yang kamu butuhkan. Setelah setahun, kamu bebas.” Sahira menggeleng, “Tidak mau! Aku tidak akan melakukan hal seperti itu!” Tapi, Michael hanya tersenyum, “Pikirkanlah, Sahira. Kamu tidak memiliki pilihan lain. Kamu tidak memiliki uang untuk membayar sanksi. Dan, kamu juga tidak ingin kehilangan pekerjaanmu, kan?” “Tidur denganku semalam, bekerja setahun. Setelah itu, kamu bisa foya-foya.” Sahira berpikir sejenak, dan kemudian menatap Michael dengan wajah yang tidak bisa dijelaskan, “Tapi ...” “Bayar 500 juta kalau mau pergi.” Sahira menghela napas, dia benar-benar terjebak. “Baiklah, aku setuju. Tapi ... aku butuh waktu untuk mempersiapkan diri. Karena aku ... aku masih perawan.” Michael tersenyum tipis, kemudian mengangguk, “Baiklah, berapa lama waktu yang kamu butuhkan?” Sahira berpikir sejenak, “Dua minggu. Aku butuh dua minggu untuk mempersiapkan diri.” Michael tersenyum, “Baiklah, aku setuju. Di mulai hari ini. Kamu memiliki dua minggu untuk mempersiapkan diri. Setelah itu, kita akan melakukan apa yang telah kita sepakati.” Sahira merasa tidak nyaman dengan keputusannya, tapi dia tahu bahwa dia tidak memiliki pilihan lain. Dia akan memikirkan cara agar bisa kabur sebelum 2 Minggu tersebut. “Baiklah,” ucap Sahira pelan. “Aku akan siap dalam dua minggu.” * Sahira duduk sendirian di kantin, menatap es teh yang masih penuh di depannya. Dia tidak memiliki selera untuk makan atau minum. Pikirannya terganggu oleh kejadian-kejadian yang baru saja terjadi. “Bapak ... Bapak di mana? Aku rindu.” Dia merindukan Haidar, ayah angkatnya yang telah meninggalkannya tiga hari yang lalu. Sahira tidak tahu ke mana Haidar pergi, atau mengapa dia pergi tanpa memberitahunya. Sahira merasa kesepian dan tidak memiliki tempat untuk berlindung. Dia tidak pernah berpikir akan terjebak oleh Michael, CEO yang mesum itu. Sahira merasa frustrasi dan marah pada dirinya sendiri. 'Seharusnya aku menolak tawaran kerja di sini. Seandainya Bapak tidak tergiur dengan gajinya, mungkin aku baik-baik saja.' Sahira mendesah dan menutup matanya, berharap semuanya akan berakhir dan dia bisa kembali hidup normal. *** Tok! Tok! Tok! Lucas mengetuk pintu ruangan Michael dengan pelan sebelum masuk. Di tangannya, dia membawa sebuah ponsel, tampak sedikit ragu saat masuk ke dalam. “Em, Bos, ada telpon dari Nyonya Evelyn, ibu Anda,” ucap Lucas dengan sedikit canggung. Dia tahu Michael tak terlalu suka berbicara dengan ibunya, terutama saat ibunya menelpon tanpa alasan yang jelas. Michael mengerutkan keningnya, seolah sudah bisa menebak siapa yang menelepon. “Baiklah, terima kasih,” jawab Michael dengan nada malas, mengambil alih ponsel dari tangan Lucas. “Halo, Mom?” suaranya terdengar datar. “Halo, Mike Sayang, bagaimana kabarmu?” suara ibu Michael, Nyonya Evelyn, terdengar sumringah di ujung telepon. Michael memejamkan mata sejenak, mencoba menahan perasaan muak yang mulai muncul. “Aku baik, Mom. Ada apa?” “Oh, tidak ada apa-apa, Mike. Mommy hanya ingin mendengar suaramu. Oh iya, Mommy akan pulang bulan depan, maaf baru memberitahumu sekarang,” seru Nyonya Evelyn. “Benarkah?” tanya Michael, berusaha terdengar lebih tertarik. “Ya, mommy harap kamu sudah memiliki calon untuk dikenalkan pada Mommy.” Michael terdiam sejenak, pikirannya melayang. “Aku ... aku belum menemukan yang tepat, Mom,” jawabnya dengan hati-hati, meskipun sebenarnya ia sudah cukup lelah dengan pembicaraan ini. Huh! Michael menghembuskan napas kasar. Sepertinya percakapan seperti ini tidak pernah berubah. “Mom, aku harus pergi sekarang,” ucap Michael mencoba mengakhiri pembicaraan. “Mike, sayang, jangan lupa pikirkan lagi. Mommy hanya ingin melihatmu bahagia.” “Baiklah, Mom. Sampai nanti,” jawab Michael cepat, lalu memutuskan sambungan telepon. Dia meletakkan ponsel di meja, menatap Lucas yang masih berdiri di pintu dengan setia. “Jadi, bagaimana dengan bisnis kita?” tanya Michael, berusaha mengalihkan perhatian. “Semua berjalan dengan lancar, Bos. Semua sesuai dengan rencana,” jawab Lucas dengan suara lebih lega, setelah melihat Bos-nya terlihat lebih fokus pada pembicaraan bisnis. “Baguslah,” ujar Michael, kemudian berdiri dan melangkah keluar dari ruangannya. Lucas mengikuti di belakangnya, siap melaporkan lebih lanjut tentang perkembangan yang perlu Michael ketahui. * Sahira melangkah masuk ke ruangan Michael dengan langkah pelan. Kriet! “Maaf, Pak, aku—” Dia terkejut melihat ruangan yang kosong, tanpa ada satu orang pun di dalamnya. “Lho, kemana dia?” gumamnya. 'Ah, sudahlah. Aku lebih leluasa saat tak ada dia.' Sahira melihat-lihat interior di sana dengan bebas, menyentuh pajangan-pajangan mahal di sana. Dia bergumam, “Pak Michael memang tampan, hanya saja ... sedikit mesum kek Othor.” dia tersenyum kecil, tapi senyum itu langsung pudar saat mengingat hal menyebalkan tentang Bos-nya. Sahira berjalan mendekati meja kerja Michael, melihat-lihat dokumen-dokumen yang tergeletak di atasnya. Tiba-tiba, dia tidak sengaja menjatuhkan pulpen di lantai. Puk! “Astaga!” Sahira menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan aman dari seseorang saat ia membungkuk. Posisinya yang memakai rok mini membuat siapa saja bisa melihat celana dalamnya saat membungkuk. Dia menggigit bibir, kemudian ... “Aman,” ucapnya pelan. Dia segera membungkuk, mengambil pulpen itu. Saat hendak bangun, tiba-tiba seseorang memegangi pinggulnya. Sahira terkejut, dia segera menoleh ke belakang. Deg! Michael berdiri di belakangnya, dia menyeringai. “Apa yang Anda lakukan, Pak?” tanya Sahira dengan panik. “Ah, Pak, lepaskan! Aduh!” Michael tidak menjawab, tapi malah menarik Sahira lebih dekat ke arahnya. Sahira merasa tidak nyaman dan berusaha melepaskan diri, tapi Michael terlalu kuat. Bersambung ....“Ah, Pak, lepaskan! Aduh!” Michael tidak menjawab, tapi malah menarik Sahira lebih dekat ke arahnya. Sahira merasa tidak nyaman dan berusaha melepaskan diri, tapi Michael terlalu kuat.“Ah, nikm4t sekali.” pria itu langsung menggesekkan senjata miliknya dengan pant*t bahenol Sahira.Sahira menggigit bibir, kala jemari Michael meremas bulatan indah miliknya.“Pak ... kumohon jangan. Bukankah aku butuh waktu. Jangan sekarang, Pak.”Michael mendesah pelan, napasnya mengenai leher Sahira. Sahira merasa bulu kuduknya berdiri, dia memberontak dan berusaha melepaskan diri dari pelukan Michael.Michael yang tak sabaran segera menurunkan resleting celananya, hal itu membuat Sahira semakin panik.“Ahh, Pak ... jangan Pak, bagaimana kalau ada yang melihat kita!”“Pak!”“Ah, Pak, jangan! Ugh!”Hening.Sahira tertegun, dia segera menoleh ke samping, tak ada siapapun.Hah?Dia tersadar bahwa itu hanya khayalan. Saat ini, dirinya masih berada di ruangan kerja Michael, sendirian. Dia tidak sedang da
Sahira duduk di sudut transportasi umum, uangnya tak cukup untuk memesan taksi. Pagi ini penumpang begitu ramai, membuatnya menjadi canggung.Dan benar saja, tatapan beberapa penumpang yang duduk di sekitarnya membuatnya merasa tidak nyaman. Bisik-bisik pun mulai terdengar.“Lihat, rok sependek itu pagi-pagi. Mau ke mana dia?” seorang wanita tua berbisik pelan tapi sengaja dikeraskan.“Ya ampun, gak takut kedinginan apa?” sahut seorang ibu sambil memeluk anaknya erat, seolah Sahira adalah ancaman.“Zaman sekarang, kok, perempuan makin berani, ya. Mau cari perhatian siapa? Perhatian Bos?” kata seorang pria sambil melirik Sahira dari atas ke bawah.Mendengar itu, Sahira menunduk dalam-dalam, wajahnya memerah karena malu. Dengan cepat, ia meraih jaket di tasnya dan menutupinya ke paha. “Kenapa aku harus pakai rok ini tadi?” gumamnya pelan, hampir menangis.Dia menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan suara-suara di sekitarnya. “Semoga cepat sampai,” batinnya, sambil memandangi jalanan di
Mereka masuk ke dalam gedung rumah sakit. Sesampai di sana, Michael langsung masuk ke dalam ruangan dokter tak perlu mengantri terlalu lama.Sahira yang merasa tak enak pada bagian anu-nya akibat kejadian di dalam taksi tadi, bergegas pamit pada Michael untuk ke toilet. "Pak, aku permisi dulu ke toilet dulu, ya," katanya.Michael mengangguk. Dia mengerti apa yang terjadi pada Sahira. “Pergilah. Aku akan menunggu di sini. Jangan lama-lama."Sahira berjalan menuju toilet, merasa lega bisa melarikan diri sejenak dari Michael yang tiba-tiba berubah menjadi sangat mesum. Dia tidak mengerti apa yang terjadi dengan bosnya itu.Sahira menghela napas, mencoba menetralkan perasaannya. “Ini gila! Bagaimana mungkin aku menikmatinya,” umpatnya sedikit frustrasi.“Aku harus segera melarikan diri sebelum dua minggu. Jangan sampai Pak Michael memperawaniku. Setelah mendapatkan gaji pertamaku, aku akan pergi.”Untung saja Sahira masuk di pertengahan bulan, kemungkinan gajinya dibayar setengah.“10 ju
Michael mengetuk meja pelan, tanpa menoleh ke arah Sahira yang sibuk di mejanya. Setelah sakit dikepalanya mereda, dia langsung melanjutkan pekerjaannya daripada memilih beristirahat.“Sahira, tolong buatkan aku kopi? Aku butuh sesuatu yang panas untuk membantuku fokus,” ucapnya.Sahira segera berdiri. “Baik, Pak. Tunggu sebentar.”Dia bergegas menuju pantry, mengambil cangkir favorit Michael, lalu menyeduh kopi dengan hati-hati. “Em, sudah.”Setelah selesai, dia membawa kopi itu dengan langkah pelan, takut cairan hitam pekat itu tumpah. Tangannya memegang nampan erat-erat.Jangan sampai tumpah ...Jangan sampai tumpah ...Itu yang dia ucapkan di dalam hati berulang-ulang.Dia masuk ke dalam ruangan dengan senyum dibibirnya, untuk mengurangi rasa gugup. Sahira berdiri di depan meja Michael, tetapi mendadak tangannya bergetar. Entah karena gugup atau takut, cangkir kopi di atas nampan mulai goyah.“Cepat, taruh saja di meja,” perintah Michael tanpa menoleh, sibuk dengan dokumen di dep
“Lama tidak bertemu, Karin,” ucap Michael pelan.Tanpa ragu, Karin--wanita berpenampilan elegan dengan rambut cokelat bergelombang, mengenakan dress pas badan berwarna merah menyala itu menarik wajah Michael dan mencium bibirnya lagi. Ciuman itu cukup lama, penuh gairah, membuat Sahira yang duduk di pojok ruangan hanya bisa tertegun.Deg!Sahira menatap keduanya dengan mata membulat. Hatinya mendadak panas. “Bisa-bisanya mereka tidak melihat aku di sini!”Michael dan Karin seperti lupa bahwa ada orang lain di ruangan itu. Mereka terus berpelukan, berciuman penuh gairah dan suara decapan lidah mereka membuat Sahira semakin kesal.“Berlebihan sekali,” gumam Sahira dengan kesal. Dia mencebik, lalu berdehem keras hingga dahaknya rontok.“Ekhem!”Michael dan Karin akhirnya tersadar. Karin melepas pelukannya, menoleh ke arah Sahira dengan alis terangkat, sementara Michael hanya menghela napas kecil.“Mike, siapa dia?” tanya Karin, dia menelisik Sahira dari atas sampai bawah.Michael melirik
Beberapa menit sebelumnya ...“David, belok kiri,” ucap Michael pada David, salah satu anak buahnya.“Tapi, Bos, bentar lagi kita sampai ke mansion.”“Aku bilang belok kiri,” jawab Michael dengan tegas. Entah kenapa, sejak tadi dia terus memikirkan Sahira.“Padahal baru saja bertemu pagi tadi, aku sudah merindukannya,” batinnya.Michael tersenyum kecil, dia terus memberi intrusksi pada David menuju ke tempat Sahira. David mendengus kesal saat melewati jalan kecil yang yang becek dan berlubang.“Bos, sebenarnya, kita mau kemana?”“Sudah, jangan banyak bicara. Ikuti saja arahanku.”“Hmm, baiklah.” dia segera menurut saja, daripada kena amukan Bos-nya.Michael duduk di dalam mobil dengan dada berdebar-debar. Tak biasanya dia merasakan firasat seperti ini, tapi bayangan Sahira terus saja menghantuinya. Mobil berhenti di sebuah jalan sempit di depan rumah kecil Sahira.“Bos, ini rumahnya?” tanya David sambil melirik bangunan kecil di depannya.Michael hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa
“Ini salah satu apartemen kosong milik keluargaku. Kamu bisa tinggal di sini sementara.”“Em, sekali lagi terima kasih, Pak.”“Hmm, sama-sama.”Sahira masih terdiam di pintu apartemen mewah itu, matanya menyapu setiap sudut ruangan yang tampak begitu luas dan elegan. Tidak percaya, dia melihat semua jenis makanan yang enak-enak di atas meja makan.“Di rumah aku hanya makan Indomie.” dia merasa canggung sekaligus terharu."Sahira, aku harap kamu menyukainya,” kata Michael dengan lembut.Sahira terdiam, hampir tak tahu harus berbuat apa. Pikirannya bercampur aduk, antara rasa terima kasih yang dalam dan rasa tak percaya, dia masih hidup.Michael bukan hanya telah menyelamatkannya dari kebakaran, tetapi juga memberinya tempat tinggal yang nyaman.Tanpa berpikir panjang, Sahira mendekat dengan langkah cepat, lalu tanpa aba-aba, memeluk Michael dengan erat.Pelukan yang spontan membuat Michael terkejut, tubuhnya membeku sejenak, lalu ia menyadari maksud dari pelukan itu.“David! Keluar!” t
Sahira terbelalak melihat siapa yang berdiri di depan pintu.“Ka-kamu?”“Pak Michael, mau apa dia malam-malam begini?” ucapnya dalam hati.Sahira memang merindukan pria itu, tapi tak menginginkannya kalau datang ke sana.Michael berdiri di ambang pintu dengan jasnya yang sedikit berantakan, dasinya melonggar, dan wajahnya tampak lelah.“Ada apa, kenapa Bapak datang kemari?Tanpa aba-aba, Michael melangkah masuk, tangannya langsung menarik pinggang Sahira dan menutup pintu di belakang mereka.Klik!Sahira tersentak. Michael baru saja mengunci pintu apartemen.“Pak Michael, apa yang kau—”Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Michael sudah memeluknya erat. Tangan pria itu melingkar di pinggangnya, tubuhnya menekan lembut ke dada bidang Michael yang terasa hangat.“Aku merindukanmu,” bisik Michael di telinga Sahira.Deg!Sahira membeku.Jantungnya berdetak tak karuan, napasnya tercekat, dan otaknya seolah berhenti berpikir.Rindukah dia?Michael merindukannya?Ini gawat! Pria itu pa
Langit malam di pulau pribadi tampak gelap pekat, dihiasi gemerlap bintang yang bersinar samar. Cahaya bulan menerangi area acara konferensi pers yang telah tertata mewah. Panggung utama berdiri kokoh di tengah lapangan terbuka, dihiasi lampu-lampu kristal yang berpendar lembut. Para tamu undangan mulai memenuhi kursi yang disediakan, sebagian besar adalah pebisnis ternama, investor besar, serta media yang siap meliput momen penting malam ini.Di antara kerumunan itu, Michael Nathaniel melangkah penuh percaya diri, mengenakan jas hitam yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya yang tampan tampak tenang, tetapi sorot matanya tajam, penuh perhitungan. Dia tahu betul bahwa malam ini bukan sekadar konferensi pers biasa—ini adalah pertarungan.Dan lawannya sudah menunggu di atas panggung.Alexa J.Wanita itu berdiri anggun, mengenakan gaun berwarna merah marun yang elegan, dengan potongan yang pas di tubuhnya, menonjolkan kesan berkelas sekaligus menggoda. Rambut panjangnya dig
Pagi hari di kantor Michael dimulai dengan suasana yang lebih sepi dari biasanya. Michael duduk di belakang meja kerjanya, sibuk membaca laporan keuangan perusahaan. “Em, yang ini bagus ....”“Yang ini sudah ada peningkatan.”“Yang ini mulai naik kembali,” gumam Michael, sambil memainkan pena dijari-nya.Meskipun kejadian beberapa hari terakhir cukup membuatnya frustrasi, dia tetap harus menjaga fokus pada bisnisnya.Tak berselang lama ....Tok! Tok!Pintu ruangannya diketuk sebelum akhirnya terbuka. Lucas masuk dengan ekspresi serius, namun ada sedikit senyum di sudut bibirnya.“Apa?” tanya Michael tanpa mengangkat wajahnya dari laporan.Lucas melangkah mendekat, meletakkan sebuah undangan berwarna hitam dan emas di atas meja Michael. “Ini undangan dari investor ternama, Andrew Donovan. Dia mengadakan acara eksklusif di pulau pribadinya akhir pekan ini. Kau diundang.”Michael melirik undangan itu sekilas. “Aku sibuk.”Lucas mendesah, sudah menduga jawaban itu. “Bos, ini bukan sekada
Lucas dan Olivia sedang berada di sudut ruangan, berbicara dengan suara pelan, sesekali saling menyentuh dengan mesra.“Iihhh, liat ke arah sana.”“Kalo ada wanita cantik di depanku, ngapain aku harus liat ke arah lain, hem?”Tatapan menggoda dari Lucas membuat Olivia tersenyum malu-malu, sementara tangannya memainkan ujung dasi pria itu.“Nanti lagi ya? Aku udah kecanduan sayang ....” Lucas mendekat, kemudian memeluk Olivia dengan erat, menaruh kepalanya di ceruk leher Olivia.“Eummhh, tubuhmu wangi.”Michael baru saja tiba dan melangkah masuk ke ruangannya. Dia merasa lelah setelah semalaman tidak bisa tidur, pikirannya dipenuhi berbagai strategi bisnis, dan—entah kenapa—sosok Alexa juga terus mengganggunya. Kriet!Begitu dia membuka pintu, pandangannya langsung tertuju pada Lucas dan Olivia yang sedang tenggelam dalam dunia mereka sendiri.“Ah, pelan-pelan, Pak ....” Olivia meringis. Tidak menyadari kehadiran Michael.Michael menegakkan tubuh, menarik napas panjang, lalu berdehem
Keesokan harinya.Alexa duduk di belakang meja kerjanya, menatap layar laptop dengan sorot mata dingin. Ia baru saja menerima laporan dari Albert mengenai langkah selanjutnya untuk menghancurkan citra Michael. Kali ini, ia akan menggunakan media.Michael selama ini dikenal sebagai pengusaha yang dingin dan berwibawa, tetapi Alexa tahu sisi lemahnya. Dia akan membocorkan "skandal" yang bisa menghancurkan reputasinya. Michael suka bermain wanita, bahkan berbuat mesum dengan sekretarisnya. Sama seperti saat bersama dirinya dulu.Albert juga sudah menyusun berita palsu tentang penyalahgunaan dana di salah satu perusahaan milik Michael.“Begitu berita ini tersebar, Michael tidak akan bisa berkutik,” gumam Alexa sambil tersenyum puas.Albert mengangguk. “Aku sudah menghubungi beberapa media. Berita akan mulai menyebar dalam satu jam.”Alexa menyandarkan tubuhnya ke kursi, menikmati kemenangan yang sudah ada di depan mata.“Inilah saatnya, kehancuran yang kutunggu-tunggu selama ini.”Alexa
Michael duduk di kursi panjang ruang rapat, dikelilingi oleh para pebisnis berpengaruh dari berbagai industri. Ia tidak bersemangat menghadiri pertemuan ini, apalagi setelah insiden kebakaran yang merugikan perusahaannya. Namun, sebagai CEO, ia harus tetap profesional.Di seberangnya, Alexa duduk dengan percaya diri, mengenakan gaun formal berwarna biru tua yang mempertegas wibawanya. Rambut panjangnya ditata rapi, riasan wajahnya sempurna. Dia tampak seperti seorang ratu di tengah pertemuan bisnis, memancarkan aura kuat yang tidak bisa diabaikan.Michael melirik ke arahnya sekilas. Ada sesuatu tentang wanita ini yang terus mengusik pikirannya. Tidak hanya karena cara bicaranya yang tegas dan licik, tetapi juga karena ia memiliki daya tarik yang aneh—sesuatu yang mengingatkannya pada ... Sahira.Ah, sial.Lagi-lagi wanita itu muncul dalam pikirannya.“Baiklah, kita mulai rapat hari ini,” suara seorang moderator menggema di ruangan. “Kita akan membahas proyek besar antara perusahaan-pe
Pukul 23:00.Malam telah larut, tetapi Alexa masih terjaga. Duduk di tepi ranjangnya yang luas, dia memandangi pantulan dirinya di cermin besar di seberang kamar. Jemarinya secara refleks menyentuh bibirnya. Bayangan kejadian siang tadi kembali memenuhi pikirannya.Michael menciumnya … dan dia malah membalasnya.Ahh!Yang lebih parah, dia malah mendesah saat tangan kekar Michael meremas salah satu gunung kembarnya.Alexa memejamkan mata sejenak, merasakan kembali sensasi hangat di bibirnya, aroma khas Michael yang maskulin, dan tatapan matanya yang begitu menusuk. “Emmhh ....”Bisakah dia melawan gairah liar seorang Michael lagi? Rasa rindu yang selama ini dia tekan mulai merayap naik ke permukaan, mengganggu pertahanannya.“Tidak.”Dia menggeleng kuat, mengusir kenangan itu dari benaknya. Ini bukan tentang cinta. Tidak ada cinta lagi. Hanya dendam yang harus dia jalankan sampai tuntas.Alexa mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, ketukan di pintu mengalihka
Ruangan itu kembali sunyi setelah insiden kopi tadi. Olivia sudah kembali ke mejanya di luar, sementara Alexa berusaha membersihkan noda di roknya dengan tisu basah.Michael menyandarkan punggung ke kursinya, menyilangkan tangan di dada sambil menatap Alexa dengan ekspresi penuh pertimbangan.Dia masih penasaran dengan wanita ini.Sebuah ide muncul di kepalanya.Dengan nada santai, Michael berdehem, Ekhhmm! “Olivia memang asisten pribadi yang luar biasa.”Alexa yang sedang sibuk dengan roknya langsung mendongak.Michael melanjutkan, "Dia bukan hanya asisten yang cekatan, tapi juga perhatian. Lihat saja tadi, dia sampai panik karena menumpahkan kopi padamu. Aku jadi ingat, dulu dia juga pernah membantuku menyiapkan presentasi semalaman. Dia benar-benar bisa diandalkan."Alexa diam sejenak.Michael memperhatikannya dengan seksama.Reaksi apa yang akan wanita itu tunjukkan?Alexa berusaha tetap tenang, tapi rahangnya sedikit mengeras. "Hmph, memangnya itu sesuatu yang istimewa?" ucapny
Suasana di ruang kerja Michael sangat hening. Hanya terdengar suara keyboard yang diketik. Lampu gantung kristal menerangi meja besar di tengah ruangan, di mana Michael dan Alexa duduk berdampingan, mengerjakan proyek bersama.Michael bersandar di kursinya, sesekali melirik layar laptop, tapi perhatiannya terusik oleh sesuatu yang jauh lebih menarik—wanita di sampingnya.Alexa tampak fokus. Rambut panjangnya tergerai dengan elegan, beberapa helai jatuh di depan wajahnya. Dia sibuk membaca dokumen, ujung jarinya menelusuri baris-baris teks dengan gerakan anggun.Michael menggigit bibirnya. Ah, sial ... Dia benci mengakuinya, tapi wanita ini terlalu menggoda, bahkan tanpa usaha.Gaun kerja yang dikenakan Alexa tidak terlalu mini, tapi tetap saja lekuk tubuhnya jelas terlihat, terutama ketika dia sedikit bersandar ke depan.Michael mengalihkan pandangan, menekan tombol telepon di mejanya."Olivia, buatkan aku dua kopi," perintahnya.Alexa menoleh tajam. "Aku tidak suka kopi," ucapnya c
Mobil melaju kembali dengan kecepatan stabil, suasana di dalamnya dipenuhi keheningan yang aneh. Alexa menatap lurus ke depan, tetapi sudut matanya terus mengawasi ekspresi Michael yang terlihat tenggelam dalam pikirannya sendiri.Dia masih bisa merasakan tatapan pria itu di penjual jagung bakar tadi. Tatapan yang penuh nostalgia, seakan Michael baru saja terlempar kembali ke masa lalu.Sahira.Alexa tahu nama itu pasti yang ada di kepala Michael saat ini."Sepertinya kau sedang mengingat sebuah kenangan?" Alexa akhirnya membuka suara, terdengar sedikit mengejek, meskipun dalam hatinya ada sesuatu yang berdesir tak nyaman.Eh!Michael tersentak kecil, seakan baru sadar bahwa dia tidak sedang sendirian. Pria itu menghela napas panjang, kemudian tersenyum tipis—senyum yang tak sampai ke matanya."Kau benar," jawabnya, mengakui tanpa ragu.Alexa melirik sekilas, berusaha menyembunyikan debaran dalam dadanya."Kenangan seperti apa?" tanyanya ringan, meskipun jauh di dalam hatinya, dia tah