Sahira duduk di meja kerjanya, tersenyum kecil sambil menatap secangkir kopi yang baru saja ia buat untuk Michael. Entah kenapa, meski masih kesal dengan kejadian pagi tadi, memikirkan ekspresi Michael saat menerima kopi buatannya membuatnya merasa lebih baik.Dia menghela napas pelan, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, baru beberapa detik, pintu ruangannya terbuka dengan kasar.Brak!Karin masuk tanpa mengetuk, senyum sinis menghiasi wajahnya.“Jadi, ini yang kamu lakukan di kantor? Membuat kopi untuk Michael seperti sekretaris murahan?” ejeknya.Sahira menatapnya tanpa ekspresi. “Kalau memang aku sekretaris, setidaknya aku lebih berguna daripada seseorang yang hanya bisa mengatur hidup orang lain.”Wajah Karin menegang sejenak, tapi dengan cepat dia kembali tersenyum sinis. “Kamu percaya diri sekali, ya? Aku penasaran, apakah Michael benar-benar menyukai kopimu?”Sahira tidak menanggapi. Dia tahu, Karin tidak akan puas sebelum merasa menang.Tak berselang lama, pintu kemb
Sahira duduk di meja kerjanya dengan hati yang masih gelisah. Tangannya menggenggam pulpen, tapi pikirannya melayang ke percakapan Michael dan Lucas yang tak sengaja dia dengar.Michael ingin dia ikut ke Pulau Hidden Gem? Sedangkan waktu dia untuk mempersiapkan diri sudah habis.Dan di sana, dia harus menyerahkan keperawanannya pada pria itu.Sahira menggigit bibirnya, mencoba mengusir rasa cemas yang menggelayuti pikirannya. Dia tidak bisa membiarkan ini terjadi. Tidak boleh.Tapi bagaimana cara menolaknya tanpa membuat Michael curiga?Tak berselang lama, sebuah ketukan di pintu mengagetkannya.Tok! Tok!Jantungnya langsung berdegup lebih cepat.Apa itu Michael?Pintu terbuka, tak lama kemudian sosok yang muncul adalah Lucas. Pria itu menyeringai lebar sambil melangkah masuk tanpa menunggu izin.“Sahira,” sapanya santai.Sahira mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. “Ada yang bisa saya bantu, Pak Lucas?”Lucas menutup pintu di belakangnya, lalu menyandarkan tubuhnya ke meja kerja di d
Malam Hari.Di dalam ruang kerja, Michael duduk dengan ekspresi serius, menatap layar besar yang menampilkan rekaman CCTV rumahnya.Di sampingnya, David berdiri dengan tangan bersedekap, ikut memperhatikan setiap sudut rumah yang terekam di layar.“Ada yang mencurigakan,” gumam Michael, matanya menyipit.David mengangguk. “Aku juga melihatnya, Bos. Seseorang baru saja menyelinap ke pekarangan belakang. Gerakannya sangat hati-hati, sepertinya sudah berpengalaman.”Michael mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, lalu menggerakkan mouse untuk memperbesar tampilan. Sosok berpakaian serba hitam itu tampak berjongkok di dekat salah satu jendela, seperti sedang mencari celah untuk masuk.“Siapkan orang-orang kita,” perintah Michael tegas. “Kita cegah dia sebelum bertindak lebih jauh.”David segera menghubungi tim keamanan. Dalam hitungan detik, beberapa orang sudah bersiap di titik-titik strategis.Michael tidak menunggu lebih lama. Dengan langkah tenang, ia keluar dari ruangannya dan berjalan m
Sahira bangun di pagi hari. Dia meregangkan badan, kemudian menoleh ke arah ponselnya yang tergeletak di atas meja. Terdapat 1 pesan masuk. Dia segera membukanya. Deg!Alangkah terkejutnya dia saat membaca chat dari Michael 30 menit yang lalu. Dan sekarang jam 8 pagi.[Hari ini kita ada meeting jam 7:30, jangan sampai terlambat.]“Astaga, aku kesiangan!” pekiknya. Dia langsung berlari menuju kamar mandi, membersihkan diri dengan cepat, lalu memakai asal pakaiannya. Sahira mendengus kesal saat melihat jalanan yang tampak sepi, tak ada taksi atau transportasi umum yang lewat.“Huh! Aku harus bagaimana? Pasti datang lebih lambat hari ini,” gumamnya.Dia mencoba mengubungi Michael untuk meminta maaf, tapi nomor Bos-nya itu tidak aktif.***Di kantor.Michael menatap kursi kosong di ruang meeting. Harusnya dia sudah sampai satu jam yang lalu. Apa yang membuat asisten pribadinya itu sampai terlambat?“Aku akan memberikan hukuman,” ucapnya dalam hati sambil mengepalkan tangan.Michael masi
Bruk!“Ah, maaf, aku tak sengaja.” Sahira langsung mendongak melihat siapa orang yang tak sengaja dia tabrak.“Em, Pak ...” dia langsung menunduk saat melihat Michael di depannya.“Pulang naik apa?” tanya Michael datar.“Na-naik taksi.”“Hari ini aku yang antar.”Mata Sahira membulat, dia lekas menggeleng, “Tidak perlu, Pak.”“Tidak boleh menolak.”“Em, baiklah ...” Sahira akhirnya menurut, dia tak mau kalau Michael marah-marah lagi. Sudah cukup dia kena semprot pagi tadi, sampai mendapatkan hukuman yang masih tanda tanya.Mereka berjalan menuju parkiran di mana mobil mewah milik Michael berada.Sahira meremas roknya. Dia memang pernah menaiki mobil itu saat rumahnya kebakaran tempo lalu. Tapi saat itu ada David diantara mereka, sedangkan sekarang? Ah ...Sahira sangat takut Michael akan mengobok-obok dirinya di dalam mobil.Michael membuka pintu mobil untuk Sahira. Namun, tiba-tiba terdengar suara benturan kecil di belakangnya.Bruk!Dia menoleh dan melihat Karin terhuyung setelah m
Kriet!Pintu terbuka, menampakkan Michael di pintu apartemen.Huh! Sahira bernapas lega, dia pikir orang lain yang datang.“Cepat sekali. Kupikir siapa yang datang.”“Kenapa? Apa kau sedang menunggu orang lain?”Dia gelegapan sendiri, kemudian menggeleng, “Tidak, bukan begitu maksudku.”“Hmm.”Michael langsung memasuki apartemen Sahira tanpa dipersilahkan. Setiap langkahnya, menambah ketegangan dihati Sahira yang belum reda.Memang, saat pintu terbuka tadi, ekspresi Michael tidak menunjukkan keramahan sedikit pun. Wajahnya datar, seperti biasa, tapi kali ini terlihat seperti sedang menahan amarah.Sahira, yang sebelumnya berdiri di dekat meja, mendekat dengan langkah ragu. Jantungnya berdebar lebih cepat daripada sebelumnya, mencoba menenangkan diri, tapi sepertinya rasa gelisah itu semakin besar.Michael melepaskan jasnya dengan cepat dan melemparkannya ke atas kursi. Tanpa kata, dia melangkah lebih jauh ke dalam ruangan, menuju sofa besar yang ada di tengah apartemen Sahira. Tidak
“Aku sedang menstruasi, Pak.”APAH?“Jangan bercanda!” wajah Micahel tampak frustrasi.“Aku sedang tidak bercanda, Pak.” Sahira menggigit bibirnya, merasa takut. Sebelah tangannya meraih selimut lalu menutupi dadanya yang polos.Michael terdiam sejenak, menatap Sahira dengan ekspresi tak terbaca. Ucapannya barusan sukses membuat gairahnya meredup seketika.Dia menarik napas panjang, lalu bangkit dari posisi semula dan duduk di tepi ranjang. “Kenapa tidak bilang dari tadi?” tanyanya datar, menekan emosinya yang baru saja meluap.Sahira meneguk ludah, merasa bersalah karena telah membuat suasana menjadi canggung. “Aku … tak sempat. Bapak terlalu terburu-buru,” jawabnya pelan.Michael menoleh ke arah Sahira yang masih terbaring dengan napas sedikit tersengal. Dia menutup matanya sebentar, mencoba meredam gejolak dalam dirinya.Michael melirik ke arah bawah, di mana si gagah berada. Dia mendengus kesal. Kemudian ....“Kalau begitu, lakukan dengan cara lain.”Mata Sahira seketika membulat,
Sesampai di parkiran, Michael menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya sebelum akhirnya menatap Sahira. “Aku akan mengantarkanmu pulang dulu ke apartemen. Setelah itu, aku harus pergi.”Sahira mengernyit, bingung dengan perubahan sikapnya yang mendadak serius. “Ada apa, Pak? Kenapa tiba-tiba ingin pergi?”Michael tidak langsung menjawab. Dia hanya menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya.“Pak?” Sahira mencoba lagi, kini nada suaranya mengandung sedikit khawatir.Michael menghela napas, lalu berkata, “Aku tak bisa menjelaskannya sekarang. Ini urusan penting.”Sahira semakin curiga, tapi melihat ekspresi Michael yang tegang, dia memilih untuk tidak banyak bertanya.Mobil berhenti di depan apartemen Sahira. Michael menoleh padanya, matanya sedikit melunak. “Tetap di dalam. Jangan keluar sampai aku menghubungimu.”Sahira semakin bingung. “Pak, ini ada hubungannya dengan pekerjaan?”Michael tidak menjawab langsung. “Ya, semacam
Malam ini, Michael tetap berada di sisi Alexa—atau lebih tepatnya, Sahira. Setelah berbulan-bulan meyakini bahwa wanita itu telah tiada, kini dia ada di sini, di hadapannya. Perasaan yang berkecamuk dalam dadanya sulit diungkapkan dengan kata-kata. Kelegaan, kebingungan, kesedihan, dan juga kemarahan bercampur menjadi satu.Dia menatap wajah wanita yang terlelap dalam tidurnya. Wajah yang dulu begitu ia cintai, kini kembali hadir dengan sedikit perbedaan. Namun, di balik semua perubahan itu, Michael tahu bahwa dia adalah Sahira. Jasmine Alexander, wanita yang telah menghancurkan hatinya sekaligus yang paling ia rindukan.Michael meraup wajahnya sendiri, matanya memerah. Dadanya sesak dengan emosi yang sulit dikendalikan. Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana mungkin dia masih hidup setelah kecelakaan jet yang begitu tragis? Selama ini, Michael telah mencoba melupakan, membangun kembali kehidupannya, tetapi luka itu tetap menganga di dalam hatinya. Dan kini, luka itu kembali terb
Michael meraih dagu Alexa dengan lembut, jarinya menyentuh kulit halus wanita itu, mencoba mengangkat wajahnya agar dia bisa menatapnya lebih jelas. Matanya mencari—mencari sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan sayu Alexa yang menghindar.“Siapa kakakmu?” tanyanya lagi, suaranya terdengar serak, namun tegas. Pertanyaan itu keluar bukan hanya karena rasa penasaran, tapi karena dorongan kuat untuk memahami luka yang tersembunyi di balik sikap dingin wanita itu.Namun, Alexa tetap bungkam. Dia tidak berkata apa-apa. Tak ada protes, tak ada bantahan. Kepalanya justru jatuh pelan ke bahu Michael. Tubuhnya lunglai, seperti kehilangan daya hidup, seperti jiwanya telah pergi jauh, meninggalkan raga yang lelah. Michael terdiam, tubuhnya mematung beberapa detik. Helaan napasnya yang berat menyuarakan kegundahan yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Dia menatap wajah Alexa dengan sorot mata yang penuh keraguan dan kebingungan. Pikirannya berputar, mencoba menyusun keping-keping yang b
Pagi hari.Alexa duduk di meja makan luar ruangan, menikmati sarapannya dalam keheningan. Angin sepoi-sepoi berhembus dari laut, membawa aroma asin yang khas. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.“Selamat pagi, Alexa.”Ughk!Alexa hampir tersedak. Dia mendongak dan mendapati Michael sudah duduk di kursi di seberangnya dengan senyum miring yang membuat darahnya mendidih.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya ketus.Michael menyandarkan punggungnya dengan santai, mengambil secangkir kopi yang telah disiapkan pelayan.“Sarapan, tentu saja. Pulau ini bukan milikmu saja, kan?” ucapnya dengan nada main-main.Alexa mendengus kesal dan memilih mengabaikannya. Namun, ketenangannya kembali terusik saat Michael bersandar lebih dekat dan berbisik pelan.“Kau kelihatan lelah, sayang. Semalam tidak bisa tidur, ya? Kenapa? Masih terngiang-ngiang kejadian panas itu?”“Sialan kau Michael!”“Kamu tidak perlu repot-repot menyabotase cctv, karena aku ingat semuanya. Em ... kau mau lagi sayang?
Setelah rapat berakhir, Alexa langsung bergegas keluar dari ruang konferensi. Langkahnya cepat, hampir seperti melarikan diri. Dia tidak ingin berlama-lama di ruangan itu, apalagi dengan tatapan penuh arti yang Michael berikan sepanjang pertemuan tadi.Albert sudah menunggunya di luar. Begitu melihat Alexa, dia langsung mendekat.“Nona, Anda baik-baik saja?” tanyanya pelan.Alexa mengangguk, meskipun pikirannya masih berantakan. “Aku ingin kembali ke kamar.”Albert paham dan segera berjalan di sampingnya, mengawal Alexa keluar dari gedung utama resort mewah tempat konferensi diadakan. Udara sore di pulau pribadi ini cukup hangat, tetapi hembusan angin laut membuat suasana lebih nyaman.Mereka berjalan di sepanjang jalur batu yang dikelilingi taman tropis menuju hotel eksklusif yang disediakan untuk para investor papan atas. Alexa tidak menyadari betapa tergesa-gesanya langkahnya hingga suara berat menghentikannya.“Alexa?”Langkahnya terhenti.Darahnya langsung berdesir.Dia mengenali
“Ugh, Ya Tuhan ....”Refleks, Alexa menepis tangan pria itu dengan kasar.“Pak Michael, akhh!” teriaknya tanpa berpikir.Ruangan seketika sunyi.Semua kepala menoleh ke arahnya, ekspresi mereka penuh tanya.Alexa langsung membeku, menyadari kesalahannya.Michael, yang sejak tadi duduk tenang, kini perlahan menoleh padanya. Bibir pria itu melengkung dalam senyuman tipis, matanya menyala dengan kesenangan yang terselubung.“Ya, Nona Alexa,” suara pria yang sedang mempresentasikan bisnis di depan memecah kesunyian. “Ada yang ingin Anda sampaikan mengenai hal ini?”Deg!Alexa merasakan jantungnya mencelos.Sial!Bagaimana dia harus menjelaskan ini?Tatapan Michael semakin menantang, seolah menikmati situasi ini. Alexa bisa melihat betapa pria itu menahan tawa, menikmati kekacauan yang baru saja dia buat sendiri.Sialan, sialan, sialan!Alexa menarik napas dalam, berusaha mengendalikan ekspresi wajahnya.“Tidak, saya hanya …” dia berdeham, melirik sekilas ke Michael yang kini bersandar san
Alexa yang baru saja selesai mengenakan pakaian rapi sontak menegang saat ponselnya bergetar di atas meja rias. Dengan cepat, dia meraihnya dan membaca pesan dari Albert.[Nona, cepatlah. Semua orang sudah berkumpul, hanya kursi Anda yang kosong.]Ah, sial!Alexa melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya. Dia memang sedikit terlambat, tapi tidak menyangka bahwa dirinya menjadi orang terakhir yang dinanti dalam ruang rapat.Tanpa membuang waktu, dia meraih clutch dan ponselnya, lalu berjalan cepat ke luar kamar hotel. Tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer sepanjang lorong, menciptakan suara ketukan ritmis yang seirama dengan debar jantungnya yang sedikit kacau.Bukan karena dia takut terlambat.Tapi karena seseorang ada di dalam sana.Michael ...Pria itu.Alexa menggigit bibir bawahnya. Dia harus bisa mengendalikan ekspresi dan sikapnya. Malam tadi, tidak ada yang terjadi. Tidak ada yang perlu dikenang.Napasnya sedikit memburu saat dia mencapai pintu ruang rapat.
Alexa mengunci pintu kamarnya dengan cepat sebelum menyandarkan tubuhnya ke pintu. Napasnya masih memburu, bukan karena lelah, tetapi karena pikirannya yang penuh dengan kekacauan. Dia menutup matanya, mencoba menenangkan diri, tetapi bayangan semalam terus menghantui pikirannya.Michael. Alkohol. Desahan. Sentuhan panas.Alexa membuka matanya dengan tajam, menolak membiarkan dirinya terhanyut lebih lama dalam kenangan itu. Dengan langkah tergesa, dia berjalan menuju kamar mandi. Begitu sampai di depan cermin besar, dia terdiam.Tangannya perlahan terangkat, mulai melepas gaun yang masih melekat di tubuhnya, lalu menjatuhkannya ke lantai. Dia segera melepaskan semuanya, dan kini ... terlihatlah kulitnya yang penuh jejak merah. Dengan gemetar, Alexa menyentuh jejak kemerahan tersebut.Pandangannya membeku saat dia melihat pantulan dirinya di cermin.Lehernya ...Bahunya ... Dada ... Bahkan perutnya.Penuh dengan tanda merah yang jelas ditinggalkan oleh Michael.Alexa mendengus pelan
Baru saja, dia hendak pergi dari sana tiba-tiba ...“Ahhh ... teruskan, ughh ....”“Ahhh ... Pak Michael!”Terdengar suara jeritan samar dari dalam. Membuat Albert diam mematung. Dari suaranya, dia bisa mendengar dengan jelas bahwa Nona-nya sedang mendesah hebat.Albert mendekat kembali ke kamar Alexa, menempelkan dan telinganya ke pintu.Hening.Tak ada suara apapun.“Aneh ... tadi aku dengar suara Nona?”Albert memutuskan untuk mengetuk pintunya.“Nona ... Anda baik-baik saja di dalam?”Hening.Tak ada sahutan, atau suara desahan seperti tadi.Albert menatap pintu kamar Alexa dengan sorot penuh curiga dan gelisah. Suara desahan yang ia dengar jelas bukan suara biasa—terlalu intim, terlalu menggoda. Dan suara itu ... menyebut nama Pak Michael.Tapi kenapa sekarang justru hening? Tak ada sahutan, tak ada langkah, bahkan tidak juga suara televisi.Setelah beberapa detik berdiri ragu, akhirnya Albert menguatkan diri. Dengan cepat, dia merogoh saku, mengambil kartu cadangan yang biasanya
Di dalam kamar hotel mewah itu, suasana terasa lebih intim. Lampu-lampu temaram memberikan cahaya lembut, sementara suara ombak dari balkon terbuka berpadu dengan napas yang semakin berat.Michael mendorong Alexa perlahan ke dinding, matanya masih terpaku pada wanita itu. Mereka berdua sama-sama mabuk, tapi tidak cukup untuk melupakan apa yang sedang terjadi.Tangan Alexa naik ke dada bidang Michael, jemarinya mengusap lembut permukaan kemeja yang sedikit terbuka. "Kau benar-benar tidak bisa menahan diri, ya?" bisiknya dengan nada menggoda.Michael menyeringai, tangannya terangkat untuk menyelipkan rambut panjang Alexa ke belakang telinga. "Harusnya aku yang bertanya begitu," balasnya, suaranya serak.Mereka saling menatap sejenak, sebelum Michael kembali menunduk, mencium Alexa dengan lebih dalam, lebih menuntut. Alexa membalasnya tanpa ragu, kedua tangannya melingkar di leher pria itu, menariknya lebih dekat.Cup!Eummhh ...Ciuman mereka semakin panas, semakin liar. Michael meraih