Kedatangan Taruna ke rumah neneknya untuk menyampaikan amanah almarhum ibunya. Kedatangan Taruna dianggap sebuah ancaman yang ingin meminta bagian warisan. Padahal, ada satu rahasia besar yang akan disampaikan oleh Taruna. Rahasia apa itu? Cerita ini dibumbui intrik kelurga yang keras, juga konflik asmara yang manis antara Taruna dan Hilya.
View More“Bapakmu tau, keserakahanmu. Berulang kali kamu mau mencelakai Gendis, itu sebabnya, Bapak menjauhkan Gendis dari keluarga ini, agar dia aman. Kamu sangka, Bapak nggak memantau Gendis dari jauh. Suami Gendis itu pekerja keras. Semua terbukti, saat Bapak meminta temannya membantu Ayah Taruna. Ayahnya berhasil bangkit dan menjadi seorang pengusaha sukses, yang sekarang perusahaannya diwariskan pada Taruna.”Ruangan itu menjadi hening setelah Bu Salma mengatakan yang sebenarnya. Kenyataan bahwa selama ini Suwondo bukan anak kandung Bu Salma dari pernikahan resmi ditambah kenyataan kalau ternyata sejak lama orang tuanya tau apa yang dia lakukan, membuatnya merasa kehilangan pijakan. Dia memegangi dadanya yang masih terasa sesak.Taruna, yang sejak tadi tenang, berdiri di samping neneknya, Bu Salma. Ia menatap Suwondo dengan pandangan tajam, tapi tidak ada tanda-tanda kebencian. Sebaliknya, ada rasa kasihan di matanya. Bagaimana juga, sejak Suwondo bayi, dia lah yang mengurus. Suwondo bes
Semua wajah orang yang berkumpul di ruang tamu tampak tegang, terutama Suwondo, Sekar dan anak-anaknya. Tampak seorang laki-laki yang merupakan pengacara ada di antara mereka. “Ibu sengaja mengumpulkan semuanya di sini, untuk membicarakan pembagian harta warisan,” kata Bu Salma. “Apa lagi yang mau dibagi, Bu? Anak Bapak sama Ibu kan cuma Mas Suwondo. Sejak Gendhis pergi, Bapak sudah tidak lagi menganggapnya anak.” Sekar tampak gusar dan menutupi kegusaran hatinya dengan protes. “Tidak menganggapnya anak, bukan berarti Gendis bukan anak kami. Bapak hanya sedang emosi. Buktinya, Bapak tak pernah bilang kan, kalau nama Gendis dihapus dari ahli waris?” Perkataan Bu Salma membuat wajah Sekar melengos. “Bapak sudah bilang akan memberikan restoran buat Wondo, Bu,” kata Suwondo mencoba agak melunak karena aada pengacara yang menilai perilaku mereka. “Kamu dengar aja dulu, apa yang akan disampaikan sama Pak Jaya. Jangan ngomong terus. Ibu ini sudah tua, Ibu nggak mau, kalau nanti Ibu meni
“Hilya, tukang becak mana yang dimaksud Sandi tadi?” tanya Ayah Hilya setelah tamunya yang beradab pulang. Hilya menelan ludah. Takut ayahnya akan marah. “Apa Taruna?” tanya Ibu Hilya yang pernah melihat Taruna membawa becak motor. “Ayah nggak melarang kamu berteman dekat sama siapa aja. Tapi kalau bisa jangan ada yang berhubungan dengan keluarga mereka. Apalagi sama Taruna, kamu bisa makan hati kalau berurusan sama keluarga mereka. Ayah bukan memandang Taruna sebelah mata, tapi kamu anak kami satu-satunya, kami nggak mau nanti melihat hidupmu menderita.” Hilya hanya bisa termangu mendengar nasehat ayahnya. Sebagai tetangga sebelah rumah, tentunya keluarga Hilya juga tau mengenai sepak terjang keluarga Suwondo. ~~~~~“Pa, semua aset Nenek kalo bisa segera diganti ke nama kita. Papa udah janji kan, kalau dua restoran buat Sandi,” kata Sandi pada Suwondo ketika mereka di ruang khusus di restoran. “Tapi nenekmu belum mau tanda tangan,” ucap Suwondo. “Kenapa sih Nenek suka sekali m
"Itu anaknya sudah pulang," kata Ibu Hilya dengan nada lembut ketika suara motor Hilya terdengar memasuki halaman.Sandi, yang sejak tadi duduk menunggu dengan canggung, tak bisa menahan senyum malu-malu. Hatinya berdebar-debar berharap Hilya akan menerima pinangannya. "Assalamualaikum.” Terdengar suara Hilya mengucap salam. Saat melangkah masuk, Hilya sedikit terkejut melihat Sandi, bersama kedua orang tuanya, duduk di ruang tamu rumahnya.Ini jelas tak biasa. Meski rumah mereka berdekatan, namun kunjungan seperti ini jarang terjadi. Ada aura yang berbeda hari ini, dan itu membuat jantung Hilya berdebar apalagi dia melihat senyum Sandi semakin tak bisa disembunyikan.Tanpa perlu disuruh, Hilya langsung menghampiri dan menyalami Suwondo dan Sekar dengan sopan.“Hilya masuk dulu ya, Om, Tante,” ucap Hilya dengan senyum ramah, mengira kunjungan tetangga mereka hanya untuk urusan dengan orang tuanya.Namun sebelum ia sempat berbalik, suara ayahnya menghentikannya. “Duduk dulu, Hilya,” k
Sandi berdiri dengan hati-hati di balik pintu, menahan napas agar tidak ketahuan. Suara lembut Hilya terdengar samar-samar, menyapa Bu Salma. Sandi memiringkan tubuhnya sedikit, mencoba mendekatkan telinganya ke celah pintu. Percakapan di teras semakin menarik perhatiannya, seolah ada rahasia besar yang sedang dibahas. Jantungnya berdebar, tidak sabar untuk mengetahui apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Setiap kata yang terucap membuat rasa ingin tahunya semakin membuncah, namun ia juga sadar, satu gerakan salah saja bisa membuatnya ketahuan.“Nek, tadi Hilya belajar bikin bolu sarang semut. Nenek coba ya, siapa tahu suka,” ujar Hilya sambil menyodorkan sebuah wadah berisi potongan bolu sarang semut yang dibuatnya sendiri. Di seberangnya, Taruna duduk dengan canggung, menggeser posisi duduknya berkali-kali, tangannya memegang gelas teh yang sudah dingin. Pandangannya sesekali mencuri-curi ke arah Hilya, berharap gadis itu menyapanya. Tapi Hilya tetap diam, fokus pada neneknya, hany
Beberapa hari berlalu, tanpa rintangan yang begitu berarti. Tak ada yang berani mengusik Taruna. Hubungan antara Taruna dengan Hilya juga semakin dekat. Taruna selalu menemukan cara agar bisa dekat dengan Hilya. “Nek, kira-kira malam ini, Nenek mau Hilya datang ke sini apa nggak?” tanya Taruna pelan, seraya duduk di teras bersama Bu Bu Salma, sore ini.Bu Salma menoleh, matanya menyipit, menatap cucunya penuh tanya. “Mau apa?” Taruna terdiam sejenak, memainkan ujung baju kaosnya. “Ya, nemani Nenek ngobrol. Barangkali Nenek bosan sendirian,” katanya.Bu Salma tersenyum tipis, menunduk sebentar, lalu menatap cucunya lagi. “Bukan Nenek yang bosan, kayaknya kamu yang ingin jumpa.”Taruna langsung menggaruk rambutnya yang tak gatal, mencoba menyembunyikan rasa malu di balik senyum lebar yang muncul di wajahnya. “Kalau kamu suka sama dia, langsung aja bilang. Mumpung dia juga masih sendiri. Jangan sampai keduluan orang lain,” kata Bu Salma, suaranya lembut tetapi seolah menantang Taruna
“Itu sekolah Kayra,” kata Bu Salma, sambil menunjuk sebuah bangunan berwarna cerah dengan papan nama bertuliskan ‘Taman Kanak-kanak Pelangi’.Taruna memperhatikan sekolah itu dari atas becaknya, matanya menyusuri taman bermain di halaman depan. Ada ayunan yang bergerak pelan tertiup angin. Jungkat-jungkit, juga perosotan berwarna cerah. “Biasanya kalau pulang, Kayra selalu diantar sama Hilya, gurunya di sekolah,” lanjut Bu Salma. Taruna menoleh, tertarik dengan nama yang disebutkan.“Rumah Hilya bersebelahan dengan rumah Nenek, tapi terhalang tembok tinggi. Kalau dari lantai dua, baru kelihatan,” jelas Bu Salma sambil tersenyum tipis.Hilya. Nama itu langsung membangkitkan memori Taruna, tentang gadis berhijab yang kemarin datang mengantar Kayra pulang. Tatapan matanya yang tenang, senyumnya yang sederhana namun memikat, dan cara ia berbicara yang penuh kelembutan, terngiang kembali di benaknya.Taruna merasakan sesuatu bergetar dalam hatinya. Apakah ini hanya kesan singkat, atau ad
Suasana pagi yang damai terasa begitu kontras dengan perasaan gugup yang menghinggapi hati Bu Salma. Wanita paruh baya berpakaian rapi keluar dari rumah besar di hadapan mereka, senyumnya lebar, namun ada kehangatan tersirat dalam sorot matanya.“Nak, kita sebaiknya pergi saja. Yang punya rumah sudah keluar,” bisik Bu Salma panik, suaranya gemetar. Takut mengganggu pemilik rumah megah tersebut. "Nggak apa-apa, Nek. Kita nggak akan lama. Taruna janji,” kata Taruna sambil menunjukkan senyum penuh arti. Satpam yang tadi ada di pos jaga, tampak berlari mendekati becak itu. “Saya bantu, Mas,” katanya. Ada kesan hormat terhadap Taruna dari suaranya. Bu Salma tertegun melihatnya. Setelah kursi roda disiapkan, Taruna langsung mengangkat tubuh lemah neneknya dengan penuh hati-hati. “Nek, tenang aja ya,” katanya sambil meletakkan Bu Salma ke kursi roda dengan lembut.“Kita mau ngapain di sini?” tanya Bu Salma masih kebingungan. “Nanti Nenek tau,” kata Taruna. Taruna mengangguk pada satpa
“Kamu ngintipin apa?” teguran Sekar mengejutkan gadis itu, membuatnya mundur selangkah. Matanya masih terfokus pada sosok Taruna. “Itu siapa, Ma?” tanya gadis itu sambil menunjuk Taruna, yang sudah bersiap di atas becaknya untuk membawa Bu Salma pergi. Sekar mendengus sinis. “Benalu!” ucapnya dingin. “Benalu? Maksudnya apa, Ma?” Gadis itu semakin bingung, merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Taruna tampak tidak seperti orang jahat. “Dia itu benalu. Datang ke sini hanya untuk nuntut warisan dari Kakek. Dia pikir bisa menguasai semuanya,” jelas Sekar, berjalan kembali ke meja makan dengan langkah tergesa.Gadis itu terus mengikuti ibunya sampai ke dapur, rasa penasarannya semakin membuncah. “Tapi ... siapa dia sebenarnya, Ma? Kok bisa mau minta warisan? Kayaknya nggak pernah dengar tentang dia,” tanya gadis bernama Rere itu penasaran. "Sudahlah, tak usah bahas soal dia," sela Suwondo dengan wajah tegang, sambil meneguk teh panas di tangannya. Matanya menghindari tatapan anaknya.
Taruna turun perlahan dari becaknya, menghapus keringat di kening dengan lengan bajunya yang lusuh. Topi usang yang biasanya melindungi kepala dari teriknya matahari kini ia lepaskan, seolah memberi penghormatan pada sesuatu yang besar, bukan karena rasa segan, tetapi karena beban berat yang ia bawa di hatinya. Pemuda berkulit cokelat dan berambut sedikit gondrong itu menatap lurus ke arah bangunan megah di hadapannya. Rumah neneknya. Rumah yang pernah menjadi saksi luka lama yang tak pernah sembuh.Bangunan besar itu masih terlihat sama, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Pilar-pilar tinggi yang menjulang, dinding bercat putih gading yang memancarkan kesan angkuh, serta taman depan yang tertata rapi, seolah sengaja menegaskan batasan antara kelas sosial mereka. Satu sisi rumah ini penuh kemewahan, namun di sisi lain, bagi Taruna, rumah ini tak lebih dari sekadar simbol dari rasa sakit dan penolakan.Sebelum meninggal, ibunya sempat memberi pesan yang ia pegang erat-erat hingga sa...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments