Share

Bukan tentang warisan

Author: KARTIKA DEKA
last update Last Updated: 2024-10-17 12:55:39

Mendengar ada keributan di rumahnya, Suwondo bergegas datang dari arah belakang rumah dengan langkah lebar dan cepat. Rambutnya yang mulai memutih bergerak mengikuti irama langkahnya yang penuh wibawa. Tatapannya tajam menyapu sekitar, hingga matanya tertuju pada sosok pemuda asing yang berdiri dengan tatapan menantang pada istrinya. 

“Siapa dia, Ma?” tanyanya dengan suara rendah, namun penuh tekanan, pada Sekar, istrinya. 

“Katanya, dia anak Gendis, Pa,” jawab Sekar dengan nada ketus, dan pandangan yang diarahkan pada Taruna.

Mendengar nama itu, alis Suwondo langsung berkerut. Wajahnya berubah serius. Gendis adalah nama satu-satunya adiknya. Matanya meneliti pemuda yang berdiri di depannya dari ujung kepala hingga kaki. Pemuda itu tidak berusaha menunduk atau menghindari tatapannya. Sebaliknya, dia balas menatap Suwondo. 

“Mau apa kau kemari?” bentak Suwondo, suaranya bergema di dalam rumah yang hening. Ada kilatan amarah yang menyala di balik sorot matanya.

Taruna, pemuda itu, menegakkan bahunya. Meski hatinya berdebar, dia berusaha menjaga agar suaranya tidak goyah. 

“Saya hanya ingin mengenal keluarga saya. Ibu bilang, saya harus datang kesini dan menemui Nenek. ”

“Apa maksudmu keluarga? Gendis bukan bagian dari keluarga ini lagi?” katanya dengan anda ketus yang jelas merupakan sebuah penolakan. Matanya menatap tajam pada pemuda berkulit coklat, namun memiliki paras rupawan. Meskipun berkulit gelap, tetap parasnya cukup rupawan. Apalagi dilengkapi dengan rambut gondrong lurus berkilat yang diikat ke belakang. Tampak terawat, sangat kontras dengan kaos lusuh dan topi usang yang ada di tangannya. 

“Kau mau nuntut warisan, kan? Itu sebabnya kau datang ke rumah ini!?” hardik Suwondo dengan nada penuh amarah. 

Matanya menatap tajam, sementara rahangnya mengeras menahan emosi. Taruna hanya bisa menunduk, menahan diri, dengan kedua tangan terkepal erat. Jika bukan karena amanah almarhumah ibunya yang baru saja meninggal tiga hari lalu, dia takkan pernah sudi menginjakkan kaki ke rumah ini.

Pakdenya tinggal di sini bersama keluarganya, sekaligus mengelola bisnis almarhum kakeknya, sebuah usaha restoran ayam goreng terkenal yang sudah merambah ke banyak kota. Kakeknya adalah seorang perantau dari Jawa yang sukses besar di Medan, menetap di kota ini selama puluhan tahun. Neneknya, yang berdarah asli putri Medan, kini hanya bisa terdiam dalam kondisi uzur namun tak terbaring pasrah di kamar belakang.

“Saya datang bukan karena warisan, Pakde, Saya hanya ingin menjalankan amanah Ibu,” jawab Taruna dengan suara tertahan. Kata-katanya lirih, tapi tegas. 

Matanya tetap menunduk, menuruti amanah terakhir ibunya. Ibunya selalu mengajarkan untuk mengalah dan menghormati keluarga, meski diperlakukan dengan hina sekalipun. Tetapi kali ini, harga dirinya terinjak-injak.

“Amanah ibumu? Apa lagi yang dimau anak dur haka itu?” bentak Suwondo, nada suaranya mengejek. “Dia sudah memilih hidup mis kin bersama tukang becak itu, jadi buat apa sekarang dia suruh kamu ke sini? Apa dia nggak tega lihat anaknya hidup susah? Itu salahnya! Sejak awal sudah dilarang menikah dengan orang seperti itu, tapi dia keras kepala! Dan sekarang, dia kirim kamu ke sini? Hah! Perempuan e dan!” Suwondo menyemburkan sumpah serapahnya tanpa segan, menghina adiknya yang baru saja meninggal.

Taruna mengepalkan tangannya lebih erat. Sesaat ia menahan napas, berusaha keras meredam letupan amarah yang menggelegak dalam dadanya. Padahal Suwondo hanya dua bersaudara dengan Gendis, ibunya Taruna, tetapi doa tega melontarkan kata-kata tak pantas untuk adik kandungnya sendiri. 

“Ibu sudah nggak ada, Pakde,” ucapnya pelan, namun jelas, seperti gemuruh yang merayap pelan di malam yang tenang. Kata-kata itu seketika membekukan suasana. Suwondo terdiam. Sekar, istrinya yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, hanya menatap dengan tatapan dingin. Di wajahnya tersirat rasa tak suka, seolah kehadiran Taruna di sini adalah suatu ancaman. Ancaman akan dibaginya harta warisan sang mertua. 

Taruna menegakkan kepalanya sedikit, menatap lurus pada Suwondo. Bukan karena takut, bukan karena lemah. Ia menunduk bukan untuk mengalah, tetapi menahan gelombang emosinya yang hampir meledak. Kehadirannya di sini bukanlah untuk menuntut apapun, melainkan hanya untuk menjalankan pesan terakhir ibunya. 

Di tengah ketegangan itu, terdengar derit pelan dari arah belakang rumah. Di sebuah kamar yang tersembunyi di ujung lorong, seorang wanita tua dengan rambut yang telah memutih, merasakan hatinya berdebar mendengar suara tinggi Suwondo. Wanita tua itu adalah Nenek Taruna. Dia berjuang keras, mendorong kursi rodanya ke arah pintu. Tangan tuanya gemetar saat menggenggam pegangan kursi, tapi tekadnya kuat.

Setelah membuka pintu kamar dengan susah payah, Nenek Taruna mengarahkan kursi rodanya ke ruang tamu. Setiap dorongan terasa berat, tetapi dia memaksakan diri. Dia harus melihat, harus menyaksikan apa yang sedang terjadi. Wanita tua itu tahu, keributan ini bukan sekadar masalah keluarga. Ini tentang  tentang luka lama yang menganga di antara mereka.

Wanita tua itu berusaha keras mendorong kursi rodanya. Sorot matanya masih menyimpan kekuatan, seolah ingin berbicara sesuatu yang belum sempat terucap. 

Entah apa yang sebenarnya diinginkan almarhumah ibu Taruna. Mungkin, kedatangan pemuda ini ke rumahnya adalah kunci dari perdamaian yang selama ini tak pernah terwujud.

~~~~~~

Related chapters

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    Tak akan pergi

    “Sekarang kamu pergi! Tak ada yang mau kamu di sini!” teriak Suwondo, suaranya menggelegar, memantul di setiap sudut ruangan. Tangan kanannya menunjuk pintu depan, sementara tubuhnya condong ke depan, seolah siap menerkam seperti harimau yang murka di sarangnya. Wajahnya memerah, urat-urat di lehernya menegang. Di balik matanya yang tajam, tergambar kemarahan bercampur kebencian yang mendalam.Taruna tak beranjak. Tubuhnya yang tegap berdiri kokoh di tengah ruangan. Tak sedikit pun dia bergerak meski kemarahan Suwondo menghantamnya seperti badai. Pandangannya tak berubah, tetap lurus menatap pria di depannya, pakdenya sendiri. Rasa takut dan gentar seakan tidak punya tempat dalam dirinya. Baginya, kehadirannya di sini lebih dari sekadar keberanian Ini adalah tanggung jawab yang ia emban demi satu alasan. Janji terakhir yang ia ucapkan di hadapan ibunya yang kini telah tiada. Janji yang tak akan ia khianati, bahkan jika itu berarti menghadapi caci maki atau penghinaan dari keluarganya

    Last Updated : 2024-10-17
  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    pembelaan Nenek

    “Maaf, Nek. Kita bicara di tempat lain, ya? Kalau bisa, ke kamar Nenek saja,” kata Taruna dengan nada pelan, berusaha menjaga suasana hati neneknya. Pemuda itu bergerak hendak mendorong kursi roda Bu Salma. Suwondo, yang mendengar kata-kata itu, seketika marah. Ia melangkah maju, menarik kerah baju Taruna yang sudah longgar, dan menatap pemuda itu dengan marah. “Lan cang kamu!” teriaknya, suaranya menggema di dalam rumah. Taruna merasakan aliran darahnya mendidih. Dengan kasar, ia menepis tangan Suwondo. “Pakde tak ada hak mengusir saya!” katanya dengan tatapan tajam yang menantang, mencerminkan keberaniannya yang tak tergoyahkan. “Berani kamu!” Suwondo membentak, wajahnya merona karena amarah. “Ibu saya juga berhak atas rumah ini,” ujarnya dengan suara yang lebih lembut namun penuh keyakinan. “Apalagi Nenek masih hidup. Kalau Nenek yang ingin saya pergi, baru saya akan pergi!” balas Taruna dengan tenang. Suwondo terdiam sejenak, terkejut oleh ketegasan pemuda berambut go

    Last Updated : 2024-10-17
  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    Pindah kamar

    Bu Salma hanya bisa menatap punggung cucunya dengan penuh kebingungan dan kekhawatiran. Matanya menyipit, mencoba memahami apa yang sedang terjadi di pikiran Taruna. Meski usianya sudah renta, Bu Salma tak buta terhadap apa yang dirasakan oleh cucunya itu. Taruna berjalan dengan langkah cepat, wajahnya terlihat tegang, dan rahangnya mengeras seperti menahan sesuatu yang berat. Ada kemarahan yang jelas di balik setiap gerakannya."Taruna …." Bu Salma ingin memanggil, tetapi suaranya tertahan. Ia terlalu lemah untuk menghentikannya.Taruna terus melangkah keluar kamar, tatapannya lurus ke depan, dengan tangan yang mengepal kuat. Ia tak bisa lagi menahan perasaan sesak di dadanya. Neneknya yang dulu begitu dihormati dan dilindungi, kini terlupakan di rumahnya sendiri, membuat darahnya mendidih. Bagaimana mungkin mereka memperlakukan Bu Salma seperti ini? Neneknya tidak layak diabaikan dan ditempatkan di kamar yang begitu tak layak.“Dimana kamar tamu?” tanya Taruna dengan suara tegas, ma

    Last Updated : 2024-10-17
  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    6

    Sontak, semua kepala menoleh ke sumber suara. Di sana, tampak seorang gadis kecil dalam seragam TK, dengan langkah kecilnya masuk ke rumah sambil menggandeng seorang wanita berparas ayu, dibalut hijab yang manis dan anggun. Senyumnya tenang, membawa kehangatan yang anehnya meredakan ketegangan di ruangan itu. “Kok nggak ada yang jawab?” tanya Kayra, gadis kecil berwajah imut dengan hijabnya yang rapi, matanya yang besar menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu. “Waalaikumsalam,” jawab Bu Salma dengan senyum lembut, memecah keheningan yang sempat menyelimuti ruangan. “Yuk, Bu Hilya. Katanya mau lihat Buyut,” ajak Kayra, dengan manis menarik tangan wanita berparas lembut di sampingnya. Wanita itu, Hilya, tampak ragu sejenak, langkahnya perlahan ketika mengikuti Kayra menuju nenek Taruna. Hilya tersenyum, menyapa dengan penuh hormat, “Assalamu'alaikum, Nek,” ucapnya sambil menyalami Bu Salma, sosok y

    Last Updated : 2024-10-18
  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    Jangan hina ayahku

    Taruna menghela napas panjang, tangannya gemetar saat ia mengeluarkan barang-barang Sandi dari kamar. Bajunya, sepatu-sepatunya, hingga foto-foto Sandi ia lempar ke lantai tanpa ampun. Hatinya terasa berat, tetapi sudah saatnya neneknya kembali di tempat yang seharusnya. Bukan di kamar pembantu yang lebih layak disebut gudang, karena Bu Salma tidur bersama tumpukan barang tak terpakai. Suwondo dan Sekar masuk, terkejut melihat kekacauan yang dibuat oleh Taruna di kamar putranya. "Apa yang kamu lakukan, Taruna?!" Suwondo langsung berteriak, suaranya bergetar penuh kemarahan. Wajahnya merah padam, sulit mempercayai apa yang dilihatnya."Taruna! Kamu gila? Ini kamar Sandi! Siapa yang memberi hak padamu untuk mengusirnya begitu saja?" Suara Sekar tinggi, nyaris pecah.Taruna tidak menoleh. Ia terus merapikan barang-barang Sandi ke dalam tas besar yang didapat di atas lemari. Sebagian dibiarkan berserakan di lantai.

    Last Updated : 2024-10-18
  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    8

    Sandi baru saja tiba di rumah setelah seharian bekerja. Laki-laki berusia tiga puluhan itu keluar dari mobilnya dengan raut wajah lelah, tetapi ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah becak motor yang terparkir di halaman, dahinya mengernyit.“Becak siapa ini?” gumamnya heran.Tidak ingin berlarut-larut memikirkannya, Sandi berjalan cepat menuju pintu rumah. Ketika ia masuk, suara keributan terdengar dari lantai atas, tepatnya dari kamarnya. Suara yang tidak asing, tapi membuat alisnya naik.“Papa!” teriak Kayra, putri kecilnya, sambil berlari mendekat. Wajah gadis kecil itu memerah, matanya berkaca-kaca.“Oma jahat, Pa! Kayra nggak dibolehin main sama Buyut,” adunya dengan suara lirih, penuh emosi. Tangannya yang mungil menggenggam erat ujung baju Sandi, seolah memohon perlindungan.Sandi menunduk, sekilas menatap Kayra, namun pikirannya terganggu oleh suara keributan dari kamarnya. Ada sesuatu yang lebih mendesak untuk diperiksa.“Papa dengar nanti, ya,” katanya lembut, menepuk ke

    Last Updated : 2024-11-08
  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    9

    Taruna terbangun ketika suara adzan berkumandang dari toa Mesjid yang berada di simpang jalan. Matanya terbuka perlahan, dan ia menoleh ke arah Bu Salma, neneknya, yang juga baru saja terjaga. Dengan tatapan penuh kasih, ia melihat wanita tua itu berusaha duduk di tepi ranjang. Tak banyak ingatan masa kecil tentang neneknya. Hanya satu yang diingat, cuma neneknya yang menerima keluarganya dengan tangan terbuka. Sayangnya, sikap otoriter kakeknya, memisahkan mereka.Pemuda berambut sebahu itu sengaja tidur di lantai kamar neneknya, beralaskan kasur lipat sederhana, demi memastikan Bu Salma selalu terjaga dan dibantu kapanpun dibutuhkan. Kondisi neneknya yang kian lemah membuatnya merasa wajib ada di sisinya, terutama di waktu-waktu seperti ini.“Nenek mau sholat?” tanyanya lembut, sambil duduk di samping neneknya.Senyuman tipis menghiasi wajah Bu Salma, menandakan semangat yang masih tersisa meski tubuhnya mulai renta. Ia mengangguk pelan, lalu berusaha berdiri dengan tangan berpegang

    Last Updated : 2024-11-09
  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    10

    “Kayra cepat! Papa harus hadir di acara penting,” ujar Sandi sambil melirik jam di pergelangan tangannya, nada suaranya sedikit tegang.“Ikut Papa ya. Lain kali, biar Om yang antar, atau nanti pulangnya Om jemput,” Taruna mencoba membujuk lembut, berharap Kayra mau keluar dari kamar.Setelah ragu sejenak, akhirnya gadis kecil itu melangkah keluar dengan langkah perlahan, mengikuti papanya. Meski baru mengenal Taruna, Kayra merasa ada kehangatan dalam sikap pria itu yang membuatnya nyaman. Tak seperti papanya yang dingin dan tak acuh padanya. “Cepat!” tegas Sandi lalu jalan lebih dulu. Padahal Kayra berharap, Sandi mau menggenggam jemarinya. Gadis kecil itu memang kurang mendapat perhatian di rumahnya, padahal anggota keluarga di rumah itu lengkap, kecuali mamanya. Kayra tak pernah mengenal mamanya. Entah masih hidup atau sudah meninggal. “Nek, Taruna buatkan teh dulu ya. Setelah itu, kita jalan-jalan,” ucap Taruna lembut, sambil tersenyum penuh perhatian pada neneknya setelah Kayra

    Last Updated : 2024-11-10

Latest chapter

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    19

    “Bapakmu tau, keserakahanmu. Berulang kali kamu mau mencelakai Gendis, itu sebabnya, Bapak menjauhkan Gendis dari keluarga ini, agar dia aman. Kamu sangka, Bapak nggak memantau Gendis dari jauh. Suami Gendis itu pekerja keras. Semua terbukti, saat Bapak meminta temannya membantu Ayah Taruna. Ayahnya berhasil bangkit dan menjadi seorang pengusaha sukses, yang sekarang perusahaannya diwariskan pada Taruna.”Ruangan itu menjadi hening setelah Bu Salma mengatakan yang sebenarnya. Kenyataan bahwa selama ini Suwondo bukan anak kandung Bu Salma dari pernikahan resmi ditambah kenyataan kalau ternyata sejak lama orang tuanya tau apa yang dia lakukan, membuatnya merasa kehilangan pijakan. Dia memegangi dadanya yang masih terasa sesak.Taruna, yang sejak tadi tenang, berdiri di samping neneknya, Bu Salma. Ia menatap Suwondo dengan pandangan tajam, tapi tidak ada tanda-tanda kebencian. Sebaliknya, ada rasa kasihan di matanya. Bagaimana juga, sejak Suwondo bayi, dia lah yang mengurus. Suwondo bes

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    18

    Semua wajah orang yang berkumpul di ruang tamu tampak tegang, terutama Suwondo, Sekar dan anak-anaknya. Tampak seorang laki-laki yang merupakan pengacara ada di antara mereka. “Ibu sengaja mengumpulkan semuanya di sini, untuk membicarakan pembagian harta warisan,” kata Bu Salma. “Apa lagi yang mau dibagi, Bu? Anak Bapak sama Ibu kan cuma Mas Suwondo. Sejak Gendhis pergi, Bapak sudah tidak lagi menganggapnya anak.” Sekar tampak gusar dan menutupi kegusaran hatinya dengan protes. “Tidak menganggapnya anak, bukan berarti Gendis bukan anak kami. Bapak hanya sedang emosi. Buktinya, Bapak tak pernah bilang kan, kalau nama Gendis dihapus dari ahli waris?” Perkataan Bu Salma membuat wajah Sekar melengos. “Bapak sudah bilang akan memberikan restoran buat Wondo, Bu,” kata Suwondo mencoba agak melunak karena aada pengacara yang menilai perilaku mereka. “Kamu dengar aja dulu, apa yang akan disampaikan sama Pak Jaya. Jangan ngomong terus. Ibu ini sudah tua, Ibu nggak mau, kalau nanti Ibu meni

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    17

    “Hilya, tukang becak mana yang dimaksud Sandi tadi?” tanya Ayah Hilya setelah tamunya yang beradab pulang. Hilya menelan ludah. Takut ayahnya akan marah. “Apa Taruna?” tanya Ibu Hilya yang pernah melihat Taruna membawa becak motor. “Ayah nggak melarang kamu berteman dekat sama siapa aja. Tapi kalau bisa jangan ada yang berhubungan dengan keluarga mereka. Apalagi sama Taruna, kamu bisa makan hati kalau berurusan sama keluarga mereka. Ayah bukan memandang Taruna sebelah mata, tapi kamu anak kami satu-satunya, kami nggak mau nanti melihat hidupmu menderita.” Hilya hanya bisa termangu mendengar nasehat ayahnya. Sebagai tetangga sebelah rumah, tentunya keluarga Hilya juga tau mengenai sepak terjang keluarga Suwondo. ~~~~~“Pa, semua aset Nenek kalo bisa segera diganti ke nama kita. Papa udah janji kan, kalau dua restoran buat Sandi,” kata Sandi pada Suwondo ketika mereka di ruang khusus di restoran. “Tapi nenekmu belum mau tanda tangan,” ucap Suwondo. “Kenapa sih Nenek suka sekali m

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    16

    "Itu anaknya sudah pulang," kata Ibu Hilya dengan nada lembut ketika suara motor Hilya terdengar memasuki halaman.Sandi, yang sejak tadi duduk menunggu dengan canggung, tak bisa menahan senyum malu-malu. Hatinya berdebar-debar berharap Hilya akan menerima pinangannya. "Assalamualaikum.” Terdengar suara Hilya mengucap salam. Saat melangkah masuk, Hilya sedikit terkejut melihat Sandi, bersama kedua orang tuanya, duduk di ruang tamu rumahnya.Ini jelas tak biasa. Meski rumah mereka berdekatan, namun kunjungan seperti ini jarang terjadi. Ada aura yang berbeda hari ini, dan itu membuat jantung Hilya berdebar apalagi dia melihat senyum Sandi semakin tak bisa disembunyikan.Tanpa perlu disuruh, Hilya langsung menghampiri dan menyalami Suwondo dan Sekar dengan sopan.“Hilya masuk dulu ya, Om, Tante,” ucap Hilya dengan senyum ramah, mengira kunjungan tetangga mereka hanya untuk urusan dengan orang tuanya.Namun sebelum ia sempat berbalik, suara ayahnya menghentikannya. “Duduk dulu, Hilya,” k

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    15

    Sandi berdiri dengan hati-hati di balik pintu, menahan napas agar tidak ketahuan. Suara lembut Hilya terdengar samar-samar, menyapa Bu Salma. Sandi memiringkan tubuhnya sedikit, mencoba mendekatkan telinganya ke celah pintu. Percakapan di teras semakin menarik perhatiannya, seolah ada rahasia besar yang sedang dibahas. Jantungnya berdebar, tidak sabar untuk mengetahui apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Setiap kata yang terucap membuat rasa ingin tahunya semakin membuncah, namun ia juga sadar, satu gerakan salah saja bisa membuatnya ketahuan.“Nek, tadi Hilya belajar bikin bolu sarang semut. Nenek coba ya, siapa tahu suka,” ujar Hilya sambil menyodorkan sebuah wadah berisi potongan bolu sarang semut yang dibuatnya sendiri. Di seberangnya, Taruna duduk dengan canggung, menggeser posisi duduknya berkali-kali, tangannya memegang gelas teh yang sudah dingin. Pandangannya sesekali mencuri-curi ke arah Hilya, berharap gadis itu menyapanya. Tapi Hilya tetap diam, fokus pada neneknya, hany

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    14

    Beberapa hari berlalu, tanpa rintangan yang begitu berarti. Tak ada yang berani mengusik Taruna. Hubungan antara Taruna dengan Hilya juga semakin dekat. Taruna selalu menemukan cara agar bisa dekat dengan Hilya. “Nek, kira-kira malam ini, Nenek mau Hilya datang ke sini apa nggak?” tanya Taruna pelan, seraya duduk di teras bersama Bu Bu Salma, sore ini.Bu Salma menoleh, matanya menyipit, menatap cucunya penuh tanya. “Mau apa?” Taruna terdiam sejenak, memainkan ujung baju kaosnya. “Ya, nemani Nenek ngobrol. Barangkali Nenek bosan sendirian,” katanya.Bu Salma tersenyum tipis, menunduk sebentar, lalu menatap cucunya lagi. “Bukan Nenek yang bosan, kayaknya kamu yang ingin jumpa.”Taruna langsung menggaruk rambutnya yang tak gatal, mencoba menyembunyikan rasa malu di balik senyum lebar yang muncul di wajahnya. “Kalau kamu suka sama dia, langsung aja bilang. Mumpung dia juga masih sendiri. Jangan sampai keduluan orang lain,” kata Bu Salma, suaranya lembut tetapi seolah menantang Taruna

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    13

    “Itu sekolah Kayra,” kata Bu Salma, sambil menunjuk sebuah bangunan berwarna cerah dengan papan nama bertuliskan ‘Taman Kanak-kanak Pelangi’.Taruna memperhatikan sekolah itu dari atas becaknya, matanya menyusuri taman bermain di halaman depan. Ada ayunan yang bergerak pelan tertiup angin. Jungkat-jungkit, juga perosotan berwarna cerah. “Biasanya kalau pulang, Kayra selalu diantar sama Hilya, gurunya di sekolah,” lanjut Bu Salma. Taruna menoleh, tertarik dengan nama yang disebutkan.“Rumah Hilya bersebelahan dengan rumah Nenek, tapi terhalang tembok tinggi. Kalau dari lantai dua, baru kelihatan,” jelas Bu Salma sambil tersenyum tipis.Hilya. Nama itu langsung membangkitkan memori Taruna, tentang gadis berhijab yang kemarin datang mengantar Kayra pulang. Tatapan matanya yang tenang, senyumnya yang sederhana namun memikat, dan cara ia berbicara yang penuh kelembutan, terngiang kembali di benaknya.Taruna merasakan sesuatu bergetar dalam hatinya. Apakah ini hanya kesan singkat, atau ad

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    12

    Suasana pagi yang damai terasa begitu kontras dengan perasaan gugup yang menghinggapi hati Bu Salma. Wanita paruh baya berpakaian rapi keluar dari rumah besar di hadapan mereka, senyumnya lebar, namun ada kehangatan tersirat dalam sorot matanya.“Nak, kita sebaiknya pergi saja. Yang punya rumah sudah keluar,” bisik Bu Salma panik, suaranya gemetar. Takut mengganggu pemilik rumah megah tersebut. "Nggak apa-apa, Nek. Kita nggak akan lama. Taruna janji,” kata Taruna sambil menunjukkan senyum penuh arti. Satpam yang tadi ada di pos jaga, tampak berlari mendekati becak itu. “Saya bantu, Mas,” katanya. Ada kesan hormat terhadap Taruna dari suaranya. Bu Salma tertegun melihatnya. Setelah kursi roda disiapkan, Taruna langsung mengangkat tubuh lemah neneknya dengan penuh hati-hati. “Nek, tenang aja ya,” katanya sambil meletakkan Bu Salma ke kursi roda dengan lembut.“Kita mau ngapain di sini?” tanya Bu Salma masih kebingungan. “Nanti Nenek tau,” kata Taruna. Taruna mengangguk pada satpa

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    11

    “Kamu ngintipin apa?” teguran Sekar mengejutkan gadis itu, membuatnya mundur selangkah. Matanya masih terfokus pada sosok Taruna. “Itu siapa, Ma?” tanya gadis itu sambil menunjuk Taruna, yang sudah bersiap di atas becaknya untuk membawa Bu Salma pergi. Sekar mendengus sinis. “Benalu!” ucapnya dingin. “Benalu? Maksudnya apa, Ma?” Gadis itu semakin bingung, merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Taruna tampak tidak seperti orang jahat. “Dia itu benalu. Datang ke sini hanya untuk nuntut warisan dari Kakek. Dia pikir bisa menguasai semuanya,” jelas Sekar, berjalan kembali ke meja makan dengan langkah tergesa.Gadis itu terus mengikuti ibunya sampai ke dapur, rasa penasarannya semakin membuncah. “Tapi ... siapa dia sebenarnya, Ma? Kok bisa mau minta warisan? Kayaknya nggak pernah dengar tentang dia,” tanya gadis bernama Rere itu penasaran. "Sudahlah, tak usah bahas soal dia," sela Suwondo dengan wajah tegang, sambil meneguk teh panas di tangannya. Matanya menghindari tatapan anaknya.

DMCA.com Protection Status