Share

pembelaan Nenek

“Maaf, Nek. Kita bicara di tempat lain, ya? Kalau bisa, ke kamar Nenek saja,” kata Taruna dengan nada pelan, berusaha menjaga suasana hati neneknya. Pemuda itu bergerak hendak mendorong kursi roda Bu Salma.

Suwondo, yang mendengar kata-kata itu, seketika marah. Ia melangkah maju, menarik kerah baju Taruna yang sudah longgar, dan menatap pemuda itu dengan marah.

“Lan cang kamu!” teriaknya, suaranya menggema di dalam rumah.

Taruna merasakan aliran darahnya mendidih. Dengan kasar, ia menepis tangan Suwondo.

“Pakde tak ada hak mengusir saya!” katanya dengan tatapan tajam yang menantang, mencerminkan keberaniannya yang tak tergoyahkan.

“Berani kamu!” Suwondo membentak, wajahnya merona karena amarah.

“Ibu saya juga berhak atas rumah ini,” ujarnya dengan suara yang lebih lembut namun penuh keyakinan. “Apalagi Nenek masih hidup. Kalau Nenek yang ingin saya pergi, baru saya akan pergi!” balas Taruna dengan tenang.

Suwondo terdiam sejenak, terkejut oleh ketegasan pemuda berambut gondrong di hadapannya. Pemuda itu tak seperti ayahnya yang pasrah saat akhirnya harus terusir dari rumah.

“Dia cucu Ibu juga. Biar dia di sini,” kata Bu Salma dengan suara bergetar.

Taruna, yang sejak tadi berdiri di dekat neneknya, tersenyum penuh kemenangan. Ia merasakan genggaman tangan Bu Salma yang semakin erat, seolah memberikan dukungan penuh. Matanya berkilat sejenak, puas melihat kegelisahan yang mulai muncul di wajah Sekar dan Suwondo.

Sekar mengatupkan bibirnya erat-erat, menahan amarah yang hampir meluap. Matanya berkilat, namun ia berusaha menahan diri. Ia menatap Taruna dengan tatapan tajam, penuh kebencian.

"Bu, tapi kedatangannya ini tidak tepat," katanya dengan nada yang dipaksakan tetap tenang.

“Tak perlu waktu yang tepat untuk mengurus Nenek sendiri. Suka-suka saya mau datang kapan saja!” sahut Taruna membuat Sekar menjengatkan bibir karena menahan emosi.

Bu Salma mendesah pelan, tapi tak melepaskan genggamannya dari Taruna.

"Ibu tahu rencana kalian, Sekar. Tapi ingat, Taruna tetap cucu Ibu. Dia juga punya hak berada di rumah ini."

Sekar mengalihkan pandangannya sejenak, mencoba mencari ketenangan di dalam dirinya. Namun saat ia melihat Taruna yang kini menatapnya penuh kemenangan, amarahnya tak bisa lagi ia bendung.

"Keluarga?" suaranya bergetar, "Dia datang saat semuanya hampir selesai! Dia merusak semuanya!"

"Merusak? Saya merusak apa, Bude? Apa ada yang sedang kalian rencanakan?” tanya Taruna dengan tatapan mengintimidasi.

Sekar mengepalkan tangannya kuat-kuat, tubuhnya gemetar menahan marah. Ia ingin berteriak, tapi ia tahu, dia harus menjaga wibawanya.

Pemuda berambut gondrong itu berdiri tegak, tatapan matanya dingin menantang. Dia mengabaikan tatapan tajam penuh amarah dari Sekar dan Suwondo, yang sejak tadi menatapnya seolah-olah dia adalah orang asing yang tak diinginkan di rumah itu. Namun Taruna tak terpengaruh. Dia hanya punya satu tujuan, neneknya, Bu Salma.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Taruna memegang kembali kursi roda neneknya. Jari-jarinya menyentuh lembut gagang kursi roda, lalu dia mulai bersiap untuk mendorongnya.

“Di mana kamar Nenek?” tanya Taruna, suaranya terdengar tegas, namun ada getaran emosi yang tersembunyi di baliknya.

Bu Salma, yang duduk diam di kursi rodanya, menunjuk dengan tangan gemetar ke arah belakang. "Di sana, di ujung."

Sekar ingin protes, tapi kali ini dia hanya bisa menatap penuh kebencian. Suwondo yang berdiri di sebelahnya, berusaha menahan diri, meskipun jelas terlihat ketegangan di rahangnya yang mengeras. Namun tidak ada yang berani berkata apa-apa. Mereka hanya bisa melihat Taruna mendorong kursi roda Bu Salma, tanpa perlawanan.

Saat Taruna mendorong kursi roda neneknya melewati lorong panjang rumah itu, hatinya berdebar kencang. Tak banyak kenangannya di rumah ini, selain kata-kata umpatan yang terngiang saat orang tuanya diusir dari rumah ini. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar Bu Salma. Ketika ia membuka pintu dan masuk, perasaannya mendadak bergemuruh.

Kamar itu begitu suram dan sederhana. Dindingnya kusam, lantainya dingin, dan perabotan di dalamnya tampak usang. Tirai jendela yang robek menggantung dengan malas, membiarkan sinar matahari yang redup masuk ke dalam ruangan. Hati Taruna teriris melihat kondisi kamar itu. Ini bukan kamar yang layak untuk Bu Salma, neneknya, seorang nyonya besar yang pernah dihormati di rumah ini. Matanya mulai memanas.

"Nenek tidur di sini?" Taruna menatap Bu Salma dengan mata yang berkaca-kaca, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Bu Salma tersenyum tipis, namun senyumnya tidak dapat menyembunyikan keletihan dan kesedihan yang dalam.

"Iya, Nak. Di sinilah Nenek tinggal sekarang."

Taruna merasakan sesak di dadanya. Pandangannya menyapu seluruh ruangan, membayangkan bagaimana neneknya, yang dulu selalu penuh wibawa, kini hidup di tempat yang seolah-olah terlupakan.

“Ini tidak benar,” gumam Taruna, lebih kepada dirinya sendiri. Amarah dan kesedihan bercampur menjadi satu di dalam hatinya.

"Nak, jangan khawatirkan Nenek. Nenek sudah terbiasa," kata Bu Salma lirih, berusaha menghibur cucunya yang jelas tersentuh dengan keadaannya. Namun Taruna tidak bisa menerima itu.

"Tidak, Nek. Nenek pantas mendapatkan yang lebih baik dari ini." Suaranya bergetar, matanya memerah.

Bu Salma hanya menatapnya penuh kasih, tanpa berkata apa-apa. Dia tahu, Taruna tidak hanya berbicara tentang kamar ini. Ada begitu banyak rasa sakit yang tersembunyi.

“Nenek tunggu di sini sebentar,” kata Taruna dengan suara lembut, menunduk sejenak ke arah Bu Salma sebelum berbalik dan melangkah keluar kamar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status