Taruna turun perlahan dari becaknya, menghapus keringat di kening dengan lengan bajunya yang lusuh. Topi usang yang biasanya melindungi kepala dari teriknya matahari kini ia lepaskan, seolah memberi penghormatan pada sesuatu yang besar, bukan karena rasa segan, tetapi karena beban berat yang ia bawa di hatinya. Pemuda berkulit cokelat dan berambut sedikit gondrong itu menatap lurus ke arah bangunan megah di hadapannya. Rumah neneknya. Rumah yang pernah menjadi saksi luka lama yang tak pernah sembuh.Bangunan besar itu masih terlihat sama, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Pilar-pilar tinggi yang menjulang, dinding bercat putih gading yang memancarkan kesan angkuh, serta taman depan yang tertata rapi, seolah sengaja menegaskan batasan antara kelas sosial mereka. Satu sisi rumah ini penuh kemewahan, namun di sisi lain, bagi Taruna, rumah ini tak lebih dari sekadar simbol dari rasa sakit dan penolakan.Sebelum meninggal, ibunya sempat memberi pesan yang ia pegang erat-erat hingga sa
Mendengar ada keributan di rumahnya, Suwondo bergegas datang dari arah belakang rumah dengan langkah lebar dan cepat. Rambutnya yang mulai memutih bergerak mengikuti irama langkahnya yang penuh wibawa. Tatapannya tajam menyapu sekitar, hingga matanya tertuju pada sosok pemuda asing yang berdiri dengan tatapan menantang pada istrinya. “Siapa dia, Ma?” tanyanya dengan suara rendah, namun penuh tekanan, pada Sekar, istrinya. “Katanya, dia anak Gendis, Pa,” jawab Sekar dengan nada ketus, dan pandangan yang diarahkan pada Taruna.Mendengar nama itu, alis Suwondo langsung berkerut. Wajahnya berubah serius. Gendis adalah nama satu-satunya adiknya. Matanya meneliti pemuda yang berdiri di depannya dari ujung kepala hingga kaki. Pemuda itu tidak berusaha menunduk atau menghindari tatapannya. Sebaliknya, dia balas menatap Suwondo. “Mau apa kau kemari?” bentak Suwondo, suaranya bergema di dalam rumah yang hening. Ada kilatan amarah yang menyala di balik sorot matanya.Taruna, pemuda itu, meneg
“Sekarang kamu pergi! Tak ada yang mau kamu di sini!” teriak Suwondo, suaranya menggelegar, memantul di setiap sudut ruangan. Tangan kanannya menunjuk pintu depan, sementara tubuhnya condong ke depan, seolah siap menerkam seperti harimau yang murka di sarangnya. Wajahnya memerah, urat-urat di lehernya menegang. Di balik matanya yang tajam, tergambar kemarahan bercampur kebencian yang mendalam.Taruna tak beranjak. Tubuhnya yang tegap berdiri kokoh di tengah ruangan. Tak sedikit pun dia bergerak meski kemarahan Suwondo menghantamnya seperti badai. Pandangannya tak berubah, tetap lurus menatap pria di depannya, pakdenya sendiri. Rasa takut dan gentar seakan tidak punya tempat dalam dirinya. Baginya, kehadirannya di sini lebih dari sekadar keberanian Ini adalah tanggung jawab yang ia emban demi satu alasan. Janji terakhir yang ia ucapkan di hadapan ibunya yang kini telah tiada. Janji yang tak akan ia khianati, bahkan jika itu berarti menghadapi caci maki atau penghinaan dari keluarganya
“Maaf, Nek. Kita bicara di tempat lain, ya? Kalau bisa, ke kamar Nenek saja,” kata Taruna dengan nada pelan, berusaha menjaga suasana hati neneknya. Pemuda itu bergerak hendak mendorong kursi roda Bu Salma. Suwondo, yang mendengar kata-kata itu, seketika marah. Ia melangkah maju, menarik kerah baju Taruna yang sudah longgar, dan menatap pemuda itu dengan marah. “Lan cang kamu!” teriaknya, suaranya menggema di dalam rumah. Taruna merasakan aliran darahnya mendidih. Dengan kasar, ia menepis tangan Suwondo. “Pakde tak ada hak mengusir saya!” katanya dengan tatapan tajam yang menantang, mencerminkan keberaniannya yang tak tergoyahkan. “Berani kamu!” Suwondo membentak, wajahnya merona karena amarah. “Ibu saya juga berhak atas rumah ini,” ujarnya dengan suara yang lebih lembut namun penuh keyakinan. “Apalagi Nenek masih hidup. Kalau Nenek yang ingin saya pergi, baru saya akan pergi!” balas Taruna dengan tenang. Suwondo terdiam sejenak, terkejut oleh ketegasan pemuda berambut go
Bu Salma hanya bisa menatap punggung cucunya dengan penuh kebingungan dan kekhawatiran. Matanya menyipit, mencoba memahami apa yang sedang terjadi di pikiran Taruna. Meski usianya sudah renta, Bu Salma tak buta terhadap apa yang dirasakan oleh cucunya itu. Taruna berjalan dengan langkah cepat, wajahnya terlihat tegang, dan rahangnya mengeras seperti menahan sesuatu yang berat. Ada kemarahan yang jelas di balik setiap gerakannya."Taruna …." Bu Salma ingin memanggil, tetapi suaranya tertahan. Ia terlalu lemah untuk menghentikannya.Taruna terus melangkah keluar kamar, tatapannya lurus ke depan, dengan tangan yang mengepal kuat. Ia tak bisa lagi menahan perasaan sesak di dadanya. Neneknya yang dulu begitu dihormati dan dilindungi, kini terlupakan di rumahnya sendiri, membuat darahnya mendidih. Bagaimana mungkin mereka memperlakukan Bu Salma seperti ini? Neneknya tidak layak diabaikan dan ditempatkan di kamar yang begitu tak layak.“Dimana kamar tamu?” tanya Taruna dengan suara tegas, ma
Sontak, semua kepala menoleh ke sumber suara. Di sana, tampak seorang gadis kecil dalam seragam TK, dengan langkah kecilnya masuk ke rumah sambil menggandeng seorang wanita berparas ayu, dibalut hijab yang manis dan anggun. Senyumnya tenang, membawa kehangatan yang anehnya meredakan ketegangan di ruangan itu. “Kok nggak ada yang jawab?” tanya Kayra, gadis kecil berwajah imut dengan hijabnya yang rapi, matanya yang besar menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu. “Waalaikumsalam,” jawab Bu Salma dengan senyum lembut, memecah keheningan yang sempat menyelimuti ruangan. “Yuk, Bu Hilya. Katanya mau lihat Buyut,” ajak Kayra, dengan manis menarik tangan wanita berparas lembut di sampingnya. Wanita itu, Hilya, tampak ragu sejenak, langkahnya perlahan ketika mengikuti Kayra menuju nenek Taruna. Hilya tersenyum, menyapa dengan penuh hormat, “Assalamu'alaikum, Nek,” ucapnya sambil menyalami Bu Salma, sosok y
Taruna menghela napas panjang, tangannya gemetar saat ia mengeluarkan barang-barang Sandi dari kamar. Bajunya, sepatu-sepatunya, hingga foto-foto Sandi ia lempar ke lantai tanpa ampun. Hatinya terasa berat, tetapi sudah saatnya neneknya kembali di tempat yang seharusnya. Bukan di kamar pembantu yang lebih layak disebut gudang, karena Bu Salma tidur bersama tumpukan barang tak terpakai. Suwondo dan Sekar masuk, terkejut melihat kekacauan yang dibuat oleh Taruna di kamar putranya. "Apa yang kamu lakukan, Taruna?!" Suwondo langsung berteriak, suaranya bergetar penuh kemarahan. Wajahnya merah padam, sulit mempercayai apa yang dilihatnya."Taruna! Kamu gila? Ini kamar Sandi! Siapa yang memberi hak padamu untuk mengusirnya begitu saja?" Suara Sekar tinggi, nyaris pecah.Taruna tidak menoleh. Ia terus merapikan barang-barang Sandi ke dalam tas besar yang didapat di atas lemari. Sebagian dibiarkan berserakan di lantai.
Sandi baru saja tiba di rumah setelah seharian bekerja. Laki-laki berusia tiga puluhan itu keluar dari mobilnya dengan raut wajah lelah, tetapi ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah becak motor yang terparkir di halaman, dahinya mengernyit.“Becak siapa ini?” gumamnya heran.Tidak ingin berlarut-larut memikirkannya, Sandi berjalan cepat menuju pintu rumah. Ketika ia masuk, suara keributan terdengar dari lantai atas, tepatnya dari kamarnya. Suara yang tidak asing, tapi membuat alisnya naik.“Papa!” teriak Kayra, putri kecilnya, sambil berlari mendekat. Wajah gadis kecil itu memerah, matanya berkaca-kaca.“Oma jahat, Pa! Kayra nggak dibolehin main sama Buyut,” adunya dengan suara lirih, penuh emosi. Tangannya yang mungil menggenggam erat ujung baju Sandi, seolah memohon perlindungan.Sandi menunduk, sekilas menatap Kayra, namun pikirannya terganggu oleh suara keributan dari kamarnya. Ada sesuatu yang lebih mendesak untuk diperiksa.“Papa dengar nanti, ya,” katanya lembut, menepuk ke
“Bapakmu tau, keserakahanmu. Berulang kali kamu mau mencelakai Gendis, itu sebabnya, Bapak menjauhkan Gendis dari keluarga ini, agar dia aman. Kamu sangka, Bapak nggak memantau Gendis dari jauh. Suami Gendis itu pekerja keras. Semua terbukti, saat Bapak meminta temannya membantu Ayah Taruna. Ayahnya berhasil bangkit dan menjadi seorang pengusaha sukses, yang sekarang perusahaannya diwariskan pada Taruna.”Ruangan itu menjadi hening setelah Bu Salma mengatakan yang sebenarnya. Kenyataan bahwa selama ini Suwondo bukan anak kandung Bu Salma dari pernikahan resmi ditambah kenyataan kalau ternyata sejak lama orang tuanya tau apa yang dia lakukan, membuatnya merasa kehilangan pijakan. Dia memegangi dadanya yang masih terasa sesak.Taruna, yang sejak tadi tenang, berdiri di samping neneknya, Bu Salma. Ia menatap Suwondo dengan pandangan tajam, tapi tidak ada tanda-tanda kebencian. Sebaliknya, ada rasa kasihan di matanya. Bagaimana juga, sejak Suwondo bayi, dia lah yang mengurus. Suwondo bes
Semua wajah orang yang berkumpul di ruang tamu tampak tegang, terutama Suwondo, Sekar dan anak-anaknya. Tampak seorang laki-laki yang merupakan pengacara ada di antara mereka. “Ibu sengaja mengumpulkan semuanya di sini, untuk membicarakan pembagian harta warisan,” kata Bu Salma. “Apa lagi yang mau dibagi, Bu? Anak Bapak sama Ibu kan cuma Mas Suwondo. Sejak Gendhis pergi, Bapak sudah tidak lagi menganggapnya anak.” Sekar tampak gusar dan menutupi kegusaran hatinya dengan protes. “Tidak menganggapnya anak, bukan berarti Gendis bukan anak kami. Bapak hanya sedang emosi. Buktinya, Bapak tak pernah bilang kan, kalau nama Gendis dihapus dari ahli waris?” Perkataan Bu Salma membuat wajah Sekar melengos. “Bapak sudah bilang akan memberikan restoran buat Wondo, Bu,” kata Suwondo mencoba agak melunak karena aada pengacara yang menilai perilaku mereka. “Kamu dengar aja dulu, apa yang akan disampaikan sama Pak Jaya. Jangan ngomong terus. Ibu ini sudah tua, Ibu nggak mau, kalau nanti Ibu meni
“Hilya, tukang becak mana yang dimaksud Sandi tadi?” tanya Ayah Hilya setelah tamunya yang beradab pulang. Hilya menelan ludah. Takut ayahnya akan marah. “Apa Taruna?” tanya Ibu Hilya yang pernah melihat Taruna membawa becak motor. “Ayah nggak melarang kamu berteman dekat sama siapa aja. Tapi kalau bisa jangan ada yang berhubungan dengan keluarga mereka. Apalagi sama Taruna, kamu bisa makan hati kalau berurusan sama keluarga mereka. Ayah bukan memandang Taruna sebelah mata, tapi kamu anak kami satu-satunya, kami nggak mau nanti melihat hidupmu menderita.” Hilya hanya bisa termangu mendengar nasehat ayahnya. Sebagai tetangga sebelah rumah, tentunya keluarga Hilya juga tau mengenai sepak terjang keluarga Suwondo. ~~~~~“Pa, semua aset Nenek kalo bisa segera diganti ke nama kita. Papa udah janji kan, kalau dua restoran buat Sandi,” kata Sandi pada Suwondo ketika mereka di ruang khusus di restoran. “Tapi nenekmu belum mau tanda tangan,” ucap Suwondo. “Kenapa sih Nenek suka sekali m
"Itu anaknya sudah pulang," kata Ibu Hilya dengan nada lembut ketika suara motor Hilya terdengar memasuki halaman.Sandi, yang sejak tadi duduk menunggu dengan canggung, tak bisa menahan senyum malu-malu. Hatinya berdebar-debar berharap Hilya akan menerima pinangannya. "Assalamualaikum.” Terdengar suara Hilya mengucap salam. Saat melangkah masuk, Hilya sedikit terkejut melihat Sandi, bersama kedua orang tuanya, duduk di ruang tamu rumahnya.Ini jelas tak biasa. Meski rumah mereka berdekatan, namun kunjungan seperti ini jarang terjadi. Ada aura yang berbeda hari ini, dan itu membuat jantung Hilya berdebar apalagi dia melihat senyum Sandi semakin tak bisa disembunyikan.Tanpa perlu disuruh, Hilya langsung menghampiri dan menyalami Suwondo dan Sekar dengan sopan.“Hilya masuk dulu ya, Om, Tante,” ucap Hilya dengan senyum ramah, mengira kunjungan tetangga mereka hanya untuk urusan dengan orang tuanya.Namun sebelum ia sempat berbalik, suara ayahnya menghentikannya. “Duduk dulu, Hilya,” k
Sandi berdiri dengan hati-hati di balik pintu, menahan napas agar tidak ketahuan. Suara lembut Hilya terdengar samar-samar, menyapa Bu Salma. Sandi memiringkan tubuhnya sedikit, mencoba mendekatkan telinganya ke celah pintu. Percakapan di teras semakin menarik perhatiannya, seolah ada rahasia besar yang sedang dibahas. Jantungnya berdebar, tidak sabar untuk mengetahui apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Setiap kata yang terucap membuat rasa ingin tahunya semakin membuncah, namun ia juga sadar, satu gerakan salah saja bisa membuatnya ketahuan.“Nek, tadi Hilya belajar bikin bolu sarang semut. Nenek coba ya, siapa tahu suka,” ujar Hilya sambil menyodorkan sebuah wadah berisi potongan bolu sarang semut yang dibuatnya sendiri. Di seberangnya, Taruna duduk dengan canggung, menggeser posisi duduknya berkali-kali, tangannya memegang gelas teh yang sudah dingin. Pandangannya sesekali mencuri-curi ke arah Hilya, berharap gadis itu menyapanya. Tapi Hilya tetap diam, fokus pada neneknya, hany
Beberapa hari berlalu, tanpa rintangan yang begitu berarti. Tak ada yang berani mengusik Taruna. Hubungan antara Taruna dengan Hilya juga semakin dekat. Taruna selalu menemukan cara agar bisa dekat dengan Hilya. “Nek, kira-kira malam ini, Nenek mau Hilya datang ke sini apa nggak?” tanya Taruna pelan, seraya duduk di teras bersama Bu Bu Salma, sore ini.Bu Salma menoleh, matanya menyipit, menatap cucunya penuh tanya. “Mau apa?” Taruna terdiam sejenak, memainkan ujung baju kaosnya. “Ya, nemani Nenek ngobrol. Barangkali Nenek bosan sendirian,” katanya.Bu Salma tersenyum tipis, menunduk sebentar, lalu menatap cucunya lagi. “Bukan Nenek yang bosan, kayaknya kamu yang ingin jumpa.”Taruna langsung menggaruk rambutnya yang tak gatal, mencoba menyembunyikan rasa malu di balik senyum lebar yang muncul di wajahnya. “Kalau kamu suka sama dia, langsung aja bilang. Mumpung dia juga masih sendiri. Jangan sampai keduluan orang lain,” kata Bu Salma, suaranya lembut tetapi seolah menantang Taruna
“Itu sekolah Kayra,” kata Bu Salma, sambil menunjuk sebuah bangunan berwarna cerah dengan papan nama bertuliskan ‘Taman Kanak-kanak Pelangi’.Taruna memperhatikan sekolah itu dari atas becaknya, matanya menyusuri taman bermain di halaman depan. Ada ayunan yang bergerak pelan tertiup angin. Jungkat-jungkit, juga perosotan berwarna cerah. “Biasanya kalau pulang, Kayra selalu diantar sama Hilya, gurunya di sekolah,” lanjut Bu Salma. Taruna menoleh, tertarik dengan nama yang disebutkan.“Rumah Hilya bersebelahan dengan rumah Nenek, tapi terhalang tembok tinggi. Kalau dari lantai dua, baru kelihatan,” jelas Bu Salma sambil tersenyum tipis.Hilya. Nama itu langsung membangkitkan memori Taruna, tentang gadis berhijab yang kemarin datang mengantar Kayra pulang. Tatapan matanya yang tenang, senyumnya yang sederhana namun memikat, dan cara ia berbicara yang penuh kelembutan, terngiang kembali di benaknya.Taruna merasakan sesuatu bergetar dalam hatinya. Apakah ini hanya kesan singkat, atau ad
Suasana pagi yang damai terasa begitu kontras dengan perasaan gugup yang menghinggapi hati Bu Salma. Wanita paruh baya berpakaian rapi keluar dari rumah besar di hadapan mereka, senyumnya lebar, namun ada kehangatan tersirat dalam sorot matanya.“Nak, kita sebaiknya pergi saja. Yang punya rumah sudah keluar,” bisik Bu Salma panik, suaranya gemetar. Takut mengganggu pemilik rumah megah tersebut. "Nggak apa-apa, Nek. Kita nggak akan lama. Taruna janji,” kata Taruna sambil menunjukkan senyum penuh arti. Satpam yang tadi ada di pos jaga, tampak berlari mendekati becak itu. “Saya bantu, Mas,” katanya. Ada kesan hormat terhadap Taruna dari suaranya. Bu Salma tertegun melihatnya. Setelah kursi roda disiapkan, Taruna langsung mengangkat tubuh lemah neneknya dengan penuh hati-hati. “Nek, tenang aja ya,” katanya sambil meletakkan Bu Salma ke kursi roda dengan lembut.“Kita mau ngapain di sini?” tanya Bu Salma masih kebingungan. “Nanti Nenek tau,” kata Taruna. Taruna mengangguk pada satpa
“Kamu ngintipin apa?” teguran Sekar mengejutkan gadis itu, membuatnya mundur selangkah. Matanya masih terfokus pada sosok Taruna. “Itu siapa, Ma?” tanya gadis itu sambil menunjuk Taruna, yang sudah bersiap di atas becaknya untuk membawa Bu Salma pergi. Sekar mendengus sinis. “Benalu!” ucapnya dingin. “Benalu? Maksudnya apa, Ma?” Gadis itu semakin bingung, merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Taruna tampak tidak seperti orang jahat. “Dia itu benalu. Datang ke sini hanya untuk nuntut warisan dari Kakek. Dia pikir bisa menguasai semuanya,” jelas Sekar, berjalan kembali ke meja makan dengan langkah tergesa.Gadis itu terus mengikuti ibunya sampai ke dapur, rasa penasarannya semakin membuncah. “Tapi ... siapa dia sebenarnya, Ma? Kok bisa mau minta warisan? Kayaknya nggak pernah dengar tentang dia,” tanya gadis bernama Rere itu penasaran. "Sudahlah, tak usah bahas soal dia," sela Suwondo dengan wajah tegang, sambil meneguk teh panas di tangannya. Matanya menghindari tatapan anaknya.