Pekerjaan Vika sebagai perias jenazah memang bikin banyak yang bergidik ngeri. Tapi ternyata bukan itu saja, kengerian itu juga muncul sewaktu orang-orang memandang wajah dan penampilannya. Bukannya lebay, tapi itu yang dilakukan Bhari, pacar online-nya yang cepat-cepat kabur sewaktu mereka kopi darat untuk pertama kalinya.Vika menyalahkan tampangnya yang buruk rupa menjadi penyebab kegagalannya, baik dalam percintaan, pekerjaan, bahkan penerimaan masyarakat. Mau bagaimana lagi, istilah keadilan sosial bagi seluruh rakyat good looking itu sungguh benar adanya.Di tengah rasa marahnya kepada dunia, sahabatnya Arman malah menyarankan Vika untuk ikut Puteri Nusantara, beauty pageant bergengsi di kota mereka. Gila? Cewek berbadan gendut dan wajah jelek sepertinya ikut ajang yang jelas-jelas memperlombakan kecantikan wanita? Sebagai cewek buruk rupa yang tidak mendapatkan tempat di masyarakat, akankah Vika diterima dengan tulus; tanpa syarat dan ketentuan apapun?
View MoreGerakan mulut gadis yang duduk di hadapannya naik turun seiring dengan huruf-huruf yang diejakan oleh wanita itu. Meskipun memandanginya sedari tadi, Vika sama sekali tidak mengerti rentetan kata yang diucapkan kakaknya itu. Tidak ada kalimat yang dapat dia cerna dan simpan dalam labirin otaknya. Sepanjang Divya berceloteh, dia menyibukkan diri dengan menyesap minuman yang tadi dipesan oleh kakaknya itu.“Aku telepon Mama, ya?”Kaget mendengar permintaan itu, sontak Vika berhenti minum tapi tanpa melepaskan gelas dari bibirnya. Pinggiran gelas itupun masih menempel sehingga cairan membasahi bibirnya secara konsisten.“Berapa nomor kamu?”Vika membuka mulut sehingga cocktail kembali meluncur ke tenggorokannya. Kemudian, dia menurunkan gelas minuman yang sekarang telah habis tidak bersisa.Oleh karena Vika tidak menanggapi apapun pertanyaan kakaknya itu, Divya meraih telepon genggamnya sendiri. Penuh curiga, Vika meny
Dalam kebingungan itu, salah seorang siswa sekolah yang Vika lupa namanya, berhenti dan mencibirnya, “Artis mading!”Majalah dinding! Berbekal informasi itu, tahulah Vika kalau dia harus ke dinding tempat sekolah mereka biasanya menempelkan berbagai pengumuman. Tepat di tengah-tengah, imaji gaun berwarna merah jambu dengan bagian rok yang super lebar, begitu familiar di benaknya. Tentu saja, pemakai gaun itu adalah dia. Berjongkok di depan aula sambil menutup mata dengan tangannya. Apa yang tersaji dalam foto itu adalah kejadian tadi malam pada saat pesta dansa prom.Siapa yang memotretnya diam-diam kemudian menempelkan foto itu di sana? Berbalik badan, semua siswa menunjuk-nunjuk dan menertawainya. Tidak lagi berupa ngikik tertahan, tapi mangap terbahak-bahak.“Cinderella gagal,” celetuk salah satu siswa.“Ngaca, dong. Mana ada Cinderella kayak karung beras,” sambung yang lain.“Memalukan
Vika memerhatikan pantulan wajahnya di cermin. Mengenakan gaun berwarna merah jambu yang melebar di bagian bawah, dia merasa seperti seorang putri. Senyum Mama di latar belakang menjadikan hatinya melompat-lompat gembira. “Jam berapa kamu dijemput?” Tarikan mulut dari sisi kiri dan kanannya melebar. Penjemput yang dimaksud oleh ibunya adalah Richo. Tentu saja dia mengiyakan ajakan laki-laki itu tempo hari. Kesempatan seorang junior diajak ke prom oleh kakak kelas adalah satu berbanding seribu. Tambahkan itu dengan kenyataan bahwa Vika bukanlah perempuan kurus tinggi dan langsing sesuai standar kecantikan yang disepakati oleh masyarakat. Jadi, tidak heran kalau Vika seolah-olah mendapatkan durian runtuh. “Masih ada 15 menit lagi,” ujar Mama setelah melihat kode tujuh jari yang diacungkan olehnya. “Mau ngemil dulu?” tawar Mama. Vika menggeleng kuat-kuat dengan cepat. Dia tidak mau asupannya memengaruhi penampilannya Sabtu malam itu. Vika bertambah senan
Sejak kejadian seragam olahraga hijau stabilo, Vika berubah 180 derajat. Dia menjadi lebih pendiam. Memang, selama ini gadis itu bukanlah pribadi yang senang berbicara karena peran itu adalah milik kakaknya, Divya. Akan tetapi, Vika menjadi lebih pendiam daripada itu. Dia tidak mau berbicara jika tidak ditanya ataupun sesuatu yang penting untuk diutarakan. Seolah-olah dia menarik diri ke jurang kenyamanannya sendiri.“Sarapan, Vik,” ajak Mama.Vika yang sedang mencangklongkan tas punggungnya mendekati meja makan. Tanpa berkata apa-apa, dia hanya mengambil roti lapis dan mengucapkan kata pamit, “Ada tes pagi-pagi,” alasannya.Seraya berjalan menuju pintu rumah mereka, samar-samar dia mendengar pembicaraan antara Mama dan Papa.“Vika makin kurus ya, Ma.”“Bagus, dong. Dietnya berhasil.”“Tapi, Papa nggak pernah lihat Vika makan. Yakin, dietnya benar?”“Masih ada 10 kilo l
“Berapa lama kita nggak ketemu, ya? Tujuh tahun?”Vika memandangi dua gelas minuman hampir penuh dan titik-titik air memenuhi luarnya. Tidak seorangpun dari mereka menyentuh cocktail yang dipesan oleh wanita yang di hadapannya itu. Divya Pratistha. Rambutnya panjangnya hitam mengkilap, matanya punya kedalaman dengan warna pupil yang menyejukkan, dan rahang itu memiliki tulang pipi yang tegas. Dagunya serupa huruf V dengan ujung yang tidak terlalu runcing.“Kerja apa kamu, Vik?”Bagi orang lain, kalimat itu mungkin terdengar biasa-biasa saja. Tapi, tidak demikian halnya dengan Vika. Pertanyaan itu menyadarkan akan kondisinya yang sama sekali jauh dari kata sukses seperti si penanya.“Selain makeup artist, maksudnya.”Vika mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Dia ingin membalasnya dengan pernyataan yang pintar dan dapat menusuk hati kakaknya itu., Tapi, bibirnya kelu. Dia tidak mampu berkata apa-ap
Film pertama Divya sukses besar. Berjudul 15 and Divorced, kakaknya itu menjadi remaja yang terjebak pernikahan dini dan kekerasan domestik. Keikutsertaannya di film itu menjadi topik panas di mana-mana. Berbagai talk show mendiskusikan tema cerita sampai pantas atau tidak kakaknya berperan dalam film itu. Vika memang tidak diperbolehkan menontonnya. Namun, dia tahu kakaknya semakin terkenal. Bahkan, Mama yakin Divya akan diganjar penghargaan dari film itu.Siang itu, keramaian yang sudah lama tidak dilihatnya semenjak Divya menjadi finalis International Model muncul kembali di rumahnya. Vika baru saja pulang dari sekolah dan menangkap wangi kue yang baru dipanggang dari dapur. Benar saja, ada Mama yang sedang memindahkan potongan terakhir bolu gulung ke atas piring.Tanpa pikir panjang, dia mencomot sisa potongan kue yang tidak rapi. Dan, seketika gigitannya terhenti karena terlupa ada Mama di sana. Tapi, Mama tidak berkomentar apa-apa yang membuahka
Rasanya terlambat jika Vika berdoa dia segera menghilang dari ruangan tersebut. Tidak ketika semua orang yang ada di sana tertarik dengan apapun yang dikatakan oleh Divya.“Lho, kenapa?”“Dia ini adik saya.”Mencelos hati Vika mendengarnya. Rahasia yang dia sembunyikan selama ini terkuak juga. Vika memejamkan mata terbawa ke peristiwa yang terjadi pada masa kecilnya dahulu.***“Sudahlah, Ma. Mungkin minatnya bukan ke situ.”“Ini bukan masalah minat atau nggak. Ini tuh wajib, Pa.”“Kenapa wajib?”“Papa tuh buta atau naif?”Ada keheningan sehingga Vika menempelkan telinganya ke daun pintu lebih rapat lagi. Hanya terdengar semacam embusan yang dia tebak adalah helaan napas salah satu dari kedua orangtuanya.“Papa tuh terlalu memanjakan Vika.”Hati Vika berlarian-larian mendapati namanya disebut. Benar dugaannya kalau Papa dan
Jadwal pertunjukan bakat dan wawancara untuk audisi terakhir Pemilihan Puteri Nusantara sejatinya dimulai pukul sebelas pagi. Namun, Vika sudah berdiri di salah satu ruang studio padahal jarum jam belum berpindah dari angka sembilan. Dia belajar dari pengalaman sebelumnya di mana ruang studio sangat penuh dan takut tidak kebagian tempat. Soalnya, Vika memerlukan meja rias untuk mengerjakan proyek bakatnya.“Beneran ini teh nggak apa-apa, Vik. Sepi banget, lho.”“Nggak apa-apa, Teh. Kemarin aku udah izin,” jawab Vika sembari menuntun Teh Euis ke tempat duduk. Berhadapan dengan cermin, dia memerhatikan sudut-sudut wajah tetangganya itu dan meneliti bagian mana yang perlu dia tambahkan busa, lateks, ataupun silikon.“Harus pakai itu, Vik?”Vika meletakkan bungkusan halus serupa tepung berwarna putih. “Kalau perlu aja,” jujur dia menjawab karena memang sudah menyiapkan kerangka kepala untuk model proyek bakatnya
“Pst… pst,” panggil Vika ke laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna pink dengan celana pendek jeans serta sweater putih yang terikat di bahu. Susah sekali membuat laki-laki yang sedang berbincang-bincang dengan orang lain itu berbalik. Tak ayal, dia mendekatinya sembari memeluk bahunya sendiri.“Arman,” ujarnya di telinga sahabatnya itu.Laki-laki itu berbalik. “Hei, wanita! Jangan nunduk-nunduk gitu,” hardik Arman.Vika menutupi tubuh dengan tangannya. Dia sungkan mempertontonkan tubuhnya yang terbungkus unitard. Tanpa rok tutu. Bukan apa-apa, tidak ada rok yang tersedia dengan ukuran tubuhnya.“You can relax, girl. Kami nggak tertarik,” santai saja pria satunya yang tadi mengobrol dengan Arman berujar. Pria itu diperkenalkan kepadanya sebagai sang pelatih balet.Tidak perlu dipertegas. Dia sudah tahu bahwa tidak akan ada laki-laki yang menyukai perempuan bertubuh penuh lem
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments