Udara Jakarta sore itu sedang bagus-bagusnya. Sebentar tadi sempat hujan sehingga udaranya sejuk mengusir terik tadi siang. Vika mendongakkan kepala ke atas. Masih ada percikan biru di langit sana dengan awan yang berarak. Indah. Ini seperti semesta mendukungnya. Gadis itu mengalihkan fokus kepada gedung di depannya, Djakarta Theater, tempat janji temu dengan pengirim pesan yang membuat suasana hatinya hari ini jadi sangat baik. Ralat, bukan hanya hari ini saja, tapi sudah enam bulan terakhir.
Sekonyong-konyong, matanya menangkap seorang wanita bersanggul dan berkebaya sedang berdiri di ujung tangga. Perawakan ibu itu seperti familiar di benak Vika. Akan tetapi, dia tidak sanggup mengidentifikasi. Sang Ibu hendak turun namun langkahnya tertahan seperti ragu-ragu. Menduga ibu tersebut membutuhkan bantuan, Vika langsung menyongsongnya.
“Saya bantu, Bu,” katanya dengan tangan terulur.
Ibu berkonde menyambut niat baiknya. Sentuhan telapak tangan Sang Ibu sangat lembut. Kuku-kukunya terawat rapi dan berkilau. Dengan penampilan seperti itu, tahulah Vika kalau ibu yang bersamanya itu adalah sosok yang memperhatikan perawatan dan kebersihan. Karena tangga yang curam, langkah Sang Ibu tertatih-tatih hanya mampu menapak satu demi satu anak tangga.
Lima detik sebaik mereka sampai, sebuah mobil berhenti di dekat mereka. Kemudian, seorang laki-laki mendekati dan memanggil, “Oma, kenapa tidak menunggu di Pizza Hut saja?”
Vika mengamati laki-laki itu dan yang paling menarik perhatian perempuan itu adalah tingginya. Bayangkan, tinggi Vika saja sudah 178 cm. Jadi, menemukan lawan jenis yang dapat mengungguli figur tersebut menjadikan orang itu sedikit istimewa di matanya.
“Gigiku kan palsu, Vat. Mana bisa ngunyah piza.”
Vika menyembunyikan gelak dengan menempelkan dagu ke lehernya. Takut orang yang ada di hadapannya itu marah.
Untungnya, bibir laki-laki sedikit istimewa itu ikut tersungging yang menyembulkan sebuah lesung pipi. “Terima kasih, ya,” ujarnya dan menggantikan tugas Vika dalam menggandeng Ibu bertangan halus untuk masuk ke dalam mobil.
Vika menghela napas. Sebelum menaiki tangga untuk kedua kalinya, - kali ini untuk kepentingannya sendiri, dia berdiam sekejap sembari membenarkan posisi tas sandangnya. Tidak lama kemudian, dengan tubuh tegak sempurna, dia melangkah.
***
Vika memilih kursi yang berhadapan dengan pintu. Pertimbangannya, dari posisi itu dia dapat mengawasi setiap penghuni yang masuk. Dia mengetikkan, ‘Aku pakai baju merah ya’ pada HP lalu menyimpan gawai itu di tas.
“Mix Platter sama Chicken Wings,” pesannya.
Pelayan restoran berlalu sehingga Vika dibiarkan sibuk sendiri. Tidak berapa lama, ada pengunjung datang. Vika menegakkan tubuh. Seorang ibu masuk ke dalam restoran dengan menggandeng anak perempuan. Sudah jelas, itu bukan orang yang dia tunggu-tunggu.
Vika menguap. Beraktivitas dari pagi mengakibatkan tubuhnya agak letih. Bersamaan dengan mulutnya yang masih terbuka, dia mendapati laki-laki bertubuh tinggi mengenakan kemeja kotak-kotak merah celingak-celinguk seakan-akan mencari sesuatu. Vika yakin itu orangnya. Cepat-cepat dia mengatupkan mulut dan melambaikan tangan agar sang tamu mengetahui keberadaannya. Ya, itu teman kencannya. Wajah dan perawakan laki-laki itu serupa dengan yang dia saksikan di aplikasi pengirim pesan: atletis, berambut ombak seleher, mata cekung yang dalam, rahang yang tegas, dan bibir penuh yang begitu menggoda.
Teman kencannya itu menoleh ke kiri dan ke kanan. “Bhari!” panggil Vika karena laki-laki itu tidak segera menghampirinya.
“Oh,” jawab laki-laki itu singkat.
Jika ada yang mengatakan senyum itu menular, maka tidak demikian halnya dengan Bhari. Janji temunya itu justru mengerucutkan mulut. Dengan asal, laki-laki itu menarik kursi dan mendudukinya.
“Akhirnya ketemu ya kita. Kangen banget tahu,” sumringah Vika sewaktu laki-laki itu duduk di hadapannya. Tidak ada ungkapan rindu yang berbalas untuknya. Vika mengerjapkan mata pertanda dia sedang mencerna keanehan reaksi pacar online-nya itu. Respons yang normal itu, setidaknya menurut Vika, Bhari juga akan mengatakan bahwa laki-laki itu merasakan kerinduan yang sama. Itu, atau tampak antusias bertemunya. Keduanya tidak dilakukan oleh laki-laki itu. Bahkan, Bhari sibuk dengan HP dan menundukkan kepala.
“Lo nipu gue?” Setelah cukup lama sama-sama terdiam, akhirnya pacarnya itu itu buka suara.
“Hah, apa? Aku –
“Lo bukan Vika!”
Matanya berkedip-kedip kembali. Apa maksud Bhari? Sebagai yang selama 24 tahun menjalani hidup sebagai Vika, bagaimana mungkin ada orang lain yang menuduhnya bukan Vika?
“Bukan yang gue kenal selama ini. Lo bohong.”
“Aku beneran Vika.” Dia membongkar tas, mengangkat telepon genggam, dan menunjukkan semua swafoto yang pernah dia kirimkan kepada laki-laki itu.
Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lo gendut!”
Gemetar tangan Vika hampir saja membuat gadis itu menjatuhkan teleponnya. Dia tidak bisa membantah ukuran tubuhnya yang tergolong raksasa itu. Dia tidak berniat membohongi laki-laki itu. Ketika pertama kali mengenal Bhari lewat aplikasi pertemanan, yang dia kirim benar-benar fotonya; dengan makeup dan filter bright untuk sedikit mencerahkan. Tidak ada salahnya, bukan? Yang penting dia tidak memberikan foto orang lain.
“Okelah, muka lo agak mirip dengan yang online. Lah, body lo? Gue pernah tanya dan lo jawabnya kalau nggak sehat ya proporsional,” lanjut Bhari. “Eh, lo jauh dari itu. Gentong lebih tepat. Atau buntelan kentut.”
Vika terkesiap hampir kehilangan napas. Matanya membelalak dan semakin berat karena cairan yang menggenanginya. Vika tidak berani mengedipkan mata karena yakin cairan kesedihan itu akan membanjiri wajahnya. Suaranya bergetar saat berujar, “Kita nyambung satu sama lain, prinsip kita sama. Itu yang penting, kan?”
Sumpah, Vika jujur. Dia sangat menanti-nantikan waktu ngobrol bersama Bhari. Mereka konsisten berkomunikasi, baik lewat pesan teks, maupun lewat telepon. Selama setahun lebih bertukar cerita dan berbagi pandangan berbagai isu satu sama lain, status hubungan mereka malah telah naik tingkat menjadi pacaran.
“Kalau dari awal tahu penampakan lo, mana mungkin kita bisa nyambung.”
“Maksudnya?” tanyanya mencicit.
“Lo pembohong. Jangan-jangan di balik makeup itu, muka lo kayak panci penggorengan.”
Maksudnya bundar, tebal, dan berminyak? Hati Vika mencelos mendengar itu.
“Gue berhak yang lebih baik. Dan itu bukan lo! Sumpah, jangan mimpi ketinggian. Lo nggak pantas.”
Kedua tangannya masih mendekap HP sewaktu menatap punggung Bhari yang pergi meninggalkannya. Momen kebersamaannya di dunia maya membayang di depan mata. Ketika laki-laki itu bersungguh-sungguh mengatakan bahwa Vika adalah orang baik dan kuat yang mampu menghidupi dirinya sendiri. Suatu waktu Vika mengeluhkan kegagalannya dan Bhari menghiburnya dengan berjanji akan selalu berada di sisinya. Bahkan, pria itu pernah memujinya, “Cantik.” Sewaktu Vika membantah pujian itu dengan beralasan Bhari belum bertemu dengannya, Bhari berkilah bahwa laki-laki itu sudah mengenal jiwanya dan itulah yang terpenting.
“Mbak, silakan pesanannya.” Sepeninggal Bhari, pelayan restoran mengantarkan makanan.
Kabut semakin menutupi mata Vika yang sekuat tenaga dia tahan agar jangan sampai jebol. Dia tidak mau menggulirkan air mata di tempat umum seperti ini. Jari-jarinya seakan-akan tremor sewaktu merogoh uang di tasnya. Amplop honor dari Romo dia buka dan dengan asal-asalan mengeluarkan dua lembar pecahan seratus ribu untuk membayar order. Dia harus segera pulang demi pelepasan emosi.
Keluar dari restoran dan menunggu transportasi taksi online di pinggiran trotoar, tiba-tiba HP Vika bergetar. Sepenuh hati dia berharap agar panggilan itu adalah dari Bhari yang meminta maaf. Tapi tidak, karena nomor yang tertera adalah berawalan 021.
“Kami dari Mitra Andalan Pesona.”
Perusahaan yang dia incar. Jantung Vika berdegup kencang. Pada proses rekrutmen, lazimnya mereka hanya mengabari kandidat yang lolos masuk, bukan? Apalagi kata orang-orang bijak, setelah kesusahan akan terbit kebahagiaan. Semoga ini momen keberuntungannya.
Vika menjawab, “Ya,” dengan harap-harap cemas. Dia menunggu balasan, namun, suara penelepon agaknya teralihkan dengan sesuatu.
“Sebentar ya Mbak,” begitu Sang Penelepon meminta pemakluman.
Vika tentu saja mematuhi dengan tetap memusatkan perhatian pada pembicaraan telepon. Dia tidak mau ketinggalan kabar apabila dia diterima bekerja di PT. MAP.
“Oh ya. Sebelum pulang, jangan lupa telepon cewek gendut tadi. Kasih tahu dia nggak lolos. Masa mau kerja di perusahaan fashion, tapi badan kayak balon udara?”
Vika membisu. Memang itu bukan suara perempuan yang meneleponnya. Tapi, perintah itu tentu dialamatkan kepadanya. Sepertinya, penelepon yang menghubungi Vika menyadari kebocoran suara tersebut. Dengan canggung, Vika diberitahukan kabar tersebut secara resmi dan pembicaraan pun berakhir.
Vika masih terdiam dengan telepon genggam yang menempel di telinga. Orang-orang yang lewat di trotoar berulang kali menabrak pundaknya. Vika tetap terpaku. Pekerjaan yang dia lamar di Mitra Andalan Pesona bukan model, melainkan staf administrasi. Bagaimana mungkin ukuran tubuhnya menjadi tolak ukur dia dapat menguasai tugas-tugas yang diberikan atau tidak? Begitu pula penolakan Bhari karena dia tidak cantik. Apa memang tidak ada hal baik yang didapatkan oleh orang-orang gendut? Atau mereka yang disebut-sebut bermuka panci penggorengan? Apa tidak ada tempat bagi pemilik tubuh subur bak balon udara sepertinya? Gagal bekerja, gagal pula dalam perihal asmara.
Unplaced, batin Vika dalam hati.
Mendadak, sebuah mobil yang lewat mencipratkan genangan air dan mengotori gaun merah sedengkulnya.
***
Kondisi rumah kosnya sepi ketika Vika pulang malam itu. Satu rumah petak di lantai bawah sedang kosong, sehingga sumber penerangan di sana berasal dari teras Teh Euis. Di lantai atas, dari lima kamar yang tersedia, hanya empat kamar yang ada penyewanya. Dari empat kamar itu, dua kamar saja yang sedang ditempati karena dua penghuni lain sedang pulang kampung.Langkahnya gontai dan terseret. Untungnya, lorong lantai atas tidak diterangi cahaya lampu sudah berbulan-bulan ini, sehingga kesedihannya tersembunyi dalam gelap. Saat membuka pintu, Vika disambut bau apek yang menguar tajam karena tidak ada ventilasi memadai di kamar itu. Baju-baju berantakan di sana-sini karena tidak segera dia bereskan sebelum pergi tadi. Dia ingin segera berbaring tetapi kasurnya masih dalam posisi berdiri.Tidak sengaja dia menampak dirinya sendiri pada cermin di lemari baju. Bajunya basah dan kotor berlumpur. Maskaranya sudah luntur oleh tangis. Salah satu bulu mata palsu sudah terlepas dan
Bukti kekacauan tadi malam berserakan di sana-sini. Tempat tidurnya belum diturunkan dan ada gaun merah terhampar di lantainya. Teriris hatinya, Vika melempar baju itu ke tempat sampah. “Vikaaa!” Terlonjak Vika sewaktu panggilan itu mendarat di gendang telinganya. Dia membalikkan badan. Di sana, berdiri satu sosok berperawakan kutilang darat alias kurus tinggi langsing dada rata. Bagian terakhir tak bisa disangkal karena jenis kelamin orang itu adalah laki-laki. “Hei, wanita,” lalu berhenti sejenak karena matanya melayang ke seluruh penjuru kamar Vika yang berantakan. “Wanita musuhnya Marie Kondo.” Terbit cengiran samar di wajah Vika. Mau tidak mau. Pasalnya, dia tahu betul Marie Kondo adalah pakar kerapian asal Jepang yang pasti akan pusing kepala menyaksikan kamarnya yang jauh dari kata terorganisir. “Arman? Jauh-jauh ke sini?” “Mirah Delima.” Vika mengerutkan jidat. Berpikir keras-keras kenapa merek kosmetik itu yang jadi ja
“Hei, wanita,” jeda sejenak sebelum kata-kata itu dilanjutkan dengan, “Where’s Waldo!” yang mengacu kepada baju yang Vika kenakan saat itu. Kaos berlengan buntung dengan motif garis-garis merah dan celana tidur berwarna biru langit. Siapa lagi pencetus kalimat itu kalau bukan Arman, sahabatnya yang sama-sama berprofesi sebagai makeup artist. “Jadi sering ke sini, Man?” “Nggak boleh?” Laki-laki itu melepaskan sepatu dan masuk ke kamarnya. Dengan santai, Arman duduk di satu-satunya kursi yang ada di kosan Vika dan membongkar-bongkar apa saja yang ada di meja. Pagi itu, Vika baru selesai mandi dan mengeringkan rambut hitam sebahunya dengan handuk. “Kemarin lusa katanya mau pinjam tas. Sekarang?” Arman menarik satu fail dari mejanya. Dokumen bersampul cokelat. “Ginkgo Biloba,” ujar sahabatnya itu sembari berdeham. “Gue nggak lupa. Emang sengaja. Nggak mau datang.” “Lo tuh ya kadang-kadang.” Arman membaca lembaran-lembaran
“Lo denger, nggak?”Vika meletakkan beauty blender yang sedang dia pakai. “Jangan mengada-ada, Man. Mending lo bantuin gue biar cepat kelar.”“Ngapain?”“Makeup-in lah.” Dagunya ditoleh sebagai gestur untuk menunjukkan siapa yang harus dirias oleh Arman.Laki-laki itu mengikuti arah yang dimaksud oleh Vika. Seketika itu, bahu laki-laki itu bergidik. Cewek gendut itu memintanya merias jenazah. “Hei, wanita. Itu orang meninggal,” tolaknya.“Ya, terus kenapa?” tanya Vika. Keduanya memang sedang bersama-sama di ruang jenazah. Ada dua pelanggan yang harus dirias Vika saat itu. Keduanya adalah kakak-beradik kembar yang meninggal karena kecelakaan. Satu bagian hatinya teriris. Apalagi ibu mereka yang tadi sempat mampir menemui Vika, namun akhirnya pergi sambil terisak-isak.“Creepy,” kata Arman. “Gue nggak pernah paham kenapa lo kerj
“Pst… pst,” panggil Vika ke laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna pink dengan celana pendek jeans serta sweater putih yang terikat di bahu. Susah sekali membuat laki-laki yang sedang berbincang-bincang dengan orang lain itu berbalik. Tak ayal, dia mendekatinya sembari memeluk bahunya sendiri.“Arman,” ujarnya di telinga sahabatnya itu.Laki-laki itu berbalik. “Hei, wanita! Jangan nunduk-nunduk gitu,” hardik Arman.Vika menutupi tubuh dengan tangannya. Dia sungkan mempertontonkan tubuhnya yang terbungkus unitard. Tanpa rok tutu. Bukan apa-apa, tidak ada rok yang tersedia dengan ukuran tubuhnya.“You can relax, girl. Kami nggak tertarik,” santai saja pria satunya yang tadi mengobrol dengan Arman berujar. Pria itu diperkenalkan kepadanya sebagai sang pelatih balet.Tidak perlu dipertegas. Dia sudah tahu bahwa tidak akan ada laki-laki yang menyukai perempuan bertubuh penuh lem
Jadwal pertunjukan bakat dan wawancara untuk audisi terakhir Pemilihan Puteri Nusantara sejatinya dimulai pukul sebelas pagi. Namun, Vika sudah berdiri di salah satu ruang studio padahal jarum jam belum berpindah dari angka sembilan. Dia belajar dari pengalaman sebelumnya di mana ruang studio sangat penuh dan takut tidak kebagian tempat. Soalnya, Vika memerlukan meja rias untuk mengerjakan proyek bakatnya.“Beneran ini teh nggak apa-apa, Vik. Sepi banget, lho.”“Nggak apa-apa, Teh. Kemarin aku udah izin,” jawab Vika sembari menuntun Teh Euis ke tempat duduk. Berhadapan dengan cermin, dia memerhatikan sudut-sudut wajah tetangganya itu dan meneliti bagian mana yang perlu dia tambahkan busa, lateks, ataupun silikon.“Harus pakai itu, Vik?”Vika meletakkan bungkusan halus serupa tepung berwarna putih. “Kalau perlu aja,” jujur dia menjawab karena memang sudah menyiapkan kerangka kepala untuk model proyek bakatnya
Rasanya terlambat jika Vika berdoa dia segera menghilang dari ruangan tersebut. Tidak ketika semua orang yang ada di sana tertarik dengan apapun yang dikatakan oleh Divya.“Lho, kenapa?”“Dia ini adik saya.”Mencelos hati Vika mendengarnya. Rahasia yang dia sembunyikan selama ini terkuak juga. Vika memejamkan mata terbawa ke peristiwa yang terjadi pada masa kecilnya dahulu.***“Sudahlah, Ma. Mungkin minatnya bukan ke situ.”“Ini bukan masalah minat atau nggak. Ini tuh wajib, Pa.”“Kenapa wajib?”“Papa tuh buta atau naif?”Ada keheningan sehingga Vika menempelkan telinganya ke daun pintu lebih rapat lagi. Hanya terdengar semacam embusan yang dia tebak adalah helaan napas salah satu dari kedua orangtuanya.“Papa tuh terlalu memanjakan Vika.”Hati Vika berlarian-larian mendapati namanya disebut. Benar dugaannya kalau Papa dan
Film pertama Divya sukses besar. Berjudul 15 and Divorced, kakaknya itu menjadi remaja yang terjebak pernikahan dini dan kekerasan domestik. Keikutsertaannya di film itu menjadi topik panas di mana-mana. Berbagai talk show mendiskusikan tema cerita sampai pantas atau tidak kakaknya berperan dalam film itu. Vika memang tidak diperbolehkan menontonnya. Namun, dia tahu kakaknya semakin terkenal. Bahkan, Mama yakin Divya akan diganjar penghargaan dari film itu.Siang itu, keramaian yang sudah lama tidak dilihatnya semenjak Divya menjadi finalis International Model muncul kembali di rumahnya. Vika baru saja pulang dari sekolah dan menangkap wangi kue yang baru dipanggang dari dapur. Benar saja, ada Mama yang sedang memindahkan potongan terakhir bolu gulung ke atas piring.Tanpa pikir panjang, dia mencomot sisa potongan kue yang tidak rapi. Dan, seketika gigitannya terhenti karena terlupa ada Mama di sana. Tapi, Mama tidak berkomentar apa-apa yang membuahka