“Ibu, hari ini saya datang mau bikin Ibu cantik untuk yang terakhir kalinya. Mohon diizinkan,” kata seorang gadis gendut seraya mengenakan sarung tangan. Setelahnya, dia mengambil alas bedak dari meja beroda yang terletak di sampingnya.
Gadis yang bernama Vika itu meneliti wajah yang rebah di hadapannya. Alas bedak sudah tergenggam di tangan. Jeda sejenak tatkala dia mengumpulkan konsentrasi dengan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dari mulut. Kemudian, dia membuka alat rias tersebut dan menepuk pulasan pertama ke dahi jenazah yang ada di depannya. Begitu terus dia lakukan selembut mungkin sampai merata keseluruhan. Wajah yang pucat pasi itu, Vika permanis dengan semburat warna merah muda pada bagian pipi. Tidak lupa pula, dia menghiasi mata yang tertutup dengan pemulas berwarna senada. Vika mempertegas alis dan sebagai sentuhan terakhir, dia mengoleskan lipstik.
Vika mundur selangkah untuk memeriksa riasan yang dia aplikasikan. Tentu saja dia juga memutar ke sisi lain untuk memastikan wajah itu sama sempurnanya. Pada saat-saat seperti ini, Vika suka berlama-lama memandang jenazah yang terbaring itu. Dengan kondisi yang sudah rapi, jenazah tampak damai seperti tidak ada beban. Dalam pikirannya, mereka sudah siap dan ikhlas menghadap keabadian di dunia lain. Ya, Vika memang berprofesi sebagai perias jenazah.
Bunyi dering telepon seluler yang nyaring begitu mengagetkannya sampai membuat lipstik yang sedang dia pegang terjatuh dengan posisi yang menunjukkan tulisan Mirah Delima menghadap ke atas. Vika mengecek dan rupanya suara itu berasal dari alarm yang dia seting kemarin. Interview: 13.00, begitu yang tertera di layarnya. Terburu-buru, Vika meraup alat makeup yang belum sempat dibereskan dan menuangkannya begitu saja ke dalam tote bag. Tak lupa, dia menyambar tas punggung yang tergeletak rapi di atas lantai dekat pintu.
Mendorong pintu kamar jenazah, Vika disambut dengan salah satu anggota keluarga yang berduka. “Sudah selesai, Tante.” Tanpa menunggu respons dari lawan bicaranya, Vika setengah berlari meninggalkan tempat itu.
“Jangan lupa amplop di Romo, Vik!”
***
Dalam tempo yang masih sama terburu-burunya dengan sewaktu dia meninggalkan rumah duka, Vika bergegas mengejar pintu lift yang masih terbuka dan mengabaikan keringat yang bercucuran di dahi. Sebaik gadis bertubuh gempal itu memasuki transportasi pengangkut vertikal itu, kelegaan pun menyelimutinya.
Tiba-tiba, notifikasi yang menandakan lift mengalami kelebihan beban menjerit-jerit. Secara serempak, semua mata penggunanya menoleh kepada Vika tajam. Alasannya apalagi kalau bukan gara-gara melihat bobot gadis itu yang paling lebar di antara mereka. Vika menundukkan kepala, lalu tanpa menimbulkan suara, kakinya beranjak meninggalkan lift.
Namun, tidak sampai sedetik berikutnya, “Hold the door!” Seorang wanita kurus, tinggi, dan semampai berjalan santai mendekati lift yang batal dinaiki Vika tadi. Gaun mini tanpa lengan yang dipakai perempuan itu menunjukkan kemulusan kulitnya yang putih benderang. Sudah barang tentu, salah satu dari penghuni lift memencet tombol agar pintu tetap terbuka. Sudah dapat Vika tebak juga kalau mereka, - yang kebetulan kebanyakan pria tidak ragu-ragu menunjukkan reaksi terpukau akan kedatangan pemakai gaun mini itu.
Please, bunyi, please bunyi, pinta Vika dalam hati. Harapan yang sia-sia karena pintu lift lancar menutup tanpa ada ciri-ciri keberatan beban seperti dengannya tadi. Bahu Vika melorot sewaktu dia menunggu pengangkut vertikal lainnya.
***
Hampir terlambat mengakibatkan Vika tidak dapat memoleskan riasan wajah yang lengkap dan sempurna. Tapi dia bersyukur semburan AC di ruang HRD mampu menjinakkan keringatnya. Dari tempat duduk saat itu, sekilas dia melirik penampilannya pada cermin yang menempel di dinding seberang. Bibirnya sedikit pucat sehingga memerlukan pulasan. Vika mengubek-ubek tas punggung akan tetapi tidak menemukan apa yang dia cari. Tatapan gadis itu beralih ke arah tas jinjing. Beranikah Vika menggunakan salah satu perangkat rias yang ada di dalamnya? Matanya bolak-balik dari cermin ke tas. Tekadnya sudah bulat sewaktu Vika merogoh-rogoh tote bag. Sial, lagi-lagi tidak dia temukan.
“Vika Tanana?”
Dia menoleh dan refleks berdiri mendengar panggilan itu. Vika mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan pewawancara.
“Usia kamu 24 tahun?” tanya Pewawancara mengonfirmasi data dan resume Vika dengan pena terselip di tangannya. “Lulus kuliah dua tahun lalu? Tapi belum punya pengalaman kerja?”
Vika merunduk dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Terus, kesibukannya apa?”
“Make-up,” jawab Vika lirih.
“Apa? Makeup artist?”
Vika kebingungan mengartikan mimik wajah pewawancara yang meninggikan sebelah alis dan pupil mata yang naik turun sembari menelaahnya lekat-lekat. Tapi, tetap saja kalimat itu berupa pertanyaan yang harus dia jawab.
Baru saja Vika membuka mulut, pewawancara sudah menanggapi, “Percaya sih,” sambil mengetuk bagian foto berukuran 3x4 di CV dengan pulpennya.
“Oke, cukup!” Pewawancara berdiri dan mengajak Vika bersalaman.
“Cukup?” Tidak ada ‘Apa minat Anda?’ Bagaimana dengan ‘Lima tahun ke depan, apa yang kamu lihat terjadi dengan dirimu?’ Wawancara kerja yang relatif membingungkan karena tidak ada sama sekali pertanyaan itu.
“Nanti dikabari,” begitu pewawancara mengakhiri sesi mereka.
***
Gang di salah satu sudut kampung Jakarta itu memang sempit. Tapi, di depan setiap rumah tertanam berbagai tanaman. Bahkan air pada got kecil di depan masing-masing kediaman mengalir tanpa sampah-sampah yang tersendat.
“Baru pulang, Neng?”
Melewati sekelompok bapak-bapak yang nongkrong di pos ronda, Vika memamerkan senyum sambil menyapa, “Nggak pada mancing nih bapak-bapak?”
“Libur dulu, Neng. Daripada mancing keributan sama bini, iye kagak?” balas salah satunya yang berbuah tawa dari semuanya.
Ikut terkekeh-kekeh, Vika melanjutkan perjalanan ke kos-kosannya. Rumah itu terdiri dari dua lantai. Di bawah ada dua petak kontrakan yang hanya terdiri dari satu kamar, dapur, dan kamar mandi. Dia menempati lantai dua. Lantai tersebut memiliki lima kamar yang masing-masing ukurannya 3x3 meter dengan kamar mandi pribadi yang tak kalah mungil. Daripada kamar, mungkin lebih tepat jika dikatakan kotak kos.
Sekonyong-konyong, ponselnya berbunyi satu kali pertanda pesan masuk. Susah payah satu tangannya menelusuri isinya dan untunglah, karena itu seketika suasana hati buruknya menjadi lebih baik.
“Vik, meuni pas datangnya.” Itu adalah Teh Euis, yang tinggal di lantai bawah. Belum sempat Vika menjajaki kaki di anak tangga pertama, Teh Euis menyodorkan piring, “Ayo!”
Bodoh kalau dia menolak tawaran itu karena dari bangun tidur tadi dia belum makan. Langsung saja Vika meletakkan kedua tasnya secara sembarang di salah satu anak tangga lalu melenggang ke dalam rumah Teh Euis.
“Ikan asin doang, Vik.”
Cengiran melebar di wajahnya. Nasi dicendok sampai tiga kali. Ikan asin yang dijanjikan pun berpindah ke atas piringnya. “Eh, Dek,” sapanya sewaktu mendapati anak Teh Euis keluar dari kamar mandi.
“Dedek nggak makan?” tanya Vika seraya duduk di samping Teh Euis yang sedang menonton TV.
“Nggak selera katanya, Vik. Dari tadi mual-mual sama pipis melulu.”
“Ke dokter aja, Teh.”
“Ah, minum air teh hangat dan istirahat juga sembuh, Vik.”
Suapan nasi plus lauk besar-besar masuk ke mulut Vika. “Mas Ucok ke mana, Teh?”
“Barusan keluar. Ada yang kasih kerjaan. Tuh peralatan tukangnya dibawa semua. Pakai tas gede.”
Kunyahan cepat Vika sudah menghabiskan setengah piring. Sejak kecil, dia selalu bersemangat apabila bertemu makanan. Ada rasa aman yang ditimbulkan dari mencicipi setiap menu sewaktu bersentuhan dengan indera pengecapnya. Efek negatif dari kebiasaannya itu tentu saja penampakannya yang dia yakin sudah menyentuh angka 100 kg.
“Tambah, Vik. Stres banget kayaknya?”
“Nggak terbayangkan, Teh.” Dengan pengantar itu, keluarlah curahan hatinya tentang semua yang terjadi hari ini.
***
Udara Jakarta sore itu sedang bagus-bagusnya. Sebentar tadi sempat hujan sehingga udaranya sejuk mengusir terik tadi siang. Vika mendongakkan kepala ke atas. Masih ada percikan biru di langit sana dengan awan yang berarak. Indah. Ini seperti semesta mendukungnya. Gadis itu mengalihkan fokus kepada gedung di depannya, Djakarta Theater, tempat janji temu dengan pengirim pesan yang membuat suasana hatinya hari ini jadi sangat baik. Ralat, bukan hanya hari ini saja, tapi sudah enam bulan terakhir.Sekonyong-konyong, matanya menangkap seorang wanita bersanggul dan berkebaya sedang berdiri di ujung tangga. Perawakan ibu itu seperti familiar di benak Vika. Akan tetapi, dia tidak sanggup mengidentifikasi. Sang Ibu hendak turun namun langkahnya tertahan seperti ragu-ragu. Menduga ibu tersebut membutuhkan bantuan, Vika langsung menyongsongnya.“Saya bantu, Bu,” katanya dengan tangan terulur.Ibu berkonde menyambut niat baiknya. Sentuhan telapak tangan Sang Ibu
Kondisi rumah kosnya sepi ketika Vika pulang malam itu. Satu rumah petak di lantai bawah sedang kosong, sehingga sumber penerangan di sana berasal dari teras Teh Euis. Di lantai atas, dari lima kamar yang tersedia, hanya empat kamar yang ada penyewanya. Dari empat kamar itu, dua kamar saja yang sedang ditempati karena dua penghuni lain sedang pulang kampung.Langkahnya gontai dan terseret. Untungnya, lorong lantai atas tidak diterangi cahaya lampu sudah berbulan-bulan ini, sehingga kesedihannya tersembunyi dalam gelap. Saat membuka pintu, Vika disambut bau apek yang menguar tajam karena tidak ada ventilasi memadai di kamar itu. Baju-baju berantakan di sana-sini karena tidak segera dia bereskan sebelum pergi tadi. Dia ingin segera berbaring tetapi kasurnya masih dalam posisi berdiri.Tidak sengaja dia menampak dirinya sendiri pada cermin di lemari baju. Bajunya basah dan kotor berlumpur. Maskaranya sudah luntur oleh tangis. Salah satu bulu mata palsu sudah terlepas dan
Bukti kekacauan tadi malam berserakan di sana-sini. Tempat tidurnya belum diturunkan dan ada gaun merah terhampar di lantainya. Teriris hatinya, Vika melempar baju itu ke tempat sampah. “Vikaaa!” Terlonjak Vika sewaktu panggilan itu mendarat di gendang telinganya. Dia membalikkan badan. Di sana, berdiri satu sosok berperawakan kutilang darat alias kurus tinggi langsing dada rata. Bagian terakhir tak bisa disangkal karena jenis kelamin orang itu adalah laki-laki. “Hei, wanita,” lalu berhenti sejenak karena matanya melayang ke seluruh penjuru kamar Vika yang berantakan. “Wanita musuhnya Marie Kondo.” Terbit cengiran samar di wajah Vika. Mau tidak mau. Pasalnya, dia tahu betul Marie Kondo adalah pakar kerapian asal Jepang yang pasti akan pusing kepala menyaksikan kamarnya yang jauh dari kata terorganisir. “Arman? Jauh-jauh ke sini?” “Mirah Delima.” Vika mengerutkan jidat. Berpikir keras-keras kenapa merek kosmetik itu yang jadi ja
“Hei, wanita,” jeda sejenak sebelum kata-kata itu dilanjutkan dengan, “Where’s Waldo!” yang mengacu kepada baju yang Vika kenakan saat itu. Kaos berlengan buntung dengan motif garis-garis merah dan celana tidur berwarna biru langit. Siapa lagi pencetus kalimat itu kalau bukan Arman, sahabatnya yang sama-sama berprofesi sebagai makeup artist. “Jadi sering ke sini, Man?” “Nggak boleh?” Laki-laki itu melepaskan sepatu dan masuk ke kamarnya. Dengan santai, Arman duduk di satu-satunya kursi yang ada di kosan Vika dan membongkar-bongkar apa saja yang ada di meja. Pagi itu, Vika baru selesai mandi dan mengeringkan rambut hitam sebahunya dengan handuk. “Kemarin lusa katanya mau pinjam tas. Sekarang?” Arman menarik satu fail dari mejanya. Dokumen bersampul cokelat. “Ginkgo Biloba,” ujar sahabatnya itu sembari berdeham. “Gue nggak lupa. Emang sengaja. Nggak mau datang.” “Lo tuh ya kadang-kadang.” Arman membaca lembaran-lembaran
“Lo denger, nggak?”Vika meletakkan beauty blender yang sedang dia pakai. “Jangan mengada-ada, Man. Mending lo bantuin gue biar cepat kelar.”“Ngapain?”“Makeup-in lah.” Dagunya ditoleh sebagai gestur untuk menunjukkan siapa yang harus dirias oleh Arman.Laki-laki itu mengikuti arah yang dimaksud oleh Vika. Seketika itu, bahu laki-laki itu bergidik. Cewek gendut itu memintanya merias jenazah. “Hei, wanita. Itu orang meninggal,” tolaknya.“Ya, terus kenapa?” tanya Vika. Keduanya memang sedang bersama-sama di ruang jenazah. Ada dua pelanggan yang harus dirias Vika saat itu. Keduanya adalah kakak-beradik kembar yang meninggal karena kecelakaan. Satu bagian hatinya teriris. Apalagi ibu mereka yang tadi sempat mampir menemui Vika, namun akhirnya pergi sambil terisak-isak.“Creepy,” kata Arman. “Gue nggak pernah paham kenapa lo kerj
“Pst… pst,” panggil Vika ke laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna pink dengan celana pendek jeans serta sweater putih yang terikat di bahu. Susah sekali membuat laki-laki yang sedang berbincang-bincang dengan orang lain itu berbalik. Tak ayal, dia mendekatinya sembari memeluk bahunya sendiri.“Arman,” ujarnya di telinga sahabatnya itu.Laki-laki itu berbalik. “Hei, wanita! Jangan nunduk-nunduk gitu,” hardik Arman.Vika menutupi tubuh dengan tangannya. Dia sungkan mempertontonkan tubuhnya yang terbungkus unitard. Tanpa rok tutu. Bukan apa-apa, tidak ada rok yang tersedia dengan ukuran tubuhnya.“You can relax, girl. Kami nggak tertarik,” santai saja pria satunya yang tadi mengobrol dengan Arman berujar. Pria itu diperkenalkan kepadanya sebagai sang pelatih balet.Tidak perlu dipertegas. Dia sudah tahu bahwa tidak akan ada laki-laki yang menyukai perempuan bertubuh penuh lem
Jadwal pertunjukan bakat dan wawancara untuk audisi terakhir Pemilihan Puteri Nusantara sejatinya dimulai pukul sebelas pagi. Namun, Vika sudah berdiri di salah satu ruang studio padahal jarum jam belum berpindah dari angka sembilan. Dia belajar dari pengalaman sebelumnya di mana ruang studio sangat penuh dan takut tidak kebagian tempat. Soalnya, Vika memerlukan meja rias untuk mengerjakan proyek bakatnya.“Beneran ini teh nggak apa-apa, Vik. Sepi banget, lho.”“Nggak apa-apa, Teh. Kemarin aku udah izin,” jawab Vika sembari menuntun Teh Euis ke tempat duduk. Berhadapan dengan cermin, dia memerhatikan sudut-sudut wajah tetangganya itu dan meneliti bagian mana yang perlu dia tambahkan busa, lateks, ataupun silikon.“Harus pakai itu, Vik?”Vika meletakkan bungkusan halus serupa tepung berwarna putih. “Kalau perlu aja,” jujur dia menjawab karena memang sudah menyiapkan kerangka kepala untuk model proyek bakatnya
Rasanya terlambat jika Vika berdoa dia segera menghilang dari ruangan tersebut. Tidak ketika semua orang yang ada di sana tertarik dengan apapun yang dikatakan oleh Divya.“Lho, kenapa?”“Dia ini adik saya.”Mencelos hati Vika mendengarnya. Rahasia yang dia sembunyikan selama ini terkuak juga. Vika memejamkan mata terbawa ke peristiwa yang terjadi pada masa kecilnya dahulu.***“Sudahlah, Ma. Mungkin minatnya bukan ke situ.”“Ini bukan masalah minat atau nggak. Ini tuh wajib, Pa.”“Kenapa wajib?”“Papa tuh buta atau naif?”Ada keheningan sehingga Vika menempelkan telinganya ke daun pintu lebih rapat lagi. Hanya terdengar semacam embusan yang dia tebak adalah helaan napas salah satu dari kedua orangtuanya.“Papa tuh terlalu memanjakan Vika.”Hati Vika berlarian-larian mendapati namanya disebut. Benar dugaannya kalau Papa dan