“Hei, wanita,” jeda sejenak sebelum kata-kata itu dilanjutkan dengan, “Where’s Waldo!” yang mengacu kepada baju yang Vika kenakan saat itu. Kaos berlengan buntung dengan motif garis-garis merah dan celana tidur berwarna biru langit. Siapa lagi pencetus kalimat itu kalau bukan Arman, sahabatnya yang sama-sama berprofesi sebagai makeup artist.
“Jadi sering ke sini, Man?”
“Nggak boleh?” Laki-laki itu melepaskan sepatu dan masuk ke kamarnya. Dengan santai, Arman duduk di satu-satunya kursi yang ada di kosan Vika dan membongkar-bongkar apa saja yang ada di meja.
Pagi itu, Vika baru selesai mandi dan mengeringkan rambut hitam sebahunya dengan handuk. “Kemarin lusa katanya mau pinjam tas. Sekarang?”
Arman menarik satu fail dari mejanya. Dokumen bersampul cokelat. “Ginkgo Biloba,” ujar sahabatnya itu sembari berdeham.
“Gue nggak lupa. Emang sengaja. Nggak mau datang.”
“Lo tuh ya kadang-kadang.” Arman membaca lembaran-lembaran yang ada di dalam dokumen tersebut.
“Ini pageant, Man. Kontes kecantikan! Siapa yang cantik, itulah pemenangnya!”
“Siapa bilang lo nggak cantik?”
Vika melempar handuk basahnya ke muka Arman, tapi meleset karena malah terdampar di lantai. “Sarkas? Nggak lihat bodi gue?” tanyanya sambil memungut handuk dengan jempol kakinya untuk diserahkan secara estafet kepada tangannya. Bukan apa-apa, Vika kesusahan menunduk dengan perut buncitnya.
“Nggak ada persyaratan berat badan,” balas Arman dengan menunjukkan lembaran yang berisi daftar ketentuan yang wajib dipenuhi peserta.
“Sama aja, gue datang pun nanti juga gagal gara-gara gendut.”
“Jangan sok jadi Tuhan.” Arman mengacungkan satu lembar lainnya. “Ini apa?”
Vika tahu betul apa isi tulisan di kertas itu, yaitu bukti bahwa dia sudah melakukan registrasi pada kontes Puteri Nusantara. “Nggak berarti apa-apa,” katanya. Dia mendesah dan terbayang kembali peristiwa di hari Vika dan Arman berencana memborong diskon besar-besaran Mirah Delima. Rupanya, di waktu yang bersamaan, berlangsung pendaftaran kontes kecantikan yang disponsori perusahaan tersebut. Dia lupa-lupa ingat apa tepatnya yang menggerakkan dirinya mengikuti langkah Pak Revat. Tapi, yang dia tahu jelas adalah tujuannya mengisi formulir yang diminta adalah karena dia ingin cepat-cepat keluar dari tempat itu. Kertas yang ditunjukkan oleh Arman hanya pernyataan bahwa dia sudah memenuhi syarat administrasi.
“Ini artinya lo bisa ikut proses selanjutnya.”
Vika mengangkat kedua tangannya sejajar bahu lalu menggoyang-goyangkan gelambir di bawah ketiak. “Dengan lengan kayak gini.” Vika mengangkat ujung bagian bawah kaosnya lalu menggembungkan perut.
“Aduuuh, it’s normal. Model aja kalau lagi pemotretan harus tahan napas.”
Vika tidak mau kalah. Dia mengembang-kempiskan lubang hidung jambunya. “Ada model yang begini?”
“Sebagai makeup artist, harusnya lo tahu ada teknik yang namanya shading.”
“Dan lo tahu kan teknik itu dipakai ke semuanya, nggak pandang hidung?” Yang mau ditekankan Vika adalah dia bisa saja berusaha agar tidak kalah cantik dari semua peserta. Tapi, tetap saja akan dikalahkan oleh mereka-mereka yang sudah cantik dari lahir.
Selama lima menit tidak ada bantahan apapun dari Arman. Vika yang sedang berniat untuk keluar kamar demi menjemur handuk pun menggagalkan rencana. Dia mengalungkan handuk di leher dan mengamati sahabatnya itu.
Ada hembusan napas panjang dari mulut Arman. Vika tidak pernah menyaksikan laki-laki itu galau dan terdiam seperti sekarang. “Limitasi itu kita sendiri yang ciptakan,” kata Arman pada akhirnya. “Lo bukannya nggak bisa, tapi nggak mau.”
Vika duduk di lantai dengan menekukkan lutut. Namun, tekanan paha dan perutnya mengakibatkan gadis itu sesak napas. “Tuh, Man. Lo lihat sendiri. Gue gendut. Buntelan kentut,” katanya seraya berganti posisi dengan menyelonjorkan kaki.
Arman turun dari kursi dan duduk di sampingnya dengan bersandarkan kasur yang sengaja diberdirikan demi ilusi ruang kamar yang lebih luas. Tangan kanan laki-laki itu mengusap-usap punggung tangan kiri Vika. Gadis itu ingin menarik lengannya namun Arman berganti menepuk-nepuknya. “Gue pengen orang-orang tahu betapa hebatnya lo, Vik.”
“Heh?” Sejak bertemu pertama kali dan akhirnya dekat, tidak pernah sekalipun Arman seserius ini dalam setiap obrolan mereka. Sahabatnya itu sangat ceria dan selalu bikin Vika tertawa akibat topik perbincangan yang receh-receh. Berbeda sekali dengan nuansa yang terjadi saat itu.
“Gue selalu bertanya-tanya, ‘Gimana ya kalau sekali-kali orang kayak kita yang menang?’ Dianggap ada. Bayangin, kalau lo menang… nggak, nggak… nggak perlu sampai menang. Lo ada di kontes ini aja, berdiri sejajar sama cewek-cewek good looking, nggak kalah cantik sama mereka. Coba pikirkan apa dampaknya, Vik? Remaja, ibu-ibu, perempuan… semuanya nggak akan rendah diri lagi. Mereka udah lihat contohnya, yaitu lo, ada di pageant. Belum lagi orang lain yang pasti menyesal telah meremehkan lo.”
Vika menoleh. “Apa?” begitu suaranya keluar karena tertarik dengan kalimat terakhir yang diucapkan Arman.
“Iya, jadi lo harus ikut. Gue yakin, untuk dipanggil audisi aja lo nggak pernah kepikiran, kan? Ternyata lo lolos. Gimana kalau pas lo audisi hari ini, ternyata lo tembus juga ke babak selanjutnya? Lo nggak akan pernah tahu kalau lo jalani prosesnya. Think about it.”
Vika tidak menyahut apa-apa. Setidaknya belum. Dia hanya menyenderkan kepalanya di bahu Arman. Laki-laki itu juga tidak merespons apa-apa. Vika dibiarkan melanglang buana dengan pikirannya sendiri. Pertemanan mereka sudah melalui banyak hal sehingga bersama-sama dalam hening seperti saat itu bukanlah suasana yang janggal bagi keduanya.
Sebagai perempuan yang berbobot lebih sejak kecil, Vika tidak begitu ingat kapan pertama kali dia menerima cacian seputar ukuran tubuhnya itu. Sejak saat itu sampai sekarang, yang dia lakukan adalah tersenyum dan menjauhi si pelontar makian. Padahal, kata-kata itu telah menembus dan melukai hatinya. Tidak ada balasan atau keberatan yang dia utarakan. Memang benar kata Arman. Pasti gembira rasanya kalau sewaktu-waktu dia berada di pihak yang mendapat perhatian karena kecantikannya. Betapa menyenangkan jika aktivitasnya dimudahkan karena orang-orang jauh bersikap murah hati karena melihat kecantikannya. Dan tentu saja, tidak akan ada cowok yang menolak dekat dengannya karena terpukau akan keindahan raganya.
Setelah sepuluh menit saling berdiam, Vika membersihkan tenggorokannya dengan dehaman dan berkata, “Bhari mencampakkan gue, Man. Katanya gue nggak pantas buat dia.”
Arman melingkarkan tangan kanannya dari arah leher ke telinga dan menepuk-nepuk pipi Vika. “Lo mau dia dimutilasi jadi berapa?”
Vika tertawa kecil dan menegakkan kepala lalu bangkit berdiri. “Dipenjara itu berat. Biar ini aja,” katanya sambil mengambil dokumen bersampul cokelat. “Dia pasti nyesal kan kalau lihat aku jadi finalis?”
“That’s my girl. Ayo, makeup dan ganti baju. Nggak ada sejarahnya Waldo menang beauty pageant.
***
“Woi, kalau jalan pakai mata, dong!”
Vika membungkukkan dan berulang kali meminta maaf. Tidak sengaja, gadis gendut itu menginjak ekor gaun perempuan di sampingnya. Saat itu, dia sedang berada di studio yang dinamai Asoka dan terletak di lantai 6 gedung Grha Mirah Delima. Di dalam ruangan itu, termasuk dirinya, sudah berkumpul 20 kaum hawa lainnya. Mereka semua adalah peserta Puteri Nusantara yang diundang mengikuti audisi.
Belum lagi Vika selesai mempelajari isi ruangan, seseorang berseragam batik dengan perangkat audio tertempel di telinga, mengumumkan, “Pemotretan akan dilakukan bergiliran. Tolong, makeup dihapus dan pakai kaos putih sama jeans saja. Yang sudah ready, tolong menunggu di luar.”
Vika melirik perempuan yang tadi marah kepadanya. Sekarang, wanita itu kerepotan melepas gaunnya yang berekor panjang. Vika mengedikkan bahu dan mencari meja rias yang kosong. Pasalnya, berangkat tadi wajahnya sudah dipoles dengan makeup sempurna buatan Arman. Rupanya, semua harus dibersihkan.
“Vika,” ujarnya menjulurkan tangan ke cewek yang bersebelahan dengannya.
Gadis yang dia ajak berkenalan itu, tersenyum tipis tapi tidak menyambut uluran tangannya. “Kamu yakin nggak salah tempat, Dear? Ini beauty pageant, bukan kejuaraan sumo.”
Vika menggigit bibirnya. Arman sudah membekalinya dengan bagian ini ketika mengantarnya tadi. Kata laki-laki itu, pasti ada orang-orang yang mencoba mengintimidasinya. Wajar, ini perlombaan dan semua orang ingin menang. Sahabatnya itu hanya meminta untuk diam saja dan memikirkan diri sendiri saja alih-alih repot dengan komentar orang lain. Oleh sebab itu, Vika lebih memilih berkonsentarasi mengoleskan Pembersih Sari Jeruk Nipis keluaran Mirah Delima. Sesekali, ujung matanya menangkap pantulan cewek di sebelahnya dari cermin. Gadis itu sudah selesai tapi ogah keluar ruangan dan tetap duduk menunggu di kursi itu. Padahal, meja rias itu tentunya diperlukan oleh yang lain.
“Siap-siap kelompok selanjutnya: Joy Darsono, Karina Danilla, Tina Agustina, dan Vika Tanana,” mendadak salah satu panitia menyuarakan perintah. Cepat-cepat, Vika menepuk-nepuk Penyegar Sari Jeruk Nipis ke wajah. Untung, dari rumah Vika sudah mematuhi aturan berpakaian.
Cewek yang menghinanya tadi ternyata bernama Joy Darsono. Dengan wajah polos tanpa makeup, fitur-fitur kecantikan gadis itu masih jelas terlihat. Hidungnya sangat sempurna dengan bagian awal, tengah, sampai ujungnya pun sangat mancung dan lurus. Matanya bertipe double lid dengan bulu mata panjang dan melekuk. Bibirnya yang membentuk busur cupid tampak lembut memerah. Lalu, entah kenapa pula wajah gadis itu tidak berpori-pori. Vika menunduk dan menghela napas. Kalau perempuan itu memenangi kontes, dia tidak heran.
Keempatnya digiring ke dalam ruangan yang penuh dengan peralatan foto. Yang mendapat kesempatan pertama untuk difoto adalah Joy.
“Good, nice!” komentar fotografer setiap gadis itu berpose. Vika mengakui Joy sangat ahli mengatur posisi tubuhnya. Perempuan cantik itu berlenggak-lenggok hampir seperti menari. Bahkan, gaya sesimpel menelengkan kepala tetap membuat hasil jepretannya super mahal. Ya, Vika tahu karena dia sempat mengintip monitor laptop yang terhubung dengan kamera.
“Dia anak pengusaha terkaya,” bisik peserta audisi yang berdiri di samping Vika. “Tahu Irwan Darsono, kan? Pemilik perusahaan rokok.”
“Next, Karina Danilla.” Belum sempat Vika mengomentari, sudah giliran gadis itu untuk bergaya.
Vika mempelajari bagaimana teman-teman sekompetisinya itu menggerakkan tubuh. Sama seperti Joy, Karina juga luwes di depan kamera. Begitu gadis berikutnya dipanggil, yaitu Tina, perut Vika sudah mulai mulas. Ditambah dengan keinginannya yang besar utuk muntah, dia ingin enyah dari ruangan itu.
“Vika!” panggil panitia.
Terlambat. Wajahnya memerah karena tahu semua orang memandanginya. Sewaktu sedikit mendongakkan kepala, fotografer yang berkaca mata mengernyitkan dahi.
“Berdiri di tanda X ya, Mbak.”
Vika mencari posisi yang dimaksud sang fotografer dengan menundukkan kepala.
“Oke, saya kasih aba-aba. Hitungan ketiga senyum ya, Mbak.”
Vika memejamkan mata sejenak untuk merenungi tujuannya mengikuti ajang ini. Setelah itu, dia membuka mata dan tepat pada hitungan ketiga, senyumnya merekah.
“Oke, nice. Cukup! Sekarang foto grup.”
Apa? Mulut Vika menganga karena tidak dapat menyembunyikan kekagetannya. Joy difoto berulang kali bahkan sempat berpose sambil melompat. Kedua perempuan lain juga mendapatkan cekrekan kamera yang berulang-ulang. Lalu, dia? Sekali jepret dan selesai?
“Kumpul ya di tengah.”
Vika tersisih ke belakang karena Joy menyelanya dengan bahu. Lalu, fotografer meminta Karina dan Tina maju selangkah. Dengan demikian, hanya Vika yang berpose di belakang ketiganya. Sendirian.
***
“Lo denger, nggak?”Vika meletakkan beauty blender yang sedang dia pakai. “Jangan mengada-ada, Man. Mending lo bantuin gue biar cepat kelar.”“Ngapain?”“Makeup-in lah.” Dagunya ditoleh sebagai gestur untuk menunjukkan siapa yang harus dirias oleh Arman.Laki-laki itu mengikuti arah yang dimaksud oleh Vika. Seketika itu, bahu laki-laki itu bergidik. Cewek gendut itu memintanya merias jenazah. “Hei, wanita. Itu orang meninggal,” tolaknya.“Ya, terus kenapa?” tanya Vika. Keduanya memang sedang bersama-sama di ruang jenazah. Ada dua pelanggan yang harus dirias Vika saat itu. Keduanya adalah kakak-beradik kembar yang meninggal karena kecelakaan. Satu bagian hatinya teriris. Apalagi ibu mereka yang tadi sempat mampir menemui Vika, namun akhirnya pergi sambil terisak-isak.“Creepy,” kata Arman. “Gue nggak pernah paham kenapa lo kerj
“Pst… pst,” panggil Vika ke laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna pink dengan celana pendek jeans serta sweater putih yang terikat di bahu. Susah sekali membuat laki-laki yang sedang berbincang-bincang dengan orang lain itu berbalik. Tak ayal, dia mendekatinya sembari memeluk bahunya sendiri.“Arman,” ujarnya di telinga sahabatnya itu.Laki-laki itu berbalik. “Hei, wanita! Jangan nunduk-nunduk gitu,” hardik Arman.Vika menutupi tubuh dengan tangannya. Dia sungkan mempertontonkan tubuhnya yang terbungkus unitard. Tanpa rok tutu. Bukan apa-apa, tidak ada rok yang tersedia dengan ukuran tubuhnya.“You can relax, girl. Kami nggak tertarik,” santai saja pria satunya yang tadi mengobrol dengan Arman berujar. Pria itu diperkenalkan kepadanya sebagai sang pelatih balet.Tidak perlu dipertegas. Dia sudah tahu bahwa tidak akan ada laki-laki yang menyukai perempuan bertubuh penuh lem
Jadwal pertunjukan bakat dan wawancara untuk audisi terakhir Pemilihan Puteri Nusantara sejatinya dimulai pukul sebelas pagi. Namun, Vika sudah berdiri di salah satu ruang studio padahal jarum jam belum berpindah dari angka sembilan. Dia belajar dari pengalaman sebelumnya di mana ruang studio sangat penuh dan takut tidak kebagian tempat. Soalnya, Vika memerlukan meja rias untuk mengerjakan proyek bakatnya.“Beneran ini teh nggak apa-apa, Vik. Sepi banget, lho.”“Nggak apa-apa, Teh. Kemarin aku udah izin,” jawab Vika sembari menuntun Teh Euis ke tempat duduk. Berhadapan dengan cermin, dia memerhatikan sudut-sudut wajah tetangganya itu dan meneliti bagian mana yang perlu dia tambahkan busa, lateks, ataupun silikon.“Harus pakai itu, Vik?”Vika meletakkan bungkusan halus serupa tepung berwarna putih. “Kalau perlu aja,” jujur dia menjawab karena memang sudah menyiapkan kerangka kepala untuk model proyek bakatnya
Rasanya terlambat jika Vika berdoa dia segera menghilang dari ruangan tersebut. Tidak ketika semua orang yang ada di sana tertarik dengan apapun yang dikatakan oleh Divya.“Lho, kenapa?”“Dia ini adik saya.”Mencelos hati Vika mendengarnya. Rahasia yang dia sembunyikan selama ini terkuak juga. Vika memejamkan mata terbawa ke peristiwa yang terjadi pada masa kecilnya dahulu.***“Sudahlah, Ma. Mungkin minatnya bukan ke situ.”“Ini bukan masalah minat atau nggak. Ini tuh wajib, Pa.”“Kenapa wajib?”“Papa tuh buta atau naif?”Ada keheningan sehingga Vika menempelkan telinganya ke daun pintu lebih rapat lagi. Hanya terdengar semacam embusan yang dia tebak adalah helaan napas salah satu dari kedua orangtuanya.“Papa tuh terlalu memanjakan Vika.”Hati Vika berlarian-larian mendapati namanya disebut. Benar dugaannya kalau Papa dan
Film pertama Divya sukses besar. Berjudul 15 and Divorced, kakaknya itu menjadi remaja yang terjebak pernikahan dini dan kekerasan domestik. Keikutsertaannya di film itu menjadi topik panas di mana-mana. Berbagai talk show mendiskusikan tema cerita sampai pantas atau tidak kakaknya berperan dalam film itu. Vika memang tidak diperbolehkan menontonnya. Namun, dia tahu kakaknya semakin terkenal. Bahkan, Mama yakin Divya akan diganjar penghargaan dari film itu.Siang itu, keramaian yang sudah lama tidak dilihatnya semenjak Divya menjadi finalis International Model muncul kembali di rumahnya. Vika baru saja pulang dari sekolah dan menangkap wangi kue yang baru dipanggang dari dapur. Benar saja, ada Mama yang sedang memindahkan potongan terakhir bolu gulung ke atas piring.Tanpa pikir panjang, dia mencomot sisa potongan kue yang tidak rapi. Dan, seketika gigitannya terhenti karena terlupa ada Mama di sana. Tapi, Mama tidak berkomentar apa-apa yang membuahka
“Berapa lama kita nggak ketemu, ya? Tujuh tahun?”Vika memandangi dua gelas minuman hampir penuh dan titik-titik air memenuhi luarnya. Tidak seorangpun dari mereka menyentuh cocktail yang dipesan oleh wanita yang di hadapannya itu. Divya Pratistha. Rambutnya panjangnya hitam mengkilap, matanya punya kedalaman dengan warna pupil yang menyejukkan, dan rahang itu memiliki tulang pipi yang tegas. Dagunya serupa huruf V dengan ujung yang tidak terlalu runcing.“Kerja apa kamu, Vik?”Bagi orang lain, kalimat itu mungkin terdengar biasa-biasa saja. Tapi, tidak demikian halnya dengan Vika. Pertanyaan itu menyadarkan akan kondisinya yang sama sekali jauh dari kata sukses seperti si penanya.“Selain makeup artist, maksudnya.”Vika mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Dia ingin membalasnya dengan pernyataan yang pintar dan dapat menusuk hati kakaknya itu., Tapi, bibirnya kelu. Dia tidak mampu berkata apa-ap
Sejak kejadian seragam olahraga hijau stabilo, Vika berubah 180 derajat. Dia menjadi lebih pendiam. Memang, selama ini gadis itu bukanlah pribadi yang senang berbicara karena peran itu adalah milik kakaknya, Divya. Akan tetapi, Vika menjadi lebih pendiam daripada itu. Dia tidak mau berbicara jika tidak ditanya ataupun sesuatu yang penting untuk diutarakan. Seolah-olah dia menarik diri ke jurang kenyamanannya sendiri.“Sarapan, Vik,” ajak Mama.Vika yang sedang mencangklongkan tas punggungnya mendekati meja makan. Tanpa berkata apa-apa, dia hanya mengambil roti lapis dan mengucapkan kata pamit, “Ada tes pagi-pagi,” alasannya.Seraya berjalan menuju pintu rumah mereka, samar-samar dia mendengar pembicaraan antara Mama dan Papa.“Vika makin kurus ya, Ma.”“Bagus, dong. Dietnya berhasil.”“Tapi, Papa nggak pernah lihat Vika makan. Yakin, dietnya benar?”“Masih ada 10 kilo l
Vika memerhatikan pantulan wajahnya di cermin. Mengenakan gaun berwarna merah jambu yang melebar di bagian bawah, dia merasa seperti seorang putri. Senyum Mama di latar belakang menjadikan hatinya melompat-lompat gembira. “Jam berapa kamu dijemput?” Tarikan mulut dari sisi kiri dan kanannya melebar. Penjemput yang dimaksud oleh ibunya adalah Richo. Tentu saja dia mengiyakan ajakan laki-laki itu tempo hari. Kesempatan seorang junior diajak ke prom oleh kakak kelas adalah satu berbanding seribu. Tambahkan itu dengan kenyataan bahwa Vika bukanlah perempuan kurus tinggi dan langsing sesuai standar kecantikan yang disepakati oleh masyarakat. Jadi, tidak heran kalau Vika seolah-olah mendapatkan durian runtuh. “Masih ada 15 menit lagi,” ujar Mama setelah melihat kode tujuh jari yang diacungkan olehnya. “Mau ngemil dulu?” tawar Mama. Vika menggeleng kuat-kuat dengan cepat. Dia tidak mau asupannya memengaruhi penampilannya Sabtu malam itu. Vika bertambah senan