“Pst… pst,” panggil Vika ke laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna pink dengan celana pendek jeans serta sweater putih yang terikat di bahu. Susah sekali membuat laki-laki yang sedang berbincang-bincang dengan orang lain itu berbalik. Tak ayal, dia mendekatinya sembari memeluk bahunya sendiri.
“Arman,” ujarnya di telinga sahabatnya itu.
Laki-laki itu berbalik. “Hei, wanita! Jangan nunduk-nunduk gitu,” hardik Arman.
Vika menutupi tubuh dengan tangannya. Dia sungkan mempertontonkan tubuhnya yang terbungkus unitard. Tanpa rok tutu. Bukan apa-apa, tidak ada rok yang tersedia dengan ukuran tubuhnya.
“You can relax, girl. Kami nggak tertarik,” santai saja pria satunya yang tadi mengobrol dengan Arman berujar. Pria itu diperkenalkan kepadanya sebagai sang pelatih balet.
Tidak perlu dipertegas. Dia sudah tahu bahwa tidak akan ada laki-laki yang menyukai perempuan bertubuh penuh lemak seperti dirinya. Dari dia remaja dulu, kasusnya selalu sama. Vika hanya bisa menyukai lawan jenisnya tanpa disukai balik. Hal paling dekat yang bisa dia dapatkan dari sebuah afeksi bernama cinta, hanyalah lewat dunia maya. Tapi itupun gagal. Dia pikir penyatuan lewat emosi, ide, dan gagasan sudah cukup tanpa mementingkan penampilan. Ternyata tidak. Buktinya Bhari yang tanpa tedeng aling-aling menganggapnya tidak pantas untuk mendampingi laki-laki itu.
“Baiklah.” Jika memang begitu, ya sudah. Vika berdiri dengan tegak. Satu tangannya berpegangan pada bar yang menempel di dinding, dia mengangkat dagu sedikit.
“I see. Tampaknya kamu sudah punya dasar balet. Coba, tunjukkan yang kamu bisa.”
Diawali dengan posisi pertama yang membuat telapak kakinya saling mengarah ke luar dan diakhiri dengan posisi kelima di mana tumit kaki depannya menyentuh jari kaki besar yang lain.
“Good, good. Bagaimana kalau kita langsung free style. Bergerak sesuai yang kamu mau,” kata Sang Pelatih sembari menyalakan musik.
***
Vika berusia tujuh tahun sewaktu Mama mendaftarkannya ikut sekolah balet. Terhitung terlambat karena orang tua lain sudah mendaftarkan anak-anak mereka sejak usia tiga tahun. Enam bulan setelah keikutsertaannya di les balet, Mama dipanggil untuk berbicara dengan guru.
Setelah pertemuan itu, Mama selalu mengatur porsi makanannya seperti makanan kelinci; penuh sayur dan porsi yang super irit. Vika lapar setiap saat. Otaknya dipenuhi makanan sehingga sulit berkonsentrasi untuk hal lain.
Untungnya ada Papa. Tidak jarang, salah satu orangtuanya itu memergokinya diam-diam mengambil makanan dari dalam kulkas malam-malam ketika Mama tidur. Papa yang biasanya baru pulang lembur, bukannya mengadukan, malah membuatkan pancake buatnya. Sewaktu Mama akhirnya tahu rahasia mereka, Papa tidak menyerah dan sering menyelipkan cokelat di dalam kotak pensilnya.
Sejujurnya, meskipun mengikuti kelas yang separuh kegiatannya berpusat pada postur tubuh, Vika tidak pernah terintimidasi dan merasa tidak aman. Meskipun tidak menyukai gerakannya yang kaku dan terlalu banyak aturan, dia senang-senang saja bertemu dengan teman-teman lesnya. Sampai suatu hari, pada latihan terakhir mereka menjelang pertunjukan wajib tahunan.
“Vika! Vika! Vika!”
Dia menghentikan gerakan tarinya. Badan Vika mengkerut. Apa lagi yang salah? pikir anak delapan tahun itu keheranan.
“Arabesque harus 90 derajat sudutnya dengan kaki utama.”
Vika kecil mencoba lagi sesuai instruksi gurunya. Tapi pinggangnya jadi sakit dan kaki kanannya bergoyang-goyang tidak stabil. Dia jatuh.
“Makanya, badannya dijaga jangan kayak gajah, dong.”
Teman-teman lesnya yang lain terkikik-kikik dan mulai membisikkan kata, “Gajah” ke satu sama lain.
“Sudah, sudah, jangan berisik. Latihannya cukup untuk hari ini. Besok, jangan ada yang terlambat.”
Vika senang mendengar pengumuman itu, sampai akhirnya kata-kata pelatihnya bergema, “Vika, jangan pulang sebelum arabesque-mu sempurna. Jangan sampai pertunjukan nanti jadi jelek gara-gara ulahmu.”
***
“You can start now,” perintah Sang Pelatih yang memutar musik pengiring Aurora’s Act dalam pertunjukan The Sleeping Beauty.
Vika terdiam. Ada banyak arabesque dan pirouette dalam nomor itu. Terus terang, dia takut gagal. Dia menatap Arman yang duduk di pinggir studio. Kedua tangan sahabatnya itu mengepal di dada seolah-olah menumpukan harapan agar dia dapat mengeksekusi tarian balet dengan sempurna.
Vika menghela napas dan menaikkan kakinya mengikuti posisi arabesque. Dia tahu kaki belakangnya tidak sejajar pinggang, namun Sang Pelatih diam saja. Setelah berjalan laksana kucing sebanyak tiga langkah, dia melakukan arabesque kembali. Kali ini lebih hampir setinggi pinggang. Dia berjalan lagi sesuai posisi dasar gerakan balet sehingga menghadap depan lalu mengangkat kaki. Tumpuan kaki kanan tidak stabil. Akhirnya dia jatuh.
***
Dalam posisi terduduk, bayangan Vika yang berusia delapan tahun tampak pada cermin yang tertempel di pintu lemarinya. Sudah tujuh hari sejak ejekan Gajah dia terima dari gurunya karena gagal melakukan gerakan tari yang diminta oleh sang guru. Vika tidak tahu apa yang salah. Dia sudah berlatih lebih sering. Dia sudah berubah. Jika sebelumnya, kerelaannya mengikuti kelas karena teman-teman, sekarang dia punya tujuan yang bertambah. Dia tidak mau pertunjukan nanti jadi jelek karena dia yang tidak mampu melakukan gerakan dengan benar. Bagaimana ini? Besok adalah hari pertunjukan dan gaya tarinya masih belepotan. Dia putus asa. Dia tidak mau merusak penampilan teman-temannya.
Vika berlari untuk menemui ibunya dan bertanya, “Mama, boleh nggak Vika ikut pentas tahun depan aja?”
“Kenapa?” tanya Mama yang alih-alih menghentikan mengulek sambal, sekarang malah sambil menuang bawang ke penggorengan.
“Belum bagus,” jawab Vika hati-hati tidak mendekati Mama. Dia takut terkena percikan minyak dan serpihan cabe tumbuk.
“Namanya juga belajar, nggak apa-apa.”
“Tapi Vika nggak mau,” katanya setengah berteriak demi menarik perhatian Mama.
Berhasil. Sekarang, ibunya itu mematikan kompor dan meletakkan batu ulekan. Mata Mama menatapnya saat bercakap, “Uang les kamu sudah dibayar. Mama nggak mau terima alasan apapun kecuali kamu sakit.”
“Mama?!”
“Vika!” balas Mama. “Ini demi kebaikanmu juga.”
Vika kecil tidak mengerti kebaikan apa yang didapat dari melakukan gerakan setengah melayang di balet? Dia tidak ingin menjadi balerina dan kalaupun dia ingin, sudah jelas-jelas dia tidak bisa dan tidak boleh. Kata gurunya, seorang penari balet wajib berbadan seringan bulu dan jelas-jelas itu jauh dari penampakannya yang bongsor dan bertulang besar.
Namun, kata-kata Mama membuatnya mengerti satu hal. Dia dapat menunda mengikuti pertunjukan yang memalukannya itu dengan satu cara. Di hari yang sama itu pula, Vika mendapatkan luka berdarah di lututnya sepulang dari bermain sepeda.
***
“Gue nggak bisa, Man!” keluh Vika ketika secara refleks Arman menghampiri dan membantunya berdiri setelah jatuh tadi.
“I agree. Tapi kamu,” tunjuk Sang Pelatih kepada Arman, “Bodi kamu cucok buat balet.” Dengan penuh perhatian, mata pelatih balet itu menelusuri Arman dari ujung rambut ke ujung kaki bak harimau yang hendak menerkam mangsanya.
Mendadak, Arman menggandeng tangan Vika seraya berkata, “Iya, deh, kalau itu mau lo, Vik. Kita cari bakat lain! Ayo, kita harus pergi sekarang kalau nggak mau terlambat.” Laki-laki itu melepas ikatan sweater dan mengangsurkannya kepada Vika.
“Tas lo mana?” tanya laki-laki itu sembari memandang sekeliling. Tanpa menunggu jawaban Vika, Arman sudah mencangklong tasnya.
Tidak mengerti kenapa sahabatnya itu terburu-buru, Vika menarik sweater Arman melewati pundak. Kalau baju hangat itu tampak kebesaran ketika dikenakan laki-laki itu, di tubuh Vika seperti pas saja.
***
“Kenapa, Man?” begitu Vika ingin tahu alasan Arman bersikap aneh di studio balet tadi. Laki-laki itu tidak melepaskan gandengan sampai keduanya berada di dalam taksi online. Vika saja tidak sempat berganti baju. Gadis itu melirik bagian pahanya yang masih berbalut unitard hitam.
“Creepy. Nggak lihat pelatihnya udah kasih kode aneh-aneh?”
Terus-terang, Vika tidak memerhatikan kecuali satu, ketika pelatih itu mengomentari tubuh Arman dengan istilah ‘cucok’. “Maaf, nih Man. Tapi bukannya kamu?” Sengaja dia berhenti sampai di sana demi menghindari menyebut kata yang mereka sudah tahu sama tahu.
“What? Hei, wanita! Kita sudah kenal berapa lama sampai kamu meragukan orientasi gue?”
“Lihat baju pink lo!”
“Emangnya laki-laki nggak boleh suka pink?”
“Lo makeup artist, Man!”
Ada jeda sejenak karena Arman tidak langsung membantah. Vika menoleh ke kanan dan menyaksikan sahabatnya itu mengusap wajahnya.
“Lupain, Man.”
“No, no, no. Gue bakal jujur.”
“Jadi lo?”
Arman menggeleng-gelengkan kepala. “Gue murni suka makeup. Gue senang banget kalau bisa bikin perempuan jadi cantik. Masalahnya, banyak wanita yang nggak nyaman begitu tahu tukang riasnya laki-laki tulen. Mereka jadi risih atau kalau nggak tegang banget. Takut kalau gue apa-apain secara seksual. Dan, sedikit-sedikit bertanya apa yang gue pakai. Kayak nggak percaya gitu kalau gue bisa bikin mukanya bagus. Setidaknya, itu yang gue alami. Mau nggak mau, gue harus pura-pura kemayu supaya mereka lebih santai. Bayangkan, Vik. Job yang gue dapatkan ketika orang-orang menganggap gue banci justru tambah banyak dibandingkan sebelumnya. Jadi, ya udah. Gue terusin aja berpura-pura.”
Perasaan Vika campur-aduk mendengar pengakuan itu. Selama empat tahun mengenal Arman, tidak sedikitpun dia menebak kalau laki-laki yang selalu tampak ceria itu ternyata memilih permasalahan internal yang cukup rumit. Sebagai sahabat, dia sedih karena tidak dapat dengan cepat mengidentifikasinya.
“Apa lo jadi takut juga, Vik?” tanya Arman tiba-tiba.
“Nonsense,” jawab Vika cepat menirukan gaya bicara laki-laki itu. Kecintaannya pada dunia rias wajah justru dimulai sewaktu melihat seorang makeup artist cowok tulen yang merias kakaknya. Yang Vika lihat waktu itu, sang perias memiliki kemampuan yang mumpuni tanpa mempermasalahkan jenis kelaminnya. “Mungkin saat ini lingkungannya masih norak dan mengkotak-kotakkan sesuatu. Tapi, percaya aja sama kemampuan lo, Man. Itu yang bakal bikin lo sukses, mau apapun keadaannya.”
Arman tersenyum. “Thanks, Vik. Nggak heran lo jadi teman terbaik gue.”
“Bagus, karena teman terbaik lo ini masih perlu bakat untuk ditunjukkan di Puteri Nusantara. Lo harus bantu!”
“So, no ballet?”
Kuat-kuat, Vika menggeleng. “Nggak.”
Arman tertawa dan berkata, “Your wish is my command, my greatest talentless friend,” yang disambut dengan cengiran lebar Vika.
***
Jadwal pertunjukan bakat dan wawancara untuk audisi terakhir Pemilihan Puteri Nusantara sejatinya dimulai pukul sebelas pagi. Namun, Vika sudah berdiri di salah satu ruang studio padahal jarum jam belum berpindah dari angka sembilan. Dia belajar dari pengalaman sebelumnya di mana ruang studio sangat penuh dan takut tidak kebagian tempat. Soalnya, Vika memerlukan meja rias untuk mengerjakan proyek bakatnya.“Beneran ini teh nggak apa-apa, Vik. Sepi banget, lho.”“Nggak apa-apa, Teh. Kemarin aku udah izin,” jawab Vika sembari menuntun Teh Euis ke tempat duduk. Berhadapan dengan cermin, dia memerhatikan sudut-sudut wajah tetangganya itu dan meneliti bagian mana yang perlu dia tambahkan busa, lateks, ataupun silikon.“Harus pakai itu, Vik?”Vika meletakkan bungkusan halus serupa tepung berwarna putih. “Kalau perlu aja,” jujur dia menjawab karena memang sudah menyiapkan kerangka kepala untuk model proyek bakatnya
Rasanya terlambat jika Vika berdoa dia segera menghilang dari ruangan tersebut. Tidak ketika semua orang yang ada di sana tertarik dengan apapun yang dikatakan oleh Divya.“Lho, kenapa?”“Dia ini adik saya.”Mencelos hati Vika mendengarnya. Rahasia yang dia sembunyikan selama ini terkuak juga. Vika memejamkan mata terbawa ke peristiwa yang terjadi pada masa kecilnya dahulu.***“Sudahlah, Ma. Mungkin minatnya bukan ke situ.”“Ini bukan masalah minat atau nggak. Ini tuh wajib, Pa.”“Kenapa wajib?”“Papa tuh buta atau naif?”Ada keheningan sehingga Vika menempelkan telinganya ke daun pintu lebih rapat lagi. Hanya terdengar semacam embusan yang dia tebak adalah helaan napas salah satu dari kedua orangtuanya.“Papa tuh terlalu memanjakan Vika.”Hati Vika berlarian-larian mendapati namanya disebut. Benar dugaannya kalau Papa dan
Film pertama Divya sukses besar. Berjudul 15 and Divorced, kakaknya itu menjadi remaja yang terjebak pernikahan dini dan kekerasan domestik. Keikutsertaannya di film itu menjadi topik panas di mana-mana. Berbagai talk show mendiskusikan tema cerita sampai pantas atau tidak kakaknya berperan dalam film itu. Vika memang tidak diperbolehkan menontonnya. Namun, dia tahu kakaknya semakin terkenal. Bahkan, Mama yakin Divya akan diganjar penghargaan dari film itu.Siang itu, keramaian yang sudah lama tidak dilihatnya semenjak Divya menjadi finalis International Model muncul kembali di rumahnya. Vika baru saja pulang dari sekolah dan menangkap wangi kue yang baru dipanggang dari dapur. Benar saja, ada Mama yang sedang memindahkan potongan terakhir bolu gulung ke atas piring.Tanpa pikir panjang, dia mencomot sisa potongan kue yang tidak rapi. Dan, seketika gigitannya terhenti karena terlupa ada Mama di sana. Tapi, Mama tidak berkomentar apa-apa yang membuahka
“Berapa lama kita nggak ketemu, ya? Tujuh tahun?”Vika memandangi dua gelas minuman hampir penuh dan titik-titik air memenuhi luarnya. Tidak seorangpun dari mereka menyentuh cocktail yang dipesan oleh wanita yang di hadapannya itu. Divya Pratistha. Rambutnya panjangnya hitam mengkilap, matanya punya kedalaman dengan warna pupil yang menyejukkan, dan rahang itu memiliki tulang pipi yang tegas. Dagunya serupa huruf V dengan ujung yang tidak terlalu runcing.“Kerja apa kamu, Vik?”Bagi orang lain, kalimat itu mungkin terdengar biasa-biasa saja. Tapi, tidak demikian halnya dengan Vika. Pertanyaan itu menyadarkan akan kondisinya yang sama sekali jauh dari kata sukses seperti si penanya.“Selain makeup artist, maksudnya.”Vika mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Dia ingin membalasnya dengan pernyataan yang pintar dan dapat menusuk hati kakaknya itu., Tapi, bibirnya kelu. Dia tidak mampu berkata apa-ap
Sejak kejadian seragam olahraga hijau stabilo, Vika berubah 180 derajat. Dia menjadi lebih pendiam. Memang, selama ini gadis itu bukanlah pribadi yang senang berbicara karena peran itu adalah milik kakaknya, Divya. Akan tetapi, Vika menjadi lebih pendiam daripada itu. Dia tidak mau berbicara jika tidak ditanya ataupun sesuatu yang penting untuk diutarakan. Seolah-olah dia menarik diri ke jurang kenyamanannya sendiri.“Sarapan, Vik,” ajak Mama.Vika yang sedang mencangklongkan tas punggungnya mendekati meja makan. Tanpa berkata apa-apa, dia hanya mengambil roti lapis dan mengucapkan kata pamit, “Ada tes pagi-pagi,” alasannya.Seraya berjalan menuju pintu rumah mereka, samar-samar dia mendengar pembicaraan antara Mama dan Papa.“Vika makin kurus ya, Ma.”“Bagus, dong. Dietnya berhasil.”“Tapi, Papa nggak pernah lihat Vika makan. Yakin, dietnya benar?”“Masih ada 10 kilo l
Vika memerhatikan pantulan wajahnya di cermin. Mengenakan gaun berwarna merah jambu yang melebar di bagian bawah, dia merasa seperti seorang putri. Senyum Mama di latar belakang menjadikan hatinya melompat-lompat gembira. “Jam berapa kamu dijemput?” Tarikan mulut dari sisi kiri dan kanannya melebar. Penjemput yang dimaksud oleh ibunya adalah Richo. Tentu saja dia mengiyakan ajakan laki-laki itu tempo hari. Kesempatan seorang junior diajak ke prom oleh kakak kelas adalah satu berbanding seribu. Tambahkan itu dengan kenyataan bahwa Vika bukanlah perempuan kurus tinggi dan langsing sesuai standar kecantikan yang disepakati oleh masyarakat. Jadi, tidak heran kalau Vika seolah-olah mendapatkan durian runtuh. “Masih ada 15 menit lagi,” ujar Mama setelah melihat kode tujuh jari yang diacungkan olehnya. “Mau ngemil dulu?” tawar Mama. Vika menggeleng kuat-kuat dengan cepat. Dia tidak mau asupannya memengaruhi penampilannya Sabtu malam itu. Vika bertambah senan
Dalam kebingungan itu, salah seorang siswa sekolah yang Vika lupa namanya, berhenti dan mencibirnya, “Artis mading!”Majalah dinding! Berbekal informasi itu, tahulah Vika kalau dia harus ke dinding tempat sekolah mereka biasanya menempelkan berbagai pengumuman. Tepat di tengah-tengah, imaji gaun berwarna merah jambu dengan bagian rok yang super lebar, begitu familiar di benaknya. Tentu saja, pemakai gaun itu adalah dia. Berjongkok di depan aula sambil menutup mata dengan tangannya. Apa yang tersaji dalam foto itu adalah kejadian tadi malam pada saat pesta dansa prom.Siapa yang memotretnya diam-diam kemudian menempelkan foto itu di sana? Berbalik badan, semua siswa menunjuk-nunjuk dan menertawainya. Tidak lagi berupa ngikik tertahan, tapi mangap terbahak-bahak.“Cinderella gagal,” celetuk salah satu siswa.“Ngaca, dong. Mana ada Cinderella kayak karung beras,” sambung yang lain.“Memalukan
Gerakan mulut gadis yang duduk di hadapannya naik turun seiring dengan huruf-huruf yang diejakan oleh wanita itu. Meskipun memandanginya sedari tadi, Vika sama sekali tidak mengerti rentetan kata yang diucapkan kakaknya itu. Tidak ada kalimat yang dapat dia cerna dan simpan dalam labirin otaknya. Sepanjang Divya berceloteh, dia menyibukkan diri dengan menyesap minuman yang tadi dipesan oleh kakaknya itu.“Aku telepon Mama, ya?”Kaget mendengar permintaan itu, sontak Vika berhenti minum tapi tanpa melepaskan gelas dari bibirnya. Pinggiran gelas itupun masih menempel sehingga cairan membasahi bibirnya secara konsisten.“Berapa nomor kamu?”Vika membuka mulut sehingga cocktail kembali meluncur ke tenggorokannya. Kemudian, dia menurunkan gelas minuman yang sekarang telah habis tidak bersisa.Oleh karena Vika tidak menanggapi apapun pertanyaan kakaknya itu, Divya meraih telepon genggamnya sendiri. Penuh curiga, Vika meny